Anda di halaman 1dari 15

0

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
___________________________________________________________

Sari Kepustakaan : Toksisitas Okular Akibat Pemberian Obat-Obatan Sistemik


Penyaji : Tommy Wibowo
Pembimbing : Dr. dr. R. Angga Kartiwa, Sp. M(K)., M. Kes

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh


Pembimbing

Dr. dr. R. Angga Kartiwa, Sp. M(K)., M. Kes

Senin, 11 Oktober 2021


Pukul 08.15 WIB
1

I. Pendahuluan
Penatalaksanaan berbagai macam penyakit sering menggunakan obat-obatan
sistemik dalam penanganannya. Pemberian obat-obatan sistemik dapat menimbulkan
berbagai efek samping pada berbagai organ termasuk pada jaringan okular. Efek
samping akibat pemberian obat-obatan sistemik bervariasi dari ringan hingga berat
yang berpotensi mengancam penglihatan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang.1–3
Obat-obatan sistemik akan dibawa oleh darah hingga jaringan okular. Proses
masuknya obat ke struktur intraokular merupakan suatu proses yang kompleks.
Struktur intraokular dilindungi oleh sawar darah okular, sehingga obat-obatan dari
aliran sistemik tidak dapat langsung menembus jaringan okular. Sawar darah okular
memiliki fungsi mengatur keluar masuknya molekul dari aliran sistemik ke jaringan
intraokular termasuk obat-obatan. Toksisitas obat pada jaringan okular dipengaruhi
beberapa faktor yaitu sifat kelarutan obat, dosis obat, keadaan patologi pasien, dan
interaksi obat.1,4,5
Jaringan intraokular dapat menjadi lokasi terdepositnya molekul obat. Molekul obat
akan lepas secara lambat dan terus-menerus dari deposit ini sehingga meningkatkan
potensi toksisitas suatu obat. Kemungkinan terjadinya toksisitas obat menyebabkan
perlunya pemahaman akan berbagai efek samping pada okular yang mungkin terjadi
dari obat-obatan sistemik yang diberikan.2–4 Tujuan sari kepustakaan ini adalah
memaparkan mengenai toksisitas yang dapat terjadi pada okular akibat pemberian
obat-obatan sistemik.

II. Sirkulasi Okular dan Sawar Darah Okular


Obat-obatan sistemik mencapai jaringan okular melalui aliran darah. Jantung akan
memompa darah ke seluruh tubuh termasuk jaringan okular. Darah mencapai jaringan
okular melalui arteri oftalmika, cabang dari arteri karotid internal. Arteri oftalmika
akan mempercabangkan arteri siliaris posterior dan juga arteri siliaris anterior yang
akan menyuplai darah sebagian besar jaringan okular. Molekul yang terdapat dalam
2

darah tidak dapat masuk secara langsung ke dalam intraokular karena adanya sawar
darah okular.2,5,6

Gambar 1. Penampang melintang okular


Dikutip dari : Forrester dkk.6

Struktur intraokular memiliki sawar darah okular yang menyerupai sawar darah
otak. Sawar darah okular berfungsi mengontrol kondisi lingkungan jaringan okular
agar fungsi selular tetap optimal dan mencegah toksisitas. Fungsi ini dicapai dengan
menyeleksi komposisi dan jumlah zat yang masuk dan keluar jaringan okular. Obat
sitemik perlu mampu menghindari mekanisme ini untuk dapat menyebabkan toksisitas
pada jaringan okular. Sawar darah okular dibagi dua berdasar lokasinya yaitu sawar
darah retina pada bagian posterior dan sawar darah akuos pada bagian anterior.6–8

Gambar 2. Suplai darah okular


Dikutip dari : Skalicky dkk.5

Sawar darah retina meregulasi transpor pada kapiler retina dan menjaga
keseimbangan homeostasis. Sawar darah retina terdiri dari dua lapisan yakni bagian
3

dalam dan luar. Sawar darah retina bagian dalam dibentuk oleh tight junction sel
endotel kapiler retina. Lapisan ini berfungsi meregulasi perpindahan molekul pada
kapiler retina. Sawar darah retina bagian luar dibentuk oleh tight junction sel epitel
retina berpigmen. Lapisan ini melindungi retina terhadap zat dari koriokapilaris dan
meregulasi perpindahan molekul antara koriokapilaris dan jaringan retina. 5,7,8

Gambar 3. Sawar darah okular. a, Sawar darah akuos; b, sawar darah retina bagian dalam;
c, sawar darah retina bagian luar
Dikutip dari : Scalicky dkk.5

Sawar darah akuos berfungsi membatasi protein plasma agar tidak masuk ke dalam
humor akuos. Mekanisme ini menjaga humor akuos bebas protein untuk
mempertahankan kejernihan sebagai salah satu media penglihatan. Lapisan ini
dibentuk oleh tight junction sel epitel siliaris tidak berpigmen, pembuluh darah iris non
penetrasi dan dinding bagian dalam endotel dari kanalis Schlemm.5,6,8

III. Faktor yang Mempengaruhi Toksisitas Obat


Efek obat-obatan sistemik terhadap jaringan okular telah lama diketahui. Struktur
jaringan okular memiliki ukuran yang relatif kecil dan kaya akan pembuluh darah. Sifat
ini memudahkan terjadinya toksisitas dari obat-obatan sistemik pada jaringan okular.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping obat terhadap okular diantaranya sifat
kelarutan obat, dosis obat, keadaan patologi pasien, interaksi obat.1,3,4
4

Sifat kelarutan obat mempengaruhi penyerapan dan efek farmakologis obat dalam
tubuh. Obat dengan sifat lipofilik memiliki kemampuan penetrasi yang lebih tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping. Konsumsi harian obat
dengan dosis tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik obat-obatan ke
jaringan okular. Konsumsi obat-obatan dalam jangka panjang terlebih obat-obatan
dengan tingkat detoksifikasi dan ekskresi rendah akan mempengaruhi efek yang terjadi
pada okular.1,2,9
Hepar merupakan salah satu organ yang berperan dalam detoksifikasi obat. Hasil
detoksifikasi obat sebagian besar akan diekskresikan melalui ginjal. Penyakit pada
hepar dan ginjal akan mengganggu proses detoksifikasi juga ekskresi obat. Proses
metabolisme yang terganggu mengakibatkan terakumulasinya konjugat obat hingga
mencapai kadar toksik. Akumulasi konjugat obat ini meningkatkan risiko terjadinya
efek samping obat. Konsumsi beberapa obat secara bersamaan mempengaruhi proses
farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh. Interaksi antar obat ini dapat
mengingkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat termasuk pada jaringan
okular.2,3,9

IV. Efek Obat-obat Sistemik Terhadap Okular


Berbagai obat sistemik dapat mempengaruhi jaringan okular dan fungsi penglihatan.
Pemberian obat-obatan sistemik dapat menimbulkan efek samping walaupun target
utama obat tersebut bukan pada jaringan okular. Bagian okular terdiri dari struktur
kompleks sehingga beberapa obat sistemik dapat terdeposit dan akan meningkatkan
potensi toksisitas obat.1,2,4
Percobaan klinis obat dilakukan dengan tujuan menemukan efek samping yang
dapat muncul. Kesulitan yang masih dihadapi adalah pada beberapa kasus efek
samping baru diketahui setelah obat digunakan secara luas. Efek samping yang
ditimbulkan dapat bersifat asimtomatis hingga mengancam penglihatan. Sifat kelarutan
obat, dosis obat, keadaan patologi pasien, interaksi obat dan kecepatan pembersihan
obat mempengaruhi efek samping yang terjadi pada jaringan okular.2–4
5

4.1 Konjungtiva dan Sklera


Salah satu obat yang paling sering mengakibatkan efek samping pada konjungtiva
dan sklera adalah minosiklin. Minosiklin merupakan derivat tetrasiklin, bersifat
lipofilik dan sering digunakan untuk terapi akne dan rosasea. Sifat lipofilik minosiklin
menghasilkan penetrasi yang lebih kuat ke dalam cairan dan jaringan tubuh. Penetrasi
yang kuat ini juga meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping.2,4,10

Gambar 4. Pigmentasi biru pada sklera akibat minosiklin


Dikutip dari : Fraunfelder FT dkk.4

Pigmentasi okular berwarna hitam atau biru merupakan salah satu efek samping
penggunaan minosiklin jangka panjang. Efek samping okular ditemukan pada pasien
yang mendapatkan dosis setidaknya 100 miligram per hari dengan durasi rata-rata satu
setengah tahun. Laporan kasus tercepat adalah setelah satu tahun pemakaian.2,4,11
Mekanisme terjadinya hiperpigmentasi akibat minosiklin disebabkan oleh deposit
besi yang kita kenal dengan siderosis. Deposit ini terjadi akibat minosiklin atau
derivatnya berikatan dengan besi yang mengakibatkan terjadinya hiperpigmentasi pada
kulit, gigi, kuku, sklera maupun konjungtiva. Pigmentasi biru pada sklera paling sering
muncul pada daerah perilimbal dengan lebar tiga hingga empat milimeter. Lokasi
pigmentasi dapat terlokalisasi pada regio intrapalpebral bagian temporal, maupun difus
pada sklera. Hiperpigmentasi akibat minosiklin biasanya tidak mempengaruhi fungsi
penglihatan sehingga lebih merupakan masalah kosmetik. Pigmentasi akibat
minosiklin dapat menghilang bertahun-tahun setelah penghentian obat.4,10,11
6

4.2 Kornea
Beberapa obat-obatan sistemik dapat menginduksi terjadinya perubahan epitel
kornea. Perubahan epitel kornea ini dapat berupa deposit yang muncul sebagai
keratopati vorteks yang juga dikenal sebagai kornea verticillata. Keratopati vorteks
merupakan deposit pada epitel kornea berwarna keabuan atau cokelat keemasan
dengan pola menyerupai lingkaran atau pusaran. Pola yang terbentuk merupakan akibat
akumulasi fosfolipid yang disebut dengan fosfolipidosis.4,12,13

Gambar 5. Keratopati vorteks akibat amiodaron


Dikutip dari : Fraunfelder dkk.4

Amiodaron merupakan agen anti aritmia yang telah digunakan secara luas. Kornea
verticillata merupakan salah satu efek samping yang sering timbul akibat penggunaan
amiodaron. Efek samping ini terjadi pada 98% pasien yang mendapatkan dosis 200
hingga 300 miligram per hari dan 99% pasien dengan dosis 200 hingga 1200 miligram
selama lima hari seminggu. Onset tercepat timbulnya gejala adalah dua minggu setelah
memulai terapi dengan waktu rata-rata adalah satu hingga empat bulan. Gejala yang
dilaporkan dirasakan oleh pasien meliputi iritasi kelopak mata, fotofobia, dan halo.
Ketajaman penglihatan biasanya tidak terpengaruh oleh deposit ini. 1,12,14
Mah F.S mengemukakan dua teori terjadinya deposit fosfolipid. Pertama adalah
inhibisi lisosom fosfolipase yang pada keadaan normal berperan untuk katabolisme
lipid. Penelitian menunjukan amiodaron menginhibisi lisosom fosfolipase sehingga
memicu terjadinya fosfolipidosis. Kedua adalah afinitas amiodaron yang tinggi
terhadap lipid akan mengakibatkan terbentuknya ikatan kompleks amiodaron-lipid.
7

Enzim lisosom fosfolipase tidak dapat mendegradasi kompleks yang terbentuk ini dan
pada akhirnya akan terdeposit pada epitel kornea. Deposit kompleks amiodaron-lipid
biasanya terjadi bilateral dan simetris, kecuali pada tahap awal keratopati amiodaron.
Lokasi deposit epitel kornea ini sering ditemukan dekat garis horizontal dua pertiga
bawah kornea. Pola ini sesuai dengan penutupan kelopak mata dan deposit kompleks
yang dibawa langsung oleh air mata. Deposit biasanya akan menghilang enam sampai
tujuh bulan setelah penghentian amiodaron, namun dalam beberapa kasus dapat
mencapai dua tahun.4,13,14

4.3 Lensa Kristalin


Katarak merupakan kekeruhan lensa patologis dan penyebab utama kebutaan yang
dapat ditangani di dunia. Katarak disebabkan beberapa penyebab, salah satunya
diakibatkan efek samping obat-obatan. Katarak khususnya dalam bentuk kekeruhan
lensa subkapsular posterior merupakan salah satu efek samping terapi kortikosteroid
dengan insidensi 22-58%.4,15,16

Gambar 6. Perubahan Protein Lensa Kristalin yang dinduksi oleh kortikosteroid


Dikutip dari : Gaballa SA dkk.16

Patomekanisme terjadinya katarak akibat kortikosteroid masih belum dimengerti


secara penuh. Proses terjadinya katarak akibat kortikosteroid ini melibatakan banyak
faktor. Pasien yang menerima terapi kortikosteroid dalam jangka panjang disarankan
8

melakukan pemeriksaan rutin minimal setiap enam bulan sekali sebagai skrining
terjadinya efek samping akibat kortikosteroid.2,13,15
Gaballa S.A. mengemukakan terjadinya akumulasi air pada sel serabut lensa,
agregasi lensa protein akibat inhibisi pompa Na+/K+ pada lapisan epithel lensa, dan
ikatan kortikosteroid dengan protein lensa mengakibatkan terbentuknya lisin-
ketosteroid, produk kovalen, dan kekeruhan lensa. Hipotesis ini menyatakan reaksi
asam amino residu lisin dari protein lensa dengan grup keto C20 steroid mengakibatkan
terbentuknya basa Schiff. Susunan Heys yang akan terbentuk dari basa Schiff
mengakibatkan produk kovalen ketoamin yang stabil. Hasil produk kovalen steroid-
protein mengakibatkan perubahan struktur normal protein lensa. Perubahan struktur ini
yang mengakibatkan terbentuknya formasi katarak.2,13,16

4.4 Obat yang Meningkatkan Tekanan Intra Okular


Efek beberapa obat sistemik dapat mengakibatkan perubahan tekanan intraokular.
Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang sering digunakan untuk menangani
berbagai penyakit baik okular maupun sistemik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO)
merupakan salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi akibat pemakaian
kortikosteroid. Peningkatan TIO akibat pemakaian kortikosteroid disebut hipertensi
okular yang diinduksi kortikosteroid. Peningkatan TIO yang cukup besar dan tidak
ditangani lama kelamaan akan menimbulkan neuropati optik glaukomatosa yang
disebut dengan glaukoma yang diinduksi kortikosteroid.16–18
Sel anyaman trabekular mengandung banyak reseptor kortikosteroid. Reseptor
kortikosteroid pada sel anyaman trabekular ini menjadi kunci mekanisme
kortikosteroid meningkatkan TIO. Kortikosteroid akan masuk kedalam sel anyaman
trabekular dan memicu perubahan ekspresi gen anyaman trabekular. Perubahan
ekspresi gen mengakibatkan perubahan matrix extraselular yang terakumulasi dibawah
lapisan endotel kanalis Schlemm. Akumulasi ini meningkatkan ketebalan pilar
trabekular sehingga ruang intertrabekular menyempit dan resistensi aliran akuos
meningkat.2,13,16
9

Phulke S. mengasumsikan peningkatan TIO merupakan akibat stabilisasi membran


dan inhibisi pelepasan enzim lisosom. Proses ini mengakibatkan penurunan laju
degradasi glikosaminoglikan (GAG) oleh enzim ini. Deposit GAG akan terakumulasi
pada anyaman trabekular. Glikosaminoglikan ini kemudian terhidrasi yang
mengakibatkan edema dan meningkatkan resistensi aliran keluar humor akuos.1,13,17

Gambar 7. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Peningkatan Tekanan Intraokular


yang Diinduksi Kortikosteroid
Dikutip dari : Gaballa SA dkk.16

Teori lain mengatakan kortikosteroid menyebabkan pembengkakan serabut kolagen


anyaman trabekular dengan meningkatkan kapasitas pengikatan air mukopolisakarida
dan menurunkan aktivitas fagositosis anyaman trabekular. Proses ini mengakibatkan
akumulasi debris selular yang meblokade jalur aliran keluar humor akuos hingga terjadi
peningkatan TIO. Hipertensi okular yang diinduksi kortikosteroid biasanya akan
mengalami perbaikan dalam waktu satu sampai empat minggu setelah penghentian
terapi. Pemakaian kortikosteroid kronis memerlukan waktu lebih lama untuk
menurunkan TIO hingga nilai normal.2,17,18

4.5 Retina
Obat antimalaria merupakan salah satu contoh obat yang memiliki efek samping
pada retina. Penggunaan obat antimalaria dalam jangka panjang dapat menyebabkan
kerusakan retina parafovea. Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan derivat
10

kuinolon yang memiliki sifat antimalaria serta antiinflamasi. Penyakit lupus dan artritis
rematoid juga sering menggunakan obat-obat ini sebagai penatalaksanaannya.2,4,13
Toksisitas retina merupakan salah satu efek samping dari obat-obatan ini.
Pemberian klorokuin relatif aman pada dosis dibawah 2,3 miligram per kilogram berat
badan per hari dan dibawah lima milligram per kilogram berat badan per hari untuk
hidroksiklorokuin. Risiko toksisitas klorokuin meningkat drastis pada dosis kumulatif
lebih dari 300 gram sedangkan hidroksiklorokuin pada dosis kumulatif diatas seribu
gram atau setara pemberian dosis 200 miligram dua kali sehari selama tujuh tahun.
Setiap pasien yang mendapatkan obat-obat ini disarankan melakukan pemeriksaan
rutin setiap enam hingga 12 bulan sebab saat pasien sudah merasakan adanya gejala,
menandakan bahwa kerusakan permanen telah terjadi.4,13,19
Jorge A. menyebutkan klorokuin dan hidroksiklorokuin memiliki afinitas tinggi
terhadap melanin dan akan membentuk ikatan yang kuat. Ikatan ini akan terdeposit
pada jaringan dengan kadar melanin yang tinggi seperti pada kulit, badan silier, dan
epitel pigmen retina. Akumulasi obat pada epitel pigmen retina menjelaskan mengapa
proses retinopati akibat klorokuin dan hidroksiklorokuin tetap berlangsung walau obat
telah dihentikan pada beberapa pasien. Mekanisme terjadinya efek samping
berubungan dengan peluruhan ujung segmen luar sel fotoreseptor yang terjadi secara
terus-menerus akibat foto-oksidasi. Proses ini membutuhkan sistem permbersihan yang
efektif. Pada keadaan normal epitel pigmen retina menyediakan fungsi fagositosis dan
degradasi untuk hal ini. Klorokuin dan Hidroksiklorokuin menyebabkan perubahan
fungsi lisosom epitel pigmen retina. Perubahan ini mengakibatkan inhibisi proses
fagositosis segmen luar fotoreseptor. Fungsi lisosom dan autofagi yang terganggu
mengakibatkan ketidakstabilan sel membran fotoreseptor dan pada akhirnya
fungsinya.1,4,19

4.6 Nervus Optikus


Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit yang sering ditemui khususnya
pada negara-negara berkembang. Etambutol merupakan salah satu obat pilihan pertama
11

pada tuberkulosis. Efek samping okular dari pemberian etambutol adalah


neurotoksisitas optik. Neuropati optik akibat obat adalah keadaaan dimana terjadi
degenerasi saraf optik yang ditimbulkan oleh obat-obatan.3,4,20
Dosis ideal etambutol yang jarang menimbulkan efek samping pada okular adalah
15 miligram per kilogram berat badan per hari dengan insidensi satu sampai dua persen.
Toksisitas terjadi pada pasien yang menerima dosis lebih dari 35 miligram per kilogram
berat badan per hari adalah sebesar 18 persen. Neuropati optik akibat etambutol dapat
muncul tiga sampai enam bulan setelah memulai terapi. Gejala yang umum dirasakan
termasuk penurunan tajam penglihatan pada area sentral atau perifer, gangguan lapang
pandang, gangguan penglihatan warna, dan pembengkakan kepala saraf optik.
Gangguan penglihatan warna merupakan gejala yang pertama timbul dibanding gejala
lain, sehingga dapat menjadi indikator awal terjadinya toksisitas. Pemeriksaan tajam
penglihatan dan tes penglihatan warna disarankan bagi pasien yang akan menjalani
pengobatan dengan etambutol dan diulang setiap enam bulan. 2,4,13
Karakurt Y. menyatakan mekanisme yang terjadi merupakan akibat kerusakan
mitokondria dan ketidakseimbangan homeostasis radikal bebas intra dan ekstrasel.
Neuropati optik akibat etambutol disebabkan karena inhibisi rantai transpor elektron
dan produksi adenosin trifosfat (ATP). Inhibisi ini disebabkan disfungsi mitokondria
akibat influks kalsium sehingga terjadi defek parsial fungsi rantai pernapasan. Defek
ini akan meningkatkan akumulasi stress oksidasi secara kronik. Jumlah ATP yang tidak
cukup mengakibatkan saraf optik rawan terhadap kerusakan dan kematian sel.
Neuropati optik yang diinduksi etambutol dapat bersifat permanen, namun pada
kebanyakan kasus perbaikan sempurna terjadi dalam beberapa minggu hingga
bulan.4,13,20

V. Kesimpulan
Efek samping okular dapat diakibatkan oleh pemberian obat-obatan sistemik.
Jaringan okular memiliki sawar darah okular yang terdiri dari sawar darah retina dan
sawar darah akuos. Sawar darah okular berfungsi melindungi jaringan okular dari zat-
12

zat toksik dalam darah. Obat-obatan sistemik perlu menembus sawar darah okular
terlebih dahulu sebelum mencapai jaringan okular. Faktor lain yang mempengaruhi
kemungkinan terjadinya efek samping pada okular yaitu sifat lipofilik obat, dosis obat,
keadaan patologi pasien, dan interaksi obat. Pengetahuan mengenai toksisitas okular
akibat obat-obatan sistemik perlu dimiliki untuk mengantisipasi kemungkinan yang
dapat terjadi saat pemberian terapi.
13

DAFTAR PUSTAKA

1. Jaanus SD. Ocular side effects of selected systemic drugs. Optom Clin.
2019;6(1):1–3.
2. Prokopich CL, Barlett JD, Jaanus SD. Clinical ocular pharmacology. Edisi ke-
5. Fiscella RG, R HN, Lisa PC, editor. St. Louis, Missouri: Butterworth
Heinemann Elsevier; 2008. hlm. 700-4,706-7,722-8,736-7.
3. Robinson J. Goodman and gillman’s the pharmacological basis of therapeutics.
Edisi ke-13. L. Brunton L, Hilal Dandan R, C. Knollmann B, editor. The
Routledge Companion to Aesthetics. California: Mc Graw Hill Education; 2018.
hlm. 20-1,55-6,58-9,1265.
4. Fraunfelder FT. Drug-induced ocular side effects. Edisi ke-8. Jensvold-Vetsch
B, editor. Vol. 47, Folia Ophthalmologica Japonica. Portland: Elsevier; 2021.
hlm. 3,17-8,33-5,206-9,52-3,62-4.
5. Skalicky SE. Ocular and visual physiology. Ocular and Visual Physiology.
Sydney: Springer; 2016. hlm. 171-2.
6. Forrester J V, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlman E. The eye basic
sciences in practice. Edisi ke-4. Toronto: Elsevier; 2016. hlm. 14,40-2,245.
7. Naylor A, Hopkins A, Hudson N, Campbell M. Tight junctions of the outer
blood retina barrier. Int J Mol Sci. 2019;21:1–6.
8. Díaz-Coránguez M, Ramos C, Antonetti DA. The inner blood-retinal barrier:
cellular basis and development. Vision Res. 2017;139:1–6.
9. Tripathi K. Essentials of medical pharmacology. Edisi ke-7. Tripathi M, editor.
Vol. 7, Bmj. New Delhi: Jaypee; 2013. hlm. 22-30.
10. Haskes C, Shea M, Imondi D. Minocycline-induced scleral and dermal
hyperpigmentation. Optom Vis Sci. 2017;94(3):436-7,440-1.
11. Skorin L, Turpin S. Minocycline-induced hyperpigmentation of the skin, sclera,
and palpebral conjunctiva. Can J Ophthalmol. 2016;52(2):1–3.
12. Mah FS, Rapuano CJ, Ulrich RG. Drug-induced corneal epithelial changes. Surv
Ophthalmol. 2016;3-4,14-5.
13. Salmon JF. Ophthalmic side effects of systemic medication. Dalam: Kanski,
editor. Kanski’s clinical ophthalmology. Edisi ke-9. San Francisco: elsevier;
2020. hlm.882-6,889-90.
14. Frings A, Schargus M. Recovery from amiodarone-induced cornea verticillata
by application of topical heparin. Cornea. 2017;36(11):1419–21.
15. Duman R, Vurmaz A. Role of innate immunity and oxidative stress in steroid-
induced cataracts in developing chick embryos. Cutan Ocul Toxicol.
2018;37(3):281–4.
16. Gaballa SA, Kompella UB, Elgarhy O, Alqahtani AM, Pierscionek B, Alany
RG, et al. Corticosteroids in ophthalmology: drug delivery innovations,
pharmacology, clinical applications, and future perspectives. Drug Deliv Transl
Res. 2020;11(3):7-8,13-8.
17. Phulke S, Kaushik S, Kaur S, Pandav SS. Steroid-induced Glaucoma: an

13
14

avoidable irreversible blindness. J Curr Glaucoma Pract. 2017;11(2):67–70.


18. Roberti G, Oddone F, Agnifili L, Katsanos A, Michelessi M, Mastropasqua L,
et al. Steroid-induced glaucoma: epidemiology, pathophysiology, and clinical
management. Surv Ophthalmol. 2020;65(4):458-60,463-7.
19. Jorge A, Ung C, Young LH, Melles RB, Choi HK. Hydroxychloroquine
retinopathy - implications of research advances for rheumatology care. Nat Rev
Rheumatol. 2018;14(12):693-4,699-702.
20. Karakurt Y, Süleyman H, Keskin Cimen F, Tasli G, Ucak T, Icel E, et al. The
effects of lutein on optic nerve injury induced by ethambutol and isoniazid: an
experimental study. Cutan Ocul Toxicol. 2019;38(2):4,8-10.

Anda mungkin juga menyukai