Anda di halaman 1dari 43

SGD KEPERAWATAN REPRODUKSI II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


POST SEKSIO SESARIA

Fasilitator:
Ni Ketut Alit Armini, S.Kep., M.Kes.

Disusun oleh:
Kelompok 3 Kelas A-2

1. Moh. Baharuddin Fatih 131311133008


2. Della Febien Prahasiwi 131311133024
3. Diah Priyantini 131311133027
4. Desy Mustika Anggraeni 131311133040
5.  Nina Widya Sabrina 131311133094
6.  Naomi Sriwijayanti 131311133106
7. Eva Elmiyatin 131311133115

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Post Seksio Sesaria” 
Sesaria” 

Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Keperawatan Reproduksi


II Semester 6 tahun ajaran 2015/2016. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Seluruh dosen mata kuliah Keperawatan Reproduksi II Fakultas Keperawatan
tahun ajaran 2015/2016, khususnya Ibu Ni Ketut Alit Armini, S.Kep., M.Kes.
sebagai fasilitator.
2. Kedua orang tua para penulis yang telah memberikan dukungan moral,
spiritual maupun material
3. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Dalam menyusun makalah ini penulis mengalami berbagai kendala, di
antaranya keterbatasan buku-buku yang penulis jadikan sebagai tinjauan dan
referensi. Meskipun demikian, penulis telah berusaha mengumpulkan data-data yang
cukup untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akan
tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala
kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
 perbaikan di masa mendatang.

Surabaya, 1 Mei 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman sampul ................................................. ..................................... i


Kata pengantar ....................................................
.........................................................................................
..................................... ii
Daftar isi .......................................................
....................................................................................................
............................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................ ..................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................
................................................................................
........................... 2
1.3 Tujuan .....................................................
..................................................................................................
............................................. 3
1.3.1 Tujuan umum ....................................................
...............................................................................
........................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................... ........................... 3
1.4 Manfaat ................................................... ............................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi postpartum ................................................. ........................... 4
2.2 Definisi ....................................................
.................................................................................................
............................................. 12
2.3 Klasifikasi .............................................. .............................................. 13
2.4 Indikasi ....................................................
.................................................................................................
............................................. 15
2.5 Kontraindikasi ................................................. ..................................... 19
2.6 Patofisiologi ....................................................
.........................................................................................
..................................... 19
2.7 Manifestasi Klinis .....................................................
................................................................................
........................... 20
2.8 Komplikasi ......................................................
...........................................................................................
..................................... 22
2.9 Penatalaksanaan .............................................. ..................................... 24
2.10 Pemeriksaan penunjang ....................................................
......................................................................
.................. 31
2.11 WOC .....................................................
..................................................................................................
............................................. 32
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS UMUM ...................... 33
BAB VI PENUTUP
4.1 Kesimpulan .....................................................
..........................................................................................
..................................... 38
4.2 Saran ............................................... ...................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................
...............................................................................
........................... 40

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses persalinan adalah proses yang sudah wajar terjadi pada kaum
 perempuan, proses persalinan adalah serangkaian proses yang terdiri dari kala 1
hingga kala 4 untuk mengeluarkan janin yang cukup bulan atau hampir cukup bulan
yang disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari rahim ibu (Yanti,
2010). Menurut Mochtar (1998) persalinan dikategorikan menjadi: (1) persalinan
normal pervaginam (spontan) yaitu proses lahirnya bayi tanpa bantuan peralatan
yang terjadi kurang dari 24 jam (2) persalinan buatan yaitu persalinan dengan
 bantuan dari luar, seperti vakum (3) persalinan dengan seksio caesaria yaitu
 persalinan tanpa melewati pervaginam dan membutuhkan tindakan operasi untuk
 penatalaksanaannya (Mochtar, 1998).
Persalinan pervaginam atau spontan bisa dilakukan jika tidak terdapat kondisi
kegawatan ibu dan janin, jika terdapat kondisi yang mengancam jiwa ibu dan janin
 persalinan dengan pembedahan merupakan pilihan yang diindikasikan.
Penatalaksanaan pembedahan dialakukan untuk menyelematkan janin dan ibu secara
cepat, karena tidak membutuhkan menunggu kala 1 sampai kala 4. Menurut Towle
dan Adams (2008) persalinan seksio caesarea akan dilakukan dengan beberapa
alasan seperti terdapatnya kegawatan kehamilan, placenta previa, solusio placenta,
CPD, gawat janin, presentasi sungsang, lintang, pre-eklampsia, kehamilan ganda, dan
kondisi caesar yang sebelumnya (Towle dan Adams, 2008).
Menurut Towle & Adams (2008), seksio sesaria dilakukan untuk berbagai
alasan, termasuk plasenta previa, solusio plasenta, CPD, gawat janin, presentasi
sungsang, pre-eklampsia, kehamilan ganda, dan kelahiran sesar sebelumnya. Sebuah
kelahiran sesar bisa menjadi peristiwa yang direncanakan, tidak dijadwalkan, atau
keadaan darurat untuk menyelamatkan ibu dan/atau janin.Dalam hal apapun,
 prosedur dan perawatan serupa. Ditemukannya bedah sesar memang dapat
mempermudah proses persalinan sehingga banyak ibu hamil yang lebih senang

1
memilih jalan ini walaupun sebenarnya mereka bisa melahirkan secara normal.
 Namun faktanya menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi sesar
adalah 40-80 tiap 100.00 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan resiko 25 kali
lebih besar dibandingkan dengan persalinan melalui pervagina. Bahkan untuk satu
kasus infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan
 pervagina.
Di indonesia, persalinan dengan seksio caesarea  sudah menjadi hal yang
wajar dan menjadi pilihan dalam persalinan. Seksio caesarea  menempati urutan
kedua terbanyak setelah ekstraksi vakum dengan frekuensi yang dilaporkan 6%
sampai 15% (Gerhard Martius, 1997). Menurut statistik ada 3.509 kasus seksio
caesarea yang dilaporkan oleh Pell dan Chamberlain terdapat beberapa proporsi
 penyebab SC antara lain postur panggul sempit 21%, gawat janin 14%, plasenta
 previa 11%, pernah seksio caesarea 11%, kelainan letak janin 10%, pre-eklamsia dan
hipertensi 7% dengan angka kematian pada ibu sebelum dikoreksi 17% dan sesudah
dikoreksi 0,5% sedangkan kematian janin 14,5% (Winkjosastro, 2005).
Oleh karena itu, tingginya kasus persalinan dengan menggunakan jalan seksio
caesarea membutuhkan penanganan yang berbeda dari persalinan pervaginam, karena
 prinsip tata laksnanya ada yang lebih khusus. Sebagai seorang perawat harus mampu
untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan post seksio caesarea agar
kondisi ibu post SC dan bayi yang dilahirkan selamat dan sehat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana fisiologi persalinan post partum?


2. Apa yang dimaksut dengan seksio sesaria dan Post seksio sesaria?
3. Bagaimana Klasifikasi dari seksio sesaria?
4. Bagaimana Indikasi, kontraindikasi dan patofisiologi dari seksio sesaria?
5. Bagaimana manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostic serta penatalaksanaan
dari seksio sesaria?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan post seksio sesaria?

2
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami tentang konsep Asuhan Keperawatan Pada


Klien Dengan Post Seksio Sesaria
1.3.2 Tujuan khusus

1. Mahasiswa mengetahui dan memahami fisiologi post partum


2. Mahasiswa mengetahui dan memahami definisi Seksio Sesaria
dan Post Seksio Sesaria
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami klasifikasi Seksio Sesaria
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami indikasi dan
kontraindikasi Seksio Sesaria
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi dan
manifestasi klinis Seksio Sesaria
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami penatalaksanaan dan
 pemeriksaan penunjang Seksio Sesaria
7. Mahasiswa mengetahui dan memahami komplikasi dan prognosis
 pada Seksio Sesaria
8. Mahasiswa mengetahui, memahami, dan menyusun asuhan
keperawatan pada klien dengan Seksio Sesaria
1.4 Manfaat

1. Mahasiswa mampu memahami tentang Seksio sesaria dan Post Seksio


Sesaria  sehingga dapat menunjang pembelajaran perkuliahan pada mata
kuliah Keperawatan Reproduksi.
2. Mahasiswa mampu memahami proses asuhan keperawatan yang dilakukan
 pada klien dengan Post Seksio Sesaria  sehingga dapat menjadi bekal saat
melakukan proses asuhan keperawatan selama dirumah sakit.

3
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Postpartum


Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa
nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk
 pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu.
Postpartum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak, 2010).
Partus di anggap spontan atau normal jika wanita berada dalam masa
aterm, tidak terjadi komplikasi, terdapat satu janin presentasi puncak kepala
dan persalinana selesai dalam 24 jam (Bobak, 2005). Partus spontan adalah
 proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan dengan
ketentuan ibu atau tanpa anjuran atau obat-obatan (prawiroharjo, 2000).
Masa nifas (puerperium) menurut Sarwoko Prawirohardjo adalah
dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan semula atau sebelum hamil, yang berlangsung selama kira-
kira 6 minggu.Masa nifas (puerperium) menurut Rustam Mochtar adalah
masa pulih kembali seperti prahamil yang lamanya 6-8 minggu. Definisi lain
masa nifas (puerperium) adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan
untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Menurut
Hanifa Wiknjosastro, masa nifas (puerperium) adalah dimulai setelah
 persalinan selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu.
Pembagian masa nifas:
1. Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri
dan berjalan-jalan. Dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh
 bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalis
yang lamanya 6  –  8 minggu.

4
3. Remote puerperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyaikomplikasi.

Adaptasi masa postpartum (Bahiyatun, 2009):


1. Sistem reproduksi
a. Involusi uterus
Involusi uterus adalah kembalinya uterus kepada keadaan sebelum
hamil, baik dalam bentuk maupun posisi.Selain uterus, vagina, ligament
uterus, dan otot dasar panggung juga kembali ke keadaan sebelum
hamil.Bila ligament uterus dan otot dasar panggul tidak kembali ke
keadaan sebelum hamil, kemungkinan terjadinya prolapse uteri makin
 besar. Selama proses involusi, uterus menipis dan mengeluarkan lokia
yang diganti dengan endometrium baru. Setelah kelahiran bayi dan
 plasenta terlepas, otot uterus berkontraksi sehingga sirkulasi darah yang
menuju uterus berhenti dan ini disebut dengan iskemia.Otot redundant ,
 fibrous, dan jaringan elastis bekerja.Fagosit dalam pembuluh darah
 pecah menjadi dua fagositosis.Enzim proteolitik diserap oleh serat otot
yang disebut autolysis. Lisozim dalam sel ikut berperan dalam proses
ini. Produk ini dibawa oleh pembuluh darah yang kemudian disaring di
ginjal.
Lapisan desidua yang dilepaskan dari dinding uterus disebut
lokia.Endometrium baru tumbuh dan terbentuk selama 10 hari
 postpartum dan menjadi sempurna sekitar 6 minggu. Proses involusi
 berlangsung sekitar 6 minggu. Selama proses involusi uterus
 berlangsung, berat uterus mengalami penurunan dari 1000 gr menjadi
60 gr, dan ukuran uterus berubah dari 15x11x7,5 cm menjadi 7,5x5x5
cm. Setiap minggu, berat uterus turun sekitar 500 gr dan serviks
menutup hingga selebar 1 jari.

5
Proses involusi uterus disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri
(TFU). Pada hari pertama, TFU di atas simfisis pubis atau sekitar 12
cm. Proses ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1 cm setiap
harinya, sehingga pada hari ke-7 TFU berkisar 5 cm dan pada hari ke-
10 TFU tidak teraba di simfisis pubis.
Pada persalinan normal dan post sectio caesaria setelah plasenta lahir
konsistensi uterus secara berangsur - angsur menjadi kecil sehingga
akhirnya kembali sebelum hamil, tetapi pada post operasi sectio
caesaria mungkin akan terjadi perlambatan akibat dari adanya luka
operasi pada uterus.
 b. Lokia
Lokia keluar dari uterus setelah bayi lahir sampai dengan 3 atau 4
minggu postpartum. Perubahan lokia terjadi dalam tiga tahap, yaitu
lokia rubra, serosa, dan alba. Lokia rubra merupakan darah pertama
yang keluar dan berasal dari tempat lepasnya plasenta.Setelah beberapa
hari, lokia berubah warna menjadi kecoklatam yang terdiri dari darah
dan serum yang berisi leukosit dan jaringan yang disebut lokia
serosa.Pada minggu ke-2, lokia berwarna putih kekuningan yang terdiri
dari mucus serviks, leukosit, dan jaringan.
Pada pasien post sectio caessarea juga terdapat lochea. Lochea
adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas.Lochea mengandung
darah dan sisa jaringan desidua dan nekrotik dari dalam uterus (Eny,
2009).
c. Laktasi
Setelah partus, pengaruh penekanan dari estrogen dan progesteron
terhadap hipofisis hilang timbul. Pengaruh hormon-hormon
hipofisiskembali antara lain lactogenic hormon (prolaktin) yang
akanmenghasilkan mammae yang telah dipersiapkan pada masa hamil,
terpengaruhi akibat kelenjar-kelenjar susu berkontraksi sehingga

6
mengeluarkan air susu. Umumnya produksi air susu baru
 berlangsungbetul pada hari ke-2 - 3 post partum.
Pada hari kedua post partus baik normal maupun post sectio
caesarea, keadaan payudara sama dengan saat hamil, kira-kira hari
ketiga payudara menjadi besar, keras dan nyeri yang menandakan
 permulaan sekresi air susu dan kalau areola payudara dipijat, keluarlah
cairan putih dari puting susu, ditambah dengan klien belum menetekan
sehingga payudara bengkak.
Operasi sectio caesarea mempunyai dampak tersendiri pada ibu
antara lain tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, mobilisasi
terganggu, adamya tromboemboli, Activity of Daily Living (ADL)
terganggu, Inisiasi Menyusu Dini(IMD) tidak dapat terpenuhi
(Manuaba, 2004). Terganggunya IMD megakibatkan masalah terhadap
 proses menyusui serta produksi ASI pada ibu. Penelitian yang
dilakukan oleh Blair (2003) menunjukkan bahwa tidak dilakukan IMD
mengakibatkan produksi ASI menurun karena rangsangan hisapan bayi
 berkurang. Demikian pula penelitian lain menunjukkan bahwa
 penurunan hisapan bayi juga menurunkan stimulasi hormon prolaktin
dan oksitosin, sedangkan hormon prolaktin dan oksitosin sangat
 berperan dalam kelancaran produksi ASI (Pace 2001; Arini 2009).
d. Ovarium dan tuba falopi
Setelah kelahiran plasenta, produksi estrogen, dan progesterone
menurun, sehingga menimbulkan mekanisme timbal-balik dari sirkulasi
menstruasi. Pada saat inilah dimulai kembali proses ovulasi, sehingga
wanita dapat hamil kembali.
2. Sistem pencernaan
Setelah kelahiran plasenta terjadi pula penurunan produksi
 progesterone, sehingga yang menyebabkan nyeri ulu ati (heartburn) dan
konstipasi, terutama dalam beberapa hari pertama. Hal ini terjadi karena
inaktivitas motilitas usus akibat kurangnya keseimbangan cairan selama

7
 persalinan dan adanya reflex hambatan defekasi karena adanya rasa nyeri
 pada perineum akibat luka episiotomy.
Pada sistem pencernaan, bising usus terdengar samar atau tidak jelas
karena terjadi penurunan peristaltik usus dua sampai tiga hari bisa
disebabkan karena efek dari anastesi, diet cair atau obat-obatan analgetik
selama persalinan.
3. Sistem perkemihan
Diuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari postpartum.Diuresis terjadi
karena saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali
normal setelah 4 minggu postpartum. Pada awal postpartum, kandung
kemih mengalami edema, kongesti, dan hipotonik. Hal ini disebabkan oleh
adanya overdistensi pada saat kala dua persalinan dan pengeluaran urin
yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatan pada uretra disebabkan
oleh adanya trauma saat persalinan berlangsung dan trauma ini dapat
 berkurang setelah 24 jam postpartum.
Kateter mungkin terpasang pada pasien post sectio caessarea, urin
 jernih, pembentukan urin oleh ginjal meningkat sehingga terjadi diuresis.
4. Sistem endokrin
Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar HCG dan HPL secara
 berangsur turun dan normal kembali setelah 7 hari postpartum. HCG tidak
terdapat dalam urin ibu setelah 2 hari postpartum.HPL tidak lagi terdapat
dala plasma.
5. Sistem kardiovaskular
Curah jantung meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai
kala tiga ketika volume darah uterus dikeluarkan. Penurunan terjadi pada
 beberapa hari pertama postpartum dan akan kembali normal pada minggu
ke-3 postpartum.
Pada persalinan pervagina kehilangan darah sekitar 300  –   400 cc bila
kelahiran melalui sectio caessarea kehilangan darah dapat dua kali

8
lipat.Pada persalinan sectio cessarea haemokonsentrasi kembali stabil dan
kembali normal setelah 4 -6 minggu.
6. Sistem musculoskeletal
a. Dinding perut dan peritoneum
Pembesaran uterus dan persendian, tetapi biasanya akan pulih kembali
dalam waktu 6 sampai 8 minggu setelah persalinan. Pada pasien post
operasi sectio caessarea selain menjadi kendur juga terdapat luka post
operasi pada lapisan perut dan peritoneum.
 b. Ekstremitas atas dan bawah
Pada ektremitas atas dan bawah dampak dari anastesi dapat
mendepresikan saraf pada sistem muskuloskeletal sehingga tonus otot
menurun, sehingga terjadi kelemahan.
7. Sistem hematologi
Leukositosis mungkin terjadi selama persalinan, sel darah merah
 berkisar 15.000 selama persalinan.Peningkatan sel darah putih berkisar
antara 25.000-30.000 yang merupakan manifestasi adanya infeksi pada
 persalinan lama.Hal ini dapat meningkat pada awal nifas yang terjadi
 bersamaan dengan peningkatan tekanan darah serta volume plasma dan
volume sel darah merah.Pada 2-3 hari postpartum, konsentrasi hematocrit
menurun sekitar 2% atau lebih. Total kehilangan darah pada saat
 persalinan dan nifas kira-kira 700-1500 ml (200 ml hilang pada saat
 persalinan, 500-800 ml hilang pada minggu pertama postpartum, dan 500
ml hilang pada saat masa nifas).
8. Tanda vital
Tekanan darah harus dalam keadaan stabil.Suhu turun secara perlahan
dan stabil pada 24 jam postpartum.Nadi menjadi normal setelah persalinan.
9. Psikologis
Periode postpartum menyebabkan stress emosional terhadap ibu baru,
 bahkan lebih menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Faktor-

9
faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa menjadi orang
tua pada masa postpartum, yaitu:
a. Respons dan dukungan dari keluarga dan teman
 b. Hubungan antara pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi
c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain
d. Pengaruh budaya

Respon orang tua terhadap bayi baru lahir


Menjadi orang tua merupakan krisis tersendiri dan mereka harus dapat
melewati masa transisi. Berikut adalah masa transisi pada postpartum yang
harus diperhatikan oleh pasangan.
a. Fase Honeymoon
Fase setelah anak lahir dan terjadi kontak yang lama antara ibu, ayah,
dan anak. Masa ini dapat dikatakan sebagai psikis honeymoon yang
memerlukan hal-hal romantis, masing-masing saling memperhatikan
anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
 b. Bounding Attachment
Bounding merupakan satu langkah awal unutk mengungkapkan
 perasaan afeksi (kasih sayang). Attachment merupakan interaksi
antara ibu dan bayi secara spesifik sepanjang waktu. Bounding
attachment adalah kontak awal antara ibu dan bayi setelah kelahiran,
untuk memberikan kasih sayang yang merupakan dasar interaksi
antara keduanya secara terus  –   menerus. Dengan kasih sayang yang
diberikan terhadap bayinya maka akan terbentuk ikatan antara orang
tua dan bayinya. Bounding attachment ini dimulai sejak dini bagitu
 bayi dilahirkan/ pada kala IV. Bonding adalah suatu istilah untuk
menerangkan hubungan antara ibu dan anak, sedangkan attachment
adalah suatu keterikatan antara orang tua dan anak.

10
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan mengalami
fase-fase sebagai berikut. Periode ini diuraikan oleh Rubin terjadi dalam
tiga tahap:
A. Taking in
1. Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu umumnya pasif
dan tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan
tubuhnya,
2. Ibu akan mengulang-ulang pengalamannya waktu bersalin dan
melahirkan.
3. Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mencegah gangguan
tidur.
4. Peningkatan nutrisi mungkin dibutuhkan karena selera makan ibu
 biasanya bertambah. Nafsu makan yang kurang menandakan proses
 pengembalian kondisi ibu tidak berlangsung normal.
B. Taking hold
1. Berlangsung 2-4 hari postpartum. Ibu menjadi perhatian pada
kemampuannya menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan
tanggung jawab terhadap janin.
2. Perhatian terhadap fungsi-fungsi tubuh (misal: eliminasi).
3. Ibu berusaha keras untuk menguasai keterampilan untuk merawat
 bayi, misalnya menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitive dan
merasa tidak mahir dalam melakukan hal tersebut, sehingga
cenderung menerima nasihat dari bidan karena ia terbuka untuk
menerima pengetahuan dan kritikan yang bersifat pribadi.
C. Letting go
1. Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan sangat berpengaruh
terhadap waktu dan perhatian yang diberikan oleh keluarga.
2. Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi. Ia hatus
 beradaptasi dengan kebutuhan bayi yang sangat tergantung, yang

11
menyebabkan berkurangnya hak ibu dalam kebebasan dan
 berhubungan social.
3. Pada periode ini umumnya terjadi depresi postpartum.

Fisiologi Proses Penyembuhan Luka (Barbara C. Long, 1996)


a. Fase I (Penyembuhan luka)
Leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak.Fibrin bertumpuk pada
gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari
 benang fibrin sebagai kerangka. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi
lewat luka dan menutupi luka, pasien akan merasa sakit pada fase I selama
3 hari post SC.
 b. Fase II
Berlangsung 3-14 hari post SC. Leukosit mulai menghilang dan ceruk
mulai berisi kolagen serabut protein putih. Sel epitel beregenerasi dalam 1
minggu.Jaringan baru memiliki banyak pembuluh darah. Tumpukan
kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6-7 hari. Jadi, jahitan
diangkat pada waktu ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
c. Fase III
Kolagen terus bertumpuk menekan pembuluh darah baru dan arus darah
menurun.Luka terlihat seperti merah jambu yang luas.Fase ini berlangsung
minggu ke-2 sampai minggu ke-6.Pasien harus menjaga agar tidak
menggunakan otot yang terkena.
d. Fase IV
Fase terakhir berlangsung beberapa bulan setelah bedah. Pasien akan
mengeluh gatal diseputar luka. Walaupun kolagen terus menimbun pada
waktu ini luka menciut dan menjadi tegang.

2.2 Definisi
Seksio sesarea adalah persalinan dengan melahirkan janin melalui insisi pada
dinding abdomen dan dinding rahim. Persalinan dengan seksio sesarea terjadi jika

12
ibu tidak dapat melahirkan pervaginam (Cuningham,2005). Operasi Caesar atau
seksio sesarea adalah proses persalinan yang dilakukan dengan cara memotong perut
hingga rahim seorang ibu untuk mengeluarkan bayi. Seksio sesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut
(Mochtar,1998).
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo,2010).
Jadi, post seksio sesaria adalah seseorang yang telah menjalani pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau
vagina atau suatu histerotomi untuk mengeluarkan janin dari dalam rahim.

Gambar 1. Seksio Sesarea

2.3 Klasifikasi

Seksio sesarea dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu sebagai berikut:


a. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda / Low servical
Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus.
Teknik seksio sesarea transperitoneal profunda memiliki beberapa keunggulan,
seperti kesembuhan yang lebih baik dan relatif tidak banyak menimbulkan
 perlekatan. Namun kerugian dari teknik ini adalah terdapat kesulitan dalam

13
mengeluarkan janin sehingga dapat memungkinkan terjadi luka insisi yang lebih
luas dan disertai dengan perdarahan.

Gambar 2. Seksio sesarea


Profunda (Low servical)

 b. Seksio Sesarea Ekstraperitoneal.


Suatu teknik yang dilakukan tanpa insisi peritoneum melainkan dengan
mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke
garis-garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.
c. Seksio Sesarea Klasik.
Suatu teknik pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen atas uterus
atau korpus uteri. Teknik seksio sesarea klasik ini dilakukan apabila segmen
 bawah rahim sulit untuk dicapai, misalnya oleh karena ada perlekatan pada
kandung kemih akibat pembedahan sebelumnya, mioma pada segmen bawah
uterus atau karsinoma serviks yang invasif. Kelemahan dari teknik ini, yaitu
 penyembuhan dari luka insisi relatif sulit, memungkinkan untuk terjadi
 perlekatan dengan dinding abdomen dan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan
 berikutnya.

14
Gambar 2. Seksio sesarea
Profunda (Low servical)

d. Seksio Sesarea disertai Histerektomi


Pengangkatan uterus setelah tindakan seksio sesarea oleh karena atonia uteri
yang tidak dapat teratasi, pada keadaan uterus miomatousus besar dan banyak,
atau keadaan ruptur uteri yang tidak dapat diatasi.

2.4 Indikasi

Indikasi Mutlak dilakukan Sectio caesarea :


A. Indikasi Ibu
1. Panggul sempit absolute
2. Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi
3. Tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi
 Neoplasma yang menyumbat pelvis menyebabkan persalinan normal tidak
mungkin terlaksana. Kanker invasif serviks yang didiagnosis pada trimester
tiga kehamilan dapat diatasi dengan sectio caesarea yang dilanjutkan dengan
terapi radiasi, pembedahan radikal ataupun keduanya
4. Stenosis serviks atau vagina

15
5. Plasenta previa
Sectio caesarea untuk plasenta previa centralis dan lateralis telah
menurunkan mortalitas fetal dan maternal. Keputusan akhir diambil melalui
 pemeriksaan vaginal dalam kamar operasi dengan menggunakan double
setup. Darah sudah tersedia dan sudah dicocokkan (cross-matching).Team
dokter bdah harus sudah siap sedia. Jika pada pemeriksaan vaginal
ditemukan plasenta previa centralis atau partialis, sectio caesarea segera
dikerjakan
6. Disproporsi sefalopelvik
Mencakup panggul sempit (contracted pelvis), fetus yang tumbuhnya
terlampau besar, atau adanya ketidak-imbangan relatif antara ukuran bayi
dan ukuran pelvis.Hal yang menimbulkan masalah disproporsi adalah
 bentuk pelvis, presentasi fetus seta kemampuannya untuk moulage dan
masuk panggul, kemampuan berdilatasi pada serviks, dan keeefektifan
kontraksi uterus.
7. Ruptur uteri
8. Disfungsi uteruS
Disfungsi uterus mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, inertia,
cincin konstriksi dan ketidakmampuan dilatasi serviks. Partus menjadi lama
dan kemajuannya mungkin terhenti sama sekali. Keadaan ini sering disertai
disproporsi dan malpresentasi
B. Indikasi janin
1. Kelainan letak
2. Gawat janin
3. Prolapsus plasenta
4. Perkembangan bayi yang terhambat
5. Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeclampsia
C. Indikasi Relatif
1. Riwayat sectio caesarea sebelumnya

16
Ibu yang pernah mengalami proses sectio caesarea, maka pada kehamilan
 berikutnya proses kelahirannya harus dilakukan sectio caesarea juga.
Bahaya ruptur lewat tempat insisi sebelumnya dirasakan terlalu besar.Akan
tetapi pada kondisi tertentu ternyata bisa dilakukan trial of labor dengan
kemungkinan persalinan lewat vagina. Kalau upaya ini berhasil, baik
morbiditas maternal maupun lamanya rawat inap akan berkurang.
2. Trial of labor setelah sebelumnya pernah dilakuka n sectio caesarea prasarat:
a. Bekas insisi tunggal yang melintang dan pada bagian servikal bawah
uterus (low servical transverse uterine incision)
 b. Indikasi untuk prosedur pertama bukan disproporsi
c. Harapan akan kelahiran dan persalinan yang mudah
i. Pedoman untuk melaksanakan trial of labor
d. Harus ada staf dokter
e. Darah sudah tersedia dan sudah dilakukan cross-matching
f. Ada monitoring fetal dan maternal atau secara elektronik maupun
manual
g. Trial of labor dilakukan terus sampai terjadi kelahiran per vaginam atau
dikerjakannya sectio caesarea
h. Indikasi utama sekso sesarea adalah macetnya kemajuan persalinan,
gawat janin, dan adanya kecurigaan rupura cicatrix dalam uterus
i. Oxytocin dapat digunakan untuk membantu persalinan pada kasus-
kasus terpilih
 j. Eksplorasi manual jaringan cicatrix dalam uterus harus dilakukan
setelah kelahiran selesai (Harry & William, 2010)
3. Histerotomi
Kehamilan dalam uterus akan disertai bahaya ruptura uteri bila kehamilan
sebelumnya diakhiri dengan histerotomi. Risikonya sama seperti risiko
sectio caesarea klasik. Histerotomi kemungkainan harus dihindari dengan
 pertimbangan bahwa kehamilan berikutnya akan mengharuskan sectio
caesarea

17
4. Miomektomi ekstensif
Miomektomi ekstensif dimasa lampau menjadi indikasi sectio caesarea
hanya kalau operasinya luas (ekstensif), miometriumnya rusak dan insisinya
meluas sampai rongga endometrium
5. Presentasi bokong
6. Distosia
Distosia jaringan lunak (soft tissiue dystocial) dapat menghalangi atau
mempersulit kelahiran yang normal. Ini mencakup keadaan seperti cicatrix
 pada saluran genetalia, kekakuan serviks akibat cedera atau pembedahan ,
dan atresia atau stenosis vagina. Kelahiran vaginal yang dipaksa akan
mengakibatkan laserasi yang luas dan perdarahan
7. Fetal distress
8. Preeklampsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
9. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
10. Gemeli, menurut Eastman, seksiosesarea dianjurkan:
a. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu
 b. Bila terjadi interlock
c. Distosia oleh karena tumor
d. IUFD (Intra Uterine Fetal Death)
D. Indikasi Sosial
1. Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya
2. Wanita yang ingin sectio caesarea elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko
kerusakan dasar panggul
3. Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau sexuality
image setelah melahirkan. Permintaan ibu untuk melakukan sectio
caesarea sebenarnya bukanlah suatu indikasi untuk dilakukan sectio
caesarea. Alasan yang spesifik dan rasional harus dieksplorasi dan
didiskusikan. Ketika seorang ibu meminta untuk dilakukan sectio
caesarea dengan alasan yang tidak begitu jelas, maka risiko dan

18
keuntungan dari masing-masing persalinan normal dan sectio caesarea
harus didiskusikan. Ketika seorang ibu meminta sectio caesarea
dikarenakan takut akan proses persalinan, maka ia harus dinasehati
dengan diberi pengertian untuk mengalihkan dan mengurangi rasa
takutnya sehingga mempermudah proses kelahiran. Seorang klinisi
dibenarkan untuk menolak permintaan sectio caesarea apabila tidak ada
indikasi yang jelas untuk dilakukannya operasi. Namun, keputusan pasien
harus tetap dihargai dan perlu ditawari pilihan cara melahirkan yang
lainnya (Imam,2009).

2.5 Kontraindikasi
1. Janin mati
2. Syok
3. Anemi berat
4. Kelainan kongenital berat (Prawirohardjo,2010)

2.6 Patofisiologi
Persalinan seksio caesarea adalah salah satu cara yang digunakan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang sudah cukup minggu kelahiran, prematur maupun
 post date. Seksio caesarea akan diindikasikan pada beberapa ibu ha mil yang memiliki
 panggul sempit, plasenta previa, presentasi letak janin lintang, presentasi bokong dan
kondisi kegawatan pada ibu dan janin (Rustam Mochtar, 1987).
Kondisi kehamilan dengan beberapa kelainan atau gangguan yang beresiko
membahayakan janin dan ibu akan segera dilakukan tata laksana pembedahan, yaitu
seksio caesarea. Persalinan seksio caesarea akan dilakukan jika tidak mampu
melakukan persalinan pervaginam, sehingga akan dibuatkan jalan lahir melalui
sayatan pada abdomen. Selain adanya tanda-tanda bahaya kehamilan, saat usia
kehamilan sudah cukup minggu namun tidak ada tanda-tanda persalinan, maka harus
segera dilakukan tindakan stimulasi, jika memang tidak ada tanda lagi bisa dilakukan
operasi pengeluaran bayi.

19
Beberapa kondisi yang menyebabkan ibu harus melakukan operasi seksio
caesarea adalah usia ibu yang cukup tua saat hamil (>35 tahun), karena faktor usia
 juga mempengaruhi faktor hormonal ibu, sehingga hormon yang diproduksi akan
menurun. Tulang panggul yang sempit juga dapat menghambat terjadinya persalinan
 pervaginam, pada tulang panggul sempit tidak akan bisa dilalui oleh bayi. Kondisi
dengan adanya hambatan pada jalan lahir seperti tumor, tali pusat pendek, mioma
 juga akan menyebabkan dilatasi serviks tidak bisa maksimal, sehingga m embutuhkan
 jalan operasi. Rendahnya kontraksi uterus, ketuban pecah dini tanpa adanya tanda-
tanda persalinan, rasa takut ibu, tenaga yang kurang juga menyebabkan pemilihan
tindakan persalinan melalui operasi.
Tindakan operasi yang merupakan tindakan dengan melakukan sayatan akan
menghasilkan perlukaan pada dinding abdomen, jika luka tidak segera sembuh,
nutrisi yang diperoleh tidak maksimal, rendahnya protein, timbul infeksi, maka akan
menyebabkan beberapa komplikasi yang cukup serius, bahkan bisa menyebabkan
timbulnya burst abdomen dan peritonitis.

2.7 Manifestasi Klinis


Pasca dilakukan tindakan SC maka seorang ibu memasuki masa nifas yang
tentunya akan berbeda dengan masa nifas normal. Masa nifas setelah menjalani
tindakan seksio sesarea akan menghadapi dua tahap pemulihan yaitu pemulihan dari
 proses kelahiran dan pemulihan luka di dinding abdomen (Danuatmaja, 2007).
Dalam masa nifas ini, organ reproduksi akan berangsur-angsur pulih kembali seperti
keadaan sebelum hamil (involusi). Dan kelenjar mammae mulai menghasilkan dan
mengeluarkan ASI.
Setelah dilakukan tindakan operasi akan timbul efek anestesi. Jika ibu
mendapatkan bius epidural maka efek biusnya kecil, sedangkan apabila
menggunakan anestesi spinal, tungkai bawah akan terasa kebas, tidak dapat
digerakkan selama beberapa jam. Namun, apabila operasi menggunakan anastesi
umum, biasanya ibu akan mengantuk, serta nyeri kerongkongan. Setelah efek

20
anestesi hilang ibu akan merasakan nyeri pada luka bekas insisi di dinding abdomen
yang menyebabkan ibu malas bergerak (Soetjiningsih, 2005)
Tindakan SC juga berakibat pada psikologis ibu. Ibu yang melahirkan dengan
tindakan seksio sesarea akan merasa bahwa dirinya telah gagal dalam menjalani
 proses persalinan. Ibu juga merasa cemas terkait dengan proses penyembuhan dan
efek obat-obatan yang dikonsumsi pada kondisi bayinya (Danuatmadja & Meiliasari,
2007)

Perubahan fisiologis pada ibu post SC menurut Doenges (2001) adalah sebagai
 berikut,

1.  Nyeri akibat ada luka pembedahan


2. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
3. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
4. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
 banyak)
5. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml
6. Biasanya terpasang kateter urinarius
7. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
8. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
9. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
10. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham
 prosedur bonding dan attachment pada anak yang baru dilahirkan.
11. Bayi yang lahir melalui c-section mungkin sedikit mengantuk dan letargi,
terutama jika si ibu terkena anestesi untuk jangka waktu lama selama
 persalinan.
Sedangkan perubahan psikologis ibu post SC yaitu:
1. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan
ketidakmampuan menghadapi situasi baru
2. Persalinan dengan operasi sectio caesarea merupakan intervensi medis yang
mungkin dapat menimbulkan reaksi emosional yang tidak diharapkan.

21
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmandani, Karyono dan Dewi (2007)
menunjukkan bahwa ibu post sc rentan mengalami post partum blues. Gejala
 post partum blues karena dipicu proses persalinan secara sectio caesarea
dengan alasan medis yang menimbulkan konsekuensi beban finansial proses
 persalinan yang belum terfikir sebelumnya, munculnya pandangan negatif
dari tetangga karena seharusnya bisa bersalin normal, luka operasi membekas,
 perasaan tidak bisa benar-benar menjadi perempuan, terganggu aktivitas
keseharian karena luka operasi, luka operasi membuat subjek tidak bisa
melakukan upaya-upaya langsung untuk mengecilkan berat badannya.

2.8 Komplikasi
Menurut Bobak, 2005 Komplikasi yang sering Muncul pada tindakan Seksio Sesarea
adalah sebagai berikut:

1. Pada Ibu
a.Infeksi puerperialis / nifas bisa terjadi dari infeksi ringan yaitu kenaikan suhu
 beberapa hari saja, sedang yaitu kenaikan suhu lebih tinggi disertai dehidrasi dan
 perut sedikit kembung, berat yaitu dengan peritonitis dan ileus paralitik.
 b.Perdarahan akibat antonia uteri atau banyak pembuluh darah yang terputus dan
terluka pada saat operasi.
c.Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong saat melakukan
sectio caesarea.
d.Resiko ruptura uteri pada kehamilan berikutnya karena jika pernah mengalami
 pendarahan pada dinding rahim insisi yang dibuat menciptakan garis kelemahan
yang sangat beresiko untuk ruptur pada persalinan berikutnya.
e.Endometritis yaitu infeksi atau peradangan pada endometrium.
2. Pada Bayi
a.Hipoksia
 b.Depresi pernafasan
c.Sindrom gawat pernafasan

22
d.Trauma persalinan

Operasi caesar juga bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti:

1. Melukai organ sekitar rahim


Di sekitar rahim terdapat organ penting seperti kandung kemih, saluran kencing,
dan usus besar. Organ-organ serta syaraf yang terletak berdekatan bisa saja
terkena goresan pisau bedah. Meski begitu, kasus ini sangat jarang terjadi.
2. Melukai bayi
Bayi juga bisa terluka ketika dinding rahim dibuka.
3. Perdarahan
Perdarahan lanjutan yang terjadi akibat kontraksi rahim tidak baik setelah
 plasenta dilahirkan sehingga Anda membutuhkan tranfusi darah. Bila terjadi
 perdarahan berat saat operasi maka pada kasus yang lebih parah akan dilakukan
 pengagkatan rahim.
4. Problem buang air kecil
Pada saat pembedahan dokter akan menodorong kandung kencing agar tidak ikut
tersayat ketika membuka dinding rahim. Akibatnya, otot-otot saluran kencing
akan terganggu sehingga masih ada sisa urin di kandung kemih meski Anda
sudah buang air kecil. Penderita akan mengeluarkan urin saat tertawa, batuk,
atau mengejan. Untuk mengatasinya akan dipasang selang kateter untuk
membantu mengeluarkan urin. Lakukan latihan otot dasar panggul untuk
menghindari masalah ini.
5. Infeksi
6. Infeksi bisa terjadi akibat kurangnya sterilitas alat-alat operasi, retensi urin, luka
operasi yang terkontaminasi atau melalui transfusi darah. Infeksi bakteri pada
umumnya dapat ditangani baik dengan antibiotik.
7. Perlengketan
Ibu yang menjalani operasi caesar berisiko mengalami perlengkatan plasenta
 pada rahim (plasenta akreta). Perlengketan juga bisa terjadi bila darah, jaringan

23
rahim (endometrium) atau jaringan plasenta tertinggal dan menempel pada usus
atau organ dalam lainnya.
8. Trombus dan emboli
Pemberian obat bius selama operasi berlangsung dapat membuat otot-otot
 berelaksasi, dimikian pula dengan otot-otot pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan aliran darah melambat. Akibatnya, resiko pembentukan trombus
dan emboli meningkat. Trombus merupakan bekuan darah yang bisa menyumbat
aliran darah. Bila bekuan darah terbawa aliran darah maka dapat menyumbat
 pembuluh darah di kaki, paru-paru, otak atau jantung. Kondisi ini dapat
menimbulkan kematian bila penyumbatan sampai terjadi otak dan jantung.
9. Emboli air ketuban
Emboli terjadi bila cairan ketuban dan komponennya masuk ke dalam aliran
darah hingga menyumbat pembuluh darah. Emboli air ketuban bisa terjadi pada
 persalinan normal atau operasi Caesar, sebab ketika proses persalinan
 berlangsung terdapat banyak pembuluh darah yang terbuka. Kejadian ini amat
sangat jarang terjadi.

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ibu Post Sectio Caesaria:
1. Perawatan pasca operasi
Setelah keluar dari ruang operasi, ibu akan dibawa ke ruang pemulihan. Di
ruang pemulihan ini, berbagai pemeriksaan akan dilakukan, meliputi
 pemeriksaan tingkat kesadaran, sirkulasi pernapasan, tekanan darah, suhu
tubuh, jumlah urin yang tertampung di urin bag, serta jumlah dan bentuk
cairan lokia. Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ditemukannya
gumpalan darah yang abnormal atau perdarahan yang berlebihan. Kondisi
rahim (uterus) dan leher rahim (serviks) juga diperiksa untuk memastikan
 bahwa keduanya dalam kondisi normal. Biasanya, pemeriksaan akan
dilakukan setiap empat jam sekali pada hari pertama dan kedua, dan dua kali
sehari pada hari ketiga sampai saat puang kembali ke rumah. Setelah operasi,

24
ibu juga tidak bisa langsung minum atau makan. Kedua hal itu baru boleh
dilakukan, jika organ pencernaan sudah kembali normal. Umumnya, fungsi
gastrointestinal (organ pencernaan) akan kembali normal 12 jam setelah
operasi. (Kasdu, 2003 : 64).
a. Penatalaksanaan secara medis
1) Pemberian analgesik diberikan setiap 3  –   4 jam atau bila diperlukan
seperti Asam Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
2) Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan.
3) Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain.
Walaupun pemberian antibiotika sesudah Sectio Caesaria masih
dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
4) Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
5) Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari
kelima setelah operasi
b. Penatalaksanaan secara keperawatan
1) Periksa dan catat tanda  –   tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama
dan 30 menit pada 4 jam kemudian.
2) Jumlah perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat
3) Diet / nutrisi
4) Mobilisasi
5) Hygiene dan rawat luka
2. Penatalaksanaan nyeri
Sejak ibu sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah
operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat kolaborasi pemberian
obat-obat anti nyeri (analgesic). Perawat dapat melakukan manajemen nyeri
dengan melakukan teknik relaksasi. Penanganan nyeri dengan tindakan
relaksasi mencakup teknik relaksasi nafas dalam dan guided
imagery.Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam
sangat efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Sehono, 2010). Teknik
relaksasi nafas dalam akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan beberapa

25
teknik lainnya, seperti guided imagery. Guided imagery merupakan teknik
yang menggunakan imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,2010)
3. Hygiene / rawat luka
Luka operasi merupakan luka bersih sehingga mudah untuk perawatannya.
Perawat dapat memberikan health education kepada ibu terkait hygiene di
rumah meliputi,
a. Setiap satu minggu kasa harus di buka
Idealnya kasa yang dipakai diganti kasa baru setiap satu minggu sekali.
Tidak terlalu sering agar luka cepat kering, jika sering dibuka luka bisa
menempel pada kasa sehingga sulit untuk kering.
b. Bersihkan jika keluar darah dan langsung ganti kasa
Jika luka operasi keluar darah, maka segeralah untuk mengganti kasanya
agar tidak basah atau lembab oleh darah. Kerena darah merupakan kuman
yang bisa cepat menyebar ke seluruh bagian luka.
c. Jaga luka agar tak lembab
Usahan semaksimal mungkin agar luka tetap kering karena tempat lembab
akan menjadikan kuman cepat berkembang. Misalkan suhu kamar terlalu
dingin dengan AC yang membuat ruangan lembab.
d. Menjaga kebersihan
Agar luka operasi tidak terkena kotoran yang mengakibatkan cepat
 berkembangnya kuman, maka kebersihan diri dan lingkungan sekitar
semaksimal mungkin harus dijaga. Jauhkan luka dari kotoran, untuk itu
seprei dan bantal harus selalu bersih dari deb u.
4. Diet nutrisi
Sama halnya dengan wanita yang melahirkan secara normal, wanita
yang melahirkan secara sectio caesarea  juga memerlukan asupan makanan
yang kaya energi dan protein. Pemberian diet pada pasien pascabedah sectio
caesarea  pada dasarnya sama dengan diet yang diberikan pada pasien
 pascabedah lainnya yaitu dengan memberikan diet yang mengandung tinggi

26
kalori dan protein. pasien pascabedah sectio caesarea, diberikan diet TKTP
dalam perawatannya untuk mendukung kecepatan pemulihan pasien.
Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah juga beresiko mengalami
malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan peningkatan
metabolisme yang terjadi sehingga diberikan nutrisi perioperatif yaitu nutrisi
yang diberikan pada pasien prabedah/praoperatif, durante/intraoperatif, dan
 pascabedah/pascaoperatif, yang bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal
dari operasi, dan mengurangi morbiditas operasi diantaranya infeksi luka
operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia, dan sepsis (Pennington,
et al. 2008)
Syarat pemberian diet pascabedah adalah memberikan makanan
secara bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian
makanan dari tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan
keadaan pasien yaitu pada pascabedah kecil, makanan diusahakan secepat
mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pada pascabedah besar , makanan
diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk
menerimanya. Adapun pemberian diet pascabedah secara bertahap mulai dari
diet pascabedah I, II, III, dan IV.

a. DPB I
Diet ini diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea setelah
 pasien sadar dan tidak mual serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. Diet
ini diberikan selama 6 jam setelah proses bedah sectio caesarea. Diet
diberikan dalam bentuk makanan cair jernih. Menurut Almatsier (2006),
makanan cair jernih adalah makanan yang disajikan dalam bentuk cairan
 jernih pada suhu ruang dengan kandungan sisa (residu) minimal dan
tembus pandang bila diletakkan dalam wadah bening. Pemberian
makanan dalam waktu yang singkat yaitu 1-2 hari, karena nilai gizinya
sangat rendah dengan syarat pemberian yaitu porsi kecil dan diberikan
sering

27
Contoh menu diet post SC I
Waktu Menu
Pagi Teh

Pukul 10.00 Air bubur kacang hijau

Siang Kaldu jernih


Air jeruk

Pukul 16.00 Teh

Malam Kaldu jernih


Air jeruk

b. DPB II
Diberikan sebagai perpindahan dari diet pascabedah I, dimana makanan
diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah,
sop, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur.
Makanan yang diberikan harus cukup energi dan protein, tidak
merangsang saluran cerna, dan diberikan secara bertahap dalam porsi
kecil dan sering (tiap 2-3 jam). Pemberian makanan cair kental sebagai
 peralihan DPB I menuju DPB II kepada pasien pascabedah sectio
caesarea  bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
dan mencegah aspirasi.
c. DPB III
Diet pascabedah II diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea
sebagai peralihan diet pascabedah II. Makanan diberikan dalam bentuk
makanan saring ditambah susu dan biskuit. Pemberian cairan hendaknya
tidak melebihi 2000 ml sehari.
d. DPB IV

28
Diet pascabedah IV diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea
sesuai dengan kemampuan pasien, dimana makanan diberikan dalam
 bentuk makanan lunak dengan pembagian waktu makan yaitu 3 kali
makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan. Menurut Almatsier
(2006), makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang
mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibanding makanan biasa.
e. Diet TKTP
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), yang sering juga disebut
dengan diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang
mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal (Almatsier,
2006). Diet ini diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah dengan
makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging. Diet ini
diberikan bila pasien telah mempunyai nafsu makan dan dapat menerima
makanan lengkap.
5. Mobilisasi
Mobilisasi dini pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan
 bantuan perawat dapat bangun dari tempat tidur sebentar sekurang -kurangnya
2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan
(Kristiyanasari, 2012). Salah satu tujuan mobilisasi dini adalah memperlancar
 pengeluaran lochea karena pengeluaran lochea  pada wanita dalam posisi
 berbaring lebih sedikit keluar daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat
 pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring
dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri (Varney, 2007).
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya
 penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya
thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak
6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien
sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies
dapat didukukan selama 5 menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam
lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk

29
melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri
 pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah
menjadi setengah duduk (semi fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari
demi hari pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan
 berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5 pasca bedah.
6. HE tentang menyusui
Proses persalinan dengan SC dibandingkan dengan persalinan per
vagina vagina dapat mempengaruhi pengalaman menyusui dalam beberapa
cara. Ibu post SC yang telah berharap dapat melahirkan secara normal
mungkin merasa kecewa, dan mereka bahkan takut karena "gagal" dalam
melahirkan, dan merasa "gagal" dalam menyusui. Padahal sebenarnya tidak
ada alasan ibu yang telah memiliki c-section untuk tidak menyusui. Menyusui
dapat membantu menormalkan pengalaman melahirkan secara operatif.
Perbedaan dengan ibu post partum normal dengan post sc adalah pada ibu
 post sc insiasi menyusui sering tertunda, karena kebanyakan ibu-ibu post c-
section memerlukan beberapa waktu ekstra untuk pulih sebelum memegang
dan menyusui bayi baru mereka. Begitu mereka sepenuhnya sadar dan
mampu memegang bayi, mereka dapat mulai menyusui. Ibu yang memiliki
anestesi epidural mampu menggendong bayi lebih cepat . Menyusui sesegera
mungkin setelah bayi lahir memiliki keuntungan bagi ibu post sc seperti
halnya bagi ibu yang melahirkan secara normal. Meningkatkan bonding
attachment, memberikan stimulasi untuk memproduksi ASI lebih banyak,
melepaskan hormon oksitosin untuk membantu kontraksi rahim, dan
memberikan bayi kolostrum. Ada keuntungan tambahan bagi ibu post sc yaitu
menyusui selama periode waktu yang singkat sebelum anestesi regional
hilang dapat memberikan waktu bebas rasa sakit.
Posisi berbaring miring ke salah satu sisi sering disukai selama hari
 pertama atau lebih setelah operasi. Pastikan ibu memiliki handuk dan atau
 bantal untuk mempersiapkan posisi menyusui yang nyaman. Gulung handuk
dan tempatkan di sebelah sayatan lalu posisikan tubuh bayi menghadap ibu,

30
dada-ke-dada. Ambil sebuah handuk dan digulung lagi, lalu ditempatkan di
 belakang bayi dapat membuat bayi rileks selama menyusui. Kemudian
letakkan bantal di bawah lutut ibu untuk membantu mengurangi ketegangan
 pada otot-otot perut. Perawat rsebaiknya membantu ibu untuk menemukan
 posisi yang nyaman di hari-hari awal setelah operasi.
Jika ibu dan bayi dalam keadaan baik, sebenarnya ibu dapat segera
menyusui bayi di ruang pemulihan setelah pembedahan selesai. Namun, jika
ibu memperoleh bius total dan merasa bingung akibat pengaruh pembiusan
dan apabila setelah 12 jam ibu belum juga bisa menyusui, mungkin perlu
menggunakan pompa ASI dan menyimpannya untuk diberikan kepada bayi
menggunakan sendok (Danuatmaja, et all, 2003 : 51).

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Muchtar, 2005 pemeriksaan penunjang sebagai data untuk
menunjang diagnosa secara pasti dapat dilakukan pemeriksaan:

1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –  daerah otak
yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography (PET)
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu
menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam
otak.
5. Uji laboratorium
a. Fungsi lumbal untuk menganalisis cairan serebrovaskuler

31
 b. Hitung darah lengkap untuk mengevaluasi trombosit dan
hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. AGD
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah

2.11 WOC (Web of Caution)


(terlampir)

32
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS SEMU

A. Kasus Semu
 Ny.A (25) primigravida (G1P0A0) post partum SC hari ke 3 dengan indikasi
letak bayi sungsang. Kesadaran compos mentis. Setelah post-op SC, klien
mengatakan luka bekas jahitan terasa nyeri, skala nyeri 7, terasa diremas-remas,
nyeri bertambah bila untuk bergerak (alih baring), berkurang bila untuk tidur,
nyeri terasa hilang timbul  10 menit. Hasil pemeriksaan diperoleh TD = 120/90
mmHg, N = 83 x/mnt, RR = 20 x/mnt, S = 380C, CRT < 2dtk, akral hangat, TB
= 158cm, BB = 53kg

B. Pengkajian
(terlampir)

C. Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Operasi sectio sesarea Hipertermi
Klien mengeluh demam ↓
Luka post-op
DO: ↓
 TD: 120/90mmHg Port de entree
  Nadi: 83x/mnt ↓
0
 Suhu: 38 C Mikroorganisme masuk ke tubuh
 RR: 20x/mnt melalui luka
 CRT: <2

 Akral: hangat
Inflamasi

Hipertermi
DS: Operasi sectio sesarea  Nyeri Akut
Klien mengatakan nyeri ↓
 pada daerah insisi (skala Luka post-op
nyeri 7) ↓
Kerusakan jaringan
DO: ↓
 Ada rembesan darah  Nyeri akut

33
 pada dressing
 Luka masih basah
 Daerah sekitar insisi
memerah
DS: Operasi sectio sesarea Resiko Infeksi
 Klien mengeluh lemas ↓
dan demam Luka post-op
 Klien mengatakan nyeri ↓
di daerah sekitar insisi Port de entree

DO: Mikroorganisme masuk ke tubuh
0
 Suhu 38 C melalui luka
 Ada rembesan darah ↓
 pada dressing Resiko Infeksi
 Luka masih basah
 Daerah sekitar insisi
memerah

D. Diagnosa Keperawatan
Domain, Class, Code Diagnosa Keperawatan
Domain 11. Safety/ Protection Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
Class 6. Thermoregulation
00007 Hipertermia
Domain 12. Comfort  Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan
Class 1. Physical Comfort  jaringan pasca pembedahan
00132 Nyeri
Domain 11. Safety protection Risiko Infeksi berhubungan dengan adanya jalan
Class 1. Infection masuk   mikroorganisme pasca pembedahan
00004 Resiko tinggi infeksi

E. Intervensi Keperawatan
Domain 11. Safety/ Protection
Class 6. Thermoregulation
00007 Hipertermia
Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
NOC NIC
Domain 3: Physiologic Health Domain 2: Physiological Complex
Class I: Metabolic Regulation Class M: Thermoregulation
0800 Thermoregulation 3740 Fever Treatment
080017 denyut jantung apikal (1-4)
080012 denyut nadi (1-4) 1.Monitor suhu tubuh dan tanda vital
080013 RR (1-4) 2.Monitor perubahan warna kulit

34
 080015 melaporkan kenyamanan akan 3.Monitor tekanan darah, nadi, dan RR
suhu tubuhnya (1-5) 4.Monitor penurunan tingkat kesadaran
 080018 penurunan suhu tubuh (1-5) 5.Monitor intake dan output, sadari apabila
 080003 pusing (1-5) ada tanda-tanda kehilangan cairan
 080005 iritabilitas (1-5) 6.Berikan pengobatan (antipiretik,
 080007 perubahan warna kulit (1-5) antibiotic)
 080014 dehidrasi (105) 7.Selimuti pasien
8.Kolaborasi pemberian cairan IV
1: Severely compromised 9.Kompres pasien pada lipat paha dan
2: Substantial compromised aksila
3: Moderately compromised 10.Tingkatkan sirkulasi darah
4: Mildly compromised 11.Berikan pengobatan untuk mencegah
5: Not compromised terjadinya menggigil

3900 Temperature Regulation


1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Rencanakan monitoring suhu secara
kontinu
3. Monitor TD, nadi, dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya
 pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
 penanganan yang diperlukan
12. Berikan anti piretik jika perlu

Domain 12. Comfort


Class 1. Physical Comfort
00132 Nyeri akut
 Nyeri akut b/d kerusakan jaringan pasca pembedahan.
NOC NIC
Domain V. Perceived Health Domain 1: Physiological Basic
Class V. Symptom Status Class E: Physical Comfort Promotion

35
2102 Pain Level 1401 Pain Management
210201 melaporkan nyeri (1-5) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
210204 mengenali skala nyeri (1-5) komprehensif termasuk lokasi,
210221 menggosok area nyeri (1-5) karakteristik, durasi, frekuensi,
210 217 mengerang dan mengangis (1-5) kualitas, dan faktor presipitasi
210206 respon terhadap nyeri (1-5) 2. Observasi reaksi nonverbal dari
210208 kegelisahan (1-5) ketidaknyamanan
210222 agitasi (1-5) 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
210224 meringis (105) untuk mengenetahui pengalaman nyeri
210218 mondar-mandir (1-5)  pasien
210219 fokus menyempit (1-5) 4. Evaluasi bersama pasien dan tim
210215 hilang nafsu makan (1-5) kesehatan lain tentang ketidakefektifan
control nyeri masa lampau
1: Severe 5. Bantu pasien dan keluarga mencari
2: Substantial dukungan
3: Moderate 6. Control lingkungan yang dapat
4: Mild mempengaruhi nyeri seperti suhu
5. None ruangan, pencahayaan, dan kebisingan
7. Kurangi faktor presipitasi nyeri
8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi,
interpersonal)
9. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
10. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
11. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
12. Tingkatkan istirahat
13. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
 berhasil

Domain 11. Safety/ Protection


Class 1. Infection
00004 Risiko infeksi
Risiko infeksi b/d adanya jalan masuk  mikroorganisme pasca pembedahan.
NOC NIC
Domain 4. Health Knowledge and Domain 4 Safety
Behavior Class : V-Risk Management
Class T. Risk control and safety 6550 Infection Protection
1924 Risk control: Infectious process 1. Monitor tanda-tanda dan gejala infeksi
 192426 Mengidentifikasi faktor resiko sistemik dan local
infeksi (1-5) 2. Monitor glanulosit, WBC

36
 192405 Mengidentifikasi tanda dan gejala 3. Memelihara/ merawat untuk pasien
infeksi (1-5) yang beresiko
 192407 mengidentifikasi strategi self 4. Pemeriksaan kondisi pada setiap insisi
 protect  (1-5) hasil pembedahan atau luka
 192411 menjaga kebersihan diri (1-5) 5. Inspeksi kulit, membrane mukosa,
kemerahan dan penigkatan suhu (kalor),
1: never demonstrated dan aliran
2: rarely demonstrated
3: sometimes demonstrated
4: often demonstrated
5: consistently demonstrated

37
BAB VI
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Post seksio sesaria adalah seseorang yang telah menjalani pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus
atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
Tidak ada indikator mutlak untuk kelahiran sesar, tetapi kebanyakan
dilakukan berdasarkan keuntungan ibu dan janin. Indikasi sectio caesarea
 bisa dibedakan menjadi indikasi absolut atau relatif. Setiap keadaan yang
membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin terlaksana merupakan
indikasi absolut untuk sectio abdsominal.Diantaranya adalah kesempitan
 panggul yang sangat berat dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Pada
indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa terlaksana tetapi keadaan adalah
sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat sectio caesarea akan aman bagi ibu,
anak, ataupun keduanya (Oxorn, 2010).
Pemeriksaan penunjang sebagai data untuk menunjang diagnosa secara
 pasti dapat dilakukan pemeriksaan berupa: USG untuk diagnosa pasti, yaitu
menentukan letak placenta dan Pemeriksaan darah: hemoglobin,
hematokrit.Kontraindikasi dari sectio caesarea adalah: Janin mati, Syok,
Anemia berat, Kelainan kongenital berat
Dalam mendiagnosa seksio sesasea, seorang perawat terlebih dahulu
melakukan anamnesa tentang riwayat kesehatan dan kebiasaan hidup
(termasuk asupan cairan).Pemeriksaan fisik diperlukan untuk memeriksa
kemungkinan kondisi yang dapat berpengaruh terhadap masalah dan
 pemeriksaan diagnostik maupun penunjang jika dibutuhkan.

38
4.2 Saran

Sebagai perawat sehubungan dengan rumitnya kondisi pasien dengan


seksio sesarea maka diharapkan dalam pelaksanaan perawatan dalam hal ini
 pemberian asuhan keperawatan memperhatikan beberapa hal berikut:
a) Perubahan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sangat dipengaruhi oleh
 persepsi individu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini akan
membawa konsekuensi terhadap permasalahan keperawatan yang
ditegakan pada setiap individu.
 b) Untuk merencanakan asuhan keperawatan yang tepat untuk seseorang,
harus mengadakan pendekatan melalui karakteristik individu yang
mempersepsikan dalam situasi yang memunyai makna bagi kita.

39

Anda mungkin juga menyukai