2, Desember2006
Emma Indirawati
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII
PENGANTAR
Mahasiswa adalah kelompok orang yang sedang menekuni bidang ilmu
tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Kelompok ini sering juga disebut
sebagai kelompok intelektual muda yang penuh bakat dan berlimpah berbagai
potensi. Posisi dan status yang demikian itu adalah berlaku untuk sementara waktu
saja, karena kelak para mahasiswa inilah yang menjadi pemimpin masa depan,
penggores pena sejarah perkembangan umat untuk selanjutnya. Melihat besarnya
potensi yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan, maka
sudah sepatutnyalah bila segala komponen bangsa dan masyarakat mengupayakan
pengembangan potensi-potensi yang dimiliki kepada hal-hal yang positif dan penuh
manfaat, baik bagi mahasiswa sendiri maupun bagi masyarakat dan negara ini pada
umumnya.
Dalam perspektif sosial, mahasiswa telah menunjukkan dinamika tersendiri
sebagai kelompok masyarakat yang ada pada posisi netral serta tidak memiliki
kepentingan tertentu. Hal ini telah menempatkan mahasiswa pada posisi yang
sangat disegani dan dihormati dalam setiap proses perubahan sosial masyarakat.
Mahasiswa Islam sebagai calon pemimpin dan pembina umat di masa depan
ini ditantang untuk mampu melaksanakan peran sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Jika ia gagal, akan berdampak negatif pada umat yang dipimpinnya kelak,
69
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
begitu pula sebaliknya. Pada intinya peran dan fungsi mahasiswa sangat diharapkan
penuh kualitas kebaikan dan keimanan yang tinggi sebagai seorang calon pemimpin
masa depan. Itulah harapan ideal yang diemban mahasiswa.
Fenomena yang secara nyata terjadi dapat kita lihat dalam kehidupansehari-
hari. Ada beberapa peristiwa yang terjadi jauh di luar dari apa yang diharapkan.
Misalnya banyak demonstrasi mahasiswa yang menggugat berbagai hal yang
disertai dengan tindakan anarkis (Kedaulatan Rakyat, October 2000). Seperti
kejadian yang terjadi di FMIPA Unsyiah, Banda aceh ketika terjadi kekerasan pada
ospek bagi mahasiswa baru yang disuruh untuk minum air kotor bekas cuci
tangannya (Detikcom, September 2000), serta telah membudayanya pergaulan
bebas di kalangan mahasiswa yang nota bene adalah juga manusia yang berada pada
fase remaja akhir (Kedaulatan Rakyat, November 2000), serta meningkatnya jumlah
mahasiswa yang terlibat dengan jaringan obat-obatan terlarang (Kedaulatan Rakyat,
Oktober 2000; Kompas, Juni 2000). Itu baru sebagian kecil dari fenomena yang
terjadi dalam keseharian kita.
Berbagai fakta dan data di atas, yang cukup memprihatinkan adalah para
pelaku tindakan amoral tersebut sebagian besar mahasiswa, yang notabene calon
pemimpin masa depan. Tidak dapat dipungkiri lagi, dalam hal ini terlihat dengan
jelas bahwa dekadensi atau kemerosotan moral tengah menjadi penyakit sosial yang
menggejala dalam masyarakat Indonesia. Salah satu yang bisa menjadi faktor
penyebab utama dekadensi moral itu terletak pada rendahnya kematangan beragama
di tengah masyarakat kita, yang secara perlahan-lahan ikut melunturkan nilai-nilai
moral yang berlaku di masyarakat sekitar.
Rendahnya kematangan beragama pada tiap individu dalam masyarakat
baik secara langsung ataupun tidak, ikut membentuk lingkungan yang tidak sehat
dalam perjalanan hidup seorang remaja, dalam hal ini mahasiswa. Karena
mahasiswa adalah sosok manusia yang masih melanjutkan pencarian identitas diri,
sehingga dia akan sangat mudah terpengaruh oleh keadaaan lingkungan yang tidak
sehat itu. Akibatnya mahasiswa ikut larut dalam prilaku-prilaku kurang bermoral.
Rendahnya kematangan beragama di tengah masyarakat secara tidak langsung juga
dapat memicu terjadinya banyak kesalahan dalam mencari jalan keluar atas
permasalahan yang tengah dihadapi. Dalam istilah psikologi, cara-cara pemecahan
atau pengatasan masalah itu disebut strategi coping. Yang muncul kemudian adalah
rangkaian permasalahan yang saling menjerat yang sulit dicari pemecahannya. Hal
itu terjadi karena setiap persoalan yang timbul justru menggunakan jalan keluar
yang kurang tepat, sehingga muncullah persoalan yang baru lagi.
Mahasiswa yang perkembangan keberagamaannya baik akan tumbuh
menjadi pribadi yang sehat dan bahkan sempurna. Demikian sebaliknya, mahasiswa
yang hidup dalam situasi keberagamaan yang kurang baik maka mereka tidak
mampu menjadi manusia yang utuh (Nashori, 1997). Selanjutnya Nashori (1997)
juga menjelaskan bahwa orang yang matang dalam beragama akan selalu mencoba
patuh terhadap ajaran agamanya. Banyak bukti menunjukkan bahwa orang yang
banyak melakukan ritual agama mendapatkan pengaruh positif bagi prilakunya.
Hadirnya seseorang pada sebuah acara ritual keagamaan secara rutin telah cukup
membuat kondisi kesehatan mereka stabil dan bahkan membaik dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukannya (satuned.com, Agustus 2000). Dengan
70
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
LANDASAN TEORI
Strategi Coping
Pada umumnya setiap manusia memiliki banyak kebutuhan yang ingin
selalu dipenuhinya dalam hidup. Kebutuhan itu dapat berapa kebutuhan fisik, psikis
dan sosial. Sayangnya, dalam kehidupan nyata kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak
selalu dapat dipenuhi. Keadaan itulah yang sering kali membuat manusia merasa
tertekan secara psikologis (psychological stress). Respon dari perasaan tertekan itu
dimanifestasikan manusia dalam bentuk prilaku yang bermacam-macam tergantung
sejauh mana manusia itu memandang masalah yang sedang dihadapi. Jika masalah
yang dihadapinya itu dipandang negatif oleh manusia, maka respon prilakunya pun
negatif, seperti yang diperlihatkan dalam bentuk-bentuk prilaku neurotis dan
patologis. Sebaliknya, jika persoalan yang dihadapi itu dipandang positif oleh
mereka yang mengalami, maka respon prilaku yang ditampilkan pun bisa dalam
bentuk penyesuaian diri yang sehat dan cara-cara mengatasi masalah yang
konstruktif (Lazarus, 1976). Menurut Lazaras pemilihan cara mengatasi masalah ini
disebut dengan istilah proses coping .
Menurut Lazarus dan Folkman (Persitarini, 1988), coping dipandang
sebagai faktor yang menentukan kemampuan manusia untuk melakukan
penyesuaian terhadap situasi yang menekan (stressful life events). Pada dasarnya
coping menggambarkan proses aktivitas kognitif, yang disertai dengan aktivitas
perilaku (Folkman, 1984). Pengertian perilaku coping yang dipergunakan pada
penelitian ini ialah strategi atau pilihan cara berupa respon perilaku dan respon
pikiran serta sikap yang digunakan dalam rangka memecahkan permasalahan yang
ada agar dapat beradaptasi dalam situasi menekan.
Ada banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui bentuk-
bentuk tingkah laku coping dalam situasi yang berbeda. McCrae (1984) dalam
penelitiannya tentang hubungan antara situasi dengan tingkah laku coping,
menemukan ada 19 tingkah laku coping yang signifikan yaitu reaksi permusuhan,
aksi rasional, mencari pertolongan, tabah, percaya pada takdir, mengekspresikan
perasaan-perasaan, berpikir positif, lari ke angan-angan, penolakan secara
intelektual, menyalahkan diri sendiri, tenang, bertahan, menarik kekuatan dari
kemalangan, menyesuaikan diri, berharap, aktif melupakan, lelucon, menilai
kesalahan dan iman atau kepercayaan. Stone dan Neale (1984) meneliti tentang
pengukuran tingkah laku coping sehari-hari. Ditemukan delapan tingkah laku,
antara lain perusakan, membatasi situasi, aksi langsung, katarsis, menerima,
mencari dukungan sosial, relaksasi dan religi.
Parker (1984) menemukan tiga dimensi coping yang efektif untuk
menurunkan tingkat depresi. Ketiga dimensi itu ialah selingan (distraction),
pemecahan masalah (problem solving) dan penghiburan diri (self consolation). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa prilaku coping yang dapat
memprediksikantimbulnya depresi ialah penghiburan diri, selingan dan
71
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
72
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
73
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Tafsir dari 6 ayat itu ialah janji dan kabar gembira dari Allah bahwa semua
kesulitan dari setiap persoalan manusia selalu ada jalan keluarnya, maka hadapilah
masalah itu dengan hati yang lapang. Maka langkah pertama saat mengalami
masalah ialah melapangkan dada, selapang-Iapangnya sehingga lahirlah positive
thinking terhadap masalah yang ada. Itulah separuh dari penyelesaian dari masalah.
Karena dengan berfikir positif, otak manusia dapat berfikir secara jernih mengenai
jalan keluar dari permasalahan yang ada.
b. Positive Acting.
Sebagaimana termaktub dalam ayat 7, Allah katakan : "Maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)
yang lain "
Dari ayat ini Allah memberikan langkah kedua dalam menyelesaikan
masalah, yaitu berusaha keras menyelesaikan persoalannya melalui perilaku-
perilaku nyata yang positif. Usaha konkrit ini adalah anjuran nyata dari Allah untuk
tidak mudah menyerah dalam menghadapi persoalan seberat apa-pun. Perintah ini
pun mengandung makna untuk tetap mencoba meminta bantuan manusia lain
sebagai perantara pertolongan dari-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan dalam ayat
lain dalam Al-Qur'an : "Jadikanlah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman sebagai penolongmu".
c. Positive Hoping
Sebagaimana tercantum dalam ayat terakhir surat Al-Insyirah ini yang
berbunyi, "Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap ". Makna ayat di
atas ialah setelah manusia berlapang dada dengan masalah yang ada, lalu manusia
mau dan mampu berusaha secara optimal dalam rangka menyelesaikan masalahnya
lalu usaha terahir yang tidak boleh ditinggalkan adalah: berdoalah dan
bertawakallah kepada Allah SWT mengenai hasil dari semua usaha yang telah
dilakukan itu. Allah menghendaki manusia sebagai makhluk-Nya mau berharap
secara total kepada-Nya sebagai bukti ketundukan, ketaatan dan kepercayaan
manusia kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih, lagi Maha Mendengar dan Maha
Mengabulkan permohonan. ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 153, yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ".
Sebagai akhir dari tiga cara itu, ada satu ayat lain yang dapat memperkuat
keyakinan manusia bahwa Islam benar-benar dapat dijadikan pedoman bagi
kebahagiaan dunia dan akhirat, pada Q.S. Luqman ayat 22, firman Allah: "Dan
barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali
yang kokoh. Dan hanya kepada Tuh-lah kemudahan segala urman."
Itulah rangkaian cara penyelesaian masalah (strategi coping) yang telah
diatur dalam Islam.
Kematangan Beragama
Menurut Allport (1953), kematangan beragama itu ialah watak
keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu
sendiri akan membentuk respon terhadap objek-objek atau stimulus yang
diterimanya yang berupa konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Pada akhirnya, konsep
74
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
dan prinsip-prinsip yang terbentuk dalam diri individu tersebut akan menjadi bagian
penting dan bersifat menetap dalam kehidupan pribadi individu sebagai agama. Jika
pada suatu saat keberagamaan individu sudah matang, maka kematangan beragama
itulah yang akan mengarahkan individu untuk bersifat dan bersikap terbuka pada
semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik
secara teoritis maupun praktek. Dalam upaya pencapaian kematangan beragama
pada diri individu, peran kedewasaan, kematangan, dan kemampuan dalam
memahami makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat dengan bersandar pada
sendi agama, menjadi faktor yang cukup menentukan. Dengan begitu, setiap fakta
atau nilai yang ditawarkan oleh lingkungan tidak akan diserapnya begitu saja, tetapi
tetap melalui proses pencernaan makna dan proses penyaringan yang selektif.
Pengalaman supra natural dan religius juga tidak dapat diabaikan sebagai faktor
yang turut berperan dalam membentuk pribadi yang memiliki kematangan
beragama.
Mencapai kematangan beragama yang ideal bukanlah suatu usaha yang
mudah seperti layaknya membalikkan telapak tangan. Harus diingat pula, bahwa
antara kehidupan beragama yang matang dibandingkan dengan yang tidak matang
tidak dapat begitu saja dipandang sebagai dua hal yang saling bertolak belakang,
tetapi layak untuk dipandang sebagai yang berproses dan berkesinambungan. Hal
ini dipertegas oleh Subandi (1995) yang mengungkapkan bahwa perkembangan
keberagamaan seseorang merupakan proses yang tidak akan pernah selesai.
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kematangan beragama
ialah keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah
pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap beipegang
teguh pada ajaran agama yang diyakini.
Selain memberikan pengertian kematangan beragama, Allport (1953) juga
menyertakan tentang beberapa ciri yang ada pada individu yang memiliki
kematangan beragama. Ciri-ciri tersebut ialah:
a. Kemampuan melakukan diferensiasi.
Individu mempunyai kemampuan melakukan diferensiasi yang baik,
sehingga akan bersikap dan berprilaku terhadap agama secara objektif, kritis,
reflektif, tidak dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Orang yang
matang dalam beragama akan mampu mengharmoniskan rasio dengan dogma,
mengobservasi dan mengkritik tanpa meninggalkan ketaatannya. Seseorang yang
memiliki kehidupan keagamaan yang terdifferensiasi adalah dia yang mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragama selain dari
segi sosial, spiritual, maupun emosional. Pandangannya tentang agama menjadi
lebih kompleks dan realistis (Allport, 1953).
Seseorang yang tidak mampu membedakan perasaan keagamaannya akan
serta merta menerima semua yang didapatkan dari agamanya tanpa pertimbangan
ilmu yang mendalam. Semua ajaran agama selalu dianggap selalu benar dan
sempurna begitu saja, tanpa ada keinginan untuk menggali informasi lain yang
dapat mengokohkan keyakinannya tentang kebenaran ajaran-ajaran agamanya. Jika
seseorang tidak menjadikan pengamatan serta refleksi objektifnya sebagai kebiasaan
yang haras selalu diutamakan, maka penerimaan terhadap agamanya seringkali akan
memunculkan fanatisme buta.
75
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
76
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Demikian juga tsabat yang terdapat dalam syari'at-syari'at Islam yang pasti dan jelas
(Qath'i) diuraikan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti dalam masalah pernikahan,
perceraian dan hukum waris.
Sedangkan hal-hal yang luwes itu ialah kebebasan dalam hal
dunia kemasyarakatan. Al-Qardhawi (1995) juga menjelaskan bahwa bagi yang mau
merenungkan Al-Qur'an, niscaya akan mendapatkan banyak bukti tentang
karakteristik ini, yakni "penyatuan antara tsabat dan tathowwur dengan penuh
keseimbangan". Salah satu contohnya yakni Tsabat akan tampak jelas dalam firman
Allah tentang sifat sebuah masyarakat muslim pada Q.S. Asy-Syuura ayat 38 : "Dan
bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. "
Juga firman-Nya dalam Q.S. Ali-Imran ayat 159: "Dan hendaklah engkau
(Muhammad) melakukan musyawarah dengan mereka dalam memutuskan perkara"
Dengan demikian sebuah masyarakat sama sekali tidak diperkenankan
untuk menghilangkan tradisi musyawarah dalam kehidupan sosial politik.
Sementara tathowwur terlihat jelas dalam hal tidak ditentukannya
jenisnnusyawarah yang harus dipegang oleh segenap manusia di setiap pelosok
bumi intuk selamanya. Maka dengan tidak adanya keterikatan akan jenis tertentu
dalam nusyawarah, kaum muslimin di sepanjang masa akan dapat merealisasikan
lusyawarah sesuai dengan kondisi dan situasi serta perkembangan
lasyarakatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Ra'du (13) ayat 8,
yang artinya :"...Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang bisa mengambil
pelajara. "
Seluruh penjelasan di atas, melahirkan kesimpulan bahwa diferensiasi
dalam keagamaan berarti sikap dan perilaku keagamaan yang observatif, kritis,
reflektif, berfikiran terbuka dan objektif dengan tetap memperhatikan bahwa
kebebasan mengkritisi ajaran agama itu dibatasi oleh aspek mana yang memang
luwes serta dapat dikolaborasi oleh manusia, dan mana aspek-aspek yang tetap
abadi dan konsisten untuk dijalankan tanpa adanya kebolehan dimodifikasi
sedemikian rupa.
b. Berkarakter dinamis.
Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu
mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan
yang dilaksanakan semuanya demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi, 1995).
Karakter dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonorn, dan
independen dalam kehidupan beragama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Q.S. Al-An'am ayat 161- 162, yang berarti : "Katakanlah: Sesungguhnya aku telah
ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama
Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.
Katakanlah : Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam".
Kesimpulannya orang yang matang keberagamaannya adalah yang
menjadikan agamanya sebagai motivasi intrinsik pada semua segi kehidupannya.
c. Konsistensi moral.
Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada
konsekwensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah
77
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
laku dengan nilai moral. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu
mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953). Mereka yang
matang dalam beragama akan selalu menyelaraskan antara tingkah laku dengan
nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Nilai-nilai moral dalam suatu agama
itu biasanya tercantum dalam kitab suci dalam agama itu, pada Islam nilai-nilai
moral itu dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadist. Termaktub dalam Al-Qur'an Surat
Al-Hadiid ayat 9 : "Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang
terang (Al-Qur 'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang terhadapmu "
Adanya keselarasan antara perilaku dengan nilai moral agama yang diyakini
merupakan kesimpulan dari sifat konsistensi moral yang dimiliki seseorang yang
matang keberagamaannya.
d. Komprehensif.
Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan
yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport,
1953). Shihab (1999) mengatakan bahwa toleransi memang mengandaikan adanya
perbedaan yang merupakan hukum dalam kehidupan ini. Dalam Al-Qur'an Allah
berfirman dalam Q.S. Al-Maidaah: 48, yang artinya : "Untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu
mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat
kebaikan "
Semua manusia haras berlapang dada dengan adanya pandangan atau
pendapat yang tidak sejalan dengan faham keagamaan yang diyakini. Semua itu
memang sudah menjadi hukum ketetapan Allah selaku Sang Pencipta dan Yang
Maha Berkehendak. Ketetapan dariNya tentang hadirnya berbagai perbedaan itu
diharapkan tidak membuat individu yang matang dalam beragama itu menjadi
gelisah atau memaksa orang lain untuk menganut pandangan tertentu. Sebagaimana
Allah firmankan dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 6, yang artinya : "Sungguh kasihanjika
kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Islam)” Juga ayat "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan
memaksa semua manusia agar menjadi orang-orangyang beriman? ". (Q.S.Yunus:
99)
Perbedaan di antara sesama umat, dalam hal ini Islam, tidak perlu sampai
menimbulkan perpecahan. Sebab sesungguhnya kita adalah bersaudara :
persaudaraan yang diberi landasan yang sangat kuat berdasarkan firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara (ikhwah)" (Q.S. Al~ Hujuraat
: 10).
Karena itulah menjadi kewajiban umat Islam untuk selalu berusaha
memupuk persaudaraan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya
atau terganggunya jalinan persaudaraan antara mereka.
Selain persaudaraan antar sesama umat Islam, juga perlu ditumbuhkan
hubungan yang harmonis serta tidak saling merugikan dengan para pemeluk
78
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
agama yang berbeda. Dalam Islam hal itii diatur dalam Q. S. Al-Kafirun ayat 1-5
dan dapat ditemukan pada Q.S.As-syuuraa: 15, yang berbunyi : "Bagi kami amal-
amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di
antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah kembali
(putusan segala urusan)".
Shihab (1999) mengemukakan bahwa Al-Qur'an juga menganjurkan agar
mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Qur'an
menganjurkan agar dalam berinteraksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling
menyalahkan.. "Katakanlah, Wahai Ahl alkitab, marilah kepada satu kalimat
kesepakatan yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagi Tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada mereka, Saksikanlah
(akuilah eksistensi kami) bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (Q.S. Ali
Imran: 64).
Apabila titik temu itu tidak tercapai, Al-Qur'an mengajarkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain
sebagai berikut : "Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan
yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai (bertanggungjawab) tentang
dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang hal yang
kamu perbuat. "Katakanlah, "Tuhan kita akan menghimpunkan kita semua,
kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah
Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui"(Q.S. Saba': 24-26).
Kesimpulannya keberagamaan yang matang membuat individu mampu
menerima perbedaan pendapat dengan individu yang lain, baik perbedaan agama
maupun perbedaan pendapat secara intern dengan orang yang seagama.
e. Integral.
Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau
menyatukan agama dengan segenap aspek lain dalam kehidupan, termasuk ilmu
pengetahuan di dalamnya (Subandi, 1995). Asmuni (1996) mengemukakan bahwa
tidak sedikit ayat Al-Qur'an dan hadits yang menganjurkan manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan serta mengaplikasikan Islam dalam semua segi
kehidupan. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 dikatakan-Nya, "Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaqfah atau menyeluruh dan
janganlah kamu ikut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuhyang nyata bagi kamu "
f. Heuristik.
Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari
keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan
pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Orang yang
matang dalam keberagamaannya, akan selalu sadar dengan keterbatasan dirinya
terhadap penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga ia secara aktif
akan selalu progresif meningkatkan penghayatan dan pengamalannya di dalam
beragama. Sebagaimana Allah SWT katakan dalam Q.S. An-Nahl ayat 97 :
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
79
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
80
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara
kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping. Artinya semakin
tinggi kematangan agama seseorang ia akan semakin cenderung menggunakan
problem focused coping.
METODE PENELITIAN
Subyek penelitian yang digunakan ialah mahasiswa Fakultas Bahasa dan
Seni (FBS) pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Fakultas Tarbiyah (Fty)
di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta (IAIN), baik pria maupun wanita,
angkatan 1997/1998 ke atas (mahasiswa tingkat akhir), berusia antara 21 tahun ke
atas, dan beragama Islam. Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang berada
pada minimal semester tujuh ke atas atau telah minimal tiga tahun kuliah di
perguruan tinggi.
Tehnik sampling yang digunakan ialah purposive sampling. Melalui tehnik
ini subjek dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pemilihan subjek ini
berdasarkan pada pertimbangan teknis, yaitu kesesuaian dengan kriteria yang
dikehendaki untuk mempermudah dalam pengontrolan pengambilan data terhadap
faktor-faktor yang dapat mengganggu.
Karakteristik subyek dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan Rabkin
dan Struening (Lugo dan Hershey, 1981) yang menemukan adanya peranan usia dan
pendidikan seseorang terhadap pemilihan strategi coping yang digunakan.
Menaghan (Billing dan Moos, 1984) menemukan adanya perbedaan kekomplekan
kognitif yang lebih tinggi pada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Inilah
yang mendasari pilihan subyek terdiri atas mahasiswa yang telah berada pada
semester 7 (minimal angkatan 1997/1998), dengan asumsi subyek adalah individu
yang lebih tinggi tingkat pendidikannya dibanding mahasiswa angkatan 1998/1999.
Sedangkan pilihan usia 21 tahun ke atas berdasarkan pandangan Hurlock (1996)
bahwa pada usia minimal 21 tahun inilah masa kestabilan emosi telah terbentuk
dalam diri individu pada umumnya. Sehingga diharapkan pada subyek telah
tertanam pula kematangan dalam beragama dan telah tepat di dalam menentukan
strategi copingnya.
Penentuan untuk menjadikan UNY dan IAIN sebagai tempat penelitian
berdasarkan asumsi bahwa UNY mewakili universitas negeri, sedangkan IAIN
mewakili universitas agama. Dengan asumsi bahwa semua fakultas pada kedua
institusi itu memiliki kesempatan yang sama untuk diteliti, dipilihlah salah satu
fakultas yang ada pada tiap institusi. Penentuan fakultas itu dilakukan dengan
mengundinya. Hasilnya, untuk UNY awalnya yang terambil adalah Fakultas Ilmu
Pendidikan (FIP), sedangkan di IAIN yang terambil adalah Fakultas Tarbiyah
(FTy). Setelah dicek di lapangan, ternyata di FIP jumlah mahasiswa angkatan
1997/1998 ke atasnya cuma sedikit, sementara di FTy jumlah mahasiswa tingkat
akhirnya cukup memadai untuk dijadikan subyek penelitian. Kemudian dilakukan
undian ulang pada UNY, hasilnya yang terambil adalah Fakultas Bahasa dan Seni
(FBS). Ketika dilakukan pengecekan pada Bagian Kependidikan yang mengurusi
81
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Formulasi Masalah
Sebelum memberikan respon jawaban, subyek akan dihadapkan pada stimulus yang
berupa situasi yang mengandung stres, sejalan dengan pendapat Billing dan Moss
(1984) bahwa cara individu menghadapi satu atau lebih kejadian stres merupakan
gambaran dari cara individu tersebut menghadapi kejadian stres pada umumnya.
Stimulus ini berupa situasi hipotetik yang dihadapi subyek, yang dinamakan
sebagai" masalah".
Penelitian Baron dan Byrne (Inawati, 1998) mengungkapkan adanya
berbagai peristiwa yang pada umumnya menimbulkan stres pada mahasiswa.
Apabila dibuat kategori peristiwa-peristiwa tersebut maka akan didapat 3 tingkatan
stres, yaitu stres tingkat rendah, sedang dan tinggi. Formulasi masalah atau kasus
dalam skala ini mengacu pada stressor tingkat sedang (moderate level), yaitu
meliputi (1) kegagalan dalam hubungan penting, (2) kehilangan bantuan finansial,
(3) jatuh dalam ujian dan (4) perubahan besar dalam kehidupan. Penulis sengaja
tidak memilih stres tingkat tinggi, karena menurut pertimbangan penulis jika
kasusnya hamil diluar nikah (sebagai penyebab stres tingkat tinggi) maka
82
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Hasil Penelitian
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian secara
singkat dapat dilihat pada label deskripsi data penelitian yang berisikan fungsi-
fiingsi statistik dasar. Dalam label 1 disajikan secara lengkap liap-liap variabel
untuk Skala Kecenderungan Strategi Coping dan Skala Kemalangan Beragama.
Tabel 1
Deskripsi Data Penelitian
Variabel Teoritik Empirik
Keterangan:
Max :Maksimal Mean : rerata
Min : Minimum SD : deviasi standar
83
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Tabel 2.
Kriteria Kategori Skala Kecenderungan Strategi Coping
Kategori Skor
Tabel 3
Kriteria Kategori Skala Kematangan Beragama
Kategori Skor
84
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
PEMBAHASAN
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyebutkan ada
hubungan positif antara variabel kematangan beragama dengan kecenderungan
strategi coping pada mahasiswa terbukti. Angka koefisien korelasi sebesar 0, 376
menunjukkan hubungan antara kedua variabel bersifat positif. Artinya ialah semakin
tinggi kematangan beragama yang diperoleh seseorang maka akan semakin tinggi
kecenderungan strategi copingnya menuju kepada Problem focused coping. Dengan
kata lain, pengaruh kematangan beragama terhadap kecenderungan strategi coping
menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama yang tinggi
maka akan cenderung pada problem focused coping (PFC) saat ia bermasalah,
sebaliknya seseorang yang memiliki kematangan beragama yang relatif rendah
maka akan lebih cenderung menggunakan emotional focused coping (EFC) dalam
penyelesaian masalahnya. Ini berarti tinggi rendahnya kematangan beragama
mampu menjadi salah satu prediktor bagi tinggi rendahnya kecenderungan strategi
coping.
Hasil tambahan ditemukan bahwa sumbangan efektif dari kematangan
beragama terhadap tingginya kecenderungan seseorang pada problem focused
coping itu sebesar 14, 20 %, berarti masih ada 85, 80 % dari beberapa variabel lain
yang tidak ikut dikendalikan dalam penelitian ini yang memberikan sumbangan
terhadap kecenderungan strategi coping seseorang. Variabel lain itu mungkin tipe
85
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
kepribadian, terfokusnya jenis masalah yang disajikan dan penilaian terhadap diri
sendiri pada sampel penelitian.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Hadisuprapto (Elyza, 1996) mengemukakan bahwa peningkatan pemahaman
keagamaan pada diri seseorang akan mempengaruhi strategi seseorang dalam
menghadapi masalahnya.
Penelitian McCrae (1984) tentang hubungan antara situasi dengan tingkah laku
coping, menemukan ada 19 tingkah laku coping yang signifikan digunakan, yang
salah satunya adalah iman atau kepercayaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan Stone dan
Neale (1984) bahwa saat tingkah laku coping sehari-hari itu diukur, ditemukan
delapan strategi coping yang biasa digunakan, termasuk religi (agama) adalah salah
satunya yang bisa dijadikan acuan coping sehari-hari.
Darajat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari
kepribadian seseorang. Keyakinan itu mengawasi segala tindakan, perkataan,
bahkan perasaannya. Pada saat seseorang terbentur pada suatu permasalahan, maka
keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti dan mencari
tahu bagaimana ajaran agamanya mengatur atau memberikan solusi terhadap
permasalahan tersebut.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa skor mean empirik variabel
kematangan beragama pada subjek yang menuntut ilmu di Fakultas Bahasa dan
Seni, UNY dan Fakultas Tarbiyah di IAIN berada di atas mean teoritisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kematangan beragama pada subjek penelitian pada kedua
peiguruan tinggi itu mempunyai skor kematangan beragama yang termasuk kategori
tinggi. Kenyataan ini merapakan hal positif yang perlu dijaga bahkan untuk terus
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Mahasiswa hendaknya dapat menghayati
dan mengamalkan ajaran agamanya agar menjadi rahmat bagi alam.
PENUTUP
Berdasarkan analisis data hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa ada korelasi atau hubungan positif antara kematangan beragama dengan
kecenderungan strategi coping yaitu Problem focused coping pada mahasiswa
Fakultas Bahasa dan Seni pada UNY dan Fakultas Tarbiyah pada IAIN. Dengan
koefisien determinasi kematangan beragama terhadap kecenderungan strategi
coping sebesar 14, 82 %. Semakin tinggi kematangan beragama semakin tinggi
kecenderungan menggunakan Problem Focused Coping (PFC), begitu pula
sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang tak luput dari berbagai
keterbatasan ini, ada beberapa saran yang bisa penulis rekomendasikan guna
mengembangkan penelitian-penelitian serupa di waktu mendatang. Penelitian ini
hanya terbatas pada sebuah fakultas pada dua lingkup institusi saja, maka pada
penelitian lanjutan sekiranya perlu untuk memperluas area penelitian guna
menambah variasi, menghindari bias dalam penelitian dan dimungkinkan untuk
mendapatkan hasil yang akurat.
Penelitian selanjutnya dapat lebih cermat lagi dalam mengendalikan variabel-
variabel lain yang diperkirakan akan banyak mempengaruhi hasil penelitian kelak.
86
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
DAFTAR FUSTAKA
Ancok, D. & Suroso,F.N. 1994. Psikologi Island: Solusi Islam atas Problem-
problem PsikologL Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
87
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Azwar, S. 1993. "Kelompok Subyek Ini Memiliki Harga Diri Yang Rendah" ; Kok,
Tahu...?. Buletin Psikologi, Vol. 2, hal. 13-17. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Billings, A. G. & Moos, R. H. 1984. Coping, Stress, and Social Resources Among
Adults with Unipolar Depression. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol. 46, hal. 877 - 891.
Bukit, K. 1999. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Strategi Coping Dalam
Menghadapi Stres pada Mahasiswa, Skripsi (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
Chaplin. 1997. Kamus Lengkap Psikologi. (Terjemahan, cetakan keempat). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Coyne, J.C. Aldwin, C. & Lazarus, R.S. 1981. Depression and Coping in Stressful
Episodes. Journal of Abnormal Psychology. Vol. 90. Hal. 278-287.
Darajat, Z. 1991. limit JiwaAgama (Cetakan Ketiga belas). Jakarta: PT. Karya
Unipress.
_______. 1978. Per anon Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit
Gunung Agung.
Daulay, H. 2000. Isra Mikraj dan Kegersangan Spiritual Umat Dewasa Ini.
Kedaulatan Rakyat, 24 Oktober 2000, hal.6.
Depag RI IAIN Suka .2000. Buku Panduan IAIN Stman Kalijaga (Tidak
diterbitkan). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
88
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Dzuhayatin, S.R. 1997. Marital Rape (Bahasan Awal dari Perspektif Islam). Dalam
Prasetyo, E. dan Marzuki, S. (Ed.). Perempuan Dalam Wacana Perkosaan.
Yogyakarta: PKBI Yogyakarta.
Fleming, R., Baum, A., & Singer, J.E. 1984. Toward An Integrative Approach to
The Study Of Stress. Journal Personality And Social Psychology. Vol. 46,
hal. 939-949.
Folkman, S. 1984. Personal Control and Stress and Coping Process: A Theoritical
Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46 (4), hal.
839-852.
Hidayat, K. 1994. Agama Untuk Kemanusiaan. Kliping Edisi 11: Islam dan
Tantangan Modernitas (Tidak diterbitkan). Surakarta: Lembaga Studi Islam
UMS.
Hollahan, C.J., & Moos, R.H. 1987. Personal and Contextual Determinants of
Coping Strategies. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 52.
hal.946 - 955.
89
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Kobasa, S.C, & Maddi, S.R. & Khan, S. 1982. Hardiness and Health: A Prospective
Study. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 42. hal. 707 -
717.
Faawati, S. 1998. Strategi Menghadapi Masalah Ditinjau Dari Orientasi Peran Jenis.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Lugo, J. O, & Hershey, G. L. 1981. Living Psychology, 3rd ed New York: The
Macmillan Co.
McCrae, R.R. 1984. Situational Determinants of Coping Responses: Loss, Threat,
and Challenge. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46. hal.
919 - 928.
O'Dea, T.F. 1990. Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal. (Cetakan ketiga).
Jakarta: CV. Rajawali.
Parkers, K.R. 1984. Locus of Control, Cognitive Appraisal, and Coping in Stressful
Episodes. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46. hal. 655 -
668.
Patnani,M. 1999. Kekerasan Fisik Terhadap Anak dan Startegi Coping Yang
Dikembangkan Anak. SkripsL (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Patterson, J.M. & McCubbin, H.I. 1984. Gender Roles and Coping. Journal of
Marriage and The Family. February. Vol. 25. Hal. 345-358.
Pearlia L.I. & Shooler, C. 1978. The Structure of Coping. Journal of Health and
Social Behavior. Vol. 19. hal. 2-21.
90
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Persitarini, E. 1988. Pusat Pengendali dan Strategi Menghadapi Masalah pada Pria
dan Wanita, Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM.
Pestonjee, D.M. 1992. Stress And Coping. The Indian Experience. New Delhi: Sage
Publication
Rustam, A. 1994. Strategi Coping Mahasiswi Saat Menstruasi Dan Saat Tidak
Menstruasi. Laporan Penelitian (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Santoso, S. 2000. SPSS Mengolah Data Statist Secara ProfesionaL Jakarta: P.T.
Gramedia.
Setyawati, N. 1984. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dan Usia dengan Tingkah
Laku Coping pada Wanita Usia Lanjut yang Tinggal di Panti Wreda.
Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Shinn, M., Rosario, M., Morch, H., & Chestnut, D.E. 1984. Coping with Job Stress:
Divergent Strategies of Optimists and Pesimists. Journal of Personality and
Social Psychology, vol. 46. hal. 864 - 876.
91
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
Tri Yusnidar. 2000. Di FMIPA Unsyiah Peserta Ospek Minum Air Kobokan. .
Detik, com/kampus/berita, 1 September 2000.
_______ 2000. Kasus Ganja di Ponjong: Polisi Tangkap Satu Tersangka lagi.
Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2000, hal. 4.
_______ 2000. Di Balik Kasus Ganja Di Ponjong: Awalnya, Cinta Seorang Ibu.
Kedaulatan Rakyat. 2 Oktober 2000, hal. 4.
2000. Aparat FOLD A DIY Terkesan Tertutup: 'Broker' SS dan Ekstasi Masih
Diburu. Kedaulatan Rakyat, 24 Oktober 2000, hal. 1& 12.
_______. 2000. Romantika Kos - Kosan Di Kota Yogya (3-Habis) "Saya Pernah
Mengintip Dia Melakukan Hubungan Seks". Kedaulatan Rakyat, 5
November 2000, hal. 12.
_______. 2000. Manfaat Agama Bagi Kesehatan. wtw. satumed. com, 8 Agustus
2000.
92