Anda di halaman 1dari 24

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No.

2, Desember2006

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA


DENGAN KECENDERUNGAN STRATEGI COPING

Emma Indirawati
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan


antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan Strategi
Coping pada mahasiswa. Hipotesis yang diajukan adalah ada
hubungan positif antara Kematangan Beragama dengan
Kecenderungan Strategi Coping. Semakin tinggi kematangan
beragama semakin tinggi strategi coping.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Bahasa
dan Seni pada UNY dan Fakultas Tarbiyah pada IAIN. Alat ukur
yang digunakan adalah Skala Kematangan Beragama dan Skala
Strategi Coping.
Berdasarkan analisis data hasil penelitian ini, diketahui
bahwa ada korelasi atau hubungan positif antara kematangan
beragama dengan kecenderungan strategi coping yaitu Problem
focused coping pada Dengan koefisien determinasi kematangan
beragama terhadap kecenderungan strategi coping sebesar 14, 82
%. Semakin tinggi kematangan beragama semakin tinggi
kecenderungan menggunakan Problem Focused Coping (PFC),
begitu pula sebaliknya.

Kata Kunci: Kematangan beragama, strategi coping

PENGANTAR
Mahasiswa adalah kelompok orang yang sedang menekuni bidang ilmu
tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Kelompok ini sering juga disebut
sebagai kelompok intelektual muda yang penuh bakat dan berlimpah berbagai
potensi. Posisi dan status yang demikian itu adalah berlaku untuk sementara waktu
saja, karena kelak para mahasiswa inilah yang menjadi pemimpin masa depan,
penggores pena sejarah perkembangan umat untuk selanjutnya. Melihat besarnya
potensi yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan, maka
sudah sepatutnyalah bila segala komponen bangsa dan masyarakat mengupayakan
pengembangan potensi-potensi yang dimiliki kepada hal-hal yang positif dan penuh
manfaat, baik bagi mahasiswa sendiri maupun bagi masyarakat dan negara ini pada
umumnya.
Dalam perspektif sosial, mahasiswa telah menunjukkan dinamika tersendiri
sebagai kelompok masyarakat yang ada pada posisi netral serta tidak memiliki
kepentingan tertentu. Hal ini telah menempatkan mahasiswa pada posisi yang
sangat disegani dan dihormati dalam setiap proses perubahan sosial masyarakat.
Mahasiswa Islam sebagai calon pemimpin dan pembina umat di masa depan
ini ditantang untuk mampu melaksanakan peran sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Jika ia gagal, akan berdampak negatif pada umat yang dipimpinnya kelak,

69
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

begitu pula sebaliknya. Pada intinya peran dan fungsi mahasiswa sangat diharapkan
penuh kualitas kebaikan dan keimanan yang tinggi sebagai seorang calon pemimpin
masa depan. Itulah harapan ideal yang diemban mahasiswa.
Fenomena yang secara nyata terjadi dapat kita lihat dalam kehidupansehari-
hari. Ada beberapa peristiwa yang terjadi jauh di luar dari apa yang diharapkan.
Misalnya banyak demonstrasi mahasiswa yang menggugat berbagai hal yang
disertai dengan tindakan anarkis (Kedaulatan Rakyat, October 2000). Seperti
kejadian yang terjadi di FMIPA Unsyiah, Banda aceh ketika terjadi kekerasan pada
ospek bagi mahasiswa baru yang disuruh untuk minum air kotor bekas cuci
tangannya (Detikcom, September 2000), serta telah membudayanya pergaulan
bebas di kalangan mahasiswa yang nota bene adalah juga manusia yang berada pada
fase remaja akhir (Kedaulatan Rakyat, November 2000), serta meningkatnya jumlah
mahasiswa yang terlibat dengan jaringan obat-obatan terlarang (Kedaulatan Rakyat,
Oktober 2000; Kompas, Juni 2000). Itu baru sebagian kecil dari fenomena yang
terjadi dalam keseharian kita.
Berbagai fakta dan data di atas, yang cukup memprihatinkan adalah para
pelaku tindakan amoral tersebut sebagian besar mahasiswa, yang notabene calon
pemimpin masa depan. Tidak dapat dipungkiri lagi, dalam hal ini terlihat dengan
jelas bahwa dekadensi atau kemerosotan moral tengah menjadi penyakit sosial yang
menggejala dalam masyarakat Indonesia. Salah satu yang bisa menjadi faktor
penyebab utama dekadensi moral itu terletak pada rendahnya kematangan beragama
di tengah masyarakat kita, yang secara perlahan-lahan ikut melunturkan nilai-nilai
moral yang berlaku di masyarakat sekitar.
Rendahnya kematangan beragama pada tiap individu dalam masyarakat
baik secara langsung ataupun tidak, ikut membentuk lingkungan yang tidak sehat
dalam perjalanan hidup seorang remaja, dalam hal ini mahasiswa. Karena
mahasiswa adalah sosok manusia yang masih melanjutkan pencarian identitas diri,
sehingga dia akan sangat mudah terpengaruh oleh keadaaan lingkungan yang tidak
sehat itu. Akibatnya mahasiswa ikut larut dalam prilaku-prilaku kurang bermoral.
Rendahnya kematangan beragama di tengah masyarakat secara tidak langsung juga
dapat memicu terjadinya banyak kesalahan dalam mencari jalan keluar atas
permasalahan yang tengah dihadapi. Dalam istilah psikologi, cara-cara pemecahan
atau pengatasan masalah itu disebut strategi coping. Yang muncul kemudian adalah
rangkaian permasalahan yang saling menjerat yang sulit dicari pemecahannya. Hal
itu terjadi karena setiap persoalan yang timbul justru menggunakan jalan keluar
yang kurang tepat, sehingga muncullah persoalan yang baru lagi.
Mahasiswa yang perkembangan keberagamaannya baik akan tumbuh
menjadi pribadi yang sehat dan bahkan sempurna. Demikian sebaliknya, mahasiswa
yang hidup dalam situasi keberagamaan yang kurang baik maka mereka tidak
mampu menjadi manusia yang utuh (Nashori, 1997). Selanjutnya Nashori (1997)
juga menjelaskan bahwa orang yang matang dalam beragama akan selalu mencoba
patuh terhadap ajaran agamanya. Banyak bukti menunjukkan bahwa orang yang
banyak melakukan ritual agama mendapatkan pengaruh positif bagi prilakunya.
Hadirnya seseorang pada sebuah acara ritual keagamaan secara rutin telah cukup
membuat kondisi kesehatan mereka stabil dan bahkan membaik dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukannya (satuned.com, Agustus 2000). Dengan

70
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

kata lain, integrasi dan keseimbangan aspek-aspek religiusitas akan menumbuhkan


pribadi-pribadi yang seutuhnya, yang selaras antara keyakinan, pengetahuan dan
pengalaman dalam kehidupannya, yang dalam hal ini akan berhubungan erat dengan
sejauh mana kualitas strategi coping pada mahasiswa saat dia menghadapi masalah.

LANDASAN TEORI
Strategi Coping
Pada umumnya setiap manusia memiliki banyak kebutuhan yang ingin
selalu dipenuhinya dalam hidup. Kebutuhan itu dapat berapa kebutuhan fisik, psikis
dan sosial. Sayangnya, dalam kehidupan nyata kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak
selalu dapat dipenuhi. Keadaan itulah yang sering kali membuat manusia merasa
tertekan secara psikologis (psychological stress). Respon dari perasaan tertekan itu
dimanifestasikan manusia dalam bentuk prilaku yang bermacam-macam tergantung
sejauh mana manusia itu memandang masalah yang sedang dihadapi. Jika masalah
yang dihadapinya itu dipandang negatif oleh manusia, maka respon prilakunya pun
negatif, seperti yang diperlihatkan dalam bentuk-bentuk prilaku neurotis dan
patologis. Sebaliknya, jika persoalan yang dihadapi itu dipandang positif oleh
mereka yang mengalami, maka respon prilaku yang ditampilkan pun bisa dalam
bentuk penyesuaian diri yang sehat dan cara-cara mengatasi masalah yang
konstruktif (Lazarus, 1976). Menurut Lazaras pemilihan cara mengatasi masalah ini
disebut dengan istilah proses coping .
Menurut Lazarus dan Folkman (Persitarini, 1988), coping dipandang
sebagai faktor yang menentukan kemampuan manusia untuk melakukan
penyesuaian terhadap situasi yang menekan (stressful life events). Pada dasarnya
coping menggambarkan proses aktivitas kognitif, yang disertai dengan aktivitas
perilaku (Folkman, 1984). Pengertian perilaku coping yang dipergunakan pada
penelitian ini ialah strategi atau pilihan cara berupa respon perilaku dan respon
pikiran serta sikap yang digunakan dalam rangka memecahkan permasalahan yang
ada agar dapat beradaptasi dalam situasi menekan.
Ada banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui bentuk-
bentuk tingkah laku coping dalam situasi yang berbeda. McCrae (1984) dalam
penelitiannya tentang hubungan antara situasi dengan tingkah laku coping,
menemukan ada 19 tingkah laku coping yang signifikan yaitu reaksi permusuhan,
aksi rasional, mencari pertolongan, tabah, percaya pada takdir, mengekspresikan
perasaan-perasaan, berpikir positif, lari ke angan-angan, penolakan secara
intelektual, menyalahkan diri sendiri, tenang, bertahan, menarik kekuatan dari
kemalangan, menyesuaikan diri, berharap, aktif melupakan, lelucon, menilai
kesalahan dan iman atau kepercayaan. Stone dan Neale (1984) meneliti tentang
pengukuran tingkah laku coping sehari-hari. Ditemukan delapan tingkah laku,
antara lain perusakan, membatasi situasi, aksi langsung, katarsis, menerima,
mencari dukungan sosial, relaksasi dan religi.
Parker (1984) menemukan tiga dimensi coping yang efektif untuk
menurunkan tingkat depresi. Ketiga dimensi itu ialah selingan (distraction),
pemecahan masalah (problem solving) dan penghiburan diri (self consolation). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa prilaku coping yang dapat
memprediksikantimbulnya depresi ialah penghiburan diri, selingan dan

71
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

pengurangan ketegangan (affect reduction). Dimensi selingan berisi aitem-aitem


mengenai pencarian tantangan dalam aktivitas baru, menyibukkan diri dalam
pekerjaan dan melaksanakan suatu aktivitas baru. Aitem yang termasuk dalam
dimensi penghiburan diri antara lain mendengarkan musik dan mencari kehangatan.
Mengkonsumsi alkohol atau obat tidur secara berlebihan merupakan aitem yang
termasuk ke dalam dimensi pengurangan ketegangan.
Shinn, Rosario, Morch dan Chesnut (1984) dalam penelitian yang
berhubungan dengan pekerjaan pelayanan jasa, membagi perilaku coping menjadi
beberapa bagian, yaitu kemampuan membangun, mengubah pendekatan terhadap
pekerjaan, mengubah pola kerja, strategi emotional-cognitive, memusatkan
perhatian di luar pekerjaan dan mengambil kesempatan.
Pareek (Pestonjee, 1992) mengemukakan delapan strategi coping yang
biasa digunakan, yaitu impunitive (menganggap tidak ada lagi yang dapat dilakukan
dalam menghadapi tekanan dari luar), Intropunitive (tindakan menyalahkan diri
sendiri saat menghadapi masalah), Extrapunitive (melakukan tindakan agresi saat
bermasalah), Defensiveness (melakukan pengingkaran atau rasionalisasi),
Impersistive (merasa optimis bahwa waktu akan menyelesaikan masalah dan
keadaan akan membaik kembali), Intropersistive (mengharapkan orang lain akan
membantu menyelesaikan masalahnya), dan Interpersistive (percaya bahwa
kerjasama antara dirinya dengan orang lain akan dapat mengatasi masalah).
Sehubungan dengan banyaknya penelitian mengenai perilaku coping, maka
banyak ahli yang berusaha mengklasifikasikan bentuk-bentuk-bentuk tingkah laku
tersebut. Sayangnya, pengklasifikasian ini pun masih belum mencapai kesepakatan
yang penuh, sehingga hanya sedikit ahli yang mengklasifikasikan bentuk perilaku
itu berdasarkan daerah (fokus) respon sedangkan sebagian besar hanya
mendasarkan pada bentuk respon dalam pengklasifikasian tersebut.
Lazarus dan Folkman (Inawati, 1998) mengklasifikasikan coping menjadi
dua bagian, yaitu Approach-coping dan Avoidance-coping. Approach-coping yang
disebut juga dengan problem-focused-coping itu memiliki sifat analitis logis,
mencari informasi serta berusaha untuk memecahkan masalah dengan penyesuaian
yang positif. Sedangkan Avoidance-coping, yang disebut juga emotional focused
coping. Itu bercirikan represi, proyeksi, mengingkari dan berbagai cara untuk
meminimalkan ancaman (Hollahan dan Moss, 1987).
Aldwin dan Revenson (Bukit, 1999) membagi Approach-coping menjadi
tiga bagian, yaitu:
a. Cautiousness (kehati-hatian) yaitu individu berpikir dan mempertimbangkan
beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang
lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang
pernah dilakukan sebelumnya.
b. Instrumental Action (tindakan instrumental) adalah tindakan individu yang
diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun
langkah yang akan dilakukannya.
c. Negotiation (Negosiasi) merupakan beberapa usaha oleh seseorang yang
ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab
masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.

72
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Untuk Avoidance Coping atau Emotion-Focused-Coping menurut Aldwin


dan Revenson (Bukit, 1999) terbagi menjadi:
a. Escapism (melarikan diri dari masalah) ialah perilaku menghindari masalah
dengan cara membayangkan seandainya berada dalam suatu situasi lain yang
lebih menyenangkan; menghindari masalah dengan makan ataupun tidur; bisa
juga dengan merokok ataupun meneguk minuman keras.
b. Minimization (menganggap masalah seringan mungkin) ialah tindakan
menghindari masalah dengan menganggap seakan-akan masalah yang tengah
dihadapi itu jauh lebih ringan daripada yang sebenarnya.
c. Self Blame (menyalahkan diri sendiri) merupakan cara seseorang saat
menghadapi masalah dengan menyalahkan serta menghukum diri secara
berlebihan sambil menyesali tentang apa yang telah terjadi.
d. Seeking Meaning (mencari hikmah yang tersirat) adalah suatu proses di mana
individu mencari arti kegagalan yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba
mencari segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini
individu coba mencari hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah
yang telah dan sedang dihadapinya.
Strategi coping pada penelitian ini secara garis besar dibedakan atas dua
fungsi utama, yaitu problem-focused-coping (strategi coping dengan berorientasi
pada masalah) dan Emotion-focused-coping (strategi coping yang berorientasi pada
emosi). Strategi coping yang berorientasi pada masalah (selanjutnya disingkat PFC)
merupakan usaha yang dilakukan individu dengan cara menghadapi secara langsung
sumber penyebab masalah. PFC terdiri atas 3 bentuk, yaitu: kehati-hatian (C =
Cautiousness}, aksi instrumental (IA = Instrumental Action), negosiasi (N =
Negotiation). Sedangkan strategi coping yang berorientasi pada emosi (selanjutnya
disingkat EFC) lebih diarahkan pada usaha untuk menghadapi tekanan-tekanan
emosi atau stres yang ditimbulkan oleh problem yang dihadapi. EFC terdiri atas 4
bentuk, yaitu: melarikan diri dari masalati (E = Escapism), menganggap masalah
seringan muiigkin (M = Minimization), menyalahkan diri sendiri (SB = Self Blame),
mencari makna tersirat (SM = Seeking Meaning).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku coping
seseorang. Faktor-faktor itu antara lain jenis masalah, jenis kelamin, pendidikan,
kepribadian maupun Locus Of Control pada diri seorang individu, penilaian diri,
saat menstruasi atau tidak pada mahasiswi, juga dukungan sosial dan peningkatan
pemahaman agama.
Dalam Islam, Allah telah mengatur dan memberi manusia berbagai cara
untuk mengatasi masalah dalam hidup. Menurat Bahreisy (1992) dalam Al-Qufan
Allah telah mencantumkan secara tersirat tahap-tahap yang haras dilalui seseorang
untuk dapat menyelesaikan masalahnya yakni pada Q.S. Al-Insyirah ayat 1-8. Ada
tiga langkah yang bisa dilakukan seseorang saat menghadapi permasalahan, yaitu:
a. Positive Thinking.
Sebagaimana terjemahan ayat 1 sampai 6, Allah katakan: "Bukankah telah
Kami lapangkan untukmu dadamu? Dan telah Kami hilangkan daripadamu
bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan
namamu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

73
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Tafsir dari 6 ayat itu ialah janji dan kabar gembira dari Allah bahwa semua
kesulitan dari setiap persoalan manusia selalu ada jalan keluarnya, maka hadapilah
masalah itu dengan hati yang lapang. Maka langkah pertama saat mengalami
masalah ialah melapangkan dada, selapang-Iapangnya sehingga lahirlah positive
thinking terhadap masalah yang ada. Itulah separuh dari penyelesaian dari masalah.
Karena dengan berfikir positif, otak manusia dapat berfikir secara jernih mengenai
jalan keluar dari permasalahan yang ada.
b. Positive Acting.
Sebagaimana termaktub dalam ayat 7, Allah katakan : "Maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)
yang lain "
Dari ayat ini Allah memberikan langkah kedua dalam menyelesaikan
masalah, yaitu berusaha keras menyelesaikan persoalannya melalui perilaku-
perilaku nyata yang positif. Usaha konkrit ini adalah anjuran nyata dari Allah untuk
tidak mudah menyerah dalam menghadapi persoalan seberat apa-pun. Perintah ini
pun mengandung makna untuk tetap mencoba meminta bantuan manusia lain
sebagai perantara pertolongan dari-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan dalam ayat
lain dalam Al-Qur'an : "Jadikanlah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman sebagai penolongmu".
c. Positive Hoping
Sebagaimana tercantum dalam ayat terakhir surat Al-Insyirah ini yang
berbunyi, "Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap ". Makna ayat di
atas ialah setelah manusia berlapang dada dengan masalah yang ada, lalu manusia
mau dan mampu berusaha secara optimal dalam rangka menyelesaikan masalahnya
lalu usaha terahir yang tidak boleh ditinggalkan adalah: berdoalah dan
bertawakallah kepada Allah SWT mengenai hasil dari semua usaha yang telah
dilakukan itu. Allah menghendaki manusia sebagai makhluk-Nya mau berharap
secara total kepada-Nya sebagai bukti ketundukan, ketaatan dan kepercayaan
manusia kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih, lagi Maha Mendengar dan Maha
Mengabulkan permohonan. ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 153, yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ".
Sebagai akhir dari tiga cara itu, ada satu ayat lain yang dapat memperkuat
keyakinan manusia bahwa Islam benar-benar dapat dijadikan pedoman bagi
kebahagiaan dunia dan akhirat, pada Q.S. Luqman ayat 22, firman Allah: "Dan
barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali
yang kokoh. Dan hanya kepada Tuh-lah kemudahan segala urman."
Itulah rangkaian cara penyelesaian masalah (strategi coping) yang telah
diatur dalam Islam.

Kematangan Beragama
Menurut Allport (1953), kematangan beragama itu ialah watak
keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu
sendiri akan membentuk respon terhadap objek-objek atau stimulus yang
diterimanya yang berupa konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Pada akhirnya, konsep

74
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

dan prinsip-prinsip yang terbentuk dalam diri individu tersebut akan menjadi bagian
penting dan bersifat menetap dalam kehidupan pribadi individu sebagai agama. Jika
pada suatu saat keberagamaan individu sudah matang, maka kematangan beragama
itulah yang akan mengarahkan individu untuk bersifat dan bersikap terbuka pada
semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik
secara teoritis maupun praktek. Dalam upaya pencapaian kematangan beragama
pada diri individu, peran kedewasaan, kematangan, dan kemampuan dalam
memahami makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat dengan bersandar pada
sendi agama, menjadi faktor yang cukup menentukan. Dengan begitu, setiap fakta
atau nilai yang ditawarkan oleh lingkungan tidak akan diserapnya begitu saja, tetapi
tetap melalui proses pencernaan makna dan proses penyaringan yang selektif.
Pengalaman supra natural dan religius juga tidak dapat diabaikan sebagai faktor
yang turut berperan dalam membentuk pribadi yang memiliki kematangan
beragama.
Mencapai kematangan beragama yang ideal bukanlah suatu usaha yang
mudah seperti layaknya membalikkan telapak tangan. Harus diingat pula, bahwa
antara kehidupan beragama yang matang dibandingkan dengan yang tidak matang
tidak dapat begitu saja dipandang sebagai dua hal yang saling bertolak belakang,
tetapi layak untuk dipandang sebagai yang berproses dan berkesinambungan. Hal
ini dipertegas oleh Subandi (1995) yang mengungkapkan bahwa perkembangan
keberagamaan seseorang merupakan proses yang tidak akan pernah selesai.
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kematangan beragama
ialah keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah
pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap beipegang
teguh pada ajaran agama yang diyakini.
Selain memberikan pengertian kematangan beragama, Allport (1953) juga
menyertakan tentang beberapa ciri yang ada pada individu yang memiliki
kematangan beragama. Ciri-ciri tersebut ialah:
a. Kemampuan melakukan diferensiasi.
Individu mempunyai kemampuan melakukan diferensiasi yang baik,
sehingga akan bersikap dan berprilaku terhadap agama secara objektif, kritis,
reflektif, tidak dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Orang yang
matang dalam beragama akan mampu mengharmoniskan rasio dengan dogma,
mengobservasi dan mengkritik tanpa meninggalkan ketaatannya. Seseorang yang
memiliki kehidupan keagamaan yang terdifferensiasi adalah dia yang mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragama selain dari
segi sosial, spiritual, maupun emosional. Pandangannya tentang agama menjadi
lebih kompleks dan realistis (Allport, 1953).
Seseorang yang tidak mampu membedakan perasaan keagamaannya akan
serta merta menerima semua yang didapatkan dari agamanya tanpa pertimbangan
ilmu yang mendalam. Semua ajaran agama selalu dianggap selalu benar dan
sempurna begitu saja, tanpa ada keinginan untuk menggali informasi lain yang
dapat mengokohkan keyakinannya tentang kebenaran ajaran-ajaran agamanya. Jika
seseorang tidak menjadikan pengamatan serta refleksi objektifnya sebagai kebiasaan
yang haras selalu diutamakan, maka penerimaan terhadap agamanya seringkali akan
memunculkan fanatisme buta.

75
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Menurut Mulkhan (Dzuhayatin, 1997), pada saat agama dipahami hanya


sebatas rumusan yang sempit dan formalistis yang tidak menjanjikan banyak
pilihan, maka saat itulah agama seakan-akan menutup kemungkinan pembentangan
jalan seluas dimensi ketakterhinggaan manusia yang memberi peluang untuk
berbuat kebaikan. Korelasi negatifnya dogmatisme juga dapat terjadi pada
penerimaan terhadap orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda serta
menyuburkan pertentangan diberbagai kawasan kehidupan lainnya (Rokeach,
1968). Hal ini bermakna bahwa dogmatisme berpeluang untuk memenjarakan orang
ke dalam fanatisme maupun prasangka-prasangka sosial lainnya.
Di sisi lain, yang harus diperhatikan juga ialah setiap individu perlu
menjaga sikap objektif dalam menggunakan rasionya. Maksudnya, setiap individu
perlu memandang permasalahan pada semua aspek, dengan tidak mengabaikan
aspek lain yang dianggap kurang bermakna. Setiap muslim diharapkan untuk tetap
menggunakan rasionya secara proporsional, karena salah satu karakteristik
masyarakat muslim ialah tawazun atau prinsip keseimbangan. Sebagaimana finnan
Allah SWT dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 143, yang artinya : "Dan demikian (pula)
telah Kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) sebagai ummatan wasathan (umat
pertengahan) sebagai umat yang adil dan pilihan."
Sehingga manusia diharapkan tidak terjebak dari sikap ifrath (berlebih-
lebihan) atau tafrith (menyia-nyiakan) saat mengefektifkan rasio berfikirnya.
Dalam menimbang-nimbang dan mengkritisi ajaran agama yang dianut,
individu diharapkan hati-hati dalam mengkritisinya. Karena yang harus diketahui
ialah tidak semua aspek dari ajaran agama bisa dikritisi oleh keterbatasan alat
berfikir manusia dan untuk dimodifikasi sekehendak keinginan manusia yang
terbatas kejernihan dan kebersihan hatinya. Al-Qardhawi (1995) mengutarakan
bahwa di antara fenomena tawazun atau prinsip keseimbangan yang menjadi
karakteristik masyarakat Islam adalah keseimbangan antara aspek-aspek yang
sifatnya luwes (flexibility) dengan aspek-aspek yang bersifat konsisten dan abadi
dalam syari'at Islam.
Dalam Islam aspek-aspek yang bersifat luwes dan transformatif itu disebut
Tathawwur, sedangkan aspek-aspek yang bersifat abadi dan konsisten disebut
Tsabat. Sistem Islam mampu menyatukan keduanya dalam sebuah kombinasi yang
menakjubkan dan meletakkan keduanya pada kedudukannya masing-masing. Tsabat
di dalam persoalan yang memang haras lestari, sementara Tathowwur atau luwes di
dalam hal yang memang haras berabah dan berkembang (transformatif). Batasan
dari tsabat dan tathowwur pada syariat Islam yaitu tsabat dalam hal sasaran dan
tujuan, sementara luwes dalam hal sarana atau metode pelaksanaan. Tsabat dalam
hal nilai-nilai agama dan akhlak, sementara luwes dalam hal-hal keduniaan dan
ilmu. Tsabat juga di temui pada Rukun Iman yang terdiri atas enam perkara (mulai
dari beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya,
hari Akhir serta Qadha dan QadarNya) serta Rukun Islam yang terdiri atas lima hal
yang operasional sifatnya seperti bersyahadatain, kewajiban menegakkan shalat 5
waktu, kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat dan pergi haji
bila mampu. Tsabat juga dapat ditemukan pada inti-inti dari keutamaan sifat
akhlaqul karimah, seperti perintah untuk jujur, sabar, malu, dan sifat-sifat lain yang
dikategorikan oleh Al-Qur'an maupun Hadits sebagai cabang-cabang iman.

76
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Demikian juga tsabat yang terdapat dalam syari'at-syari'at Islam yang pasti dan jelas
(Qath'i) diuraikan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti dalam masalah pernikahan,
perceraian dan hukum waris.
Sedangkan hal-hal yang luwes itu ialah kebebasan dalam hal
dunia kemasyarakatan. Al-Qardhawi (1995) juga menjelaskan bahwa bagi yang mau
merenungkan Al-Qur'an, niscaya akan mendapatkan banyak bukti tentang
karakteristik ini, yakni "penyatuan antara tsabat dan tathowwur dengan penuh
keseimbangan". Salah satu contohnya yakni Tsabat akan tampak jelas dalam firman
Allah tentang sifat sebuah masyarakat muslim pada Q.S. Asy-Syuura ayat 38 : "Dan
bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. "
Juga firman-Nya dalam Q.S. Ali-Imran ayat 159: "Dan hendaklah engkau
(Muhammad) melakukan musyawarah dengan mereka dalam memutuskan perkara"
Dengan demikian sebuah masyarakat sama sekali tidak diperkenankan
untuk menghilangkan tradisi musyawarah dalam kehidupan sosial politik.
Sementara tathowwur terlihat jelas dalam hal tidak ditentukannya
jenisnnusyawarah yang harus dipegang oleh segenap manusia di setiap pelosok
bumi intuk selamanya. Maka dengan tidak adanya keterikatan akan jenis tertentu
dalam nusyawarah, kaum muslimin di sepanjang masa akan dapat merealisasikan
lusyawarah sesuai dengan kondisi dan situasi serta perkembangan
lasyarakatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Ar-Ra'du (13) ayat 8,
yang artinya :"...Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang bisa mengambil
pelajara. "
Seluruh penjelasan di atas, melahirkan kesimpulan bahwa diferensiasi
dalam keagamaan berarti sikap dan perilaku keagamaan yang observatif, kritis,
reflektif, berfikiran terbuka dan objektif dengan tetap memperhatikan bahwa
kebebasan mengkritisi ajaran agama itu dibatasi oleh aspek mana yang memang
luwes serta dapat dikolaborasi oleh manusia, dan mana aspek-aspek yang tetap
abadi dan konsisten untuk dijalankan tanpa adanya kebolehan dimodifikasi
sedemikian rupa.
b. Berkarakter dinamis.
Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu
mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan
yang dilaksanakan semuanya demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi, 1995).
Karakter dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonorn, dan
independen dalam kehidupan beragama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Q.S. Al-An'am ayat 161- 162, yang berarti : "Katakanlah: Sesungguhnya aku telah
ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama
Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.
Katakanlah : Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam".
Kesimpulannya orang yang matang keberagamaannya adalah yang
menjadikan agamanya sebagai motivasi intrinsik pada semua segi kehidupannya.
c. Konsistensi moral.
Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada
konsekwensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah

77
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

laku dengan nilai moral. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu
mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953). Mereka yang
matang dalam beragama akan selalu menyelaraskan antara tingkah laku dengan
nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Nilai-nilai moral dalam suatu agama
itu biasanya tercantum dalam kitab suci dalam agama itu, pada Islam nilai-nilai
moral itu dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadist. Termaktub dalam Al-Qur'an Surat
Al-Hadiid ayat 9 : "Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang
terang (Al-Qur 'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang terhadapmu "
Adanya keselarasan antara perilaku dengan nilai moral agama yang diyakini
merupakan kesimpulan dari sifat konsistensi moral yang dimiliki seseorang yang
matang keberagamaannya.
d. Komprehensif.
Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan
yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport,
1953). Shihab (1999) mengatakan bahwa toleransi memang mengandaikan adanya
perbedaan yang merupakan hukum dalam kehidupan ini. Dalam Al-Qur'an Allah
berfirman dalam Q.S. Al-Maidaah: 48, yang artinya : "Untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu
mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat
kebaikan "
Semua manusia haras berlapang dada dengan adanya pandangan atau
pendapat yang tidak sejalan dengan faham keagamaan yang diyakini. Semua itu
memang sudah menjadi hukum ketetapan Allah selaku Sang Pencipta dan Yang
Maha Berkehendak. Ketetapan dariNya tentang hadirnya berbagai perbedaan itu
diharapkan tidak membuat individu yang matang dalam beragama itu menjadi
gelisah atau memaksa orang lain untuk menganut pandangan tertentu. Sebagaimana
Allah firmankan dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 6, yang artinya : "Sungguh kasihanjika
kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Islam)” Juga ayat "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan
memaksa semua manusia agar menjadi orang-orangyang beriman? ". (Q.S.Yunus:
99)
Perbedaan di antara sesama umat, dalam hal ini Islam, tidak perlu sampai
menimbulkan perpecahan. Sebab sesungguhnya kita adalah bersaudara :
persaudaraan yang diberi landasan yang sangat kuat berdasarkan firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara (ikhwah)" (Q.S. Al~ Hujuraat
: 10).
Karena itulah menjadi kewajiban umat Islam untuk selalu berusaha
memupuk persaudaraan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya
atau terganggunya jalinan persaudaraan antara mereka.
Selain persaudaraan antar sesama umat Islam, juga perlu ditumbuhkan
hubungan yang harmonis serta tidak saling merugikan dengan para pemeluk

78
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

agama yang berbeda. Dalam Islam hal itii diatur dalam Q. S. Al-Kafirun ayat 1-5
dan dapat ditemukan pada Q.S.As-syuuraa: 15, yang berbunyi : "Bagi kami amal-
amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di
antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah kembali
(putusan segala urusan)".
Shihab (1999) mengemukakan bahwa Al-Qur'an juga menganjurkan agar
mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Qur'an
menganjurkan agar dalam berinteraksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling
menyalahkan.. "Katakanlah, Wahai Ahl alkitab, marilah kepada satu kalimat
kesepakatan yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagi Tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada mereka, Saksikanlah
(akuilah eksistensi kami) bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (Q.S. Ali
Imran: 64).
Apabila titik temu itu tidak tercapai, Al-Qur'an mengajarkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain
sebagai berikut : "Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan
yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai (bertanggungjawab) tentang
dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang hal yang
kamu perbuat. "Katakanlah, "Tuhan kita akan menghimpunkan kita semua,
kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah
Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui"(Q.S. Saba': 24-26).
Kesimpulannya keberagamaan yang matang membuat individu mampu
menerima perbedaan pendapat dengan individu yang lain, baik perbedaan agama
maupun perbedaan pendapat secara intern dengan orang yang seagama.
e. Integral.
Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau
menyatukan agama dengan segenap aspek lain dalam kehidupan, termasuk ilmu
pengetahuan di dalamnya (Subandi, 1995). Asmuni (1996) mengemukakan bahwa
tidak sedikit ayat Al-Qur'an dan hadits yang menganjurkan manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan serta mengaplikasikan Islam dalam semua segi
kehidupan. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 dikatakan-Nya, "Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaqfah atau menyeluruh dan
janganlah kamu ikut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuhyang nyata bagi kamu "
f. Heuristik.
Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari
keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan
pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Orang yang
matang dalam keberagamaannya, akan selalu sadar dengan keterbatasan dirinya
terhadap penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga ia secara aktif
akan selalu progresif meningkatkan penghayatan dan pengamalannya di dalam
beragama. Sebagaimana Allah SWT katakan dalam Q.S. An-Nahl ayat 97 :
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan

79
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

dalam keadaan beriman, maka sesungguhya akan Kami berikan kepadanya


kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan "
Kesimpulan dari uraian mengenai ciri-ciri orang yang memiliki kematangan
beragama ialah orang-orang yang dalam setiap sisi kehidupannya memiliki
kemampuan melakukan differensiasi, berkarakter dinamis, memiliki konsistensi
moral, komprehensif, integral serta heuristik dalam memandang dan menghadapi
suatu permasalahan dalam kehidupannya.

Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Strategi Coping


Hubungan antara dua variabel itu dapat terlihat pada diri seorang muslim
jika dia bermasalah, maka yang dia lakukan ialah: awalnya dia akan melapangkan
hatinya seluas-luasnya. Dalam hal ini seorang muslim jika bermasalah
diperintahkanNya untuk tetap berpikir positif dalam rangka berbaik sangka dengan
semua ketetapan Allah atas dirinya. Perilaku berpikir positif bahwa semua
permasalahan itu pasti ada jalan keluarnya, merupakan separuh dari jalan keluar
tercepat yang bisa dilakukan seorang muslim. Karena usaha berpikir positif dengan
ketetapan Allah itu membuat keadaan jiwa seseorang lebih tenang dan jernih
mengelola fungsi tubuhnya yang lain. Sehingga fungsi pikirnya pun dapat berjalan
dengan baik, mencoba mencari jalan keluar dalam keadaan yang kondusif.
Setelah mampu mencerna permasalahan dengan baik dan mencoba
memikirkan semua alternatif pemecahan yang bisa diambil dari berbagai segi, maka
yang wajib dilakukan seorang muslim yang bermasalah ialah mencoba melakukan
usaha dan amalan nyata yang bisa dijadikan jembatan guna menyelesaikan
masalahnya dengan tepat. Merencanakan pengatasan masalah melalui orang lain
yang dianggap berkompeten untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi
tetap akan dilakukan meski sesulit apapun jalan yang haras ditempuh. Langkah
pengatasan masalah melalui orang lain itu bisa dengan meminta umpan balik dari
mereka, atau bernegosiasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan agar masalah yang
ada dapat segera terselesaikan, atau bahkan langsung meminta maaf kepada orang
yang disakiti. Pengoptimalan amalan nyata ini juga merupakan langkah
penyelesaian masalah yang harus dilalui, karena Allah tegaskan dalam sebuah ayat
yang berbunyi "dan tidaklah Kami ubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak
berusaha mengubah nasibnya sendiri"
Setelah semua usaha keras itu, maka langkah terakhir yang dilakukan
seorang muslim yang bermasalah ialah bertawakkal terhadap hasil dari sekian usaha
konkrit itu. Berdo'a akan keberhasilan dari semua yang telah diusahakan demi
menyelesaikan suatu permasalahan adalah yang terbaik untuk dilakukan. Karena
segala urusan itu hanyalah Allah yang Maha Memiliki Kekuatan dan Maha
Berkehendak.
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil ialah semakin
matang keberagamaan seseorang maka ia akan semakin cenderung menggunakan
problem focused coping. Sebagaimana disebutkan pada beberapa penelitian bahwa
peningkatan pemahaman keagamaan seseorang akan mempengaruhi strategi dalam
menghadapi masalahnya (Subandi, 1995, Hadisuprapto, 1994, Dayakisni, 1994).

80
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara
kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping. Artinya semakin
tinggi kematangan agama seseorang ia akan semakin cenderung menggunakan
problem focused coping.

METODE PENELITIAN
Subyek penelitian yang digunakan ialah mahasiswa Fakultas Bahasa dan
Seni (FBS) pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Fakultas Tarbiyah (Fty)
di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta (IAIN), baik pria maupun wanita,
angkatan 1997/1998 ke atas (mahasiswa tingkat akhir), berusia antara 21 tahun ke
atas, dan beragama Islam. Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang berada
pada minimal semester tujuh ke atas atau telah minimal tiga tahun kuliah di
perguruan tinggi.
Tehnik sampling yang digunakan ialah purposive sampling. Melalui tehnik
ini subjek dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pemilihan subjek ini
berdasarkan pada pertimbangan teknis, yaitu kesesuaian dengan kriteria yang
dikehendaki untuk mempermudah dalam pengontrolan pengambilan data terhadap
faktor-faktor yang dapat mengganggu.
Karakteristik subyek dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan Rabkin
dan Struening (Lugo dan Hershey, 1981) yang menemukan adanya peranan usia dan
pendidikan seseorang terhadap pemilihan strategi coping yang digunakan.
Menaghan (Billing dan Moos, 1984) menemukan adanya perbedaan kekomplekan
kognitif yang lebih tinggi pada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Inilah
yang mendasari pilihan subyek terdiri atas mahasiswa yang telah berada pada
semester 7 (minimal angkatan 1997/1998), dengan asumsi subyek adalah individu
yang lebih tinggi tingkat pendidikannya dibanding mahasiswa angkatan 1998/1999.
Sedangkan pilihan usia 21 tahun ke atas berdasarkan pandangan Hurlock (1996)
bahwa pada usia minimal 21 tahun inilah masa kestabilan emosi telah terbentuk
dalam diri individu pada umumnya. Sehingga diharapkan pada subyek telah
tertanam pula kematangan dalam beragama dan telah tepat di dalam menentukan
strategi copingnya.
Penentuan untuk menjadikan UNY dan IAIN sebagai tempat penelitian
berdasarkan asumsi bahwa UNY mewakili universitas negeri, sedangkan IAIN
mewakili universitas agama. Dengan asumsi bahwa semua fakultas pada kedua
institusi itu memiliki kesempatan yang sama untuk diteliti, dipilihlah salah satu
fakultas yang ada pada tiap institusi. Penentuan fakultas itu dilakukan dengan
mengundinya. Hasilnya, untuk UNY awalnya yang terambil adalah Fakultas Ilmu
Pendidikan (FIP), sedangkan di IAIN yang terambil adalah Fakultas Tarbiyah
(FTy). Setelah dicek di lapangan, ternyata di FIP jumlah mahasiswa angkatan
1997/1998 ke atasnya cuma sedikit, sementara di FTy jumlah mahasiswa tingkat
akhirnya cukup memadai untuk dijadikan subyek penelitian. Kemudian dilakukan
undian ulang pada UNY, hasilnya yang terambil adalah Fakultas Bahasa dan Seni
(FBS). Ketika dilakukan pengecekan pada Bagian Kependidikan yang mengurusi

81
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

administrasi FBS, syukurlah jumlah mahasiswa dengan kriteria yang diinginkan


dapat terpenuhi.
Penentuan kelas yang akan diambil sebagai data, dilihat dari jadwal mata
kuliah yang diperkirakan akan dihadiri oleh banyak mahasiswa dengan kriteria
minimal berusia 21 tahun, minimal angkatan 19977 1998 ke atas, beragama Islam,
baik putra maupun putri.
Setelah dicek di lapangan, ternyata hampir sebagian besar subyek dari
penelitian ini diperoleh penulis dari kelas dengan mata kuliah metodologi
penelitian, yaitu sebanyak 3 kelas, 1 kelas di FBS (jurusan sendra tasik) dan 2 kelas
di FTy (jurusan Pendidikan Bahasa Arab kelompok 1 dan 2). Sedangkan 3 kelas
lainnya adalah satu kelas di jurusan Sastra Jerman (FBS), satu kelas di jurusan
sastra Indonesia (FBS) dan satu kelas di jurusan Kependidikan Islam (IAIN), di
mana ketiga kelas terakhir ini bukan mata kuliah metodologi penelitian.
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala. Skala
Kecenderungan Strategi Coping (KSC) mengacu pada pembagian tipe dan faktor
dari Strategi coping yang terdapat dalam Ways of Coping Scale. Menurut Folkman
dan Lazarus (1980), Strategi coping dapat dibedakan menjadi Problem Focused
Coping (PFC) dan Emotional Focused Coping (EFC). Kedua macam Strategi
coping tersebut dimasukkan dalam satu skala, yaitu skala KSC yang terdiri dari
beberapa faktor. Bentuk KSC dan faktor-faktor tersebut ialah: I. Faktor yang
tercakup dalam problem focused coping (PFC) ialah:
(a) faktor kehati-hatian (cautiousness), disebut faktor C
(b) faktor aksi instrumental (instrumental action), disebut faktor IA
(c) faktor negosiasi (negotiation), disebut faktor N II. Faktor yang tercakup dalam
emotion focused coping (EFC) meliputi:
(a) faktor pelarian dari masalah (escapism), disebut faktor E
(b) faktor pengurangan beban masalah (minimization), disebut faktor M
(c) faktor penyalahan diri sendiri (self blame), disebut faktor SB
(d) faktor pencarian arti (seeking meaning), disebut faktor SM

Formulasi Masalah
Sebelum memberikan respon jawaban, subyek akan dihadapkan pada stimulus yang
berupa situasi yang mengandung stres, sejalan dengan pendapat Billing dan Moss
(1984) bahwa cara individu menghadapi satu atau lebih kejadian stres merupakan
gambaran dari cara individu tersebut menghadapi kejadian stres pada umumnya.
Stimulus ini berupa situasi hipotetik yang dihadapi subyek, yang dinamakan
sebagai" masalah".
Penelitian Baron dan Byrne (Inawati, 1998) mengungkapkan adanya
berbagai peristiwa yang pada umumnya menimbulkan stres pada mahasiswa.
Apabila dibuat kategori peristiwa-peristiwa tersebut maka akan didapat 3 tingkatan
stres, yaitu stres tingkat rendah, sedang dan tinggi. Formulasi masalah atau kasus
dalam skala ini mengacu pada stressor tingkat sedang (moderate level), yaitu
meliputi (1) kegagalan dalam hubungan penting, (2) kehilangan bantuan finansial,
(3) jatuh dalam ujian dan (4) perubahan besar dalam kehidupan. Penulis sengaja
tidak memilih stres tingkat tinggi, karena menurut pertimbangan penulis jika
kasusnya hamil diluar nikah (sebagai penyebab stres tingkat tinggi) maka

82
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

dikhawatirkan jenis kelamin akan sangat mempengaruhi respon jawaban subyek,


sebab wanitalah yang mengalami kehamilan/ kasus tersebut secara langsung akan
sangat terasa lebih berat daripada pria.
Penelitian di atas sejalan juga dengan penelitian Persitarini (Elyza, 1996).
Persitarini menggunakan skala strategi coping yang merupakan hasil adaptasinya
terhadap Ways of Scale dari Folkman dan Lazarus (1980) yang merupakan hasil
revisi dari Aldwin dan Revenson (1987). Item-item pada skala Persitarini (1988) itu
telah melalui beberapa uji coba bahasa yang dilakukan pada mahasiswa, setelah
mengadakan inventarisasi masalah dan kemudian meminta sejumlah mahasiswa
memberi rating, maka didapatkan masalah yang paling berat dihadapi mahasiswa,
yaitu masalah yang berhubungan dengan studi dan hubungan dengan lawan jenis.
Setelah subyek diberi masalah yang disajikan, mereka diminta betul-betul membaca
dan memahami masalah serta membayangkan seolah-olah masalah tersebut benar-
benar terjadi pada diri mereka sendiri.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, maka penulis membuat formulasi
masalah yang akan digunakan dalam skala Kecenderungan Strategi Coping. Skala
berdasarkan teori kematangan beragama oleh G.W Allport (1953). Skala ini
mengukur beberapa aspek yang meliputi: (1) Differensiasi; (2) Karakteristik
Dinamis; (3) Konsistensi moral; (4) Komprehensif-Integral; dan (5) Heuristik.

Hasil Penelitian
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian secara
singkat dapat dilihat pada label deskripsi data penelitian yang berisikan fungsi-
fiingsi statistik dasar. Dalam label 1 disajikan secara lengkap liap-liap variabel
untuk Skala Kecenderungan Strategi Coping dan Skala Kemalangan Beragama.

Tabel 1
Deskripsi Data Penelitian
Variabel Teoritik Empirik

Min Max Mean Min Max Mean SD

Kematangan Beragama 46 184 115 106 178 140,30 14,54

Kecend. Strategi Coping 45 180 112,5 106 173 140,15 11,81

Keterangan:
Max :Maksimal Mean : rerata
Min : Minimum SD : deviasi standar

Penelili menerapkan kriteria kategorisasi untuk mendapatkan informasi mengenai


keadaan kelompok subjek pada variabel yang diteliti. Cara ini didasari suatu asumsi
bahwa skor populasi subjek terdislribusi secara normal.
Dengan pembagian kategori ini, maka diperoleh kategori dengan skor
sebagai berikut:

83
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Tabel 2.
Kriteria Kategori Skala Kecenderungan Strategi Coping
Kategori Skor

Sangat Tinggi > 146,25

Tinggi 123,75 <x< 146,25

Sedang 101,25 <x<_123,75

Rendah 78,75 <x< 101,25

Sangat Rendah < 78,75

Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


subjek penelitian yang mempunyai mean empirik sebesar M = 140,15 tennasuk
dalam kategori tinggi sehingga dapat didiagnosis bahwa subjek penelitian memiliki
kecenderungan strategi coping yang tinggi dan mengarah kepada kecenderungan
strategi coping yang Problem focused coping.
Skala Kematangan Beragama ini terdiri dari 46 aitem dan diberi skor
minimum 1 dan skor maksimum 4. Rentang minimum-maksimumnya adalah 46-
184 dengan jarak sebaran sebesar 138. Dengan demikian setiap satuan deviasi
standarnya bernilai s = 23, sedangkan mean teoritisnya adalah m = 115 dan mean
empiriknya sebesar M = 140,30.
Dengan pembagian kriteria kategori ini, maka diperoleh kategori dengan skor
sebagai berikut:

Tabel 3
Kriteria Kategori Skala Kematangan Beragama

Kategori Skor

Sangat Tinggi > 149,5

Tinggi 126,5 <x< 149,5

Sedang 103,5 <x< 126,5

Rendah 80,5 <x< 103,5

Sangat Rendah ^80,5

84
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Setelah mendapat kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


subjek penelitian yang mempunyai mean empirik sebesar M = 140,30 termasuk
dalam kategori tinggi sehingga dapat didiagnosis bahwa subjek penelitian
memiliki kematangan beragama yang relatif tinggi.
Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang
mencakup uji linearitas hubungan dan uji normalitas sebaran. Uji linearitas
dilakukan untuk mengetahui linearitas variabel kematangan beragama dengan
kecenderungan strategi coping. Hasil dari uji linearitas ini diketahui bahwa antara
variabel kematangan beragama dengan kecenderungan strategi coping linear (F=
1,326; p= 0,150).
Uji normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan tehnik One Sample
Kosmogorof-Smirnov dari program SPSS 7,5 for Windows. Uji normalitas sebaran
menunjukkan bahwa skor subjek pada kedua alat ukur memiliki sebaran normal.
Variabel-variabel kematangan beragama menunjukkan K-S-Z = 0,743 dan p =
0,638, dan kecenderungan strategi coping menunjukkan K-S-Z = 0, 811 dan p=
0,527.
Analisis statistik guna mengetahui korelasi antara variabel kematangan
beragama dan kecenderungan strategi coping dengan menggunakan korelasi product
moment Pearson melalui prosedur Bivariate Correlations dari program SPSS 7,5 for
Windows menunjukkan koefisien r sebesar 0, 376 (p< 0,01). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara variabel kematangan beragama dan
kecenderungan strategi coping, sehingga hipotesis yang diajukan diterima.
Pada analisis ini juga ditemukan koefisien determinasi (R Squared) sebesar
0,142, ini berarti sumbangan efektif dari variabel bebas (kematangan beragama)
terhadap variabel tergantung (kecenderungan strategi coping) ada 14, 20 %.

PEMBAHASAN
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyebutkan ada
hubungan positif antara variabel kematangan beragama dengan kecenderungan
strategi coping pada mahasiswa terbukti. Angka koefisien korelasi sebesar 0, 376
menunjukkan hubungan antara kedua variabel bersifat positif. Artinya ialah semakin
tinggi kematangan beragama yang diperoleh seseorang maka akan semakin tinggi
kecenderungan strategi copingnya menuju kepada Problem focused coping. Dengan
kata lain, pengaruh kematangan beragama terhadap kecenderungan strategi coping
menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama yang tinggi
maka akan cenderung pada problem focused coping (PFC) saat ia bermasalah,
sebaliknya seseorang yang memiliki kematangan beragama yang relatif rendah
maka akan lebih cenderung menggunakan emotional focused coping (EFC) dalam
penyelesaian masalahnya. Ini berarti tinggi rendahnya kematangan beragama
mampu menjadi salah satu prediktor bagi tinggi rendahnya kecenderungan strategi
coping.
Hasil tambahan ditemukan bahwa sumbangan efektif dari kematangan
beragama terhadap tingginya kecenderungan seseorang pada problem focused
coping itu sebesar 14, 20 %, berarti masih ada 85, 80 % dari beberapa variabel lain
yang tidak ikut dikendalikan dalam penelitian ini yang memberikan sumbangan
terhadap kecenderungan strategi coping seseorang. Variabel lain itu mungkin tipe

85
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

kepribadian, terfokusnya jenis masalah yang disajikan dan penilaian terhadap diri
sendiri pada sampel penelitian.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Hadisuprapto (Elyza, 1996) mengemukakan bahwa peningkatan pemahaman
keagamaan pada diri seseorang akan mempengaruhi strategi seseorang dalam
menghadapi masalahnya.
Penelitian McCrae (1984) tentang hubungan antara situasi dengan tingkah laku
coping, menemukan ada 19 tingkah laku coping yang signifikan digunakan, yang
salah satunya adalah iman atau kepercayaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan Stone dan
Neale (1984) bahwa saat tingkah laku coping sehari-hari itu diukur, ditemukan
delapan strategi coping yang biasa digunakan, termasuk religi (agama) adalah salah
satunya yang bisa dijadikan acuan coping sehari-hari.
Darajat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari
kepribadian seseorang. Keyakinan itu mengawasi segala tindakan, perkataan,
bahkan perasaannya. Pada saat seseorang terbentur pada suatu permasalahan, maka
keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti dan mencari
tahu bagaimana ajaran agamanya mengatur atau memberikan solusi terhadap
permasalahan tersebut.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa skor mean empirik variabel
kematangan beragama pada subjek yang menuntut ilmu di Fakultas Bahasa dan
Seni, UNY dan Fakultas Tarbiyah di IAIN berada di atas mean teoritisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kematangan beragama pada subjek penelitian pada kedua
peiguruan tinggi itu mempunyai skor kematangan beragama yang termasuk kategori
tinggi. Kenyataan ini merapakan hal positif yang perlu dijaga bahkan untuk terus
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Mahasiswa hendaknya dapat menghayati
dan mengamalkan ajaran agamanya agar menjadi rahmat bagi alam.

PENUTUP
Berdasarkan analisis data hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa ada korelasi atau hubungan positif antara kematangan beragama dengan
kecenderungan strategi coping yaitu Problem focused coping pada mahasiswa
Fakultas Bahasa dan Seni pada UNY dan Fakultas Tarbiyah pada IAIN. Dengan
koefisien determinasi kematangan beragama terhadap kecenderungan strategi
coping sebesar 14, 82 %. Semakin tinggi kematangan beragama semakin tinggi
kecenderungan menggunakan Problem Focused Coping (PFC), begitu pula
sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang tak luput dari berbagai
keterbatasan ini, ada beberapa saran yang bisa penulis rekomendasikan guna
mengembangkan penelitian-penelitian serupa di waktu mendatang. Penelitian ini
hanya terbatas pada sebuah fakultas pada dua lingkup institusi saja, maka pada
penelitian lanjutan sekiranya perlu untuk memperluas area penelitian guna
menambah variasi, menghindari bias dalam penelitian dan dimungkinkan untuk
mendapatkan hasil yang akurat.
Penelitian selanjutnya dapat lebih cermat lagi dalam mengendalikan variabel-
variabel lain yang diperkirakan akan banyak mempengaruhi hasil penelitian kelak.

86
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Contohnya perlu mengendalikan varibel tipe kepribadian, terfokusnya jenis masalah


yang disajikan dan penilaian terhadap diri sendiri pada sampel penelitian.
Guna memperoleh hasil ukur yang akurat sekiranya perlu teras
menyempurnakan alat ukur. Misalnya aitem-aitem yang ada pada skala kematangan
beragama perlu diusahakan untuk tak lagi bersifat normatif, mengurangi "social
desirability' pada aitem agar subjek terhindar dari bersikap 'faking good' saat
mengisi skala, juga perlu membuat aitem lain yang lebih spesifik membidik ajaran
Islam yang lebih aplikatif sifatnya.
Sedangkan untuk skala Kecenderungan Strategi Coping, perlu mengadakan
diskusi mendalam dengan sekelompok mahasisvva mengenai apa saja permasalahan
yang dapat menjadi beban bagi mereka, sebelum menentukan permasalahan apa
yang akan disajikan pada skala. Di samping itu permasalahan yang disajikan
sebaiknya bukan merupakan gabungan dari beberapa kasus agar hasil yang didapat
bisa lebih spesifik dan dapat lebih aplikatif dalam rekomendasi ke depan. Selain itu
usahakan menyusun aitem yang spesifik mengarah pada strategi coping dalam
Islam, agar lebih sesuai dengan skala bagian keduanya yang bertemakan
kematangan beragama.
Topik kehidupan beragama tampaknya masih kurang intens diangkat pada
penelitian-penelitian Psikologi di Indonesia. Diharapkan pada masa-masa
mendatang perlu kiranya untuk lebih mengembangkan topik-topik keberagamaan
dalam tinjauan psikologis sebagai ladang penelitian yang menantang untuk digali
lebih dalam, mengingat sifat religius masyarakat Indonesia yang begitu kuat.

DAFTAR FUSTAKA

Aldwin, C.M,? Revenson, T.A, 1987, Does Coping Help? A Reexamination of


Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality
andSod^ Psychology, Vol 53? M 337-348.

Allport, G. W. 1953. The Individual and His Religion: a Psychological


Interpretation. New York: The Macmillan Co.
Al-Qardhawi, Y. 1995. Karakteristik Islam Kajian Anatitik. Surabaya: Risalah
Gusti.

Ancok, D. & Suroso,F.N. 1994. Psikologi Island: Solusi Islam atas Problem-
problem PsikologL Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Andrianto, S. 1999. Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Intensi


Prososial Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIL Sknjjsi (Tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.

Asmuni, Y. 1996. Ilnut Tauhid. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

87
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Azwar, S. 1993. "Kelompok Subyek Ini Memiliki Harga Diri Yang Rendah" ; Kok,
Tahu...?. Buletin Psikologi, Vol. 2, hal. 13-17. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

_______. 1995. Sikap Manusia. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi ke-3. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

BAAK PSI. 2000. Buku Informasi Universitas Negeri Yogyakarta (Tidak


diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Bahreisy, S. 1992. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jttidl. Surabaya: PT


Bina Ilmu.

Billings, A. G. & Moos, R. H. 1984. Coping, Stress, and Social Resources Among
Adults with Unipolar Depression. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol. 46, hal. 877 - 891.

Bukit, K. 1999. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Strategi Coping Dalam
Menghadapi Stres pada Mahasiswa, Skripsi (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
Chaplin. 1997. Kamus Lengkap Psikologi. (Terjemahan, cetakan keempat). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.

Coyne, J.C. Aldwin, C. & Lazarus, R.S. 1981. Depression and Coping in Stressful
Episodes. Journal of Abnormal Psychology. Vol. 90. Hal. 278-287.

Darajat, Z. 1991. limit JiwaAgama (Cetakan Ketiga belas). Jakarta: PT. Karya
Unipress.

_______. 1978. Per anon Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit
Gunung Agung.

Daulay, H. 2000. Isra Mikraj dan Kegersangan Spiritual Umat Dewasa Ini.
Kedaulatan Rakyat, 24 Oktober 2000, hal.6.

Dayakisni, T. 1994. Alinasi Dalam Perilaku Delinkuen Remaja Jawa Pos, 21


Februari 1994, hallV.

Depag RI IAIN Suka .2000. Buku Panduan IAIN Stman Kalijaga (Tidak
diterbitkan). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-


Qur'an. 1989. Al Quran dan Terjemahnya. Semarang: Penerbit CV. Alwaah.

88
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Dzuhayatin, S.R. 1997. Marital Rape (Bahasan Awal dari Perspektif Islam). Dalam
Prasetyo, E. dan Marzuki, S. (Ed.). Perempuan Dalam Wacana Perkosaan.
Yogyakarta: PKBI Yogyakarta.

Elyza, I. 1996. Pengaruh Pengajian Ftikaf Ramadhan Terhadap Strategi Coping.


Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Falah, F. 1998. Kematangan Beragama Dan Sikap Terhadap Kesetaraan Gender


Pada Pemeluk Agama Islam. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.

Fleming, R., Baum, A., & Singer, J.E. 1984. Toward An Integrative Approach to
The Study Of Stress. Journal Personality And Social Psychology. Vol. 46,
hal. 939-949.

Folkman, S. 1984. Personal Control and Stress and Coping Process: A Theoritical
Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46 (4), hal.
839-852.

Folkman,S. & Lazarus, R.S. 1980. An Analysis of Coping in A Middle Aged


Community Sample. Journal of Health and Social Behavior, vol.21, hal.
219 - 239.

Hadi, S. 1993. Metodologi Research Jtiid II (Cetakan kedua puluh dua).


Yogyakarta: Andi Offset.

Hadi S., & Pamardiyaningsih, Y. 1998. Manual SPS. Yogyakarta: Fakultas


Psikologi UGM.
Hadisuprapto, P. 1994. Disorganisasi Sosial dan Perilaku Remaja. Kompas, 22
Februari 1994, hal V.

Hawwa, S. 1397 H. Al-Islam Syahadatain dan Fenomena Keku/uran. Jakarta: Al


Ishlahy Press.

Hidayat, K. 1994. Agama Untuk Kemanusiaan. Kliping Edisi 11: Islam dan
Tantangan Modernitas (Tidak diterbitkan). Surakarta: Lembaga Studi Islam
UMS.

Hollahan, C.J., & Moos, R.H. 1987. Personal and Contextual Determinants of
Coping Strategies. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 52.
hal.946 - 955.

Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembanga: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. (Edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

89
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Kobasa, S.C, & Maddi, S.R. & Khan, S. 1982. Hardiness and Health: A Prospective
Study. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 42. hal. 707 -
717.

Faawati, S. 1998. Strategi Menghadapi Masalah Ditinjau Dari Orientasi Peran Jenis.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Istanti, E. 1996. Hubungan Tingkat Depresi Dengan Ketrampilan Pemecahan


Masalah. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Lazarus, R. S. 1976. Patterns of Adjustment. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha ltd.

Lugo, J. O, & Hershey, G. L. 1981. Living Psychology, 3rd ed New York: The
Macmillan Co.
McCrae, R.R. 1984. Situational Determinants of Coping Responses: Loss, Threat,
and Challenge. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46. hal.
919 - 928.

Meichenbaum, D. 1985. Stress Inoculation Training. New York: Pergamon Press.


Inc.

Muthahhari, M. 1992 Perspekdf Al-Qur'an Tentang Manusia dan Agama. (Cetakan


keenam). Bandung: Penerbit Mizan.

Nashori, F. 1997. Psikologi Island: Agenda Menuju Aksi. Yogyakarta: Penerbit


Pustaka Pelajar bekerjasama dengan FOSIMAMUPSI.

O'Dea, T.F. 1990. Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal. (Cetakan ketiga).
Jakarta: CV. Rajawali.

Parkers, K.R. 1984. Locus of Control, Cognitive Appraisal, and Coping in Stressful
Episodes. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46. hal. 655 -
668.

Patnani,M. 1999. Kekerasan Fisik Terhadap Anak dan Startegi Coping Yang
Dikembangkan Anak. SkripsL (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

Patterson, J.M. & McCubbin, H.I. 1984. Gender Roles and Coping. Journal of
Marriage and The Family. February. Vol. 25. Hal. 345-358.

Pearlia L.I. & Shooler, C. 1978. The Structure of Coping. Journal of Health and
Social Behavior. Vol. 19. hal. 2-21.

90
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Persitarini, E. 1988. Pusat Pengendali dan Strategi Menghadapi Masalah pada Pria
dan Wanita, Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM.

Pestonjee, D.M. 1992. Stress And Coping. The Indian Experience. New Delhi: Sage
Publication

Razak, N. 1993. Dienul Islam. Bandung: PT Alma'arif.

Rokeach, M. 1968. Beliefs, Attitudes, And Values: A Theory of Organization and


Change. San Francisco.

Rustam, A. 1994. Strategi Coping Mahasiswi Saat Menstruasi Dan Saat Tidak
Menstruasi. Laporan Penelitian (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

Safiiyani, H. 2000. Kematangan Beragama Dan Kepercayaan Diri Pada Remaja.


Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.

Santoso, S. 2000. SPSS Mengolah Data Statist Secara ProfesionaL Jakarta: P.T.
Gramedia.

Sarafino, E. P. 1990. Health Psychology: Biopsycho Social Interaction. New York:


John Willey & Sons.

Setyawati, N. 1984. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dan Usia dengan Tingkah
Laku Coping pada Wanita Usia Lanjut yang Tinggal di Panti Wreda.
Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Shihab, M. Q. 1999. Wawasan Al-Qur'an Tentang Kebebasan Beragama Passing


Over Melintasi Batus Agama. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina.

Shinn, M., Rosario, M., Morch, H., & Chestnut, D.E. 1984. Coping with Job Stress:
Divergent Strategies of Optimists and Pesimists. Journal of Personality and
Social Psychology, vol. 46. hal. 864 - 876.

Stone, A. A. and Neale, J. M. 1984. New Measure of Daily Coping: Development


and Preliminary Result. Journal of Personality and Social Psychology. Vol.
46 (4), hal. 892 - 906.

Subandi. 1995. Perkembangan Kehidupan Beragama. Bulletin Psikologi, Vol. 1,


Hal. 44-49. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

91
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006

Sulistyaningsih, W. 1989. Hubungan Antara Family Resources, Coping dan Stres


Dengan Depresi. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
psikologi UGM.

Tri Yusnidar. 2000. Di FMIPA Unsyiah Peserta Ospek Minum Air Kobokan. .
Detik, com/kampus/berita, 1 September 2000.

. 2000. Simpan Ganja, Dihukum 20 Bulan. Kedaulatan Rakyat, 26 Oktober 2000,


hal. 4.

_______ 2000. Kasus Ganja di Ponjong: Polisi Tangkap Satu Tersangka lagi.
Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2000, hal. 4.

_______ 2000. Di Balik Kasus Ganja Di Ponjong: Awalnya, Cinta Seorang Ibu.
Kedaulatan Rakyat. 2 Oktober 2000, hal. 4.

2000. Aparat FOLD A DIY Terkesan Tertutup: 'Broker' SS dan Ekstasi Masih
Diburu. Kedaulatan Rakyat, 24 Oktober 2000, hal. 1& 12.

_______ 2000. Empat Pengedar Pil Koplo Diringkus. Kedaulatan Rakyat, 27


Oktober 2000, hal. 4.

_______. 2000. Amien: Waspadai Zionis Indonesia. Demo Anti Israel.

Makin Menggelora. Kedaulatan Rakyat, 14 Oktober 2000, hal 1, 12.

_______. 2000. Kekerasan Jadi Moralitas Baru. Kedaulatan Rakyat, 14 Oktober


2000, hal. 10

_______. 2000. Romantika Kos - Kosan Di Kota Yogya (3-Habis) "Saya Pernah
Mengintip Dia Melakukan Hubungan Seks". Kedaulatan Rakyat, 5
November 2000, hal. 12.

_______. 2000. SDM Indonesia Memprihatinkan. . Kedaulatan rakyat, 1 Oktober


2000, hal. 10.

_______. 2000. Menentang Dwi Fungsi TNI Di Yogya: Unjukrasa Mahasiswa


Diwarnai Bentrokan. Kedaulatan Rakyat, 6 Oktober 2000, hal. 12.

_______. 2000. Pengguna Narkotika Capai Dua Juta Orang. www.


Kompas.com/infonarkoba, 28 Juni 2000.

_______. 2000. Manfaat Agama Bagi Kesehatan. wtw. satumed. com, 8 Agustus
2000.

92

Anda mungkin juga menyukai