Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TENTANG BANGUNAN EKO-HIDRAULIK DI INDONESIA

DAN LUAR NEGERI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Eko-Hidraulik Kelas D

Dosen Pengampu :

Dr. Ir. Linda Prasetyorini, ST., MT.

Disusun Oleh :
Sulistyo Wati (205060400111015)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK PENGAIRAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pembangunan wilayah keairan (sungai, danau, dan pantai) di seluruh dunia dewasa ini
sebagian besar masih menggunakan pola pendekatan rekayasa teknik1 hidro secara parsial
(hidraulik konvensional). Sehirigga hasil rekayasa tersebut sangat terkesan lepas bahkan
bertentangan dengan pendekatan ekologi dan lingkungan.

Dengan laju perkembangan kesadaran lingkungan dan kesadaran berpikir holistik dunia
internasional dewasa ini serta ditemukannya berbagai dampak negatif yang sangat besar dari
rekayasa hidraulik konvensional, maka pola pikir rekayasa hidraulik secara parsial di atas
mulai ditinggalkan. Kemudian berkembang pola rekayasa interdisipliner baru dengan
memadukan antara rekayasa hidraulik dan pertimbangan ekologi/lingkungan pada setiap
penyelesaian masalah keairan.

Berbagai negara maju seperti Jerman, Amerika, Kanada, dan sebagian besar negara Eropa
baru sekitar tahun 80-an memulai mengembangkan dan menggunakan konsep eko-hidraulik.
Sedang di Indonesia penyelesaian setiap masalah keairan dengan pendekatan ekologi-
hidraulik (eko-hidraulik) hampir tidak kita temukan. Pemasyarakatan konsep eko-hidraulik
ini sudah sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat semakin banyaknya kerusakan
lingkungan di wilayah keairan akibat rekayasa hidraulik konvensional beberapa dekade yang
lalu.

Sejarah eko-hidraulik tidak terlepas dari sejarah eksploitasi wilayah sungai. Usaha
eksploitasi sungai secara besar-besaran ini semakin intensif pada akhir dan berdampak negatif
dari eksploitasi sungai berupa banjir di hilir setiap tahun, erosi dasar sungai yang intensif,
longsor, bantaran sungai yang hilang, morfologi sungai alamiah dan elemen-elemennya
seperti pulau, delta, meander, riffle, dan dune rusak hebat, berkurangnya keragaman hayati
wilayah sungai, muka air tanah dan konservasi air menurun, dan lain-lain.

Akumulasi antara dampak pembangunan sungai dan kesadaran lingkungan tersebut


memberikan inspirasi untuk mengembangkan pola pendekatan pembangunan sungai baru
yakni pendekatan eko-hidraulik untuk melakukan renaturalisasi dengan mengembalikan
kondisi sungai atau serta wilayah keairannya sejauh mungkin ke kondisi natural sebelumnya
serta memasukkan faktor ekologi/lingkungan dalam setiap usaha eksploitasi wilayah sungai.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Eko-Hidraulik dalam Pengelolaan Bangunan pada Sungai

Berikut disajikan dua contoh kajian konsep eko-hidraulik pengelolaan bangunan air
pada sungai, konstruksi melintang sungai yang menahan atau membelokkan aliran sungai
(misalnya bangunan bendung) dan konstruksi memanjang yang mempercepat aliran air ke
hilir misalnya pelurusan atau sudetan

2.1.1. Bangunan Bendung

Sampai sekarang ini belum banyak dipikirkan dampak dan penyelesaiannya pada
pembangunan bendung terhadap komponen hidraulik (misalnya keseimbangan sedimen dan
perubahan hidrograf aliran bagian hilir) dan terhadap komponen ekologi (misalnya
terputusnya migrasi ikan, berubahnya habitat bentos, areal genangan, dan lain-lain).

Bendung permanen dapat menyebabkan ketidakseimbangan angkutan sedimen. Di


daerah hulu bendung terjadi surplus sedimen (sedimentasi) dan daerah hilir akan terjadi
defisit sedimen (erosi). Efek ekologi yang akan muncul dengan adanya endapan di bagian
hulu adalah terjadinya perubahan habitat di sekitar bendung. Genangan akibat backwater ke
arah hulu dapat menyebabkan kepunahan hewan dan tumbuhan yang tidak biasa hidup pada
air yang menggenang, dan kepunahan hewan dan tumbuhan air yang tidak bisa hidup pada air
dalam. Dengan erosi di bagian hilir akan menyebabkan kepunahan hewan dan tumbuhan air
(termasuk mikro dan makro-bentos) akibat tererosinya habitat mereka.

Pada sungai pada umumnya selalu terdapat berbagai jenis ikan yang punya perilaku
reproduksi dengan bermigrasi dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Dengan adanya bendung.
ikan-ikan tersebut dapat mengalami kepunahan, karena perilaku reproduksinya terhalang
bendung.
Gambar 2.1 Sedimentasi, erosi, dan terputusnya kemenerusan sungai akibat
pembangunan bendung. Sebagai ilustrasi adalah terhalanghya migrasi ikan sidat (Anguilla
spp) dan ikan belanak (Mugil cephalus) di bagian selatan Pulau Jawa, Ikan sidat hidup di bulu
sungai dan bertelur di laut lepas. Ikan belanak bertelur di laut tetapi hidup di perairan pantai,
muara, dan perairan tawar.

Guna menanggulangi dampak sedimentasi, erosi, dan penurunan variditas serta


jumlah flora dan fauna tersebut dapat digunakan semaksimal mungkin konstruksi bendung
yang secara teknis dapat mengurangi dampak tersebut. Misalnya bendung gerak. bendung
karet yang secara reguler di kembang-kempiskan, konstruksi pengambilan samping, bendung
Tirol, dan bendung dengan pembilasan kontinyu, dengan tetap mempertimbangkan kondisi
lapangan yang ada. Dengan tipe bendung-bendung tersebut, maka keseimbangan sedimen
dapat relatif terjaga. migrasi ikan tidak terputus, dan gangguan ekologi lainnya relatif bisa
dikurangi.

Gambar 2.2 berikut ini adalah contoh bendung tipe Tirol (Tirol adalah nama salah satu
daerah di perbatasan Jerman dan Austria). Dengan bendung tipe ini. di mana pengambilan
melalui dasar sungai, migrasi fauna (ikan) masih dapat berlangsung serta keseimbangan
sedimen dapat terjaga.

Gambar 2.2 Bendung Tirol untuk sungai kecil (saluran pengambilan di dasar sungai).
Jika sama sekali tidak dimungkinkan membuat bendung dengan tipe di atas. maka
dapat digunakan bendung dengan tangga ikan (fish track atau fishway) misalnya fishway tipe
ramp (pasangan batu kosong tak seragam) dengan kemiringan relatif landai. Konstruksi ini
dipasang sebagai bangunan pelengkap di samping bendung. Dapat juga dengan saluran
migrasi ikan sederhana yang dibuat di samping bendung atau saluran migrasi ikan pada
bendung yang dibuat dari beton atau baja. Namun tipe ini tidak menyelesaikan masalah
sedimentasi dan erosi, hanya sebatas diperuntukkan bagi migrasi ikan.

Gambar 2.3 Bendung dengan konstruksi migrasi ikan atau fishway! fish track. A.
Tipe Bottom Ramp. B. Tipe Bypass Channel. C. Tipe Fish Ramp. D. Tipe Slot Pass (LFU.
2000).

Pembangunan bendung juga dapat menimbulkan masalah minimum discharge (debit


minimum) di bagian hilir. Dengan diambilnya air di bagian hulu untuk keperluan pengairan
misalnya, maka akan terjadi defisit air di bagian hilir. Jika defisit ini melebihi kebutuhan
ekologi minimal bagian hilir, akan berakibat terjadinya gangguan ekologi di bagian hilir.
Untuk itu dalam merencanakan bendung pada sungai kecil (atau juga sungai besar) perlu
diadakan penelitian terlebih dahulu debit air yang dibutuhkan oleh ekologi di sungai bagian
hilir. Kebutuhan air ini dapat dikonversikan dengan tinggi muka air minimum yang harus ada
di daerah hilir. Dengan data tersebut dapat ditentukan berapa besarnya air yang boleh diambil
oleh suatu bendung. Di daerah dengan jumlah air cukup melimpah, hal ini bukan merupakan
masalah besar. Namun bagi daerah dengan jumlah air relatif sedikit. pengaruhnya akan sangat
signifikan. Tentang jumlah air (tinggi muka air hilir) yang dibutuhkan oleh ekologi, para ahli
ekologi dan hidrogeografi dapat memberikan masukan.

2.2.2. Bangunan Pelurusan Sungai, Sudetan, dan Tanggul


Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan
pembangunan fisik yang relatif cepat. Pembangunan fisik tersebut misalnya pembuatan
sudetan-sudetan, pelurusan-pelurusan, pembuatan tanggul sisi, pembetonan tebing baik pada
sungai besar maupun kecil. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan aliran air menuju hilir
dan sungai di bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang lebih besar dalam waktu
yang lebih cepat dan singkat dibanding sebelumnya (atau bisa disebut banjir). Di samping itu,
aktivitas ini akan mengakibatkan kerusakan habitat flora dan fauna sungai yang pada
gilirannya akan menurunkan kualitas ekosistem sungai.

Gambar 2.4 menyajikan ilustrasi pola perubahan klasik yang telah dilakukan oleh para
Insinyur Teknik Sipil Hidro dan masyarakat mulai abad 16 sampai dengan abad 20. Pada
gambar tersebut diperlihatkan dengan jelas perubahan yang terjadi, dari kondisi sungai
alamiah (gambar di sebelah kiri) kemudian 'dibangun' menjadi kondisi sungai buatan yang
sama sekali anti ekologi di sebelah kanan. Penyelesaian masalah banjir dengan mengadakan
pelurusan, sudetan, dan pembuatan tanggul merupakan solusi yang pada 3 dasawarsa ini
selalu dilakukan baik di negara maju (seperti Eropa, Jepang, Amerika, dan Kanada) juga
negara berkembang seperi Indonesia.

Gambar 2.4 Perubahan klasik dari kondisi sungai alamiah (ekologis-kin) ke kondisi
buatan (hidraulik murni - kanan) (Patt et al., 1999)
Berdasar data-data hasil peninjauan ulang (evaluasi) terhadap pembangunan sungai-
sungai di Eropa: Rhine. Elbe, Danube, Main, dan lain-lain (Maryono, 1999), pelurusan sungai
ini akan berdampak negatif baik terhadap ekologi maupun terhadap hidraulik sungai sendiri.
Di Amerika. pelurusan Sungai Kissimmee yang tadinya berbelok berliku secara alami,
ternyata telah merusak ekosistem Florida. Semula Sungai Kissimmee yang mengalir berupa
meander sepanjang 150 km. diluruskan menjadi 70 km, sehingga habitat bagi satwa yang
tadinya seluas 16.000 ha rawa tinggal tersisa 400 ha, sebanyak 75% punah. Akibatnya elang,
rusa, buaya, dan ikan menghilang, burung rawa terbunuh atau migrasi ke tempat lain.
Sebelum Sungai Kissimmee diluruskan. Danau Okeechobee yang menampung/menerima air
sungai itu kaya akan berbagai jenis ikan, dan sekelilingnya subur serta hijau. Sesudah
pelurusan sungai, di danau tersebut sering dijumpai ikan yang mati dalam jumlah ratusan ton,
tanaman di sekitarnya mengering. Air menjadi kotor, padahal danau tersebut merupakan
sumber air minum untuk Kota Miami dan beberapa kota di sekitarnya. Diketemukan oleh ahli
biologi, ternyata ekosistem rawa berpera sebagai penyaring air agar menjadi jernih (Chiras,
1988, Tanjung & Maryono, 2001).

Di Indonesia, kajian ulang atau evaluasi terhadap aktivitas pelurusan, sudetan, dan
pembuatan tanggul ditinjau dari sisi hidraulik dan ekologi yang dilakukan dengan
mengetengahkan perkembangan historis lingkungan sungai belum dilakukan. Dengan
demikian dampak negatif dari aktivitas yang sudah dilakukan di berbagai bagian alur sungai
ini belum bisa dipaparkan secara jelas.

Pendekatan pembangunan wilayah keairan atau wilayah sungai sampai tahun 1980-an
di Eropa dan Amerika dan sampai sekarang di Indonesia masih menggunakan pendekatan
Teknik Sipil Hidro murni (partial hydraulic approach) dengan pola penyelesaian lokal (local
solution) dan tidak bersifat integral solu- tion.

Penyelesaian masalah secara lokal dimaksudkan bahwa dalam menyelesaikan masalah


di wilayah keairan atau sungai hanya melihat/membatasi pada daerah yang bermasalah secara
lokal saja. Misalnya di Kota Surakarta (Solo) sering terkena banjir, maka penyelesaiannya
adalah dengan membuat sudetan atau pelurusan sungai Bengawan Solo di sekitar Kota Solo,
tanpa memperhatikan akibatnya di daerah bagian hilir. Sedang pendekatan hidraulik murni
dimaksudkan sebagai pendekatan dalam pembangunan di wilayah sungai tanpa
memperhatikan aspek ekologi sungai sama sekali. Misalnya usaha menanggulangi banjir
dengan mempercepat aliran air ke luar area (ke bagian hilir) dengan cara menghilangkan
retensi sungai berupa vegetasi di tebing kanan dan kiri sungai, menghilangkan pulau-pulau di
tengah sungai dan delta sungai, membuat tanggul di daerah bantaran sungai guna membatasi
limpasan air, dan lain sebagainya. Aktivitas ini secara langsung maupun tidak langsung akan
menurunkan jumlah keanekaragaman hayati (flora dan fauna) karena terjadi penurunan
kualitas lingkungan. Pendekatan integral atau holistik dimaksudkan bahwa dalam penanganan
masalah wilayah sungai (baik di suatu lokasi atau di beberapa lokasi) harus diadakan
peninjauan secara keseluruhan dari hulu sampai hilir, baik aspek hidraulik maupun
ekologinya serta dampak sosial, ekonomi, dan kultur masyarakat yang ada. Pelurusan dan
sudetan ditinjau dari sisi hidraulik akan menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan air
menuju hilir. Pelurusan/sudetan pada hakekatnya memperpendek panjang aliran air pada
kondisi beda tinggi yang sama (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Pemendekan alur sungai akibat pelurusan dan sudetan (Sungai Rhine,
Jerman, 1810-1950).

Dengan panjang saluran yang lebih pendek dan beda tinggi konstan maka pelurusan
berarti juga memperbesar kemiringan memanjang sungai. Peningkatan kemiringan (1)
mengakibatkan terjadinya kenaikan kecepatan air (V). Hal ini dapat dilihat pada rumus
hidraulik kecepatan air di bawah ini.

dengan
V = kecepatan

R = jari-jari hidraulis

I = kemiringan saluran

c = koefisien Chezy

n = koefisien kekasaran dinding (koefisien Manning)

Rumus tersebut memperlihatkan bahwa semakin besar harga kemiringan sungai atau
saluran (1), semakin kecil koefisien kekasaran dinding sungai (n) atau semakin besar
koefisien Chezy-nya (C) dan semakin tinggi nilai radius hidraulisnya (R) maka semakin besar
nilai kecepatan airnya (V). Pelurusan, sudetan, dan pembuatan tanggul menyebabkan
meningkatnya kemiringan sungai, memperkecil kekasaran tebing sungai, dan menaikkan jari-
jari hidraulis tampang sungai yang bersangkutan.

Kaitannya dengan erosi dapat disajikan dengan rumus tegangan geser air seperti pada
rumus di bawah ini.

L= f(r. g. R, I) (berbanding lurus)

dengan

tegangan geser di dasar sungai

8 = gravitasi

Tegangan geser dimaksudkan sebagai tegangan yang ditimbulkan oleh kekuatan aliran
air di dasar sungai. Semakin tinggi kemiringan sungai dan semakin tinggi jari-jari hidraulis
tampang sungai, semakin tinggi pula nilai tegangan geser pada dasar saluran (T). Ini berarti
semakin besar kemungkinan terjadinya erosi dasar sungai. Jika tegangan geser dasar saluran
melebihi tegangan geser kritis (t), yaitu tegangan batas saat material dasar sungai bergeser
dari posisinya, maka akan terjadi erosi.

Letak dan besarnya erosi dasar sungai akibat pelurusan sungai, sudetan, dan tanggul
ini umumnya sulit diprediksi sebelumnya. Erosi ini merupakan suatu fase bagi sungai untuk
mencapai keseimbangan barunya setelah diadakan perubahan pada morfologinya. Gambar
2.6 Menunjukkan contoh erosi akibat peningkatan kecepatan air dan kemiringan.

Ditinjau dari kemampuan sungai dalam menahan aliran air maka pelurusan, sudetan,
dan pembuatan tanggul guna membatasi limpasan air sungai di daerah bantaran pada
hakekatnya merupakan aktivitas yang secara langsung menurunkan bahkan menghilangkan
retensi sungai. Komponen retensi sungai yang sifatnya abiotik (fisik) adalah berupa material
penyusun dasar sungai, meander sungai, pulau atau delta di sungai, serta formasi bentuk dasar
sungai (lihat Maryono, 1998, 1999). Sedang komponen retensi yang bersifat biotik adalah
vegetasi di sepanjang bantaran sungai, vegetasi di tebing kanan kiri sungai, dan vegetasi di
dasar sungai.

Jika retensi baik biotik maupun abiotik tersebut dihilangkan maka secara hidraulik
sungai/saluran tersebut tidak mempunyai kemampuan lagi dalam menahan aliran air untuk
relatif lama di daerah hulu. Dengan pelurusan dan sudetan, air akan dikirimkan ke daerah
hilir secepat-cepatnya tanpa rintangan/retensi. Gambar 2.6 menunjukan dengan jelas
berkurangnya retensi sungai, baik biotik maupun abiotik, akibat pelurusan dan sudetan.

Gambar 2.6 Erosi akibat pelurusan sungai (Sungai Rhine, Jerman, 1810-1955).

Akibat selanjutnya dari berkurangnya retensi sungai dan membesarnya kemiringan


sungai akibat pelurusan, sudetan, dan pembuatan tanggul adalah meningkatnya debit aliran
sungai (flow discharge), meningkatnya debit puncak sungai (peak flow), dan menurunnya
waktu mencapai debit puncak (peak time). Dalam Gambar 4.15 ditunjukkan perubahan kurva
hidrograf atau hubungan antara debit sungai (Q dalam m'/detik) dan waktu (T dalam hari atau
jam).

Perubahan kurva pada Gambar 2.7 tersebut menunjukkan terjadinya kenaikan


tendensi banjir di daerah hilir sungai. Banjir ini ditandai dengan meningkatnya debit
maksimum (puncak) dari sekitar 5.000 m³/detik pada tahun 1955 menjadi 5.700 m³/detik
pada tahun 1977. Disamping kenaikan debit maksimum, juga terjadi pemendekan waktu
mencapai debit maksimum dari sekitar 5 hari menjadi 3,5 hari. Dengan memendeknya waktu
mencapai debit maksimum ini berarti daerah tersebut akan mengalami banjir (debit
maksimum) lebih cepat daripada sebelum adanya pelurusan, sudetan, dan pembuatan tanggul.
Kenaikan debit puncak dan memendeknya waktu mencapai debit puncak ini sangat
berbahaya, apalagi jika terjadi di daerah pertemuan sungai atau tempuran (river confluence).
Jika terjadi akumulasi debit puncak dari dua sungai pada waktu yang bersamaan, maka bisa
dipastikan akan terjadi banjir besar di daerah tersebut. Penjelasan lebih komprehensif tentang
dampak pelurusan sungai dengan contoh-contohnya di In- donesia dapat dibaca pada buku
"Pembangunan Sungai, Dampak, dan Restorasi Sungai" ("River Development, Impact, and
River Restoration", Maryono, 2003).

Gambar 2.7 Perubahan kurva hubungan antara debit dan waktu akibat pelurusan,
sudetan, dan pembuatan tanggul (Sungai Rhine, 1955-1977).

Sudetan, pelurusan, dan pembuatan tanggul sungai secara langsung akan


menghilangkan habitat flora dan juga fauna di lingkungan sungai. Dengan hilangnya habitat
ini akan menimbulkan gangguan pada ekosistem sungai dan selanjutnya dapat menyebabkan
perubahan ekosistem secara makro. Sebenarnya ada pola hubungan timbal balik antara
komponen fisik hidraulik (abiotik) sungai dengan komponen biotik. Morfologi sungai pada
daerah hulu begitu khas dan kisaran suhu relatif sempit, sehingga hanya terdapat jenis ikan
yang mampu hidup pada kondisi tersebut, contohnya di Pulau Jawa adalah uceng
(Nemacheilus fasciatus), wader (Puntius binotatus), dan wader pari (Rasbora argyrotaenia).
Pada sungai berukuran medium, naungan oleh vegetasi tepi sungai tidak begitu rapat.
Alga dan tumbuhan air banyak dijumpai, sehingga banyak dijumpai pula adanya
makroinvertebrata grazer yang makan alga dan tumbuhan air tersebut. Keanekaragaman
spesies ikan bertambah, mengikuti pertambahan variasi sumber makanan, niche suhu, dan
kondisi habitat.

Pada sungai berukuran besar di bagian hilir, turbiditas meningkat, populasi alga dan
tumbuhan lain menurun, demikian pula input CPOM dari luar sungai. Sumber pakan bagi
makroinvertebrata didominasi oleh FPOM yang tersuspensi dalam air sungai, disamping juga
phytoplankton. Dengan demikian komunitas makroinvertebrata didominasi oleh collector,
termasuk di dalamnya zooplankton.

Pada semua bagian sungai dari hulu sampai hilir, predator menduduki porsi kecil
tetapi tetap dari keseluruhan fauna.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelurusan, sudetan, dan
pembuatan tanggul sungai mengakibatkan dampak negatif dari aspek hidraulik maupun
ekologi. Dari aspek hidraulik, aktivitas tersebut akan menyebabkan banjir di bagian hilir,
erosi di berbagai tempat, dan sedimentasi/endapan di bagian hilir. Sedangkan dari aspek
ekologi, aktivitas tersebut akan menyebabkan kerusakan habitat flora dan fauna sungai yang
pada gilirannya akan menyebabkan kepunahan flora dan fauna tersebut serta menurunnya
kualitas ekosistem sungai pada skala mikro dan makro.

Aspek hidraulik dan ekologi di wilayah sungai mempunyai hubungan timbal balik
yang saling menguntungkan (mutual connection). Semakin baik kondisi ekologi wilayah
sungai maka kondisi hidrauliknya semakin baik dalam arti kemungkinan banjir besar semakin
rendah, kemungkinan erosi dasar sungai semakin rendah, dan kemungkinan terjadinya
pendangkalan akibat sedimentasi di bagian hilir semakin rendah. Sebaliknya jika kondisi
hidraulik sungai tidak baik seperti retensi alamiah sungai sangat rendah yang berakibat aliran
air sungai terlalu cepat dan menyebabkan banjir di bagian hilir, erosi bagian hulu, dan
endapan di bagian hilir, maka akan berakibat terjadinya kerusakan habitat flora dan fauna
sungai.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Konsep eko-hidraulik merupakan salah satu unsur dari konsep “One River One Plan
and One Integrated Management” (satu sungai satu perencanaan dan pengelolaan secara
integral). Pengelolaan secara integral ini bukan hanya diartikan secara administratif dari hulu
sampai ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif menyeluruh menyangkut
seluruh aspek yang berhubungan dengan sungai, artinya bahwa dalam menangani
permasalahan yang berhubungan dengan sungai mesti dilihat secara menyeluruh semua
komponen yang berhubungan dengan sistem sungai tersebut baik komponen fisik maupun
non fisik, biotik maupun abiotik dan dari hulu (pegunungan) sampai ke hilir (muara).
DAFTAR PUSTAKA
Budinetro, H. S., 2001: Bio-Engineering pengendali erosi bantaran dan tebing sungai,

Proceeding Seminar Nasional Eko-Hidraulik, Asosiasi Eko-Hidraulik Indonesia

(ASEHI), Yogyakarta.

Chiras, D. D., 1988: Environmental Science; A Framework for Decision Making, ‘The

Benjamin/Cummings Publ. Co., Sydney.

Chow, V. T., 1959: Open Channel Hydraulics, McGraw-Hill Book Company, Singapore.

Church, M., 1992: The River Handbook; Hydrological and Ecological Principles,

Blackwell Scientific Publication, London.

Anda mungkin juga menyukai