Anda di halaman 1dari 4

MENDAMPINGI ANAK MENGHADAPI KEGAGALAN*

Endah Kusumaningrum

“Nah, gitu dong! hebat! Itu baru anak ayah dan bunda?!”

Berapa banyak orang tua yang mengatakan hal itu kepada anaknya ketika si anak
memperoleh nilai tinggi di mata pelajaran tertentu, lalu menggerutu ketika si anak mendapat
nilai rendah? atau ketika si anak mendapatkan juara dia dipuji setinggi langit. Tetapi ketika
kalah dia dicibir, meski pun hanya sebatas candaan.
Pernahkah kita berfikir bahwa tindakan itu melukai hatinya? Membuatnya menjadi
seseorang yang ambisius? Pikiran tentang hal itu terlintas dikepala saya setelah sebuah
kejadian cukup menarik saya alami baru-baru ini.
Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa sd menangis
cukup histeris ketika tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba. Saya tau dia
kecewa. Ketika itu saya adalah orang yang bertanggungjawab menyeleksi perwakilan sekolah.
Maka, bisa jadi anak itu kecewa pada saya.
Ketika saya hampiri dan saya peluk, anak itu tidak menolak. Saya cukup bingung,
karena mendapatkan respon baik. Saya tungguin dia sampai selesai menangis. Ketika
tangisnya reda, saya minta maaf padanya. Saya mencoba membesarkan hatinya.
“Takut dimarahi ibu” Katanya ragu-ragu.
Saat itu juga saya memahami, bahwa orang tuanya, baik sadar maupun tidak, telah
menitipkan sebuah ‘ambisi’ pada anaknya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik. Ambisi untuk
selalu berprestasi dalam sebuah kompetisi. Hal itu menjadi parameter si anak yang ditanam
oleh orang tua lewat pola asuhnya.
Tetapi kita tidak bisa memandang sikap orang tua si anak itu secara hitam-putih
belaka. Saya meyakini, di balik pola asuh tersebut hal yang dicita-citakan orang tuanya
pastilah baik. Agar anaknya selalu berusaha berprestasi, selalu berusaha menjadi orang yang
pandai, agar anaknya menjadi orang yang pintar, dan lain-lain.
Hanya saja, sikap yang ditunjukkan ketika si anak mengalami kegagalan bisa jadi
kurang tepat. Anak-anak tentu belum mampu memahami makna tersirat dari ucapan dan
tindakan kita. Apa yang dia dengar adalah yang dia pahami.
Maka, ketika anak mengalami kegagalan, orang tua harus hati-hati mengambil sikap.
Hal-hal berikut bisa menjadi cara atau alternatif yang bijak menyikapi kegagalan anak kita.
Pertama, besarkan hatinya. Ketika anak mengalami kegagalan, hibur dia dengan kata-
kata seperti “Tidak apa-apa yang penting kamu sudah berusaha!” atau “Tenang, masih ada
kesempatan lain. Besok kita coba lagi ya!”. Kata-kata sederhana itu adalah penghibur paling
menentramkan baginya yang sedang kecewa.
Kedua, berikan quality time. Berikan waktu khusus pada si anak untuk menenangkan
hatinya dan bercerita. Hal itu akan membuatnya lebih mudah menerima kegagalan karena
merasa di temani. Ajak dia bercerita, tetapi jangan buru-buru memaksanya mengungkapkan
kekecewaannya. Jika sudah benar merasa nyaman dan menerima, anak akan
menceritakannya sendiri pada orang tua. Hadirkan kisah inspiratif tentang orang-orang
sukses yang dulunya pernah gagal berulang kali. Hal itu akan mengobati rasa kecewanya.
Ketiga, ajak evaluasi. Ketika anak sudah bisa berdamai dengan rasa kecewanya, ajak
dia mengevaluasi kegagalan kemarin. Hal itu akan mengajarkan anak untuk naik satu tingkat
lebih baik. Seperti kata pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik”, jadikan pengalaman
kemarin sebagai motivasi untuk berusaha lebih baik lagi.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, anak tidak merasa ditekan untuk berprestasi.
Anak akan terhindar dari sikap ambisius yang mengungkungnya. Anak akan berprestasi atas
keinginannya karena menjadi anak berprestasi sangat menyenangkan.

*Artikel ini pernah dimuat di laman Sahabat Keluarga (Kemendikbud) pada April 2018
Silakan analisis artikel di atas sesuai dengan kisi-kisi berikut!
1. Temukan kata tidak baku pada artikel di atas dan berikan pembetulannya!
2. Temukan kesalahan penulisan imbuhan (afiksasi) yang tidak tepat pada artikel di atas!
3. Temukan kesalahan penulisan ejaan (penulisan huruf kapital hingga penulisan huruf
miring) pada artikel di atas!
4. Temukan kesalahan tanda baca pada artikel di atas!
5. Temukan 5 frasa pada artikel di atas!
6. Temukan 5 klausa pada artikel di atas!
7. Temukan kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, maupun kalimat ekslamatif pada
artikel di atas!
8. Silakan ubah kutipan paragraf berikut dalam konstruksi kalimatmu sendiri supaya
menjadi
struktur kalimat yang lebih bervariasi!
Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa sd
menangis cukup histeris ketika tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba.
Saya tau dia kecewa. Ketika itu saya adalah orang yang bertanggungjawab menyeleksi
perwakilan sekolah. Maka, bisa jadi anak itu kecewa pada saya.
Ketika saya hampiri dan saya peluk, anak itu tidak menolak. Saya cukup
bingung, karena mendapatkan respon baik. Saya tungguin dia sampai selesai
menangis. Ketika tangisnya reda, saya minta maaf padanya. Saya mencoba
membesarkan hatinya.
“Takut dimarahi ibu” Katanya ragu-ragu.
Saat itu juga saya memahami, bahwa orang tuanya, baik sadar maupun tidak,
telah menitipkan sebuah ‘ambisi’ pada anaknya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik.
Ambisi untuk selalu berprestasi dalam sebuah kompetisi. Hal itu menjadi parameter si
anak yang ditanam oleh orang tua lewat pola asuhnya.

NB: Dikumpulkan

Anda mungkin juga menyukai