Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan pengertian masing-masing kata kunci dalam judul, ide yang
menjadi latar belakang pemilihan judul serta permasalahan dan persoalan yang akan
diselesaikan. Berisi pula paparan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai,
lingkup bahasan, serta sistematika konsep yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam
perencanaan dan perancangan Laboratorium Penelitian Tanaman Biofarmaka.
A. Pengertian Judul
1. Laboratorium
Laboratorium adalah wadah bagi kegiatan baik itu percobaan, penyelidikan
dan kegiatan lainnya, menyangkut ilmu fisika, kimia, biologi, atau bidang ilmu
lainnya. (Emha, 2002)
2. Penelitian
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode
ilmiah secara sistematis, untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran
suatu asumsi dan atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan IPTEK)
3. Biofarmaka
Biofarmaka (Tanaman Herbal / Obat) merupakan jenis tumbuhan yang
bagian tumbuhannya seperti daun, buah, rimpang, atau akar dimanfaatkan sebagai
pengobatan. (Direktorat Jenderal Hortikultur, 2017)
4. Pengobatan Herbal
Pengobatan herbal merupakan jenis pengobatan melalui pendekatan yang
bersifat holistik menggunakan pil, serbuk, atau cairan hasil proses atau ekstraksi
dari tanaman yang mempunyai khasiat tertentu. (Program Studi Kimia ITB, 2011)
5. Kabupaten Sleman
Salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak pada
koordinat 107o 15’ 03” dan 107o 29’ 30” Bujur Timur, serta 7o 34’ 51” dan 7o 47’
30” Lintang Selatan. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sleman)
1
6. Arsitektur Bioklimatik
Arsitektur bioklimatik yaitu suatu pendekatan desain arsitektur yang
memperhatikan aspek hubungan antara bentuk arsitektur dengan lingkungannya ,
dalam hal ini iklim, untuk memperoleh penyelesaian desain. (Tumimomor dan Poli,
2011)
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, judul yang diambil
memiliki pengertian sebagai sebuah tempat yang menjadi wadah bagi kegiatan analisis
laboratorium hingga proses pengolahan tanaman obat pasca panen. Wadah yang
direncanakan juga memiliki kebun budidaya dan pengembangan tanaman obat, display
koleksi herbarium, serta retail sampel produk. Desain yang diterapkan memperhatikan
aspek bioklimatik berupa iklim dan lingkungan tapak yang berada di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta.
B. Latar Belakang
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Kondisi tanah yang subur juga mendorong keanekaragaman flora yang melimpah,
termasuk tanaman obat (biofarmaka). Total tanaman herbal di dunia ada kurang lebih
sebanyak 40.000 spesies. Dari total spesies tanaman berkhasiat obat, sebanyak 90%
diperkirakan berada di Indonesia (PT. Sido Muncul, 2015). Namun, dari jumlah
tersebut hanya sebanyak 10% yang telah dimanfaatkan untuk bahan baku obat
tradisional (jamu) dan sekitar 5% untuk bahan baku fitofarmaka (obat herbal teruji
klinis).
Jumlah komoditas tanaman obat binaan Ditjen Hortikultura adalah sebanyak
66 jenis, 14 jenis tanaman rimpang dan 52 jenis non rimpang (Keputusan Menteri
Pertanian No. 511, 2006). Dari 66 jenis tersebut, tidak semua dibudidayakan secara
berkelanjutan dan hanya diperoleh langsung dari alam. Hanya sebanyak 15 jenis
tanaman obat yang telah dibudidayakan di Indonesia, dengan rincian 9 jenis tanaman
rimpang, yaitu jahe, laos, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng,
temukunci, dan dringo, serta 6 jenis non rimpang, antara lain kapulaga, mengkudu,
mahkotadewa, kejibeling, sambiloto, dan lidah buaya (Ditjen Hortikulura dan BPS,
2017). Keterbatasan penelitian mengenai khasiat tanaman obat di Indonesia
menyebabkan keunggulan varian tanaman obat Indonesia yang tidak dimiliki negara
lain belum tergali maksimal. Padahal, dari kondisi alam Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi produsen tanaman obat dunia.
2
Jahe, kunyit, laos (lengkuas), dan kencur adalah tanaman biofarmaka kelompok
rimpang yang mempunyai jumlah produksi panen paling tinggi pada tahun 2018.
Sedangkan, produksi panen terbesar dari kelompok tanaman non rimpang antara lain
kapulaga, mahkota dewa, lidah buaya, dan sambiloto (Ditjen Hortikultura dan Badan
Pusat Statistik. 2018). Berdasarkan persebaran wilayah, produksi tanaman biofarmaka
kelompok rimpang paling banyak tersebar di Pulau Jawa. Provinsi sentra tanaman
biofarmaka kelompok rimpang antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, Bengkulu, dan D.I. Yogyakarta.
Tabel 1.1. Produksi Beberapa Tanaman Biofarmakan Kelompok Rimpang
di Provinsi Sentra tahun 2018.
Jenis Tanaman
Kencur
Provinsi Jahe Kunyit Lengkuas
(East Indian
(ginger) (Turmeric) (Galanga)
Galangal)
Jawa Timur 65.082.863 117.108.216 14.613.495 8.759.719
Jawa Tengah 45.352.918 25.747.866 18.765.630 7.299.350
Jawa Barat 33.966.136 14.183.745 14.868.368 4.790.440
Sulawesi Selatan 12.040.602 10.027.750 2.958.365 150.439
Bengkulu 11.467.605 4.124.577 2.327.606 752.392
D.I Yogyakarta 8.545.276 3.147.465 1.190.764 1.906.722
Lainnya 40.131.262 29.117.907 15.290.745 12.307.693
TOTAL 216.586.662 203.457.526 70.014.973 35.966.755
Sumber : Direktorat Hortikultura dan Badan Pusat Statistik. 2018.
3
guna lahan, Kabupaten Sleman hampir setengahnya merupakan lahan pertanian subur
didukung irigasi teknis di daerah Barat dan Selatan.
4
Di Provinsi Yogyakarta hanya terdapat 1 Industri Obat Tradisional
(IOT)/Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) serta 24 buah Usaha Kecil dan Mikro Obat
Tradisional (UKOT/UMOT) (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Jumlah tersebut masih
terlalu kecil dibandingkan daerah lain di Pulau Jawa, padahal Yogyakarta merupakan
salah satu provinsi sentra produksi tanaman obat.
Tabel 1.2. Jumlah Industri Obat Tradisional (IOT) dan
Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) di Indonesia, 2016.
No Nama Provinsi Jumlah
1 Bali 1
2 Banten 13
3 Yogyakarta 1
4 DKI Jakarta 15
5 Jawa Barat 42
6 Jawa Tengah 21
7 Jawa Timur 16
8 Kamlimantan Selatan 1
9 Sulawesi Selatan 1
10 Sumatera Selatan 1
TOTAL 112
Sumber : Kementrian Kesehatan RI (2016)
5
Tanaman obat masih cenderung digunakan untuk bahan baku obat tradisional
(jamu) dan belum dikembangkan sebagai obat herbal. Mengkonsumsi jamu lebih
bersifat menyehatkan dan bukan bersifat menyembuhkan, sebab jamu bekerja dengan
cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bila produksi tanaman obat mampu
dikembangkan sampai Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka yang sudah
teruji klinis pada hewan dan manusia, dapat meningkatkan levelnya menjadi bersifat
menyembuhkan. Di Indonesia baru sekitar delapan obat fitofarmaka yang telah
memiliki izin edar dari BPOM (Harian Jurnalasia, 2017). Jika tanaman herbal mampu
diproduksi hingga OHT dan fitofarmaka, tentu akan memiliki nilai jual lebih dan
mampu bersaing di pasar nasional, bahkan hingga pasar internasional.
Pemanfaatan tanaman biofarmaka semakin berkembang tidak hanya untuk
kebutuhan farmasi, namun juga digunakan untuk bahan baku kosmetik, spa, hingga
kuliner. Menurut WHO, diperkirakan permintaan tanaman herbal akan mencapai U$D
5 triliun pada tahun 2050. Gaya hidup ‘kembali ke alam’ serta harga obat-obatan
modern yang melonjak di pasaran mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi obat
herbal, sehingga berdampak pula pada permintaan tanaman obat yang juga makin
meningkat (Herdiani, 2012). Pola hidup kembali ke alam didasari oleh kesadaran atas
bahaya kandungan kimiawi pada obat sintetis. Selain itu, terdapat penyakit tertentu
yang tidak bisa diatasi dengan obat kimia.
Didasari konteks tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap khasiat tanaman biofarmaka sebagai obat herbal melalui
penelitian, edukasi, dan sosialisasi. Penemuan sesuatu yang signifikan dari penelitian-
penelitian terhadap tanaman biofarmaka, akan memberi manfaat bagi pengobatan
penyakit yang diderita manusia. Pengembangan penelitian khasiat tanaman obat, dapat
memberi kontribusi terhadap penyebab dan langkah pengobatan yang belum diketahui.
Oleh sebab itu, diperlukan suatu wadah yang mampu mengakomodasi kegiatan
penelitian, budidaya bibit, pengembangan, hingga pengolahan tanaman biofarmaka.
Wadah tersebut berupa laboratorium penelitian yang dilengkapi dengan greenhouse
budidaya tanaman biofarmaka serta fasilitas penunjang lain seperti, kantor pengelola,
unit koleksi herbarium, unit produksi obat herbal, dan retail obat herbal.
Kabupaten Sleman dipilih sebagai lokasi proyek sebab berpotensi sebagai
lokasi pusat penelitian, budidaya, pengembangan tanaman biofarmaka, dan produksi
obat herbal. Alasan yang mendasari pemilihan tersebut karena kebanyakan masyarakat
di Sleman membudidayakan tanaman obat terutama jahe, sehingga dapat
6
mengembangkan potensi masyarakat. Provinsi Yogyakarta juga merupakan salah satu
provinsi sentra penghasil tanaman obat yang cukup produktif. Dengan demikian,
kebutuhan bibit budidaya dan bahan baku pengolahan obat herbal dapat diperoleh
dengan mudah. Kabupaten Sleman juga telah mendapat dukungan dan alokasi lahan
bagi pengembangan tanaman obat dari pemerintah setempat, didukung dengan kondisi
tanah yang subur dan irigasi yang memadai. Di Yogyakarta juga masih sangat minim
industri ekstraksi dan produksi obat herbal.
Penumbuhan tanaman biofarmaka dipengaruhi oleh faktor iklim berupa sinar
matahari, temperatur udara, dan kelembaban udara. Pada fase pembenihan dan
pembibitan dalam proses budidaya seringkali dikerjakan di luar area pembudidayaan.
Hal tersebut disebabkan karena persyaratan spesifik terkait iklim yang dibutuhkan agar
bibit mencapai fase siap tanam dan mampu menghasilkan produk berkualitas (baik
secara kuantitas maupun kualitas) tidak terpenuhi. Adapun syarat spesifik tersebut
meliputi suhu, intensitas cahaya, lama penyinaran, serta kelembaban udara,
dipengaruhi oleh spesifikasi yang dibutuhkan tiap jenis tanaman. (Ir. Titi Sudarti
Sudikno, Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM).
Keadaan iklim lingkungan yang tak menentu juga menjadi tantangan tersendiri
bagi budidaya tanaman obat. Adakalanya, dijumpai fenomena petani yang gagal panen
disebabkan cuaca yang berubah. Misalnya, produksi panen jahe petani Depok, Jawa
Barat merosot 50% akibat curah hujan tinggi sehingga harga dipasaran melambung
(Peluang Usaha, 2016). Akibat hujan yang tidak diwaspadai membuat petani harus
memanen sebelum masanya, sehingga mempengaruhi kualitas hasil panen dan harga
jual. Didasari fenomena-fenomena tersebut, untuk mengatasi permasalahan iklim tropis
lembab di lokasi proyek tugas akhir yang direncanakan, dipilih pendekatan Arsitektur
Bioklimatik.
Selain itu, kondisi iklim Sleman terhadap kepentingan pengguna bangunan juga
memerlukan perhatian khusus. Topografi tanah sedikit berbukit menyebabkan
intensitas angin pada lahan kuat. Lahan di Sleman yang cenderung kering memerlukan
perlakuan khusus, sehingga dapat menunjang kenyamanan pengguna didalam
bangunan. Prinsip bioklimatik sesuai teori Ken Yeang (1994) yang diaplikasikan
terkait orientasi, tata ruang, tata massa, selubung bangunan, bukaan, ruang transisi,
pembayangan, dan vegetasi. Bentuk bangunan menggunakan teknik hemat energi yang
berkaitan dengan pemecahan iklim lingkungan setempat, sehingga bangunan dapat
berintegrasi dengan lingkungan serta memiliki performa berkualitas tinggi. Dari segi
7
estetika bentuk, prinsip arsitektur bioklimatik yang diaplikasikan mampu memberi
keunikan tersendiri pada bangunan, sehingga selain estetis tetap memperhatikan fungsi
bangunan tersebut.
8
h. Bagaimana mengolah vegetasi dan lasekap sebagai faktor ekologi bangunan,
sehingga elemen biotik (vegetasi) dan elemen abiotik (bangunan) dapat
terintegrasi?
i. Bagaimana konsep sistem struktur, konstruksi, dan utilitas yang mudah dalam
instalasi, penggunaan, maupun pemeliharaan, dengan mempertimbangkan
efisiensi energi sehingga memperkecil dampak kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan?
9
h. Konsep vegetasi dan lanskap sebagai faktor ekologi bangunan, sehingga
elemen biotik (vegetasi) dan elemen abiotik (bangunan) dapat terintegrasi.
i. Konsep sistem struktur, konstruksi, dan utilitas yang mudah dalam instalasi,
penggunaan, maupun pemeliharaan. Konsep mempertimbangkan efisiensi
energi, sehingga memperkecil dampak kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan.
F. Sistematika
Sistematika tugas akhir dibagi menjadi dua, yaitu sistematika konsep dan
sistematika studio tugas akhir yang menunjukkan judul, subjudul, dan apa yang
disampaikan pada tiap judul/subjudul tersebut.
1. Sistematika Konsep
Sistematika pembahasan dalam Konsep disusun dengan urutan sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang penjelasan judul Laboratorium Penelitian Tanaman
Biofarmaka di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi pemilihan judul, permasalahan dan persoalan yang
hendak dipecahkan, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, lingkup dan
batasan konsep, serta sistematika pembahasan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Membahas tentang pengertian dan manfaat tanaman herbal, sistem
budidaya hingga teknik pengolahan tanaman obat, tinjauan teori dan konsep
arsitektur bioklimatik menurut Ken Yeang (1994), serta preseden objek-
objek terkait laboratoium penelitian tanaman herbal hasil observasi.
10
BAB III METODE PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
Menyajikan metode yang diambil, meliputi pengumpulan serta analisis data
dan tapak terkait tanaman biofarmaka, berdasarkan literasi terhadap teori
yang digunakan. Analisis data digunakan sebagai bahan analisis untuk
menghasilkan sintesis konsep perencanaan dan perancangan Laboratorium
Penelitian Tanaman Biofarmaka yang akan diwujudkan dalam desain.
BAB IV TINJAUAN DATA
Memaparkan tinjauan data-data lokasi Sleman, Yogyakarta dan potensi
sebagai lokasi obyek Laboratorium Penelitian Tanaman Herbal, industri
Tanaman Obat di Yogyakarta, serta kebijakan teknis dan non-teknis
pemerintah Kota Yogyakarta yang terkait.
BAB V ANALISIS PERENCANAAN ARSITEKTUR
Berisi kriteria dan analisis perencanaan mengenai anggapan mengenai
proyek yang hendak direncanakan, lokasi, serta kebutuhan ruang.
Kesimpulan analisis akan digunakan sebagai dasar dalam perancangan.
BAB VI ANALISIS PERANCANGAN ARSITEKTUR
Berisi tentang kriteria-kriteria perancangan yang kemudian dianalisis untuk
memperoleh keputusan konsep yang akan diambil. Analisis perancangan
mencakup berbagai aspek yaitu kontekstual, teknis, fungsional, hingga
arsitektural. Aspek tersebut diperhatikan dalam melakukan pendekatan
studi ruang untuk mendapatkan standard besaran ruang dan hubungan
ruang, analisis terkait tapak, analisis massa dan tampilan bangunan, hingga
struktur dan utilitas bangunan.
BAB VII KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
Memuat hasil sintesis analisis dari BAB V dan VI berupa konsep
perencanaan perancangan yang akan digunakan sebagai dasar dalam
merancang bangunan yang direncanakan.
2. Sistematika Studio
TRANSFORMASI DESAIN
Memuat kronologi atau proses komponen yang menerjemahkan konsep
yang berbentuk kata-kata (verbal) menuju gambar visualisasi desain
(visual).
11
PRODUK DESAIN
Berupa gambar gesain hasil keputusan konsep yang disintesis dari analisis,
kemudian ditransformasikan kedalam bentuk desain. Merupakan hasil
terjemahan konsep dalam bentuk visual.
DESIGN REPORT
Memuat penjelasan singkat mengenai perubahan-perubahan yang terjadi
pada desain dari keputusan konsep yang telah direncanakan.
12