Anda di halaman 1dari 4

Nama : Shinta Ngindana Zulfa

NIM : 224110401121

Kelas : 1 MPI C

TUGAS ANALISIS

MENDAMPINGI ANAK MENGHADAPI KEGAGALAN*

Endah Kusumaningrum

“Nah, gitu dong! hebat! Itu baru anak ayah dan bunda?!”

Berapa banyak orang tua yang mengatakan hal itu kepada anaknya ketika si anak memperoleh nilai
tinggi di mata pelajaran tertentu, lalu menggerutu ketika si anak mendapat nilai rendah? atau ketika si
anak mendapatkan juara dia dipuji setinggi langit. Tetapi ketika kalah dia dicibir, meski pun ( meski
pun ) hanya sebatas candaan.

Pernahkah kita berfikir ( berpikir ) bahwa tindakan itu melukai hatinya? Membuatnya menjadi
seseorang yang ambisius? Pikiran tentang hal itu terlintas dikepala saya setelah sebuah kejadian cukup
menarik saya alami baru-baru ini.

Beberapa hari yang lalu saya agak ( sedikit ) tercengang melihat seorang siswa sd menangis cukup
histeris ketika tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba. Saya tau ( tahu ) dia kecewa.
Ketika itu saya adalah orang yang bertanggungjawab menyeleksi perwakilan sekolah. Maka, bisa jadi
anak itu kecewa pada saya.

Ketika saya hampiri dan saya peluk, anak itu tidak menolak. Saya cukup bingung, karena mendapatkan
respon baik. Saya tungguin (saya tunggu ) dia sampai selesai menangis. Ketika tangisnya ( tangisannya )
reda, saya minta maaf ( meminta maaf ) padanya ( kepadanya ). Saya mencoba membesarkan hatinya.

“Takut dimarahi ibu” Katanya ragu-ragu.

Saat itu juga saya memahami, bahwa orang tuanya, baik sadar maupun tidak, telah menitipkan sebuah
‘ambisi’ pada anaknya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik. Ambisi untuk selalu berprestasi dalam
sebuah kompetisi. Hal itu menjadi parameter si anak yang ditanam oleh orang tua lewat ( melalui ) pola
asuhnya.

Tetapi kita tidak bisa memandang sikap orang tua si anak itu secara hitam-putih belaka. Saya meyakini,
di balik pola asuh tersebut hal yang dicita-citakan orang tuanya pastilah baik. Agar anaknya selalu
berusaha berprestasi, selalu berusaha menjadi orang yang pandai, agar anaknya menjadi orang yang
pintar, dan lain-lain.

Hanya saja, sikap yang ditunjukkan ketika si anak mengalami kegagalan bisa jadi kurang tepat. Anak-
anak tentu belum mampu memahami makna tersirat dari ucapan dan tindakan kita. Apa yang dia dengar
adalah yang dia pahami.
Maka, ketika anak mengalami kegagalan, orang tua harus hati-hati mengambil sikap. Hal-hal berikut
bisa menjadi cara atau alternatif yang bijak menyikapi kegagalan anak kita. remen

Pertama, besarkan hatinya. Ketika anak mengalami kegagalan, hibur dia dengan kata-kata seperti
“Tidak apa-apa yang penting kamu sudah berusaha!” atau “Tenang, masih ada kesempatan lain. Besok
kita coba lagi ya!”. Kata-kata sederhana itu adalah penghibur paling menentramkan ( mententramkan )
baginya yang sedang kecewa.

Kedua, berikan quality time. Berikan waktu khusus pada si anak untuk menenangkan hatinya dan
bercerita. Hal itu akan membuatnya lebih mudah menerima kegagalan karena merasa di temani. Ajak
dia bercerita, tetapi jangan buru-buru ( memaksa ) memaksanya mengungkapkan kekecewaannya. Jika
sudah benar merasa nyaman dan menerima, anak akan menceritakannya sendiri pada orang tua.
Hadirkan kisah inspiratif tentang orang-orang sukses yang dulunya pernah gagal berulang kali. Hal itu
akan mengobati rasa kecewanya.

Ketiga, ajak evaluasi. Ketika anak sudah bisa berdamai dengan rasa kecewanya, ajak dia mengevaluasi
kegagalan kemarin. Hal itu akan mengajarkan anak untuk naik satu tingkat lebih baik. Seperti kata
pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik”, jadikan pengalaman kemarin sebagai motivasi untuk
berusaha lebih baik lagi.

Dengan melakukan hal-hal tersebut, anak tidak merasa ditekan untuk berprestasi. Anak akan terhindar
dari sikap ambisius yang mengungkungnya. Anak akan berprestasi atas keinginannya karena menjadi
anak berprestasi sangat menyenangkan.

*Artikel ini pernah dimuat di laman Sahabat Keluarga (Kemendikbud) pada April 2018

2.Menggerutu

Mereda

Meski pun

3. bertanggung jawab

4. "Nah, gitu dong. hebat! Itu baru anak Ayah dan Bunda!"

5.

• orang tua
• nilai tinggi
• nilai rendah
• siswa SD
• ajang lomba
6.

• orang tua mengatakan hal baik


• si anak memperoleh nilai tinggi
• si anak mendapat nilai rendah
• siswa SD menangis cukup histeris
• sekolah mewakili ajang lomba

7. Kalimat introgratif (kalimat tanya )

Berapa banyak orang tua yang mengatakan hal itu kepada anaknya ketika si anak memperoleh nilai
tinggi di mata pelajaran tertentu, lalu menggerutu ketika si anak mendapat nilai rendah?

Pernahkah kita berfikir bahwa tindakan itu melukai hatinya? Membuatnya menjadi seseorang yang
ambisius?

Kalimat deklaratif (kalimat pernyataan)

Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa sd menangis cukup histeris ketika
tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba.

Saya meyakini, di balik pola asuh tersebut hal yang dicita-citakan orang tuanya pastilah baik.

Anak-anak tentu belum mampu memahami makna tersirat dari ucapan dan tindakan kita.

Kalimat ekslamatif (mengungkapkan rasa kagum)

Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa sd menangis cukup histeris ketika
tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba.

Kalimat imperatif (kalimat perintah)

Berikan waktu khusus pada si anak untuk menenangkan hatinya dan bercerita.

Ajak dia bercerita, tetapi jangan buru-buru memaksanya mengungkapkan kekecewaannya.

8. Pandangan saya tertuju pada seorang anak yang sedanh menangis cukup histeris. Ketika saya tanya
anak itu menangis sebab takut dimarahi oleh orang ibunya karena ia tidak terpilih mewakili sekolah di
ajang lomba.

saya menghampiri anak itu lalu memeluknya anak. Saya cukup terkejut karena anak tersebut merespon
saya dengan baik, walau saya tahu Kemungkinan dia kecewa kepada suya sebagai penanggung jawab
seleksi ajang lomba untuk mewakili sekolah. Saya memeluknya hingga tangisannya reda. Saya
mencoba untuk memberikan semangat dan rasa maaf Padanya
Kejadian ini menjadikan saya memahami bahwa pola asuh orang tua anak itu kurang tepat, yaitu dengan
memberikan beban sehingga menjadikan anak itu mempunyaa tanggung jawab yang besar untuk
menjadikan anak tersebut menjadi anak yang terbaik dan selalu berprestasi dalam sebuah kompetisi.

Anda mungkin juga menyukai