Anda di halaman 1dari 2

Curahan Hati Suku Talang Mamak: Benteng Hutan Mendekati Keruntuhan

Dua pria sedang duduk bersila di atas tikar plastik. Mereka mengenakan batik. Saat berbicara,
suaranya mengalir lembut. Senyum dihadirkan kepada orang-orang yang menyapa mereka.

PRIA tersebut merupakan tokoh sentral dalam Suku Talang Mamak, yang bermukim di Dusun
Semerantihan, Desa Suo-Suo, Tebo. Mereka bernama Patih Serunai dan Bukhori. Serunai adalah
Ketua Adat Suku Talang Mamak. Patih merupakan gelar bagi Serunai. Bukhori adalah wakilnya.

Mereka berdua ditemui Tribun di sekretariat AJI Kota Jambi, pada Jumat (20/11). Sebelumnya, pada
hari yang sama, mereka menjadi narasumber di sebuah webinar, mengangkat isu urgensi pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat di Provinsi Jambi, diadakan Walhi Jambi.

Sinyal di tempat mereka tidak bagus. Keduanya juga tak bisa mengoperasikan aplikasi zoom meeting.
Akhirnya mereka memutuskan ke Kota Jambi, agar bisa tampil di acara yang dilakukan secara daring
tersebut. Selama dua jam acara berlangsung, dan mereka memberi gambaran situasi di dusunnya.

“Kami ini buta huruf, tidak paham yang begini (webinar), makanya kami ke Kota Jambi,” kata Patih
Serunai mengulas kegiatan itu. Walau menempuh perjalanan panjang, sekitar 10 jam dari dusunnya,
ia merasa senang dan puas, sebab ia bisa mengisahkan kondisi mereka terkini ke masyarakat luas.

Kisah yang ia sampaikan dalam webinar itu pun dia sampaikan lagi dalam wawancara dengan Tribun.
Patih Serunai mengungkapkan keresahan yang mereka alami dalam lima tahun terakhir ini. Menurut
dia, kini mereka sedang dalam posisi yang sulit, akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak.

Wilayah adat yang juga areal kehidupannya, yakni Dusun Semerantihan, seluas 7000 hektare, telah
masuk dalam izin konsesi areal restorasi ekosistem. Perusahaan restorasi mendapatkan izin yang
dikeluarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Nomor: 7/1/IUPHHK- HA/PMDN/2015.
Hutan areal konsesinya seluas 38.655 hektar di Tebo, kawasan hutan hujan tropis dataran rendah.

Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak tidak mengerti mengapa wilayah
adat mereka bisa masuk dalam konsesi perusahaan. Padahal mereka sudah sekitar dua abad tinggal
dan menetap di sana. Wilayah tersebut mereka tempati turun-temurun, sebelum republik ini berdiri.

“Apakah kami ini sebenarnya masih dianggap sebagai manusia?” nada bicara Serunai meninggi. Dia
tak habis pikir mengapa kebijakan seperti itu bisa keluar. Padahal juga, selama ini wilayah adatnya
masih sangat bagus dari sisi tutupan hutan dan ekosistemnya. Hutan tak rusak, sungai pun begitu.

Mereka selama ini menjaga supaya jangan sampai ada penebangan pohon sembarangan. Pohon
yang ada di hutan itu hanya ditebang mereka untuk kepentingan pembuatan rumah dan fasilitas
umum di dusunnya. Tidak boleh asal tebang, ada ritual khusus, tidak semua pohon bisa dibabat.

“Kami percaya ada malaikat yang menjaga pohon-pohon itu. Jadi harus dilihat dulu mana yang bisa
ditebang dan mana yang tidak bisa. Kalau ada yang ditebang, diganti dengan menanam bibit pohon
yang baru. Makanya pohon di hutan kami tidak berkurang, malahan nambah,” Bukhori menimpali.

Demikian juga dengan sungai. Ia mengatakan sungai di sana airnya masih tetap bersih. Mereka terus
menjaganya agar tidak rusak, sebab sebagian bekal hidupnya ada di sana. Rumah juga dibangun di
dekat sungai, sebagai bentuk kedekatan mereka dengan sumber air itu. Makanya, hingga kini suku
Talang Mamak masih dengan mudah mendapatkan ikan di sungai.

Tidak ada kerakusan untuk mendapatkan sumber pangan dari dalam sungai tersebut. Mereka tidak
membenarkan menangkap ikan dalam jumlah besar-besaran, apalagi sampai menggunakan setrum
dan racun. Bila melihat orang dari luar datang dengan peralatan menyetrum, akan langsung diusir.

“Kami juga selama ini tidak memburu binatang-binatang yang dilindungi seperti harimau dan gajah,”
ujar Patih Serunai. Ia pun berujar, bahwa sukunya sangat dekat dengan harimau. Tidak ada cerita
harimau mengganggu mereka. Harimau punya tempat tersendiri dalam kehidupan mereka, dan juga
kerap mereka beri makan. “Tidak ada cerita suku kami mati karena harimau,” tambahnya.

Hal inilah yang membuat Patih Serunai dan Bukhori serta masyarakat adat Talang Mamak mengkritisi
masuknya wilayah mereka dalam areal restorasi. Bagi mereka, memasukkan wilayahnya dalam areal
konsesi perusahaan, adalah sikap negara yang hingga kini belum mengakui keberadaan mereka.

Ini juga dipertegas dengan kondisi pembangunan infrastruktur di dusunnya. Mereka masih harus
lewat jalan tanah tak beraspal untuk bisa sampai ke Desa Suo-Suo. Ada kalanya harus jalan kaki.
Pada saat musim hujan, jalan tanah itu nyaris tak bisa dilewati kendaraan. Bakal lebih lama naik
motor dibandingkan jalan kaki. Jaraknya tempuhnya ke desa Suo-Suko sekitar tujuh kilometer.

Kondisi seperti ini pula yang membuat mereka sejak dulu tidak sekolah. Jarak sekolah ke dusunnya
terlalu jauh, sulit dijangkau. Generasi di bawah merekalah yang baru mengenal sekolah. Warganya
yang paling tinggi pendidikannya adalah SMA, yang saat ini masih sekolah. Belum ada sarjana.

Di dusun ini baru berdiri TK yang dibangun yayasan dan sebuah sekolah dasar. Ruang kelas SD ini
hanya dua lokal. Satu lokal untuk kelas 1-3, dan satu lokal lagi untuk kelas 4-6. Siswanya memang tak
banyak. Sementara secara keseluruhan, jumlah warga Dusun Semerantihan ini sekitar 300 orang.

Satu di antara anak yang sedang menimba ilmu di SMA itu adalah anak dari Patih Serunai. Dia bilang
akan memperjuangkan anaknya hingga batas kemampuan akhirnya. Selama anaknya mau sekolah, ia
akan berusaha memenuhinya. Tujuannya satu, anaknya bisa mengubah nasib kaumnya di dusun itu.

“Kami selama ini dengan mudah dipeloloi (diperdaya) orang-orang dari luar karena kami ini tidak
tahu huruf. Makanya saya sangat berjuang agar ada sekolah di dusun kami, dan menyekolahkan
anak-anak dusun kami, supaya jangan lagi ada yang mempeloloi kami,” tutur Serunai.

Abdullah, pengurus Walhi Eksekutif Daerah Jambi, yang juga turut dalam pertemuan itu mengatakan
faktor pendidikan ini telah turut serta membuat suku ini semakin termarginalkan. Banyak orang luar
yang masuk dengan kepentingan masing-msing, dan dengan mudah memperdaya kelompok ini.

“Mereka sering menyetujui di atas kertas sesuatu yang tak mereka tahu, membubuhkan cap jempol
di kertas, ganti tanda tangan. Mereka tidak bisa baca tulis. Banyak orang pintar yang datang, tega
untk memperdaya mereka,” tutur Abdullah. Ia menyebut satu di antara solusi terhadap persoalan
Suku Talang Mamak ini adalah menghadirkan regulasi pengakuan masyarakat adat. (suang
sitanggang. Artikel ini telah diterbitkan di Harian Tribun Jambi)

Anda mungkin juga menyukai