Anda di halaman 1dari 6

Wiet 08:09 PM

Miss ijin bertanya, anak saya laki² 4 tahun, bagaimana menghadapi anak yg sangat sensitif. jika
kita salah pemilihan kata saja dia menangis, ketika dilarang dia nangis, di beri tahu nangis,
mengungkapkan dia tdk setuju atau tdk mau menangis, bagaimana ya cara agar dia tdk sensitif
ke depannya?

Hallo Mom Wiet,

Usia anak kita berdekatan rupanya ya, anak saya juga berusia 4+ tahun. Pada usia ini banyak sekali
hal yang sedang berkembang dalam psikososial anak termasuk pengenalan emosi dalam diri anak.
Dalam kondisi ini anak membutuhkan pengenalan dan pengelolaan emosi yang sedang ia rasakan.

Untuk mengembangkan pengenalan emosi dapat dilakukan beberapa hal seperti :

1. Literasi Emosi
Pemahaman tentang emosi yang dirasakan oleh anak dapat dilakukan melalui memberikan
bacaan mengenai ragam emosi yang ada dan disampaikan kembali saat anak merasakannya.
Misalnya ketika anak minta dibelikan mainan dan tidak mendapatkannya, kemudian anak mulai
menangis. Bunda dapat menyampaikan (contoh dialog dapat disesuaikan kembali).

Bunda : “kamu sedih ya karena tidak dibelikan mobil-mobilan tadi?”


Anak : “iya sedih” (masih menangis)
Bunda : “iya tidak apa-apa. Terkadang saat bunda sedih, bunda juga menangis” (sambil
tepuk-tepuk atau berikan pelukan)
Anak : (menangis)
Bunda : “Tidak apa-apa kalau kamu menangis, izin bunda temani ya atau kamu ingin
sendirian terlebih dahulu (jika dirumah). Nanti jika sudah merasa lega, kita main
lagi ya.”
Anak : “iya bunda” (menangis dan perlahan-lahan lega).
Bunda : (ketika tangisan sudah lega dapat diberikan penjelasan) terima kasih ya sudah
memberitahu bunda kalau kamu sedih. Bunda senang bisa menemani kamu saat
sedih. Nanti kalau ada rezeki lebih kita baru cari lagi ya mainannya. Bunda sayang
kamu.
Berikut ini beberapa buku yang pernah saya perkenalkan kepada anak sebagai referensi ya Mom
Wiet.
2. Validasi Emosi

Validasi emosi adalah tindakan yang dapat diberikan seseorang untuk menunjukan
penerimaan dan pemahaman untuk perasaan orang lain. Ketika seseorang menerima
validasi emosi, mereka akan merasa diterima dan dipahami.

Ketika anak-anak mengalami perasaan senang, sedih, marah, kecewa, takut, orang tua dapat
memberikan empati berupa : kehadiran fisik, ikut berempati dengan perasaan anak, dan
memberikan validasi atas emosi yang ia rasakan.

Berikut beberapa referensi penyataan validasi yang dapat diberikan kepada anak.

3. Pengelolaan Emosi Anak

Setelah mengenal tentang ragam emosi dan diberikan validasi emosi, anak dapat dilatih
untuk mengelola emosinya dengan beberapa cara sebagai berikut :

- Melatih anak untuk menenangkan diri.


Ketika anak sedang marah, berikan validasi dan kemudian berikan waktu bagi anak
untuk menenangkan diri dan meredakan amarahnya. Tawarkan anak untuk inhale
exhale (tarik nafas dan buang nafas).

Setelah anak tenang (dapat dilakukan esok hari) ajak anak berdiskusi tentang emosinya
dan mencari solusi dari masalah yang membuatnya marah. Dengarkan anak dan kurangi
memberikan nasihat yang terlalu panjang ya.
- Hindari untuk memberikan semua hal yang diinginkan anak agar ia menjadi tenang.
- Jika memungkinkan dapat diatur sudut / ruangan tenang bagi anak untuk dapat
dipergunakan anak ketika ia menenangkan diri.

4. Pengelolaan Emosi Orang Tua

Terkadang saat anak memperlihatkan emosi seperti marah atau sedih, meskipun sudah
menjadi orang dewasa dapat juga ‘terpancing’ untuk ikut-ikutan reaktif secara emosi. Jika
orang tua merasakan bahwa ia mungkin akan meledak karena terpicu, sebaiknya minta
waktu pada anak untuk menenangkan diri sehingga tidak melampiaskan emosi juga pada
anak.

Anak-anak adalah peniru yang ulung. Pengelolaan emosi yang dilakukan oleh orang dapat
menjadi teladan bagi anak ketika ia sedang merasakan emosi yang membebani perasaannya.

Nurdina Gita Pratiwi 08:27 PM


Miss mau tanya, untuk menerapkan tidak ada reward dan punishment untuk anak biasanya kita
menjelaskan sebab akibat. tapi di satu sisi juga, katanya untuk anak-anak itu biasanya logic
tersebut belum berjalan, karena mereka yang masih berkembang emosionalnya. tapi kalau
dengan pendekatan emosional itu saya takutnya dia jadi people pleaser. bagaimana cara
menghadapinya ya miss? karena kadang sebab-akibat aja sulit untuk di accepted oleh anak.
Terima kasih miss

Hallo Mom Gita,

Benar mom penting sekali bagi anak-anak untuk dapat merasakan sebab akibat sebagai bagian dari
logikanya atas hal-hal yang terjadi disekitarnya. Sebab akibat ini dapat kita pahami sebagai
konsekuensi nyata yang terjadi ketika ia melakukan sesuatu misalnya ketika anak mengepel lantai
maka lantai rumahnya akan menjadi basah dan kemudian lebih bersih. Ketika anak melemparkan
mainan, mainan tersebut dapat retak, lecet, rusak atau hancur tidak dapat dipergunakan kembali.
Konsekuensi logis ini selalu dipelajari anak sebagai sebab akibat dari keputusan dan aktivitas yang
ia lakukan.

 Demikian juga dengan sistem Reward and punishment seringkali diberikan oleh orang
dewasa sekitar anak sebagai motivasi untuk melakukan sesuatu atau ancaman kepada anak
untuk tidak melakukan apa yang tidak diharapkan. Untuk jangka pendek hal ini dianggap
efektif karena sebagian besar anak-anak akan menjadi penurut.

Namun Dr Maria Montessori menyampaikan bahwa Hadiah dan Hukuman adalah


perbudakan jiwa karena anak-anak melakukan hal tersebut bukan karena keinginannya
atau karena ia paham hal tersebut memang harus dilakukan melainkan karena iming-iming
hadiah.

Contoh saat anak-anak tidak mau mandi, orang tua menawarkan akan memberikan ‘es
krim’ jika ia mandi. Karena anak tersebut suka dengan es krim, ia langsung mandi dan
mendapatkan es krim tersebut. Mandi adalah salah satu routine hygiene yang dilakukan
oleh manusia, jika setiap kali ia menolak mandi dan mengharapkan es krim setelahnya.
Bayangkan berapa banyak es krim yang harus kita siapkan.

Beda halnya ketika anak melakukan hal baik diluar kebiasaan (bukan rutin seperti EPL),
misalnya : pada saat melihat berkunjung ke Panti Asuhan, setelah selesai membagikan
bingkisan, anak memberikan mainan / makanan yang ia miliki kepada salah satu anak di
Panti yang sedang menangis. Ia memberikan dengan tulus dan lega hati karena bisa
membantu orang lain. Setelah pulang, jika orang tua ingin memberikan apreasi dapat
menyampaikan, “Tadi mama lihat kamu memberikan mainan kesayangan kamu kepada
anak yang menangis. Itu adalah hal yang baik. Ini (reward) yang mama berikan kepada
kamu, karena kamu telah melakukan perbuatan yang terpuji, mama bangga dengan apa
yang telah kamu lakukan.”

Tentu akan berbeda dengan pernyataan, “kalau kamu mau kasih mainan ke adik kecil yang
sedang menangis itu, pulang ini kamu dapat hadiah mainan baru”. Selain motivasi ny berupa
mainan baru, pemberian tersebut juga menjadi kurang makna ketulusannya.

Demikian pula dengan dengan ancaman. Ketika anak bukan paham dengan konsekuensi
melainkan takut dengan ancaman, saat ancaman itu hilang / ia telah mampu untuk
melawan, anak akan mulai melakukan hal-hal yang dilarang sebelumnya.

 Berbicara tentang people-pleaser dimana sesorang cenderung untuk selalu ‘mengiyakan’


permintaan orang lain demi diterima oleh orang lain, sulit berkata tidak bahkan
mengorbankan kesenangan dan energi diri sendiri. Sebagian besar orang terjebak dalam
kondisi ini karena trauma atau luka dari pola pengasuhan masa kecil dimana orang tua
seringkali menuntut anak untuk menjadi pribadi yang membanggakan, mengancam akan
meninggalkan anak jika tidak melakukan sesuai ekspektasi, atau menyalahkan anak atas
emosi yang terjadi dalam dirinya. Orang tua tidak memberikan kasih sayang tanpa syarat.

Dengan kata lain anak akan mengartikan hal tersebut : jika sayang mau disayang oleh mama
dan papa, saya harus melakukan ini dan itu demi disayang. Sekalipun hal tersebut tidak
ingin saya lakukan.

Ketika kita sebagai orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk memilih (pilihan
yang telah disediakan orang tua), mengemukan pendapatnya, tidak menuntut anak
melebihi milestone dalam dirinya, mudah-mudahan anak tidak tumbuh menjadi seorang
people-pleaser yang memaksakan dirinya untuk menerima semua permintaan orang lain
hanya demi diterima dan takut tertolak.

Semoga menjawab ya ibu Gita.


alfatri fatri 08:32 PM
sebelumnya terimakasih banyak ilmu nya Miss, sangat bermanfaat dan paling banyak saya
alami dengan anak saya, saya mau bertanya Miss, apakah setiap kegiatan anak, di berikan
hadiah, dan lama lama dia terbiasa dengan imbalan. jadi setiap kita mengajak untuk makan,
mandi ataupun bereskan mainan, harus ada imbalan dulu, Baru bergerak. nah bagaimana solusi
yang harus saya lakukan Miss?

Hallo Mom Alfatri,

Baru mau bergerak ketika diberikan hadiah adalah salah satu dampak negatif dari pemberian reward
kepada anak. Dimana motivasinya adalah hadiah bukan dari esensi mengapa dia harus melakukan
hal tersebut. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah memberitahukan anak alasan mengapa dia
harus melakukannya.

Misalnya sehubungan dengan membereskan mainan, anak-anak yang membereskan dan


mengembalikan sendiri mainannya akan lebih mengingat dimana letak mainan tersebut. Jika tidak
membereskan mainan, ia akan kesulitan saat mencari mainan tersebut dan bergantung pada orang
orang lain, lebih lama mencarinya, dan bisa jadi mainan nya hilang. Sesekali biarkan anak
mengalami konsekuensi tersebut dan validasi kembali pernyataan mengapa ia harus melakukannya.

Hindari memaksa anak untuk membereskan mainan melainkan lakukan dengan menyenangkan
(sambil menyanyi) sehingga proses anak menerima hal tersebut menjadi lebih nyaman dan mudah.
Turunkan ekspektasi kita, tidak mesti anak pasti menurut saat pertama kali diberitahu, bisa jadi
butuh berulang kali.

Demikian mom Alfatri, sebagian jawaban dapat disimak dari pertanyaan ibu Gita. Terima kasih.

wenny 08:59 PM
uma atau mom fany, apakah kemungkinan inner child saya ada masalah soalnya skrg sy agak
impulsive kalua untuk seminar2 atau beli buku dimana dulu buku susah didapat di kampung
saya

Hallo Mom Wenny dan Umma Via,

Pertanyaan ini telah terjawab secara live saat zoom ya. Terima kasih. Bila kurang jelas atau sudah
leave silahkan japri ya. Terima kasih.
Emi kurniawati 09:20 PM
selamat malam miss, sebelumnya maaf miss tadi saya tidak bisa ikut full zoom nya. yang ingin
saya tanyakan adalah, ketika saya hendak marah, ekspresi sudah kelihatan sangat marah danau
berteriak. tapi langsung berubah menjadi misal memeluk anak. atau sudah kelepasan, lalu saya
memeluk anak saya. apakah jika ini terjadi kelanjutan, akan bahaya untuk anak saya?

Hallo Mom Emi,

Iya tidak apa ibu Emi. Sebagai orang tua yang juga memiliki emosi dalam diri ada kala nya kita
kelepasan ketika terpicu oleh keadaan atau reaksi yang diberikan oleh anak. Sedangkan anak-anak
sangat pandai untuk ‘membaca’ reaksi dari orang-orang yang ada disekitarnya.

Ketika telah menyadari apa yang terjadi seperti yang mom Emi sampaikan, artinya selain
pengelolaan emosi pada enak, perlu juga dilakukan regulasi emosi pada orang dewasa disekitar anak.

Bagaimana caranya, ibu dapat melakukan pemetaan terhadap reaksi yang mulai keluar (masing-
masing orang berbeda). Misalnya saat kening ibu ‘mengeryit’ artinya sudah mulai emosi. Telapak
tangan berkeringat dan ingin membentak (sudah banyak kata-kata yang timbul dalam kepala)
artinya saya sudah hampir hilang kendali. Ketika berada pada titik ini, jangan tunggu sampai hilang
kendali, tarik nafas dan mintalah izin kepada anak untuk menenangkan diri. Jika memungkinkan
ambil waktu sendiri dan anak dijaga oleh support system lainnya. Tetapi jika hanya berdua dengan
anak, maka pindahlah ke sudut untuk menenangkan diri. Saat sudah tenang, barulah hampiri anak
kembali dan cari solusi bersama atas permasalahan yang ada.

Sebagai contoh dibawah ini terdapat kurva untuk mengenali emosi kita bagaimana ciri-cirinya dan
bagaimana cari mengatasinya. Semoga menjawab ya ibu. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai