Anda di halaman 1dari 54

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defek Tulang

Trauma, neoplasma, defek kongenital, infeksi, open fracture, dan kegagalan

arthroplasty semua dapat menyebabkan defek tulang. Fraktur tulang adalah salah

satu cedera yang lebih umum, dan dikaitkan dengan biaya perawatan yang melebihi

miliaran dolar, hilangnya produktivitas masyarakat, dan kecacatan individu

(Pivonka dan Dunstan, 2012). Bone defect merupakan masalah yang sulit bagi

dokter. Istilah bone defect bisa mengacu pada defek struktural dan regional yaitu

kehilangan tulang yang disebabkan oleh faktor eksternal atau defek sejati dan

kehilangan struktural pada tulang yang sudah ada seperti osteopenia (Wiese dan

Pape, 2010).

1. Definisi

Secara definisi, defek tulang ini dapat dibedakan menjadi defek tulang primer

dan defek tulang sekunder. Defek tulang primer dapat terjadi pada penyakit tulang

seperti malignansi. Defek tulang sekunder umumnya terjadi karena penyakit

metastasis, trauma atau infeksi. Metastasis tumor dapat memiliki fitur osteoblas

atau osteolitik. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan struktural, nutrisi,

dan metabolisme. Trauma merupakan penyebab paling umum dari defek tulang

(Wiese dan Pape, 2010).

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

Dalam merencanakan terapi pada defek tulang, beberapa faktor harus

diperhatikan, meliputi kualitas dari jaringan lunak yang menutupi tulang, kualitas

vaskularisasi tulang dan jaringan lunak sekitar, dan ada atau tidaknya infeksi harus

dipertimbangkan dengan baik. Terapinya sendiri terdiri dari berbagai macam

variasi opsi yang dapat digunakan (Wiese dan Pape, 2010).

2. Etiologi

a. Fraktur Terbuka

Fraktur adalah patahnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini bisa

tidak lebih dari sebuah retakan, pecahnya korteks, dan lebih sering patah tulang

komplit. Jika kulit yang berada diatasnya tetap bertahan intak, maka fraktur tersebut

akan disebut closed fracture; bila kulit atau bagian dari kavitas tubuh keluar, maka

disebut dengan open fracture (disebut juga compound fracture) yang biasa

bertanggung jawab akan infeksi dan kontaminasi seseorang (Apley dan Solomon,

2017).

Fraktur terbuka sendiri merupakan suatu kejadian yang diakibatkan oleh

trauma. Fraktur terbuka ini paling sering terjadi akibat cedera berenergi tinggi,

walau dapat terjadi juga akibat trauma kecepatan rendah ketika ujung tajam dari

fragmen fraktur menembus kulit dan jaringan lunak. Fraktur terbuka berenergi

tinggi seringkali dikaitkan dengan kondisi yang mengancam jiwa akibat poli-

trauma dan dapat menimbulkan risiko lain seperti cedera neurovaskuler, hancurnya

jaringan lunak, kontaminasi luka, dan kerusakan kulit yang membuatnya lebih

rentan terhadap komplikasi (Simpson dan Tsang, 2018) .


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Meskipun pada umumnya terdapat perbaikan hasil setelah fraktur terbuka,

variabel hasil yang beragam diantara fraktur terbuka dengan tingkat keparahan yang

berbeda-beda mendorong pengembangan sistem grading yang mengklasifikasikan

fraktur berdasarkan tingkat keparahan cedera jaringan lunak terkait. Sistem

penilaian ini pada dasarnya berusaha untuk membantu memandu pengobatan,

meningkatkan penelitian, dan memprediksi hasil yang ada (Kim dan Leopold,

2012). Klasifikasi seperti ini sudah digunakan untuk beberapa waktu, yaitu

penggunakan sistem klasifikasi Gustilo-Anderson yang telah digunakan secara

umum sebagai sistem klasifikasi fraktur terbuka. Klasifikasi Gustilo-Anderson

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo-Anderson


Stadium Kriteria
Tipe I Fraktur terbuka dengan luka pada kulit panjang < 1 cm dan bersih
Tipe II Fraktur terbuka dengan laserasi panjang > 1 cm tanpa kerusakan ekstensif
jaringan lunak, flaps, atau avulsions
Tipe III Fraktur terbuka segmental dengan luka panjang > 10 cm dengan kerusakan
jaringan lunak atau amputasi traumatik
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal stripping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

b. Tumor Tulang

Tumor tulang merupakan salah satu penyebab defek tulang yang dapat

menyebabkan fraktur patologis, yaitu fraktur yang terjadi walau hanya dengan

stressor normal tetapi kondisi tulang yang lemah karena adanya tumor

menyebabkan tulang mengalami fraktur (Apley dan Solomon, 2017).

Tumor primer maligna merupakan 3% hingga 5% kanker pada anak-anak

dan kurang dari 1% dari semua kanker pada orang dewasa. Meskipun insidensinya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

relatif rendah, kontribusinya pada mortalitas terkait kanker cukup tinggi diantara

remaja dan dewasa muda dengan usia diantara 15-24 tahun. Pada negara maju

seperti Amerika Serikat dan Inggris, tumor primer maligna merupakan tumor urutan

ketiga dalam penyebab mortalitas yang berhubungan dengan kanker pada kelompok

usia 15-24 tahun, setelah leukemia dan tumor sistem saraf pusat. Angka mortalitas

tumor tulang pada negara berkembang tidak diketahui, tetapi perbedaan

survivabilitas yang besar cenderung terlihat ada menimbang faktor-faktor seperti

keterlambatan diagnosis, akses yang buruk menuju fasilitas kesehatan, dan

infrastruktur yang tidak mumpuni (Kumar dan Gupta, 2016).

Insidensi global dari tumor tulang primer maligna menunjukan pola

distribusi usia spesifik dengan insidensi memuncak pada usia 10-20 tahun dan

peningkatan perlahan dari usia 40 hingga usia 80 tahun. Terdapat perbedaan

signifikan antara pria dan wanita, dengan pria terkena 1.5 kali lebih tinggi daripada

wanita (Kumar dan Gupta, 2016).

Osteosarkoma merupakan tumor primer maligna yang paling umum pada

semua kelompok usia, diikuti dengan Ewing Sarkoma pada anak-anak dan dewasa

muda, dan kondrosarkoma pada orang dewasa. Insidensi osteosarkoma memiliki

distribusi bimodal yang memuncak pada usia anak remaja dan geriatri (Mirabello,

Troisi dan Savage, 2009). Ewing sarkoma memiliki puncak insidensi pada dekade

kedua dari kehidupan dan jarang terjadi pada usia dibawah 5 tahun atau diatas 30

tahun (Choi et al., 2014). Kondrosarkoma terjadi utamanya pada usia pubertas

dengan insidensi yang meningkat secara perlahan dengan usia (Kumar dan Gupta,

2016).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Pada sebagian besar kasus osteosarkoma, protokol pengobatan yang ada

merupakan reseksi bedah tumor primer yang pasti akan menyebabkan defek pada

tulang. Rekonstruksi tulang, dan rencana terapi adjuvan akan mengikuti subtipe dari

osteosarkoma. Osteosarkoma intremedula high grade biasanya tampil tidak hanya

dengan tulang cancelous dan kortikal tetapi juga dengan ekstensi jaringan lunak

yang signifikan. Terapinya normalnya terdiri dari kemoterapi neoadjuvan diikuti

dengan wide excision dan kemoterapi adjuvan selanjutnya. Osteosarkoma parosteal

biasanya merupakan lesi low grade yang terjadi pada aspek posterior dari distal

femur, meskipun dapat terjadi pada permukaan kortikal tulang apapun sehingga

perawatan andalan yang dipilih adalah pembedahan eksisi luas. Kemoterapi juga

dapat digunakan pada pasien dengan lesi high grade. Bone defect yang dihasilkan

biasanya diatasi dengan rekonstruksi dengan prostesis logam, allogeneic bone

grafts atau kombinasi dari keduanya (Rajani dan Gibbs, 2012).

1) Giant Cell Tumor

Giant cell tumor (GCT) merupakan 5% dari jenis tumor tulang primer

yang sering terjadi pada dekade usia tiga, empat tahun. Ini termasuk jenis

tumor benigna yang memiliki sifat agresif dan berpotensial untuk metastasis.

Sembilan puluh persen GCT terjadi di epifisis dan meluas hingga tulang

subchondral articular. Lokasi yang sering terjadi pada femur distal, tibia

proksimal, radius ulna, dan sakrum. Nyeri merupakan keluhan tipikal akibat

insufisiensi mekanik karena destruksi tulang, yang sering terjadi ketika

aktivitas. Nyeri bisa terjadi saat istirahat atau malam hari sebagai hasil dari

pertumbuhan tumor, ekspansi tumor ke periosteum, dan respons periosteum

untuk melawan. Durasi nyeri bervariasi, umumnya tiga hingga enam bulan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

Fraktur patologis dapat terjadi melalui lesi litik pada tulang panjang karena

tumor terjadi di regio epifisis tulang panjang, sehingga meluas melalui

permukaan articular sendi (Sobti et al., 2016).

Gambar 1 menunjukkan patofisiologi GCT. Sel stromal GCT merupakan

komponen neoplastik dan proliferatif mayor GCT. Marker sel stromal

mesenkimal seperti STRO-1 dan SID-1 α memberikan hasil positif. Sel

stromal GCT menghasilkan faktor kemotaktik (monocyte chemattractant

protein (MCP)-1, SDF-1), yang berperan dalam rekruitmen sel monosit

kedalam jaringan tumor yang berfusi membentuk osteoclast-like,

multinucleated giant cell. Monosit mengeskpresikan receptor activator of

nuclear factor kappa (RANK) dan sel stroma GCT mengekspresikan

RANKL, yang berperan penting dalam diferensiasi mature osteoklast dan

aktivasinya bersama dengan cofactor macrophage colony-stimulating factor

(M-CSF). Osteoclast-like multinucleated giant cell mampu meresorpsi tulang

sehingga terjadi osteolisis (Kim et al., 2012) .


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

Gambar 1. Patofisiologi Giant Cell Tumor (Kim et al., 2012)


Multinucleated giant cells merupakan hasil fusi sel mononuclear yang

berproliferasi. Multinucleated giant cells positif dengan marker CD45 yang

menunjukkan asal dari monosit atau makrofag. Penampakan makroskopis

GCT bervariasi, bergantung pada jumlah hemorrhage, ada tidaknya kista

tulang aneurisma, dan derajat fibrosis (Kim et al., 2012).

Manajemen tatalaksana standart universal GCT tulang adalah reseksi

bedah. Selain itu, kontrol lokal tanpa mengorbankan fungsi sendi melalui

kuretase intralesi dengan rekonstruksi autograft dengan pengepakan kavitas

tumor yang dipotong dengan tulang corticocancellous iliaca morselized.

Namun eksisi intralesi meninggalkan penyakit mikroskopik dan tingkar

rekurensi yang tinggi 60% (Kim et al., 2012).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

2) Fibrous Dysplacia

Fibrous dysplasia merupakan lesi tulang benigna dengan proliferasi

fibroosseous intramedular akibat perubahan osteogenesis. Jaringan

fibroosseus dapat mengganti tulang normal yang berakibat pada frakur atau

kompresi jaringan lunak sekitar seperti struktur neovaskular. Insidensi fibrous

dysplasia sekitar 1 pada 5.000 hingga 10.000 orang. Tidak ada predileksi

gender, dan umumnya terdiagnosa pada anak-anak atau dewasa muda.

Kejadian tersering merupakan bentuk monostotik sekitar 75-80% kasus

fibrous dysplasia. Fibrous dysplasia terjadi akibat mutasi di gene GNAS1

(guanine nucleotide binding protein, alpha stimulating activity polypeptide)

(20q13.2). Gen ini berfungsi mengkode G-protein yang menyebabkakn

overproduksi cAMP di jaringan yang terkena. cAMP berefek pada

diferensiasi osteoblast. Selain itu, terjadi peningkatan proliferasi melanosit

yang terbentuk café-au-lait spot (Anitha et al., 2015). Derajat klinis

bergantung pada saat kapan terjadi mutasi gen GNAS1, saat fetal atau

postnatal. Jika mutasi terjadi pada kehidupan embironik awal, osteoblast,

melanosit, dan sel endokrin akan membawa mutasi dan mengekspresikan gen

termutasi menyebabkan lesi tulang multiple, pigmentasi kutaneus, dan

gangguan endokrin (sindrom McCune Albright). Jika mutasi terjadi di stage

akhir embironik akan menghasilkan lesi tulang multiple (polyosotik FD). Jika

mutasi terjadi pada saat kehidupan postnatal, progenis sel termutasi terbatas

dalam satu sisi yang menghasilkan lesi tulang tunggal/single (monostotik

FD). Mutasi pada subunit alfa protein G-stimulatory menyebabkan aktivasi

adenylyl cyclase dan peningkatan persisen cAMP dan stimulasi reseptor


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

endokrin. Peningkatan cAMP akibat mutasi Gsα menyebabkan ekspresi

abnormal beberapa gen target seperti c-fos, c-jun, IL-6. IL-6 berperan dalam

peningkatan jumlah osteoklast dan resorpsi tulang yang terlihat pada FD.

Peningkatan cAMP intrasel didalam set osteoprogenitor sum-sum tulang pada

tulang yang terkena FD menyebabkan proliferasi sel bersama dengan defek

diferensiasinya (Srichinthu et al., 2016).

Manifestasi klinis FD bergantung pada lokasi dan ekspansi lesi tulang.

Area yang paling umum terjadi pada femur proksimal dan skull base. Klinis

FD pada tulang apendikuler sering menyebabkan fraktur, lemah, dan atau

nyeri. Di area kraniofasial, klinis berupa asimetri fasial, atau painless lump di

dasar tengkorak (Boyce, 2020). Gambaran radiologis FD berupa:

a) Biasanya halus, homogen dengan endosteal scalloping dan

penipisan korteks akibat ekspansi lesi, serta berbatas tegas.

b) Ground-glass matrix

c) Mungkin lusen (kistik) atau sklerotik

d) Tidak ada reaksi periosteal

e) Rind sign

Monostatik FD bersifat asimptomatik, secara periodik pasien ini perlu

dilakukan asesmen untuk gejala baru dan gambaran radiografi. Terapi

medikasi menggunakan bisphosphonates dapat meringankan nyeri tulang dan

osteoporosis sekunder akibat penyakit ini. Biphosponates menghambat

resoprsi tulang osteoklastik, mempertahan masa tulang kortikal, sehingga

mengurangi risiko kejadian fraktur, untuk manajemen FD simptomatik adalah

bedah seperti internal fiksasi untuk fraktur patologis atau profilaksis fiksasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

internal pada lesi yang melemahkan tulang yang menahan beban tubuh

(Boyce, 2020).

3) Simple Bone Cyst

Merupakan sebuah kista unilokuler yang berada pada kavitas tulang

berlapis membran fibrous dan berisikan cairan serosa atau serosanguinous.

Pria lebih sering terkena penyakit ini dan mayoritas terjadi pada dua dekade

pertama dari hidup pasien. Sebagian simple bone cysts (SBCs) terjadi pada

humerus proksimal, femur proksimal, tibia proksimal, atau area metafisis

yang dekat dengan fisis (Apley dan Solomon, 2017).

Pada sebagian besar kasus lesi ini bersifat asimtomatis, dan lebih sering

ditemukan secara insidental. Tetapi sering ditemukan temuan seperti fraktur,

nyeri yang sedang, atau pembengkakan. X-ray menunjukan lesi berbatas

tegas, lesi di pusat litik, lesi metaphyseal meluas keluar dan menipiskan

korteks. Batas tegas yang ada biasanya tidak melewati fisis. Bone septa

biasanya ada sehingga menunjukan gambaran multiloculated cyst. Ketika

terjadi fraktur, fragmen kecil dapat terlihat didalam kavitas, dengan gambaran

klasik ‘fallen leaf sign’. MRI akan menunjukan kavitas berisi cairan

homogen. Secara histologis, lapisan pada kista akan menunjukan jaringan ikat

dengan foci of reactive bone. Setelah fraktur, akan terdapat kalus fraktur dan

terbentuk formasi tulang baru (Apley dan Solomon, 2017).

Terapi biasanya bersifat suportif karena lesi akan regresi mengikuti

maturitas tulang. Injeksi perkutan dari steroid paling baik diberikan pada lesi

yang aktif. Kuretase dan bone grafting dapat dibutuhkan pada area yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

berisiko terjadi fraktur. Fraktur patologis dari proksimal femur pada

khususnya membutuhkan fiksasi dan stabilisasi. Kista yang besar dapat

menghasilkan pemendekan dari tungkai tubuh, dan nekrosis avaskuler dari

caput femoral setelah fraktur patologis melalui lesi pada proksimal femur

(Apley dan Solomon, 2017).

4) Aneurysmal Bone Cyst

Aneurysmal bone cysts merupakan lesi benigna yang dapat berekspansi

serta terdiri dari ruang kistik berisi darah. Lesi ini merupakan lesi destruktif,

meskipun secara histologi merupakan lesi benigna namun lesi ini dapat

menyebabkan disabilitas yang cukup parah. Lesi ini lebih sering mengenai

anak-anak dan remaja dengan distribusi seks yang sama baik pada laki-laki

maupun pada perempuan. Lesi ini dapat mengenai tulang apa saja tetapi

paling sering terjadi pada metafisis tulang panjang, lebih khusus lagi tulang

femur, tibia, dan humerus.

Pasien akan datang dengan keluhanan nyeri dan pembengkakan. Ketika

mengenai tulang spinal, dapat disertai dengan gejala penekanan nervus

sehingga dapat ditemukan penurunan fungsi neurologis. Lesi ini terjadi

sebagai lesi subperiosteum, lesi osteolitik yang kurang terdefinisi, serta erosi

progresif pada korteks tulang. MRI akan menunjukan gambaran tipikal kista

dengan multiple intralesional septations dan fluid levels. Secara histologis

lesi ini terdiri dari ruang kistik yang terisi oleh darah dan dibatasi oleh septa

fibrous. Lesi ini dapat terlihat pada tumor benigna lainnya dan beberapa lesi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

maligna dimana terjadi hemoragi didalam tumor tersebut (lesi kista aneurisma

tulang sekunder) (Apley dan Solomon, 2017).

3. Bone Healing

Proses penyembuhan tulang dimulai dengan fase anabolik, dimana volume

jaringan lokal meningkat dikarenakan inflamasi. Setelah tulang fraktur, hematom

akan terbentuk pada lokasi fraktur tersebut, yang bertindak sebagai bangunan

sementara bagi sel batang untuk berdiferensiasi menjadi jaringan fibrous, kartilago,

dan tulang. Pada fase inflamasi, beberapa faktor biologis seperti TNF-Alpha,

transforming growth factor-beta (TFG-β) superfamily, bone morphogenetic

proteins (BMP), IL-1β, IL-6, IL-17F, dan IL-23 dirilis. Sebagai tambahan dari

faktor sitokinetik tersebut, beban mekanis seperti tekanan hidrostatik dan regangan

juga memainkan peran penting dalam penyembuhan fraktur tulang (Einhorn 2015,

Mohammad 2017).

Faktor-faktor biologis dan mekanik diatas meregulasi aktivitas dari

mesenchymal stem cell (MSC), yang merupakan kontributor paling utama dari

proses pembentukan tulang (Nagel and Kelly, 2010), sebagai tambahan dari

aktivitas kondrosit, osteoblas, fibroblas, dan sel endotel. Tetapi, interaksi antara

aktivitas seluler dan mekanik tetap tidak terdefinisi (Einhorn dan Gerstenfeld,

2015).

Semakin berkembangnya penyembuhan tulang, terbentuk kalus kartilago

(soft callus) melalui aktivitas sel kerangka dan endotel, yang menjembatani celah

antar fragmen tulang (Pivonka dan Dunstan, 2012; Einhorn dan Gerstenfeld, 2015).

Soft callus lalu berprogres menjadi hard callus. Terdapat dua mekanisme tipikal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

pembentukan tulang: ossifikasi intramembran dan ossifikasi endokondral. Pada

ossifikasi intramembran, MSC berdiferensiasi menjadi osteoblas, menciptakan

jaringan tulang langsung ketika proses anabolisme (khas pada tulang pipih seperti

tengkorak dan klavikula). Pada osifikasi endokondral, MSC berdiferensiasi menjadi

kondrosit, yang lalu akan menciptakan jaringan kartilago. Hasil sintesis ini adalah

cartilage extracellular matrix (ECM) yang akan termineralisasi melalui apoptosis

dari kondrosit. Selanjutnya, sel osteoblas akan mempenetrasi struktur jaringan ini

dan meletakkan jaringan tulang baru, tulang panjang biasanya tumbuh dan sembuh

dengan proses ini (Einhorn dan Gerstenfeld, 2015).

c. Aspek molecular Fracture Healing

Penelitian di bidang biologi seluler dan molekuler dari penyembuhan fraktur,

menggunakan teknik hibridisasi DNA / RNA dan imunohistokimia, telah

membantu meningkatkan pemahaman kita tentang subjek tersebut. Untuk

hibridisasi histokimia, sampel sel dan jaringan diperoleh dari lokasi fracture

healing tulang dan dirawat untuk memperbaiki transkrip target pada tempatnya dan

untuk meningkatkan akses probe. Probe adalah salah satu DNA komplementer yang

berlabel atau, sekarang paling umum, RNA komplementer (riboprobe). Probe

menghibridisasi ke sekuens target pada suhu yang tinggi, dan kemudian probe yang

berlebih dibersihkan (setelah hidrolisis sebelumnya menggunakan RNase dalam

kasus probe RNA berlebih yang tidak terhibridisasi). Parameter larutan seperti

suhu, garam, dan/ atau konsentrasi deterjen dapat dimanipulasi untuk

menghilangkan interaksi nonidentik. Kemudian, probe yang diberi label dengan

label radio-, fluoresen-, atau antigen (misalnya, digoxigenin) dilokalisasi dan

dikuantifikasi di jaringan menggunakan autoradiografi, mikroskop fluoresensi, atau


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

imunohistokimia. Hibridisasi in situ juga dapat menggunakan dua atau lebih probe,

berlabel radioaktivitas atau label non-radioaktif lainnya, untuk secara bersamaan

mendeteksi dua atau lebih transkrip. Sebagai contoh, teknik hibridisasi in situ telah

digunakan untuk mempelajari pengangkatan sel selama penyembuhan fraktur dan

telah ditunjukkan bahwa sel kondrosit dihilangkan dengan mekanisme apoptosis,

dan diferensiasi metaplastik dari kondrosit menjadi osteoblas tidak terjadi.

Beberapa faktor mengatur kaskade peristiwa molekuler dalam penyembuhan

fraktur, seperti migrasi, proliferasi, kemotaksis, diferensiasi, inhibisi, dan sintesis

protein ekstraseluler, dengan mempengaruhi titik-titik yang berbeda dalam lineage

osteoblas dan kondroblas melalui berbagai proses. Pendekatan genomik dan

proteomik yang bertujuan untuk mengidentifikasi penanda utama untuk perubahan

transkripsional dan translasional yang terlibat dalam diferensiasi sel, proliferasi sel,

dan perkembangan kerangka akan sangat berguna (Oryan, Monazzah dan Bigham-

Sadegh, 2015).

Pada fase awal setelah cedera tulang, terjadi peningkatan regulasi gen yang

terkait dengan siklus sel (pembelahan sel) dan pensinyalan sel-ke-sel (komunikasi

sel). Ada ekspresi puncak IL-1 dan IL-6 1 hari setelah patah tulang, diikuti dengan

penurunan cepat ke tingkat yang hampir tidak terdeteksi pada hari ke 3. Selain itu,

ekspresi IGF-1 dan IGF-2, PDGF, reseptor FGF, fibronektin, MMPs, glypican,

byglican, osteomodulin, osteonectin, tenascin C, kartilage, dan kolagen tulang

meningkat sampai sintesis osteoid imatur oleh progenitor osteoblas dapat dideteksi

secara histologis. Setidaknya 34 anggota telah diidentifikasi dalam genom manusia

diaktifkan oleh enzim proteolitik. Banyak gen yang mengendalikan pertumbuhan

dan kelangsungan hidup sel meningkat; sedangkan yang secara fungsional terkait
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

dengan diferensiasi prekursor osteogenik dan formasi matriks tulang menjalani

modulasi sementara dari waktu ke waktu. Mereka bekerja pada reseptor membran

serin / treonin kinase pada sel target. Interaksi reseptor ligan ini mengaktifkan jalur

pensinyalan intraseluler, yang pada akhirnya mempengaruhi ekspresi gen dalam

nukleus (Arvidson et al., 2011).

Dengan menggunakan analisis microarray, didapatkan bahwa induksi

selektif gen oleh BMP-2, TGF-β, dan aktivin-A mengontrol dan mengatur

diferensiasi sel prekursor mesenkim menjadi sel osteoblas. Ini terjadi pada

osteoprogenitor, sel mesenkim, osteoblas, dan kondrosit. BMPs menginduksi

kaskade sekuential untuk kondroosteogenesis, termasuk kemotaksis, proliferasi,

dan diferensiasi sel mesenkim dan osteoprogenitor serta angiogenesis. BMPs juga

mengontrol sintesis ECM. BMP-2 memiliki peran penting dalam perekrutan ini dan

penting untuk perbaikan tulang, tetapi BMP lain seperti BMP-7 juga dapat

memainkan peran yang lebih penting dalam perekrutan sel-sel progenitor (Marsell

dan Einhorn, 2011).

Keberhasilan penyembuhan jaringan tidak lepas dari trias sel, skafold dan
factor pertumbuhan (Utomo, 2016) :

Scaffold Growth Factor

Cells

Kebanyakan sel mamalia memiliki ketergantungan perlekatan dan


membutuhkan scaffold yang tepat untuk ekspresi gen. Banyak bermacam-macam
scaffold yang bertujuan selain untuk menyokong sel juga untuk mempertahankan
jalur diferensiasi sel. Scaffold yang ideal memberikan kesempatan sel untuk
melekat, tumbuh berdiferensiasi serta membentuk jaringan dan organ.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Pendekatan genomik dan proteomik adalah pendekatan analisis yang berguna

untuk memantau perubahan ekspresi gen dan protein. Memahami setiap peristiwa

pensinyalan dalam jalur penyembuhan tulang meningkatkan kemampuan kita untuk

campur tangan dalam proses penyembuhan patah tulang untuk memperbaiki

penyembuhan fraktur yang tidak memadai atau gagal. Pertumbuhan vaskular ke

dalam kalus yang sedang berkembang diatur oleh FGF, vascular endothelial growth

factor (VEGF), dan angiopoietin 1 dan 2. Angiopoietin 1 diproduksi dan diaktifkan

selama periode awal penyembuhan patah tulang, sedangkan VEGF diekspresikan,

dilepaskan, dan diaktifkan kemudian, terutama selama formasi tulang endokondral.

Studi terbaru juga telah menunjukkan peran penting hypoxia inducible factor-1a

(HIF-1a) dalam perbaikan tulang dan peran induksi untuk aktivitas VEGF dalam

proses revaskularisasi yang menunjukkan bahwa gradien hipoksia mengatur sel

punca mesenkimal oleh HIF-1. Trombosit yang telah diaktivasi oleh trombin dan

kolagen subendotel melepaskan PDGF dan TGF-β, yang berperan dalam inisiasi

penyembuhan fraktur dan menginduksi migrasi sel mesenkim, aktivasi dan

proliferasi, angiogenesis, kemotaksis sel inflamasi akut, dan agregasi trombosit

lebih lanjut (Marsell dan Einhorn, 2011).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

Gambar 2. Proses penyembuhan tulang melalui jalur endochondral dengan


menekankan dan interaksi platelet secreted growth factor (Malhotra et al., 2013).

Pada bagian berikut ini kami akan mendeskripsikan secara rinci proses

penyembuhan fraktur dan fase-fase yang terdiri di dalamnya

d. Fase Inflamasi

Respon pro-inflamasi akut sangat penting untuk memulai penyembuhan

patah tulang. Setelah fraktur, arsitektur tulang dan suplai vaskular terganggu. Hal

ini mengakibatkan hilangnya stabilitas mekanik, penurunan oksigenasi jaringan dan

suplai nutrisi, dan pelepasan faktor bioaktif di lokasi cedera. Sel inflamasi itu

sendiri, bersama dengan sitokin dan matriks ekstraseluler yang mereka hasilkan,

tampak penting. dalam memfasilitasi penyembuhan normal, karena tikus yang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

kekurangan imunitas bawaan dan adaptif telah secara signifikan mengganggu

perbaikan tulang endokondral (Rapp et al., 2016).

Gambar 3. Proses penyembuhan fraktur merupakan proses yang terdefinisi


(Bahney et al., 2019).

Dalam beberapa menit pertama fraktur, bekuan darah kaya fibrin terbentuk

untuk mencapai hemostasis. Peran fibrin-rich clot ini selama penyembuhan patah

tulang telah diteliti pada tikus yang tidak memiliki enzim plasminogen. Meskipun

fibrin tidak diperlukan untuk penyembuhan tulang, perbaikan tidak berkembang

dengan baik tanpa fibrinolisis. Secara khusus, tidak adanya plasminogen

menghasilkan osifikasi ektopik dan penyembuhan yang buruk (Yuasa et al., 2015).

Sitokin yang dilepaskan oleh bekuan (terutama selama degranulasi trombosit)

merekrut sel-sel inflamasi termasuk limfosit, makrofag, eosinofil, dan neutrofil

(Claes, Recknagel dan Ignatius, 2012). Sebagai salah satu contoh, C-C Motif

Chemokine Ligand 2 (juga dikenal sebagai Monocyte Chemoattractant Protein-1)

(CCL2 atau MCP1) dan reseptornya Chemokine Receptor type 2 (CCR2)

merangsang kemotaksis monosit dalam respon inflamasi (Chu et al., 2014). CCL2

diekspresikan dari hari 1– 3 di situs fraktur. Ketika mengalami fraktur, tikus Ccl2-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

null dan Ccr2-null keduanya menunjukkan penyembuhan patah tulang yang

tertunda dan penurunan volume kalus sebagai akibat dari infiltrasi sel mesenkim

yang berkurang dan gangguan vaskularisasi (Xing et al., 2010; Ishikawa et al.,

2014).

Sel inflamasi disimpan di seluruh bekuan selama perdarahan dan bermigrasi

ke situs cedera dari sumber lokal terdekat. Sementara, kontribusi sel-sel inflamasi

yang berasal dari sirkulasi versus yang berasal secara lokal tidak sepenuhnya

dipahami, makrofag penghuni jaringan, yang disebut ostealmac, diperlukan untuk

penyembuhan patah tulang. Salah satu peran sel inflamasi, terutama neutrofil dan

makrofag, adalah debridemen jaringan yang cedera dan rusak. Sel inflamasi juga

menghasilkan sitokin yang mempengaruhi penyembuhan secara positif dan

negatif. Beberapa sitokin ini terdeteksi di lokasi fraktur dalam 24 jam pertama pasca

cedera dan penting untuk perluasan respons inflamasi dengan bekerja pada sel di

sumsum tulang, periosteum, dan hematoma (Xing et al., 2010).

Makrofag mengeluarkan molekul pro-inflamasi Interleukin 1 (IL1). IL1

selanjutnya mengatur ekspresi siklooksigenase (Cox1 dan Cox2), yang merupakan

enzim yang mensintesis prostaglandin di jaringan yang cedera. Obat antiinflamasi

non steroid, yang menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan

keterlambatan penyembuhan patah tulang. Penundaan ini telah dikaitkan dengan

penghambatan aktivitas Cox2 selama penyembuhan patah tulang (Bahney et al.,

2019).

Peran multifaktorial dari respon proinflamasi akut bersama-sama

berkontribusi pada signifikansinya dalam penyembuhan dan penghambatan

inflamasi dikaitkan dengan keterlambatan dalam perbaikan fraktur. Misalnya,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

penipisan makrofag selama fase awal perbaikan fraktur telah terbukti mengurangi

ukuran kalus dan kondrogenesis yang mengakibatkan gangguan penyatuan fraktur

(Raggatt et al., 2014; Vi et al., 2015).

Sementara fase inflamasi dari penyembuhan patah tulang dimulai pada tahap

awal perbaikan, bukti terkini menunjukkan bahwa sel-sel inflamasi juga hadir

sepanjang fase selanjutnya dari fracture healing dan tampak mengalami perubahan

seiring dengan proses penyembuhan (Kolar et al., 2010).

Perubahan fenotipe makrofag dapat menjelaskan peran ganda dari makrofag

dalam penyembuhan patah tulang. Makrofag dapat terpolarisasi sepanjang

kontinum status pro hingga anti inflamasi. Dalam beberapa hari pertama pasca

cedera, makrofag pro-inflamasi diproduksi oleh "aktivasi klasik" yang ditandai

dengan respons imun bawaan terhadap patogen bakteri dan cedera jaringan melalui

toll-like receptor (TLR). Classically activated macrophages (CAMs) dipersiapkan

oleh paparan interferon-gamma (IFN-gamma). Setelah itu, molekul patogen yang

terikat pada reseptor keluarga-TLR pada CAMs akan meningkatkan sitokin pro-

inflamatori seperti TNF-alfa, IL1, dan IL 6 melalui jalur NFkB (Lu et al., 2017).

Setelah makrofag melakukan debridasi pada luka dan tidak lagi diaktifkan

secara klasik, mereka berubah dalam suatu kondisi anti inflamasi. Anti-

inflammatory macrophages, juga dikenal sebagai makrofag yang diaktifkan secara

alternatif (AAM), dihasilkan melalui pensinyalan IL4 dan IL13. Berbeda dengan

CAM, polarisasi alternatif dari makrofag menghasilkan aktivitas seluler yang

mendorong deposisi kolagen dan kembali ke homeostasis jaringan. Produksi TGF-

beta, IL10 dan arginase, serta protein anti-inflamasi yang disekresikan lainnya,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

dikaitkan dengan perbaikan jaringan setelah serangan infeksi dan traumatis (Daley

et al., 2010; Gordon dan Martinez, 2010).

e. Fase Fibrovaskuler

Setelah inflamasi, fase perbaikan angio-mesenchymal dimulai. Fase ini telah

disebut sebagai "fase fibrovaskular" dan didefinisikan oleh remodeling vaskular

(angiogenesis dan neovaskularisasi) dan perekrutan mesenchymal progenitor cells,

kadang-kadang disebut sebagai mesenchymal stem cells (MSCs), yang pada

akhirnya akan berdiferensiasi menjadi kondrosit dan osteoblas untuk meregenerasi

tulang retak (Bahney et al., 2019).

Selama trauma fraktur awal, suplai pembuluh darah periosteal, kortikal, dan

meduler terganggu yang menyebabkan nekrosis seluler akut dan

asidosis. Kurangnya vaskularisasi menyebabkan hipoksia lokal, di mana tekanan

oksigen diturunkan menjadi 0,1–2% dari 5% (Lu et al., 2013). Revaskularisasi

diperlukan untuk perfusi kalus dengan oksigen, nutrisi, sel inflamasi dan sel

progenitor untuk memfasilitasi perbaikan, dan membuang produk limbah. Dalam

banyak kasus, suplai vaskular dibangun kembali dengan cepat melalui

pengembangan jaringan vaskular baru (Yuasa et al., 2014).

Pembentukan jaringan terjadi oleh dua proses berbeda: Angiogenesis dan

vaskulogenesis. Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru

dengan tumbuh dari pembuluh darah yang ada. Vaskulogenesis adalah

pembentukan pembuluh darah de novo dari endothelial progenitor cells in situ

(EPC) di dalam kalus. Sel endotel pembentuk pembuluh darah kalus dapat

berkembang dari berbagai sumber, antara lain pembuluh periosteum dan pembuluh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

darah intrameduler yang ada (Yuasa et al., 2014); sirkulasi EPC yang meningkat

selama perbaikan patah tulang; atau sumsum tulang. EPC yang bersirkulasi tidak

hanya meningkat pada model hewan pengerat, tetapi juga meningkat secara

signifikan pada pasien manusia pada hari ketiga pasca-patah (Ma et al., 2012).

Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah pendorong angiogenesis

dan vaskulogenesis yang khas, diproduksi oleh berbagai sel dalam kalus fraktur,

termasuk sel inflamasi dan mesenkim, tetapi juga osteoblas dan kondrosit

hipertrofik. VEGF mengikat keluarga reseptor VEGF; VEGFR1 (FLT1) dan

VEGFR2 (FLK1) yang mengaktifkan kaskade pensinyalan yang menyebabkan

peningkatan proliferasi dan pertumbuhan sel endotel, dan perekrutan EPC ke

fraktur. Dalam model osteogenesis distraksi, blokade aktivitas VEGF melalui

antibodi terhadap VEGFR1 dan VEGFR2 menghasilkan penurunan volume

pembuluh darah dan pengurangan pembentukan kalus. Netralisasi VEGF oleh

reseptor VEGF terlarut (IgGFlt) merekapitulasi penundaan vaskularisasi kalus ini

(Bahney et al., 2019).

VEGF adalah gen target downstream klasik dari faktor yang diinduksi

hipoksia 1-alpha (HIF1-alpha), yang distabilkan dalam kondisi hipoksia (Adams et

al., 2009)dan kondisi lain termasuk ketika kadar laktat meningkat, seperti setelah

patah tulang (Lu et al., 2013). Induksi puncak produksi protein HIF1-alpha dan

VEGF pada hari ke 10 pasca patah tulang pada mencit, selama periode osifikasi

endokondral (Hu et al., 2017). Tikus dengan peningkatan ekspresi HIF1-alpha

mengembangkan hipervascularized tulang panjang dengan penyembuhan tulang

yang lebih baik. Di sisi lain, tikus HIF1-alpha-null, dan tikus dengan HIF1-alpha
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

terganggu dalam osteoblas, telah menunda pembentukan kalus dalam

penyembuhan patah tulang (Bahney et al., 2019).

Salah satu aspek yang menarik dari pensinyalan VEGF adalah bahwa selama

osifikasi endokondral, protein VEGF berikatan dengan matriks tulang rawan

sampai dibebaskan oleh matriks metaloprotease (MMPs). MMPs adalah keluarga

protease ekstraseluler yang menurunkan dan merombak matriks ekstraseluler

selama pengembangan dan perbaikan. MMPs-2, -9, dan -13 diekspresikan dengan

kuat selama perbaikan fraktur dan ketidakhadirannya menyebabkan gangguan

penyembuhan. Sementara mutasi Mmp2-null hanya menunda pembentukan

kembali tulang, mutasi Mmp9- dan Mmp13-null mempengaruhi pembentukan

tulang dengan mengubah remodelling tulang rawan dan vaskularisasi (Bahney et

al., 2019).

Matriks ekstraseluler (ECM) juga dapat mempengaruhi respon angiogenik

terhadap penyembuhan patah tulang. Misalnya, trombospondin (TSP) adalah

keluarga protein matrikeluler non-fibrillar dengan fungsi antiangiogenik yang kuat

(Adams and Lawler, 2011). Tikus dengan Tsp2-null menunjukkan peningkatan

angiogenesis pada kalus fraktur (Taylor et al., 2009; Miedel et al., 2013),

menghasilkan penyembuhan tulang iskemik yang meningkat dan perubahan

komposisi kalus pada kondisi non-iskemik. Dengan demikian, menargetkan jalur

ini merupakan target terapeutik yang menarik untuk meningkatkan vaskularisasi

dalam regenerasi tulang. Osteopontin juga merupakan modulator vaskularisasi

fraktur. Tikus yang kekurangan osteopontin menunjukkan angiogenesis tertunda

dan kalus yang lebih kecil (Taylor et al., 2009).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

Karena respons angiogenik merupakan peristiwa yang diperlukan dalam

penyembuhan patah tulang, defisiensi dalam angiogenesis mengakibatkan

perbaikan patah tulang yang tertunda atau tidak memadai. Secara klinis, angka non-

union dan malunion meningkat 10-20% dari angka dasar pada populasi fraktur

normal, menjadi 46% ketika terdapat kerusakan pada pembuluh darah. Berbagai

model praklinis telah digunakan untuk menyelidiki mekanisme yang mendasari

kecacatan dalam penyembuhan ini. Dalam model eksperimental iskemia,

penyembuhan patah tulang secara signifikan berubah karena apoptosis masif dari

periosteum. Demikian pula, de-vaskularisasi periosteum proksimal ke lokasi

fraktur mengakibatkan penyembuhan yang tertunda dan menghambat pembentukan

tulang baru. Beberapa efek negatif dari fraktur tulang iskemik dapat dikurangi

dengan hiperoksia lingkungan. Dalam model eksperimental fraktur tibia iskemik,

tikus dalam kondisi hiperoksia (oksigen lingkungan 50%) menunjukkan

peningkatan volume kalus dan kandungan tulang rawan. Tikus juga cenderung

tidak berkembang menjadi non-union (Lu et al., 2013).

Penyakit penyerta seperti penuaan, diabetes, dan merokok juga terkait dengan

penyembuhan patah tulang yang tertunda, kemungkinan hal ini didasari oleh adanya

defek vaskular yang menyertainya. Tikus usia tua dan dewasa menunjukkan

penurunan pembentukan volume kalus ditambah dengan angiogenesis yang

terhambat, dan ekspresi VEGF dan MMP9 yang berkurang relatif terhadap fraktur

pada tikus usia remaja. Dalam model diabetes mellitus tipe II yang diinduksi oleh

obesitas, neovaskularisasi kalus fraktur dihambat sehingga mengakibatkan

penurunan pembentukan woven bone. Pada osteogenesis sendiri, merokok dapat

menghambat neovaskularisasi dan menunda pemanjangan tibialis. Secara bersama-


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

sama, mengidentifikasi kondisi yang relevan secara klinis yang mempengaruhi

angiogenesis diperlukan untuk meningkatkan hasil dalam penyembuhan patah

tulang (Brown et al., 2014).

Komponen seluler utama lainnya dari kalus fibrovaskular, adalah

mesenchymal progenitor cells (MSC). MSCs adalah sel multipoten yang

menimbulkan osteoblas, kondrosit, fibroblas, miosit, dan adiposit. Terdapat sub-

populasi yang telah diidentifikasi yang dapat digunakan untuk membedakan lineage

potential dan lineage function. Nestin, serat filamen intermediet, telah digunakan

untuk membedakan antara populasi MSC yang berasal dari mesodermal atau neural

crest. MSC dengan nestin negatif berkontribusi pada skeletogenesis pada janin

sedangkan sel nestin-positif mengambil peran ini di kemudian hari (Isern et al.,

2014).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

Gambar 4. Prekursor mesenkimal berkembang menjadi antara osteoblas atau


kondrosit (Bahney et al., 2019).

Perekrutan MSCs dalam perbaikan fraktur berada di bawah regulasi

molekuler oleh sitokin yang dilepaskan di lokasi fraktur, khususnya CXCL12, juga

dikenal sebagai stromal cell-derived factor-1 (SDF1). SDF1 dilepaskan oleh

periosteum yang terluka dan mendorong mobilisasi dan pemindahan MSC melalui

CXCR4 (Ishikawa et al., 2014). Gangguan parsial SDF1 / CXCR4 pada allograft

tikus menyebabkan penurunan kemotaksis MSC dan pembentukan tulang. Dalam

model perbaikan graft tulang hidup, baik sekuestrasi antibodi SDF1 dan

penghambatan farmakologis reseptor CXCR4-nya menghasilkan kemotaksis MSC

yang terhambat dan penurunan pembentukan tulang di kalus (Ishikawa et al.,

2014). SDF1 berada di bawah regulasi transkripsi oleh HIF1-alpha sebagai respons
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

terhadap iskemia, menunjukkan peran kondisi hipoksia lingkungan fraktur dalam

mengarahkan perekrutan MSC, serta vaskularisasi. Dalam model fraktur tibialis

pada tikus, SDF1 meningkatkan pembentukan kalus serta induksi ekspresi VEGF

dan Runx2 yang dalam jaringan lunak kalus, yang mengindikasikan peningkatan

angiogenesis dan osteogenesis (Li, Gao and Wang, 2011). Baru-baru ini, implantasi

MSC yang diturunkan dari sumsum tulang (BM-MSCs) yang mengekspresikan

SDF1 secara berlebihan dalam model defek tulang menghasilkan peningkatan

pembentukan tulang baru yang relatif terhadap implantasi BM-MSC saja. Perlu

dicatat bahwa homing pathway SDF1 / CXCR4 juga diperlukan untuk perekrutan

EPC dalam penyembuhan fraktur tibialis. Tikus Cxcr4-null menunjukkan

penurunan pembentukan kalus sebagai akibat dari perekrutan EPC yang terhambat,

penurunan aliran darah di lokasi fraktur, dan penurunan ekspresi VEGF dan CD31

(penanda sel endotel) dalam kalus satu minggu pasca fraktur. SDF-1 eksogen tidak

cukup untuk menyelamatkan fenotipe ini, menunjukkan persyaratan eksklusif

CXCR4 dalam perekrutan EPC yang merangsang SDF-1 (Kawakami et al., 2015).

Notch signaling adalah faktor potensial penting lainnya dalam mengatur

jumlah dan aktivasi MSC. Tikus dengan Notch signaling terganggu melalui

ekspresi berlebih yang dimediasi Mx1-Cre dari dominant negative mastermind

(DnMAML) menunjukkan perubahan dalam ukuran kalus (Dishowitz et al.,

2013). Tikus dengan gangguan lengkap pada canonical notch signaling oleh

gangguan yang dimediasi Prx1-Cre dari faktor transkripsi Notch CSL memiliki

non-union. Notch signaling tampaknya diperlukan untuk proliferasi dan / atau

migrasi (Wang et al., 2016).

f. Pembentukan Tulang – Osteoblas dan Kondrosit


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

Setelah fase penyembuhan fibrovaskular, banyak MSC yang membentuk

kalus fibrovaskular mengalami diferensiasi menjadi osteoblas atau kondrosit untuk

memulai fase penyembuhan pembentukan tulang (Matthews et al., 2014).

Diferensiasi MSC menjadi sel-sel progenitor osteochondral pada awalnya diatur

oleh Sox9. Sox9 diperlukan untuk kondrogenesis dan studi gangguan genetik

menunjukkan bahwa tidak adanya faktor transkripsi ini mengarah pada

penghapusan lengkap kartilago anlagen dalam pertumbuhan kerangka

tulang. Sebaliknya, dalam osteoblas, regulasi turun Sox9 dalam sel-sel potensial-

ganda menyebabkan represi Runx2. Penghapusan runx2 mengakibatkan hilangnya

seluruh osteoblas dalam embrio tikus. Namun, gangguan Runx2 pada kondrosit

bersifat letal pada embrio dan menghambat osifikasi endokondral (Chen et al.,

2014). Sementara Runx2 secara tradisional disebut sebagai “master regulator” dari

osteoblastogenesis, ia mungkin memainkan peran hulu yang lebih besar sebagai

pengatur sel-sel progenitor osteochondral. Runx2 secara transkripsi mengatur

sebagian osteoblastogenesis melalui faktor transkripsi Sp7 (Osterix). Knock-out

dari Osterix juga dikaitkan dengan kurangnya osteoblas, namun, ekspresi Osterix

tidak ada setelah penghapusan Runx2, menunjukkan bahwa Osterix berada di

hilir. Sox9 juga secara aktif menekan potensi osteogenik dengan menekan Runx2,

dengan demikian program-program yang berlawanan ini tampaknya bertindak

sebagai peralihan molekuler antara kartilago dan bone fate dalam sel-sel progenitor

osteochondral (Bahney et al., 2019).

Faktor-faktor yang mengatur keputusan sel progenitor menuju sel

kondrogenik atau osteogenik adalah multifaktorial, terintegrasi dan masih

didefinisikan. Secara ekstrinsik, faktor mekanis dan tekanan oksigen tidak


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

diragukan lagi merupakan variabel penting yang mengatur keputusan nasib sel

tersebut. Faktor-faktor ekstrinsik sel pada lingkungan mikro ini kemudian

mengarah pada regulasi intrinsik sel yang sangat spesifik dari kondrogenesis dan

osteoblastogenesis (Bahney et al., 2019).

Peningkatan gerak telah ditunjukkan untuk menginduksi pembentukan lebih

banyak kondrosit yang kemudian akan meningkatkan osifikasi endokondral,

sementara stabilisasi menghasilkan lebih banyak osteoblas dan perbaikan tulang

langsung melalui formasi intramembran. Secara khusus, strain yang lebih kecil dari

5% dan tekanan hidrostatik kurang dari 0,15 MPa mendorong formasi

intramembran. Regangan geser oktahedral yang lebih tinggi dan regangan utama

maksimum meningkatkan kartilago dan menurunkan woven bone, sementara

regangan volumetrik kurang dapat diandalkan terkait dengan tulang intramembran

versus fenotipe kartilago (Morgan et al., 2010).

Sinyal lingkungan lain yang diduga dapat mengatur keputusan nasib MSC

adalah tegangan oksigen. Hubungan antara tekanan oksigen dan diferensiasi MSC

in vitro telah diselidiki secara ekstensif, dan banyak bukti yang menunjukkan

bahwa hipoksia mendorong fenotipe kondrogenik, sedangkan kadar oksigen yang

lebih tinggi mendorong diferensiasi osteoblas. Secara in vivo, hubungan antara

oksigen dan perubahan sel MSC ini telah dimodelkan secara komputasi dan

divalidasi secara eksperimental melalui oksigenasi kalus terarah (Burke et al.,

2013). Namun, penelitian lain telah menunjukkan bahwa penurunan kadar oksigen

menyebabkan masalah penyembuhan tulang, tetapi tampaknya tidak mengubah

cara penyembuhan patah tulang (Lu et al., 2013).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

Growth factor yang disekresi juga memiliki efek langsung pada diferensiasi

MSC. BMP adalah molekul osteogenik klasik yang terkait dengan formasi

tulang. BMPs in vitro secara langsung merangsang diferensiasi osteoblas MSC dan

tulang kanonik yang dicirikan oleh aktivitas faktor transkripsi Runx2 dan Sp7

(Osterix) yang merupakan target langsung dan hilir dari pensinyalan BMP (Luo et

al., 2011). In vivo, setelah trauma, sel periosteal mengekspresikan BMP2 dan

BMP4 dan seiring waktu mereka berproliferasi sebagai respons terhadap BMP5 dan

BMP6 (Marsell dan Einhorn, 2009). Khususnya, BMP juga penting dalam

menentukan diferensiasi kondrosit, sehingga tikus dengan gangguan Bmp

(khususnya Bmp2) menunjukkan non-union (Tsuji et al., 2010). Pensinyalan

melalui BMP2 juga tidak ada selama tahap intermediate dari perbaikan

intramembran, yang sangat penting untuk mencegah pembentukan tulang rawan

(Yu et al., 2010). Pada hari ke 10 pasca cedera, protein BMP (2, 4–8), antagonis

BMP ekstraseluler (BMP3 dan noggin), reseptor BMP (1A, 1B, dan II), dan efektor

(p-Smads 1, 5, dan 8) tidak terdeteksi pada osteoblas, osteoklas, atau periosteum di

dalam tulang baru fraktur. Penambahan dari recombinant human BMP2 (rhBMP2)

ke fraktur stabil menghasilkan pembentukan tulang rawan baru terutama di

permukaan periosteal, yang pada akhirnya mengarah ke kalus dengan peningkatan

kartilago dan volume total, tetapi tidak ada peningkatan dalam pembentukan tulang

intramembran (Yu et al., 2010).

Keluarga faktor pertumbuhan tersekresi lainnya yang dapat berperan dalam

mengatur penentuan nasib MSC dalam penyembuhan tulang adalah keluarga Wnt

(Secreto, Hoeppner dan Westendorf, 2009). Dalam lingkungan non-fraktur,

penghambatan aktivitas beta- catenin dalam lineage osteoblas menyebabkan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

penurunan massa tulang dan peningkatan kondrogenesis, sementara ablasi Wnt

inhibitor, DKK atau sklerostin, meningkatkan pembentukan tulang dan massa

tulang. Sementara peran perkembangan dari Wnt kanonik telah dibuktikan, sedikit

yang diketahui tentang perannya selama penyembuhan patah tulang. Studi fraktur

pada tikus dengan defisiensi Wnt menyarankan penyembuhan yang terganggu

dibandingkan dengan tikus littermates tipe liar (McGee-Lawrence et al., 2014),

kemungkinan besar sebagai akibat dari fungsi osteoblas yang terganggu karena

pembentukan tulang rawan dan jumlah osteoklas yang mendegradasi matriks

mineral tidak berubah (Heilmann et al., 2013). Sebaliknya, tikus yang kekurangan

Sclerostin (penghambat Wnt kanonik/ jalur beta-catenin) menyembuhkan patah

tulang kortikal tunggal yang stabil dari middiafiseal femur lebih kuat daripada tikus

tipe liar (McGee-Lawrence et al., 2013). Ini sebagian besar disebabkan oleh

peningkatan jumlah osteoblas dan permukaan tulang 7-14 hari pasca-cedera. Lebih

penting lagi, manfaat terapeutik untuk penyembuhan patah tulang telah ditunjukkan

ketika pensinyalan Wnt kanonik dirangsang dengan menambahkan antibodi

monoklonal ke Wnt inhibitor DKK (Komatsu et al., 2010; Jin et al., 2015).

g. Intramembran Ossification

Diferensiasi langsung dari progenitor mesenkim menjadi osteoblas adalah

mekanisme eksklusif perbaikan tulang pada defek yang stabil (osifikasi

intramembran), tetapi juga terjadi di sepanjang permukaan periosteal dan endosteal

tulang pada fraktur yang kurang stabil. Sel progenitor periosteal tampaknya

memiliki potensi osteo-chondral, dengan diferensiasi terkait dengan lingkungan

mikro mekanis, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Diferensiasi osteogenik MSC


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

periosteal menimbulkan tulang intramembran secara lokal di sepanjang permukaan

tulang yang berdekatan dengan fraktur; sementara sel-sel progenitor periosteal yang

sama ini bermigrasi ke celah fraktur untuk menjalani kondrogenesis. Sebaliknya,

sel induk endosteal menunjukkan potensi osteogenik yang uni-poten. Pembentukan

tulang intramembran dari sel induk endosteal ini bertanggung jawab untuk

menjembatani rongga sumsum dengan cepat (Colnot, 2009).

h. Endocondral Ossification

Secara temporal, diferensiasi kondrogenik sel progenitor kalus fraktur sejalan

dengan respons pro-inflamasi dan terjadi pada rangka fibrin yang dihasilkan

sebagai bagian dari hematoma. Kondrogenesis terjadi terutama pada fraktur dengan

sel induk periosteal menjadi sumber utama dari kondrosit. Mengikuti spesifikasi

MSC menjadi kondrosit, ekspresi SOX9 memainkan peran penting dalam

mempertahankan fenotipe kartilaginous dan maturasi hipertrofik (Ikegami et al.,

2011; Leung et al., 2011; Dy et al., 2012). SOX9, bersama dengan kofaktor

transkripsi SOX5 dan SOX6, mengatur ekspresi kolagen II dan aggrecan. Ini adalah

protein matriks ekstraseluler kanonik dari tulang rawan, dan bersama-sama

membentuk 90% dari dry weight jaringan, memberikan tulang rawan dengan sifat

biofisik yang khas. Kalus kartilago padat ini menjembatani celah fraktur dan

membantu menstabilkan defek. Pada tahap ini jaringan tulang rawan menjadi

avaskular, menekan angiogenesis dan invasi vaskular (Hattori et al., 2010).

Konversi kalus kartilago menjadi tulang terjadi setelah pematangan kondrosit

yang sangat teratur dari keadaan proliferatif hingga keadaan hipertrofik (Hu et al.,

2017). Maturasi hipertrofik dibedakan secara morfologis dengan peningkatan


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

volume sel yang dramatis. Kondrosit hipertrofik di growth plate bertambah besar

20 kali lipat. Pada tingkat molekuler, kondrosit hipertrofik dibedakan dengan

ekspresi kolagen tipe X. Sementara fungsi pasti dari kolagen X tidak jelas, hal ini

secara unik diekspresikan oleh kondrosit hipertrofik dan deposisi matriks diyakini

penting dalam pembangunan matriks untuk mineralisasi (Cooper et al., 2013).

Hipertrofi kondrosit merupakan keadaan penting selama osifikasi

endokondral. Kondrosit hipertrofik sangat angiogenik dan memfasilitasi fase kedua

invasi vaskular ke dalam kalus kartilago dengan mensintesis VEGF, PDGF (platelet

derived growth factor), dan PlGF (placental growth factor). Berdekatan dengan

invasi jaringan vaskuler, kondrosit hipertrofik kehilangan ekspresi Sox9, yang

selanjutnya mengurangi represi promotor osteogenik Runx2 dan beta-catenin (Dy

et al., 2012; Hu et al., 2017). Selanjutnya, kondrosit hipertrofik mulai

mengekspresikan penanda kanonik tulang, termasuk, alkali fosfatase, osterix,

osteopontin, dan osteocalcin. Bersama-sama, aktivasi program osteogenik dan

angiogenesis menghasilkan kalsifikasi matriks kartilago. Dari perspektif fungsional

kalsifikasi ini memberikan kekakuan tambahan pada fraktur (Hu et al., 2017).

Pemicu molekuler untuk kalsifikasi tidak sepenuhnya jelas, tetapi BMP

kemungkinan memainkan peran kunci dalam proses ini. BMP diekspresikan oleh

kondrosit hipertrofik dan sel endotel vaskular (Matsubara et al., 2012),

menunjukkan bahwa ada efek otonom sel dan parakrin dari pensinyalan BMP yang

dapat mendorong kalsifikasi. Invasi pembuluh darah juga menyediakan kondrosit

hipertrofik dengan faktor sistemik lain seperti kalsium ekstraseluler, hormon

paratiroid, vitamin D, dan insulin like growth factor yang berperan dalam

mengontrol homeostasis mineral selama perbaikan patah tulang. Apakah ekspresi


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

BMP saja dari sel endotel vaskular yang mendorong kalsifikasi kartilago, atau

apakah ada faktor tambahan yang disekresikan juga dapat berkontribusi pada proses

ini masih belum jelas (Bahney et al., 2014).

Setelah kalsifikasi kartilago, formasi tulang terjadi. Dalam zona transisi

vaskularisasi antara kartilago dan tulang, pewarnaan histologis menunjukkan

kondrosit hipertrofik terperangkap di dalam matriks tulang yang berdekatan dengan

pembuluh darah (Hu et al., 2017). Ketika matriks tulang rawan hilang dan matriks

tulang berkembang, morfologi kondrosit hipertrofik bulat besar secara bertahap

diubah menjadi karakteristik morfologi dari osteosit dengan ekstensi seluler yang

ada di kanalikuli. Bagaimana perubahan bentuk ini difasilitasi tetap menjadi

pertanyaan yang belum terjawab, tetapi pembelahan sel reduktif dari kondrosit

hipertrofik mungkin menjadi salah satu mekanisme yang memungkinkan

morfogenesis ini (Hu et al., 2017).

Nasib akhir dari kondrosit hipertrofik pada saat pembentukan tulang baru-

baru ini telah didefinisikan ulang baik di lempeng pertumbuhan dan kalus

fraktur. Model tradisional menyatakan bahwa kondrosit hipertrofik adalah sel

pasca-mitosis yang dibedakan secara terminal, disiapkan untuk apoptosis. Menurut

model ini, tulang baru dibentuk oleh osteoprogenitor atau pra-osteoblas yang

menyerang matriks kartilago aseluler bersama dengan pembuluh darah (Maes et al.,

2010). Pandangan dogmatis tentang kematian sel dalam kondrosit hipertrofik

membayangi penelitian awal yang menunjukkan bahwa kondrosit dapat secara

langsung menumbuhkan tulang selama osifikasi endokondral. Namun, baru-baru

ini sejumlah studi penelusuran garis keturunan genetik menggunakan promotor

khusus kondrosit dan dapat diatur secara temporal telah dengan jelas menunjukkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

bahwa kondrosit hidup dan berdiferensiasi menjadi osteosit baik di lempeng

pertumbuhan selama perkembangan dan selama perbaikan patah tulang (Bahney et

al., 2014; Yang et al., 2014; Zhou et al., 2014; Hu et al., 2017).

Mekanisme transformasi kondrosit menjadi osteosit masih kurang jelas, tetapi

beberapa kemungkinan telah diajukan. Osteosit bisa saja menjadi nasib terminal

kondrosit, yang merepresentasikan perkembangan fenotipik alami dari sel-sel ini

selama proses maturasi; atau kondrosit dapat berdiferensiasi menjadi keadaan

seperti sel progenitor sebelum mengaktifkan program osteoblas, dan kemudian

menjadi osteoblas (Bahney et al., 2014; Hu et al., 2017). Mekanisme lain yang

diusulkan adalah bahwa kondrosit hipertrofik mengalami pembelahan sel asimetris,

di mana salah satu selnya menjadi sel osteoblas / osteosit sementara yang lainnya

mengalami apoptosis. Jalur yang disarankan ini tidak saling eksklusif. Misalnya,

aktivasi gen sel punca mungkin tidak benar-benar memberikan multipotensi,

melainkan mengaktifkan kembali siklus sel atau mengaktifkan pemodelan ulang

kromatin yang diperlukan untuk ekspresi gen osteoblas. Secara signifikan lebih

banyak pekerjaan diperlukan untuk memahami detail molekuler yang mengatur

konversi kondrosit hipertrofik menjadi osteoblas, dan untuk memahami bagaimana

matriks kondrogenik diubah menjadi matriks osteogenik. Perlu dicatat, bahwa

sejumlah apoptosis kondrosit hipertrofik dan osteoblas / osteosit diperlukan untuk

menciptakan ruang sumsum tulang. Penelitian lain menunjukkan bahwa dalam

growth plate setidaknya beberapa tulang endokondral dibentuk oleh osteoblas

(Maes et al., 2010).

4. Tatalaksana Defek Tulang


a. Bone Graft
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Bone graft adalah sebuah prosedur bedah yang menggantikan tulang yang

hilang dengan bahan dari tubuh pasien sendiri, bahan artifisial, sintetis, atau bahan

alami (Kumar, Vinitha dan Fathima, 2013). Prosedur bone graft (BGs) merupakan

salah satu praktik klinis utama di bidang traumatologi, Orthopaedi, dan

maxillofacial surgery (Deev et al., 2015). Untuk mencapai keberhasilan prosedur,

diperlukan pemenuhan dari kriteria, pertama, porositas yang saling berhubungan

dengan ukuran pori adekuat harus memungkinkan terjadi difusi diseluruh bone

graft untuk sel-sel tulang, nutrisi, dan pertukaran produk metabolisme. Ukuran

minimal pori sekitar 100 µm, tetapi lebih direkomendasikan dengan ukuran >300

µm untuk vaskularisasi dan pembentukan tulang baru. Kedua, permukaan yang

memungkinkan pertumbuhan vaskular; proliferasi, migrasi, dan attachment sel

tulang. Ketiga, elastisitas dan kekuatan kompresi mekanik yang adekuat untuk

penyerapan beban dari jaringan lunak dan keras di sekitar. Keempat,

biodegradabilitas terkontrol yang menjamin resorpsi selama proses remodeling

jaringan. Kelima, stabilitas dimensi yang memadai untuk memungkinkan adaptasi

bone graft terhadap defek (Haugen et al., 2019).

1) Klasifikasi Bone Graft Berdasarkan Sumber

a) Autograft

Autograft bone graft merupakan gold standard transplantasi tulang,

dimana tulang diambil dan ditransplantasikan dari satu sisi anatomis ke sisi

lainnya di pasien yang sama. Prosedur ini memiliki risiko rejeksi imunologis

terendah dengan sifat osteokonduktif, osteoinduktif, dan osteogenik yang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

kuat (Nandi et al., 2010). Keterbatsan prosedur ini berupa nyeri pada sisi

donor, kehilangan darah, waktu operasi bedah yang lama, dan potensi terjadi

infeksi pada sisi donor (Roberts and Rosenbaum, 2012). Bentuk autograft

antara lain cancellous, cortical, dan bone marrow aspirate (BMA).

• Cancellous autograft

Cancellous bone graft dapat diambil dari iliac crest, posterior superior

iliac spine, femur, proximal tibia, distal radius, dan olecranon. Tulang

cancellous atau spongy bone dapat mengisi defek osseus, tetapi tidak

memberikan support mekanis, sehingga bersifat sebagai tambahan untuk

beberapa bentuk fiksasi internal atau eksternal. Autograft cancellous terdiri

dari osteoblas dan osteosit yang tinggi konsentrasinya, MSCs, BMPs, growth

factors, dan matriks sebagai excellent scaffold untuk pertumbuhan vaskular,

infiltrasi sel osteoblast, yang memberikan sifat osteogenik, osteoinduktif,

dan osteokonduktif (Baldwin et al., 2019). Permukaan trabekular yang luas

mendorong revaskularisasi dan inkorporasi pada sisi resipien.

Setelah proses transplantasi cancellous bone graft, terbentuk hematoma

local yang mengandung sel inflamasi, mitogen kemotaktik, dan tensi oksigen

yang rendah. Hal ini menyebabkan rekruitmen MSCs yang selanjutnya

terbentuk jaringan granulasi fibrous dalam 48 jam pasca cedera. Selain itu,

terjadi rekruitmen makrofag dan pembuangan perlahan dari jaringan

nekrosis graft. Proses neovaskularisasi juga terbentuk. Osteoblas melapisi

perifer trabekula yang mati dan menghasilkan osteoid. Osteoid selanjutnya

dimineralisasi membentuk tulang baru, yang membutuhkan proses 6-12

bulan setelah grafting (Roberts dan Rosenbaum, 2012).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

• Cortical autograft

Cortical autograft merupakan graft osteoconductive utama dengan

kemampuan osteoinduktif yang rendah. Cortical autograft dapat diambil dan

ditransplantasikan dengan atau tanpa supply vaskularnya, dengan

memberikan support mekanis yang kuat. Untuk non-vascularized graft

lokasi di ambil dari iliac crest dan radius distal, sedangkan untuk non-

vascularized graft dari fibula, iliac crest, distal radius, dan ribs. Cortical

autograft digunakan untuk defek> 6 cm yang membutuhkan beberapa

support structural, tetapi untuk vascularized graft direkomendasikan untuk

defek > 12cm (Baldwin et al., 2019).

Dikarenakan densitas tinggi dan struktur yang terorganisir menyebabkan

revaskularisasi terhambat, sehingga proses inkorporasi lebih lama dibanding

cancellous graft. Proses inkorporasi pada cortical graft terutama

menggunakan osteoklast melalui creeping subtitution atau slow, near-

complete resorption og the graft with simultanous deposition of new viabel

bone. Creeping subtitution dimulai dari graft-host junction, kemudian

berpindah sepanjang axis cortical graft. Inkorporasi graft membutuhkan

beberapa tahun untuk sempurna (Roberts dan Rosenbaum, 2012).

• Bone marrow aspirate (BMA)

Bone marrow aspirate autolog merupakan graft seluler bersifat

osteogenic dan osteoinductive yang berisi sel batang pluripotent, sitokin,

dan growth factors. Bone marrow aspirate dapat diaspirasi dari ilium

posterior pada volume hampir 150 ml (Baldwin et al., 2019). Studi oleh

(Flynn, 2011) menunjukkan bahwa BMA efektif pada penyembuhan fraktur


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

terkait sel progenitor endotel yang mampu menstimulasi angiogenesis dan

restorasi aliran darah pada sisi fraktur.

b) Allograft

Allogenic bone graft merupakan prosedur menggunakan jaringan tulang

dari satu individu dan ditransplantasikan pada individu yang berbeda secara

genetik di spesies yang sama (Roberts and Rosenbaum, 2012). Keunggulan

allograft sebagai alternative autograft seperti, relative abundance, tidak ada

morbiditas dari sisi donor, dan ready to use (Baldwin et al., 2019) Prosedur

ini memiliki risiko imunoreaksi, transmisi infeksi, dan tingkat kegagalan yang

tinggi (Fernandez de Grado et al., 2018). Allograft didevitilisasi dan

disterilisasi melalui proses dekalsifikasi, deproteinisasi, iradiasi dan/atau

freeze-drying, yang menyebabkan berkurangnya sifat osteokonduktifnya

(Haugen et al., 2019). Freeze drying menghilangkan komponen air dari

jaringan yang dapat mengurangi kekuatan mekanis graft, merusak sel

osteogenik, dan secara signifikan mengurangi ekspresi antigen MHC I pada

osteoblas.

Allograft struktural sering digunakan dalam perawatan fraktur akut dan

revisi bedah rekonstruksi traumatik. Lokasi yang diambil dari pelvis, ribs,

fibula, dan femur (Baldwin et al., 2019). Cortical allograft memberikan

support structural yang rigid dan dapat digunakan dalam hubungannya

dengan teknik perbaikan fraktur lain. Cortical allograft digunakan untuk

mengisi defek besar. Pada umumnya digunakan di tulang belakang terkait

dengan resistensinya untuk menekan kekuatan (Roberts and Rosenbaum,

2012). Osteochondral allografts merupakan fresh or frozen grafts yang


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

membutuhkan spesifik ukuran sebelumnya, sehingga lebih sering digunakan

pada rekonstruksi pasca trauma dibanding traumatik akut.

Cancellous dan cortical cancellous allograft memberikan kekuatan

struktural minimal, sifat ostekonduktif yang sempurna terkait potositasnya,

yang menyebabkan inkorporasi yang cepat terhadap tulang host dibandingkan

cortical allograft. Pengunaannya lebih sering untuk mengisi defek tulang

metaphyseal, nonunion, sebagai grafts extenderts atau cortical onlay grafts

(Baldwin et al., 2019). Berbeda dengan inkorporasi autolog cancellous graft,

respon inflamasi local host pada inkorporasi allograft cancellous

menyebabkan produksi lapisan encapsulated jaringan fibrous disekitar graft

yang menghambat deposit osteoid baru dan tulang, sehingga menghambat

osteointegrasi (Roberts and Rosenbaum, 2012). Pada tabel 3 menunjukkan

ringkasan perbedaan sifat ostekonduktif, osteoinduktif, dan osteogenik, serta

indikasi penggunaan autograft dan allograft.

Tabel 2. Indikasi dan sifat osteokonduktif, osteoinduktif, dan osteogenik


penggunaan bone grafts (Baldwin et al., 2019).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

c) Xenograft

Xenograft merupakan transplantasi jaringan tulang dari spesies lain.

Senotransplantasi memiliki risiko transmisi penyakit (prison, retrovirus),

respon imun jaringan host post transplantasi, kekurangan sel yang viabel, dan

pengurangan sifat osteokonduktifnya (Schroeder and Mosheiff, 2011).

Xenograft bovine sering digunakan dan telah dibuktikan pada aplikasi cranio-

maxillofacial dengan tidak ada kejadian dari transmissible spongiform

encephalopathies (TSE) dan bovine spongioform encephalopathy (BSE)

(Kim, Nowzari dan Rich, 2013).

2) Klasifikasi Bone Graft Berdasarkan Sifat Kerja

a) Osteokonduktif

Osteokonduksi merupakan proses implanted scaffold yang secara

pasif menyebabkan pertumbuhan vaskular host, jaringan perivascular, dan

mesenchymal stem cells (MSCs). Secara mikroskopis, scaffold ini

memiliki struktur yang sama dengan tulang kanselus. Scaffold berfungsi

sebagai template interaksi sel dan pembentukan matriks ekstraseluler

tulang untuk menyediakan dukungan struktural jaringan baru yang

terbentuk. Scaffold seharusnya memfasilitasi infiltrasi sel, deposit matriks,

attachment sel dan terdiri dari material osteokonduktif seperti bone protein

dan hydroxyapatite, serta kemampuannya dalam menahan beban dan

menstimulasi osteogenesis (Khan et al., 2012). Osteoconductive scaffold

yang sering digunakan adalah calcium sulfate dan calcium phosphate

cement (Roberts and Rosenbaum, 2012).


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

b) Osteoinduktif

Osteoinduksi merupakan proses penyembuhan tulang dimana

osteogenesis diinduksi. Terjadi proses rekruitmen sel imatur atau MSCs

dan proses diferensiasinya menjadi chondroblas dan osteoblast, untuk

membentuk tulang baru melalui proses osifikasi endosteal. Proses ini

terutama diperantarai oleh bone morphogenic proteins (BMP) -2,-4,-7,

PDGF, interleukin, FGF, GMCSF, dan VEGF. Mayoritas proses ini terjadi

pada kasus fraktur.

c) Osteoprogenitor

Gold standard bone graft adalah autograft yang menyediakan

osteoconductive scaffold, osteoinductive growth factors¸dan sel-sel

progenitor. Sel osteoprogenitor atau sel osteogenik berperan penting dalam

pertumbuhan dan perbaikan tulang, yang tersimpan di sum-sum tulang. Sel

osteoprogenitor merupakan prekursor untuk sel osteosit dan osteoblast.

Berkembang dari sel mesenkimal infant, sel osteoprogenitor berkembang

menjadi sel spindle pada permukaan matured bones. Osteoprogenitor

bersifat self-proliferate dan self-renew.(Nahian dan Davis, 2020). Bone-

specific growth factors memberikan efek autokrin dan parakrin pada

proliferasi, diferensiasi, dan maturasi sel progenitor. Fibroblast growth

factor basic (FGF-2) diekpresikan di sel mesenkimal, sel osteoblast dan

disimpan di matriks ekstraseluler. FGF-2 menstimulasi osteokalsin dengan

jalur cAMP secara sinergik. Gen RUNX2 diregulasi oleh FGF-2. Sehingga

FGF-2 secara langsung mensimulasi diferensiasi sel progenitor. Selain itu,


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

osteogenic protein I (OP-1) yang diekspresikan di ginjal dan kartilago

menstimulasi diferensiasi dari sel progenitor.

Tabel 3. Rekomendasi substitusi bone graft pada aplikasi klinis (Roberts and
Rosenbaum, 2012)

B. Platelet Rich Fibrin


Plasma Rich Fibrin merupakan konsentrat platelet dan imun yang terkumpul

pada membran fibrin tunggal, berisi semua konstituen darah untuk proses healing

dan imunitas (Singh, Kohli and Gupta, 2012). Plasma rich fibrin adalah generasi

kedua fibrin-based biomaterial alami yang terbuat dari darah bebas antikoagulan

(thrombin) tanpa modifikasi biokimia, sehingga mencapai fibrin yang kaya platelet

dan growth factor (GF). Membran PRF berperan sebagai penghubung biologis

antara elemen graft yang berbeda, sebagai matriks yang mendukung

neoangiogenesis, capturing stem cells, dan migrasi sel osteoprogenitor ke center

graft (Kumar et al., 2016). Kandungan fibrin, platelet, leukosit, GF, dan sitokin

dalam PRF menjadi biomaterial potensial dalam regenerasi tulang dan jaringan

lunak (Rosamma Joseph, Sam and Vijay Amol, 2014). Platelet Rich Fibrin dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

digunakan sebagai biomaterial tunggal atau konjungsi dengan material grafting

untuk mempercepat regenerasi tulang (Bölükbaşi et al., 2013).

Dibandingkan dengan PRP (Platelet-rich plasma), generasi pertama GF

autolog sebagai stimulasi regenerasi tulang, dimana proses pelepasan GF

berlangsung cepat, PRF yang mengandung natural fibrin network mampu

melindungi GF dari proteolisis, sehingga GF dapat bekerja secara relatif lebih lama

dan menstimulasi regenerasi tulang secara efektif. Pelepasan TGF-β1 dan PDGF-

AB meningkat dan mencapai puncak di hari ke-14, kemudian menurun perlahan

(He et al., 2009). TGF-β1 dan PDGF-AB merupakan GF tebanyak yang mendorong

penyembuhan jaringan lunak dan tulang melalui stimulasi produksi kolagen untuk

memperbaiki kekuatan luka dan menginisiasi pembentukan kalus. Selain itu, TGF-

β dan PDGF menyebabkan kemotaksis sel prekusor osteoblast menuju sisi dimana

regenerasi tulang dibutuhkan, dan proses kemotaksis ini diikuti dengan proliferasi

dan diferensiasi osteoblast (Kim et al., 2014).

Platelet Rich Fibrin secara simultan mendorong angiogenesis, imunitas, dan

epithelial sebagai proses healing dan maturasi jaringan lunak. Kekakuan matriks

fibrin mempengaruhi pembentukan kapiler oleh sel endotel dalam responnya

terhadap stimulasi fibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth

factor (VEGF). Fibrin dan fibrinogen degradation products (FDP) menstimulasi

migrasi neutrophil dan meningkatkan ekspresi reseptor membrane CD11c/CD18.

Reseptor ini menyebabkan adhesi neutrophil menuju endothelium, hal ini sebagai

peran fibrin dalam kontrol imunitas (Singh, Kohli and Gupta, 2012).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Persiapan yang diperlukan untuk pembuatan PRF adalah: darah vena pasien

diambil sebelum operasi, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit tanpa anti-

koagulan di 10 ml vacutainer. Setelah disentrifugasi, menghasilkan tiga lapisan,

lapisan atas berupa plasma aseluler, lapisan tengah berupa fibrin clot, dan lapisan

bawah berupa sel darah merah. PRF dihasilkan dengan membuang lapisan atas,

mengumpulkan lapisan tengah hingga 2mm dibawah garis pembagi lapisan bawah.

Hal ini menghasilkan sekitar 97% platelet dan 50% leukosit dari volume darah awal

yang terkonsentrasi dalam PRF. Kesimpulannya adalah PRF memilik karakteristik

polimerisasi secara perlahan dan natural selama sentrifugasi, sehingga

menghasilkan konsentrasi thrombin yang fisiologis tanpa penambahan thrombin

bovin (Kumar et al., 2016).

Keuntungan PRF:

- Proses simple dan single step

- Sampel darah autolog dengan minimum manipulasi darah

- Polarisasi natural dengan reaksi imunologis minimal

- Dapat digunakan dengan bone graft

Kelemahan PRF:

- Membutuhkan tube kaca untuk mencapai polimerasi clot

- Keberhasilan protocol PRD bergantung secara langsung pada pengumpulan

darah dan proses sentrifugasi (Kumar et al., 2016)

C. Desain Studi Telaah Sistematis dan Meta-Analisis

1. Definisi

Dalam literatur kedokteran artikel yang menggabungkan berbagai hasil dari


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

studi orisinal disebut dengan literature review. Artikel jenis ini bersifat naratif dan

tidak dibuat secara sistematis, dalam arti penelusuran dan pemilihan aritikel yang

akan digabung tidak dilakukan dengan kriteria yang telah ditetapkan, kurang

melakukan telaah kritis dan evaluasi sistematis kepada kualitas artikel sehingga

dapat menyimpulkan bias akibat dari overview. Maka penulis hanya memilih artikel

yang mendukung pendapatnya saja dan tidak memilih sumber alain yang

bertentangan.

Systematic review merupakan analisis statistika yang dilakukan secara tidak

formal, sedangan analisis statistika yang dilakukan secara formal disebut dengan

meta-analisis. Meta-analisis yaitu suatu teknik statistika yang menggabungan dua

atau lebih hasil dari penelitian yang dapat digabungkan, sehingga didapatkan data

baru yang bersifat kuantitatif (Nindrea, 2016).

2. Tujuan

Tujuan dari meta-analisis pada umumnya tidak berbeda dengan jenis

penelitian klinis analitik, yaitu (Nindrea, 2016):

a. Untuk mendapatkan estimasi effect size, adalah kekuatan hubungan

atau besarnya perbedaan antar – variabel.

b. Melakukan inferensi dari data sampel ke populasi, baik menggunakan

uji hipotesis (nilai p) ataupun estimasi (interval kepercayaan).

c. Melakukan kontrol terhadap variabel yang pontensial yang bersifat

sebagai faktor perancu (counfounding) supaya tidak mengganggu

kemaknaan statistik dari hubungan atau perbedaan yang ditemukan.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

3. Alur

Meta – analisis merupakan metode penelitian tersendiri dan termasuk dalam

desain studi observasional retrospektif. Subjek meta – analisis adalah hasil

penelitian yang relevan dan akan disertakan dalam meta-analisis. Secara ringkas,

meta-analisis dapat dilakukan beberapa langkah sebagai berikut (Nindrea, 2016):

a. Identifikasi Sudi

Penelusuran (searching) bahan studi dilakukan dengan cara memasukan kata

kunci yang sudah ditetapkan pada database yang akan digunakan seperti PubMad,

google scholar, repository dll. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah dan jenis

pustaka yang didapatkan. Oleh karena itu, spesifikasi database stategi pencarian,

periode waktu, dan kata kunci (search terms) yang digunakan harus sesuai dengan

kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

b. Seleksi Studi

Artikel yang telah terkumpul diteliti satu persatu. Tahap tertama dalam

seleksi studi adalah memastikan bahwa semua artikel telah sesuai dengan kriteria

inklusi yang telah ditetapkan. Penyaringan (scrinning) dapat dilakukan dengan cara

review terhadap judul artikel tersebut. Selanjutnya, artikel dengan judul yang

berpotensi relevan akan di review abstraknya. Artikel yang sudah review

abstraknya dan berpotensi relevan, akan di review dalam bentuk full text. Setelah

melakukan review maka akan tersisa beberapa artikel yang akan masuk kedalam

tahap telaah sistematis.

c. Abstraksi Data

Setelah melakukan seleksi studi, semua penelitian yang sudah relevan akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

ditelaah sistematis dan beberapa variabelnya akan diambil (abstraksi). Informasi

yang diambil setiap penelitian akan dikelompokkna kedalam tabel dengan format

nama peneliti, lokasi studi, waktu peneliti, jumlah sampel, jumlah kasus, desain

studi, faktor resiko, cara pengukuran factor resiko, outcome dan komentar.

d. Analisis Data

Bagian terpenting dalam meta-analisis adalah penggabungan dari berbagai

penelitian. Penggabungan dari berbagai penelitian dengan jumlah subjek dan

kualitas yang berbeda tidak dapat diperlakukan sama, penelitian dengan jumlah

yang banyak dan kualitas lebih baik maka akan mendapatkan bobot yang lebih

besar. Selain itu, penelitian dengan outcome berupa data nominal dikotom, maka

penggabungan hasil dinyatakan dalam bentik odds, insiden, odd rasio atau resiko

relatif.

Mengingat besar sampel berbeda pada setiap penelitian, peneliti harus

melakukan uji heterogenitas. Hasil uji heterogenitas akan menentukan model

analisis dalam menghitung efek gabungan. Fixed efeect model digunakan untuk

antar peneliti homogen (nilai p heterogenitas >0,05 atau I² kecil) dan random effect

model digunakan untuk antar peneliti heterogen (nilai p heterogenitas <0.05 atau I²

besar). Selanjutnya, analisis data dilakukan mendapatkan nilai pooled relative risk

estimate dengan menggunakan metode Mentel-Haenzel (fixed effect model) dan

metode DerSimonia-Laird (random effect model) serta disajikan dalam bentuk

forest plot.

4. Kelebihan dan Keterbatasan

a. Kelebihan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

1) Medorong pemikiran sistematis tentang metode, kategorisasi,

populasi, intervensi, outcome dan cara untuk memadukan berbagai

bukti. Metode ini mengensimasi besarnya efek statistika (odds ratio

atau resiko relatif) dan kemaknaan nya.

2) Menggabungkan data dari berbagai studi sehingga meningkatkan

kemampuan generalisasi dan power statistic.

3) Jumlah individu bertambah banyak dalam meta-analisis sehingga

memberikan interpretasi data dengan kepercayaan yang lebih besar.

4) Jumlah subjek yang memungkinkan untuk menganalisis sub-grub

yang tidak dapat dilakukan pada penelitian aslinya.

5) Hasil meta-analisis memberi petunjuk penelitian lebih lanjut,

termasuk besar sampel yang diperlukan (Nindrea, 2016).

b. Keterbatasan

1) Bias publikasi merupakan masalah yang dihadapi dalam melakukan

meta-analisis. Metode ini hanya mencakup penelitian yang

dipubikasikan, sementara itu penelitian yang hasilnya negatif

biasnya tidak dipublikasikan sehingga memungkinkan tidak

menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

2) Besar sampel dalam meta-analisis sangat dibatasi dengan studi

relevan yang ada.

3) Peneliti harus mengikuti metode, kualitas dan kelengkapan data

yang dipakai oleh peneliti sebelumnya untuk menilai hasil studi.

(Ningrea, 2016)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

5. Kerangka Teori

Bone defect

Hypoxic
environtment
Hematom

• Kaskade Komplemen
Kerusakan Endotel
• Agregasi Platelet
Pembuluh darah
• Melepas isi granul α
Inflamation

• Macrophage, eosinophils,
neutrophils • PDGF, VEGF, FGF,
TFG-β
• TNF-α, IL-1 β, IL-6 PRF
• Sinyal kemotaktik
• FGF, PDGF, TGF- β
• C-C motif chemokine
ligand 2
• Proliferation of MSC
• Lokal osteoprogenitor
cell
Vascular remodelling • Fibroblast recruitment
(angiogenesis and
Proliferation vasculogenesis) (VEGF,
MMP9)
Alkaline Phosphatase

Osteocalcin

Differentioation MSC Condrocyte, Chondroblast,


and Osteoblast

• VEGF
• PDGF
• FGF
Formation of connective
• TFG-β
tissue and callus

Remodelling

Gambar 5. Kerangka Teori


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

6. Kerangka Konsep
Bone Defect

Hematoma Platelet α-Granul

Inflamasi

Proliferasi

PRF
Diferensiasi
MSC

 VEGF
 PDGF
 TGF-β
 FGF

 Osteoblas

Formasi jaringan konektif dan kalus 

Remodelling 

Keterangan :
: Variabel yang diteliti : Hasil yang diharapkan

Gambar 6. Kerangka Konsep


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

7. Hipotesis

a. Platelet-rich fibrin dapat mempercepat proses penyembuhan tulang pada

defek tulang tikus dibandingkan metode lain

b. Platelet-rich fibrin dapat mempercepat proses penyembuhan tulang pada

defek tulang tikus dibandingkan tidak diberikan apa-apa (secara fisiologis)

c. Kombinasi platelet-rich fibrin dengan metode lain dapat mempercepat

proses penyembuhan tulang pada defek tulang tikus dibandingkan platelet-

rich fibrin saja.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

Anda mungkin juga menyukai