Anda di halaman 1dari 4

Modul 14: Menjaga

Keberlangsungan Mediasi

Standar Kompetensi
Peserta dapat menjaga keberlangsungan mediasi dengan memanfaatkan pemahaman mengenai
tahapan keadaan yang dialami oleh para pihak dan menentukan respon yang tepat.

Kompetensi Dasar
Pada akhir sesi peserta dapat:

1. memahami tahapan keadaan yang dilalui para pihak untuk mencapai kesepakatan

2. mendemonstrasikan keterampilan untuk memadukan teknik -teknik yang telah dipelajari unt uk
menjaga keberlangs ungan mediasi

3. menunjukan kepekaan terhadap konteks budaya dan jender.

Bahan Bacaan Modul 14

Pokok bahas an ini bertujuan agar peserta dapat menjaga keberlangsungan mediasi dengan
memahami tahapan keadaan yang dilalui para pihak untuk mencapai kesepakatan dan mengetahui
respon yang tepat untuk setiap keadaan dengan memanfaatkan keterampilan- keterampilan yang
telah dipelari sebelumnya. Dalam pokok bahasan ini juga dijelaskan mengenai pengaruh budaya dan
jender dan tips menghadapi resistensi.

Tahapan Keadaan Yang Dilalui Para Pihak Untuk Mencapai Kesepakata n


Penting bagi seorang mediator untuk mengetahui apa saja yang dirasakan oleh para pihak dalam
suatu proses mediasi. Meminjam teori Bruce Tuckman dalam Stages of Group Development, tahapan
yang sama juga dapat berlaku dalam pertemuan untuk mencapai kesepak atan. Dalam pertemuan
untuk mencapai kesepakatan, biasanya ada 4 tahapan keadaan yang dialami oleh peserta
pertemuan, di mana setiap tahapan memiliki ciri-ciri khusus.

Dalam tahap pertama, peserta pertemuan biasanya merasa bingung, cemas, menjajaki situasi, hanya
berpatokan pada kesan pert ama, tidak aktif, belum memiliki kepercayaan. Pada tahap k edua,
hubungan menjadi tegang, terjadi kompetisi, ada ketegangan dan konflik, mempertanyakan pihak
otoritas, menonjolkan perbedaan. Pada tahap k etiga, mulai terjadi kerjasama, kepercayaan mulai
timbul, muncul kebersamaan, bisa menghargai perbedaan, bisa memberikan umpan balik yang positif
dan konstruktif dan komunik asi yang terbuka. Pada tahapan k eempat, mulai terjadi harmoni,
produktif, partisipatif, dan masalah dapat dipecahkan.

Keempat tahapan ini bis a terjadi juga dalam proses mediasi. Karena itu, normal bila dalam proses
mediasi salah satu atau kedua pihak menunjukkan salah satu ciri atau karakteristik di atas. Misalnya,
di awal proses mediasi terjadi ketidakpercayaan dari para pihak, atau dalam tahap berikutnya terjadi
ketegangan dan konflik, atau para pihak mempertanyakan pihak otoritatif, dalam hal ini mediat or.
Terjadinya hal-hal tersebut tidak perlu dianggap sebagai pertanda gagalnya mediasi, karena itu
adalah sebuah siklus yang wajar. Mediator harus mengetahui dan berlatih agar dapat mengelola
situasi tersebut dengan cara menunjukkan respon atau intervensi yang tepat untuk setiap keadaan
yang terjadi, sehingga dapat mempertahankan proses mediasi. Dalam sesi ini, peserta belajar
mengetahui kapan ia harus menggunakan keterampilan -keterampilan yang telah ia pelajari pada sesi-
sesi sebelumnya. Keempat tahapan tersebut juga tidak bersifat linier, melainkan bis a mundur dan
kemudian maju kembali.

Resistensi
Untuk dapat memfasilitasi para pihak dengan efektif, mediator harus mengetahui tanda -tanda di
mana para pihak mulai bersikap resisten. Sikap resisten ini bisa berbagai macam, mulai dari tidak
adanya antusiasme untuk mengikuti proses sampai menolak untuk bekerjasama.

Beberapa tanda-t anda yang harus dicermati adalah:

 menghindari kontak mata


 memberi pertany aan yang menganggu
 menarik diri/tidak terlibat dalam pembicaraan
 terus menerus tidak setuju
 berkali-kali menginterupsi
 menyatakan rasa frustasi
 menolak berbagai usulan secara langsung maupun tidak langsung.

Ada beberapa tips untuk menghadapi hal ini. Pert ama adalah dengan mengembalikan pada fokus
seperti menyatakan “Ok , saya rasa itu isu yang berbeda dengan isu yang tengah k ita bicarak an,
apak ah k ita bisa tinggalk an dulu isu itu untuk k ita bicarak an nanti?” Cara lainnya adalah dengan
menggunakan bahasa tubuh. Atau dengan menggunakan humor yang sesuai. Atau dapat juga
dengan mengingatkan kembali akan panduan tingkah laku yang sudah disepakati. Bila mediator
melihat tanda-tanda adanya resistensi, hal ini tidak boleh diac uhkan atau dihindari, melainkan harus
segera dihadapi.
Pengaruh Budaya dan Jender
Budaya terdiri dari berbagai macam prinsip dasar, kepercayaan, asumsi dan perilaku yang menjadi
ciri khas sekelompok orang. Karena itu, penting untuk memperhatikan pengaruh atau aspek buday a
dalam mediasi. Seorang mediator perlu mengenali pengaruh budaya, jender dan kelas sosial dalam
emosi dan komunikasi para pihak. Misalnya, apakah kultur dari para pihak cenderung menghadapi
konflik secara langs ung atau tidak langsung? Apakah anggota masyarakat dari budaya tert entu
ekspresif dalam mengungkapkan emosi atau tidak? Apak ah para pihak nyaman menyelesaikan
konflik secara langs ung dengan tatap muka at aukah mereka tidak menyukai pembic araan langsung
dan konfront asi? Namun, penting untuk disadari oleh mediator bahwa tidak semua orang dari suat u
budaya tertentu pasti mempunyai cara berpikir dan bertindak yang sama. Mediator perlu
memperhatikan bahwa kebuday aan berpengaruh pada masing-masing jender dalam
mempersepsikan diriny a. Hal ini pula yang kerap menimbulkan bias jender.

Bias jender secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebagai suat u kecenderungan dalam
memperlakukan atau menafsirk an fakta atau kasus dengan hanya mempe rtimbangkan favoritisme
atau preferensi kepada salah satu jenis kelamin tertentu berdasarkan prasangka dan stereot ype.
Dalam definisi yang dibuat oleh Judicial Council Advis ory Committee on Gender Bias in the Court
Report (1990), bias jender dipahami sebagai “perilaku atau pembuatan keputusan yang berdasark an
atau menunjukkan:

 perilaku berdasarkan stereot ype tentang kodrat dan peran laki -laki dan perempuan
 persepsi tentang nilai relatif merek a
 mitos dan miskonsepsi tentang realitas sosial yang dialami oleh kedua jenis kelamin.

Untuk mengurangi bias jender ini, mediator perlu memiliki sensitivitas jender, yaitu kemampuan
memahami ketimpangan jender (gender gap). Beberapa cont oh dalam kasus keluarga, misalnya bila
ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam kasus perceraian. Pemahaman mediator
tentang kekerasan fisik dan kekerasan non fisik menjadi penting dalam kasus -kasus perceraian di
mana terdapat KDRT, baik fisik maupun non fisik. Contoh lain adalah misalnya mengenai pembagian
harta bagi istri, bila istri yang mengajukan gugatan cerai. Sering muncul pendapat bahwa jika istri
yang menggugat cerai, maka ia tidak berhak mendapat pemberian nafkah atau pembagian hart a
(uang mut ’ah dan ‘iddah)

Daftar Pustaka
Christopher W. Moore (2003). The Mediation Process. 3rd edition. San Fransisco: Jossey-Bass.

Hisako Kobayashi-Levin. (2011). Mediation Training: Practical Tips on How to Conduct Mediation.
Fukuoka: Nihon Kajo Publishing Co.Ltd.

Roger Fisher and William Ury (1992). Getting to Yes: Negotiating Agreement Wihout Giving In. 2nd
edition. New York: Penguin Books.
Lydia Braakman & Karen Edwards. (2002) The Art of Building Facilitation Capacities. Bangkok: The
regional Community Forestry Training Center for Asia and the Pacific (RECOFTC).

Salim et al. (2009). Demi Keadilan dan Keset araan: Dok umentasi Program Sensitivitas Jender Hak im
Agama di Indonesia. PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation.

Bruce Tuckman, Stages of group Development sebagaimana dikutip dari


http://en.wikipedia.org/wiki/ Tuckman% 27s_stages_of_group_development

Anda mungkin juga menyukai