Analisa Kasus Pajak PT Asian Agri Group
Analisa Kasus Pajak PT Asian Agri Group
NBI : 1311401504
A. Posisi Kasus
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin
Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$
3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk
keuangannya.Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke
Polda Metro Jaya.Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah
dokumen penting perusahaan tersebut.Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen
keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang
berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun
pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG
secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit
mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri
dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli
riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa
ditekan.Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi
rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN,
EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
a. UU No. 6 Tahun 1983 stdtd UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
b.Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010;
c.Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-187/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember
2007.
JANGKA WAKTU PEMBAYARAN PAJAK
a. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
b. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus
disetor paling lamatanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
c. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d. PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
e. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
f. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
g. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
i. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari
kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
j. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
k. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang
bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
l. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan
tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
m. PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh
orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
n. PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
o. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
p. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
q. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut
PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
r. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling
lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
s. Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP
yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa,
harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing
jenis pajak.
1) Sesuai UU KUP Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa Batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan,
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
a. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran
pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh,
seperti PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 15, PPh Pasal
23/26, PPh Pasal 25, PPh Pasal 22 sesuai angka 2. 2). a).k & l di atas, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang
telah disetor sebagaimana dimaksud angka 2.2).a).m & n serta angka 2.2).b) di
atas, dengan menggunakanSurat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan PPN yang telah disetor atas Kegiatan Membangun Sendiri dengan
menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya
meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
d. Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut,
paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
e. Pemungut Pajak (PPh Pasal 22, PPN & PPnBM) yakni Direktorat Bea dan
Cukai wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada
hari kerja terakhir minggu berikutnya.
h. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (PPh Pasal 25 & PPh Masa lainnya) yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat
keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan.
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak didaerah tertentu, jangka waktu
pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal
penerbitan.
Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari Wajib Pajak
orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
2) menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau
menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya
tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.
Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) modal Wajib Pajak badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia;
c) Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
badan
d) Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan bahwa pembayaran atau penyetoran pajak
masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pasal 9 ayat (2b) UU KUP menyatakan bahwa atas pembayaran atau penyetoran
pajak tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara
senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement).Hal ini
sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-
satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri
Group.Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada
tindak pidana pencucian uang (money laundering).Dalam hal itu, penggelapan
pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari
tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang
tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang
adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan
uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar
dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri
(Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah
direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution,
Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu
memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga
diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi
keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro
TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin
didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi
wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui
perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke
afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu
perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan
pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan
hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang
tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti
permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana
pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga
tahapan dalam kejahatan pencucian uang.Pertama, penempatan (placement) yang
dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan
ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering)yaitu proses pemindahan dana dari
beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat
lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk
menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap
layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi(integration)yang merupakan
tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil
tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.
Berujung di Pengadilan
Menurut Pendapat
Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya untuk membuat Kartu Tanda
Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan untuk mendirikan dua
perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-
masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama, selanjutnya
Hendri Susilo menyerahkan nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan
PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/cap
perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo
dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke
rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah
masuk rekening. Selanjutnya Terdakwa membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi
transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore,
menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan
Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore melalui
jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. Atas pengiriman 2 (dua) aplikasi
transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank
SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan
ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari putusan majelis hakim tersebut,
baik dari dakwaan dan tuntutan JPU serta pertimbangan dan putusan majelis
hakim.JPU mendakwa dengan dakwaan alternatif kumulatif. Dakwaan Kesatu
Pasal 3 ayat (1) huruf a UU TPPU atau Dakwaan Kedua pasal 6 ayat (1) huruf c
UU TPPU dan Dakwaan Ketiga Pasal 263 KUHP.
Dalam Dakwaan kesatu tidak dicantumkan unsur penting TPPU yaitu
”dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan,”
hal ini menjadi tidak sinkron dengan aturan dan ancaman pidana dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a UU TPPU. Selain itu, Unsur Pasal 3 UU TPPU “dengan sengaja”
tidak dimasukkan di dalam uraian dakwaan, dengan demikian dakwaan ini
sebenarnya tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Konsekuensinya dakwaan ini dapat dianggap
kabur (obscur libel) dan menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum. Selain itu, melihat bahwa penyusunan dakwaan alternatif telah
disusun secara keliru karena Posisi Kasus yang identik antara Dakwaan Kesatu
dan Dakwaan Kedua, serta mengingat Dakwaan Kesatu dan Kedua merupakan
tindak pidana yang berbeda, maka penyusunan Posisi Kasus harus disesuaikan
dengan pasal yang dikenakan. Dalam dakwaan ketiga uraian perbuatannya sama
dengan uraian perbuatan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, namun ternyata yang dimaksud adalah untuk dakwaan
melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Penyebutan
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi kabur, karena tidak merinci secara tegas
terdakwa dikenakan dakwaan unsur pasal bentuk yang mana.
Dari pemeriksaan di persidangan, yang perlu dikritisi adalah terkait
pemeriksaan saksi.Ada beberapa saksi dihadapkan di persidangan yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Pendapat saksi (berupa opini) dicatat sebagai keterangan saksi, padahal hal
ini tidak boleh dilakukan mengingat saksi hanya dibolehkan memberikan
keterangan tentang apa yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri tentang terjadinya
suatu peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 27 KUHAP.
Selain itu, ada Testimonium de Auditu dan saksi yang seharusnya menjadi saksi
kunci karena keterlibatannya dengan terdakwa dalam hal terjadinya tindak pidana
tidak dapat dihadirkan di persidangan tanpa keterangan ketidakhadirannya,
sehingga berita acara dipenyidikanlah yang dibacakan keterangannya.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan
terbukti menempatkan harta kekayaan adalah sebagaimana dakwaan JPU pasal 3
ayat (1) huruf a UU TPPU, tetapi dalam tuntutan JPU mengenakan pasal 3 ayat (1)
huruf c UU TPPU dengan salah satu unsurnya adalah membayarkan harta
kekayaan. Menurut JPU dalam tuntutannya TPPU tersebut dilakukan dengan
memalsu surat sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHP.
kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari
situ tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan
keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh
jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau
perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu
muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus
dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan
superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786
miliar.Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas
pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara
pada Agustus lalu.Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan
pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih
kepada mereka.Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada.Direktorat
Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai
tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas,
amat besar uang negara yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah
pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah
mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati
program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian
uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil
"penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri.Inilah yang mestinya
diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar
dugaan penggelapan pajak.
Berdasarkan hasil analis, dapat diketahui bahwa Vincentius memegang
peranan penting dalam menguak kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh ST
dimana Vincent sebagai Financial Controller Asian Agri yang dimiliki oleh ST.
Vincentius dalam kasus dugaan penggelapan pajak ST ini berperan sebagai
whistleblower. Lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya
pengaturan mengenai perlindungan saksi secara yuridis formal pada gilirannya
membuat saksi enggan memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia
dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
Dalam Witness Protection Act di USA, perlindungan terhadap whistleblower
sudah mengakomodir agar terhadap whistleblower diberlakukan penganuliran
pendakwaan dan bukan hanya keringanan hukuman seperti di Indonesia, tapi
benar-benar dibebaskan. Guna mengungkap kasus yang lebih besar,
membebaskan pelaku dalam kasus kecil yang terlibat dalam lingkup kasus besar
tersebut.Hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia tidak mengenal plea
agreement.Prinsip yang terkandung dalam plea agreement adalah untuk
mendorong peran aktif saksi, sehingga diberikan suatu penghargaan bagi
siapapun yang berperan dalam melaporkan/membantu membongkar tindak
pidana. Selain itu masih terdapat pula plea bargain yang memiliki makna bahwa
saksi yang menjadi pelaku tersebut dapat bernegosiasi mengenai pengurangan
hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya di muka pengadilan.
Hukum mengenai perlindungan saksi dan pelapor yang berlaku di Indonesia
yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban hanya memberikan keringanan hukuman bagi pelaku pidana berdasarkan
pertimbangan hakim yang diatur pada Pasal 10 ayat 2. Dasar hukum
perlindungan saksi dan pelapor selain tercantum dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2006, juga terdapat dalam Undang-undang Pengadilan HAM No. 26 Tahun
2000 pada Pasal 34, UNCAC pasal 32, Konvensi Palermo/ TOC pada Pasal 24 dan
Pasal 25.
Dalam rangka pelaksanaan proses pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003
(UU TPPU), telah mengatur mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan
Saksi yang dicantumkan pada Pasal 39 sampai Pasal 43 yang dikuatkan dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57Tentang Tatacara Pemberian
Perlindungan Khusus sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 42 UU TPPU.
Dalam pengaturan ini, terhadap saksi dan pelapor telah diberikan perlindungan
khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau
hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Dengan pemberian
perlindungan khusus tersebut diharapkan baik Pelapor dan Saksi memperoleh
jaminan atas rasa aman dan dapat memberikan keterangan yang benar, sehingga
proses peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan
dengan baik.
Menurut UU Kejaksaan, Jaksa Agung bisa memakai kewenangan
diskresinya melalui hak oportunitas untuk menganulir pendakwaan bagi saksi
pelaku yang berjasa dalam mempermudah proses pengusutan suatu perkara.
Penggunaan hak oportunitas ini pernah dilakukan Jaksa Agung dalam
menyingkap kasus korupsi di tanah air.
Mengingat kasus dugaan penggelapan pajak oleh ST pada saat ini masih
dalam proses penyidikan dan ditangani oleh ditjen pajak, maka ada beberapa opsi
yang sebaiknya dilakukan yaitu :
1. Untuk dijatuhkannya putusan terhadap pengambilan harta kekayaan Vincent,
harus diungkap penggelapan pajak oleh ST terlebih dahulu, apabila terbukti
uang yang dicuri/digelapkan berasal dari tindak pidana tsb.
2. Terhadap kasus penggelapan pajak yang terjadi, bisa langsung dikumulatif
dengan dakwaan money laundering.
SARAN
1.Formulasi mengenai perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam
tindak pidana perpajakan perlu disempurnakan mengikuti perkembangan zaman
khususnya perkembangan teknologi dan informasi agar tidak terdapat celah
hukum untuk melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Sehingga kerugian
keuangan negara dari hasil Tindak Pidana Perpajakan dapat diminimalisir bahkan
menjadi mustahil.