Makalah Abk Ii
Makalah Abk Ii
DISUSUN OLEH :
Kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmatnya
sehinga makalah ini bisa diselesaikan dengan baik. Penyusunan makalah ini tidak bisa diselesaikan
dengan baik tanpa bantuan dari banyak pihak.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Retna Dwi Estuningtyas, S.Kom., M.kom.I
yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Ada banyak hal yang bisa kami pelajari melalui
penelitian dalam makalah ini.
Makalah ini berusaha menjelaskan tentang definisi, sejarah dan seluk-beluk tentang National
Geest atau Kesadaran Nasional, National Will atau Keinginan Nasional, dan National Daad atau Amal
Nasional dalam Soekarnologi dalam Hubungan Nasionalisme.
Materi dalam makalah ini cukup menarik. Akan tetapi, penulis sadar bahwa pasti masih ada
kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
dan pendengar.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat, baik bagi saya sebagai penulis maupun bagi
para pembaca atau pendengar.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
e. Untuk mengetahui definisi dan National Daad atau Amal Nasional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 NASIONALISME
Makna dan Definisi Nasionalisme menurut Soekarno :
Di mata Seoekarno istilah “nasionalisme” sebagai sebuah kosa kata politik belum
memadai sebagai sebuah kerangka berpikir untuk menjelaskan sikap kebangsaan Indonesia
yang sesungguhnya. Untuk soal ini Soekarno banyak melakukan kupasan yang ia tulis di
berbagai artikel sejak ia terjun di kancah pergerakan nasional di pertengahan dasawarsa
1920-an hingga jatuhnya Hindia Belanda di tahun 1942 akibat agresi militer Jepang.
Berbagai gagasannya tentang nasionalisme Indoneia pada periode itu terangkum di dalam
buku kumpulan tulisannya yang berjudul Dibawah Bendera Revolusi (jilid I)
Jika nasionalisme dimengerti hanya sebatas cinta Tanah Air sebagaimana yang
lazimnya dipahami, lalu apa yang membedakan nasionalisme Indonesia versi Soekarno
dengan definisi nasionalisme pada umumnya?
Posisi Soekarno dalam hal ini cukup jelas bahwa ia memaknai nasionalisme tidak
sekadar sikap mencintai Tanah Air atau bangsa. Satu hal yang paling penting untuk
memahami nasionalisme Indonesia versi Soekarno adalah cara ia melakukan konstruksi
gagasan itu. Cara pandang Soekrano yang menggunakan perspektif dialektika dalam
merumuskan nasionalisme Indonesia merupakan unsur penting yang justru membuat
konstruksi gagasannya berbeda secara signifikan dari pemahaman konvensional yang
sering mengambil bentuk ekspresi yang sekadar bermakna cinta Tanah Air.
Satu hal yang pasti adalah bahwa Soekarno menolak ide nasionalisme Indonesia yang
timbul karena sekadar ekspresi sentimental atau perasaan. Di sisi lain, sekalipun secara
populer Soekarno kerap melontarkan wacana politik tentang nasionalisme Indonesia secara
umum, namun secara konsepsional Soekarno memformulasikannya sebagai sosio-
nasionalisme. Istilah ini kerap ditemukan di berbagai artikel yang ditulisnya di buku DBR.
Tentu saja Soekarno memiliki basis argumentasi di balik rumusan sosio-nasionalisme
Namun, Soekarno sebelum memperkaya dan memperdalam formulanya tentang
nasion atau bangsa juga berupaya terlebih dulu untuk mengambil posisi yang lebih umum
tentang apa yang dimakani sebagai bangsa. Mengambil referensi pemikiran Ernest Renan
pemikir Perancis abad ke 19 Soekarno menulis dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme” di tahun 1926 bahwa bangsa dimaknai sebagai,
3
“…suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu
dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus
mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya
bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri
yang menjadikan ‘bangsa’ itu…Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari
persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.”
Dari definisi Renan itu Soekarno mengambil dua poin penting, yakni pengalaman
kolektif yang sama serta kehendak kolektif yang sama. Sementara itu dalam pidatonya pada
tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI Sekarno mengutip pendapat Otto Bauer
bahwa bangsa adalah persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Penting
untuk digarisbawahi di sini bahwa aspek kesamaan bahasa, bahkan termasuk kesamaan
agama dan ras, sebagaimana yang dikutip Soekarno dari Renan, bukan merupakan faktor
utama yang membentuk sebuah nation.
Nasionalisme dalam arti positif, dalam pandangan Soekarno, dapat membentuk
karakter percaya pada kemampuan diri sendiri serta menumbuhkan ikatan solidaritas.
Dalam situasi keterjajahan, mental semacam ini penting sebagai modal bagi perjuangan
nasional menuju kemerdekaan. Inilah yang menurut Soekarno merupakan hakekat
semangat nasionalisme. Menurut Soekarno, nasion yang dilandasi tekad semacam itu akan
mempermudah jalan untuk melenyapkan struktur kolonialisme yang menindas dan
merusak.
Di atas dasar konstruksi umum tentang hakekat bangsa atau nasion itu, Soekarno
memberikan sebuah orientasi nilai tentang apa yang menjadi sifat-sifat utama dari
kehendak bersama itu serta apa yang ingin dituju. Orientasi nilai inilah yang kemudian
membentuk karakter nasionalisme Indonesia versi Soekarno. Dalam artikelnya yang diberi
judul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” di buku yang sama Soekarno menulis:
“Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya
peri-kemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid,
‘Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan’, begitulah Gandhi berkata. Nasionalisme kita,
oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan;
SOSIO-NASIONALISME.”
Satu hal yang patut digarisbawahi di sini adalah bahwa—sejalan dengan pandangan
Mahatma Gandhi tentang humanisme sebagai kandungan utama nasionalisme—Soekarno
dengan rumusannya sendiri menyatakan bahwa sikap kebangsaan Indonesia adalah sosio-
nasionalisme. Prinsip yang medasarinya adalah humanisme. Dilihat dari cara Soekarno
4
melakukan konstruksi terhadap nasionalisme, maka terlihat dengan jelas di situ bahwa ia
merupakan penganut civic-nationalism.
Dalam arti umum civic-nationalism adalah sejenis pandangan politik yang
mengekspresikan semangat kebangsaan dalam konteks nation state yang didasarkan atas
partisipasi publik/rakyat serta prinsip-prinsip persamaan hak dan kesataraan sosial. Dengan
demikian, konstruksi civic-nationalism yang dianut Soekrano berseberangan secara
diametral dengan nasionalisme nativistik yang didasarkan atas supremasi ras/warna kulit
tertentu yang biasanya diikuti dengan praktik diskriminasi rasial dan segregasi sosial.
Dalam artikel lainnya yang berjudul “Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi” Soekarno memberi rumusan tentang apa yang ia maksud dengan sosio-
nasionalisme. Dengan tegas ia menyatakan bahwa sosio-nasionalisme, “bukanlah
nasionalisme ngalamun, bukanlah nasionalisme hati sahaja, bukanlah nasionalisme ‘lyriek’
sahaja.” Rumusan yang lebih konkret konsep sosio-nasionalisme menurut Soekarno
adalah:
“Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme
yang timbul dari pada kesombongan bangsa…ia adalah nasionalisme yang lebar,-
nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia
bukanlah ‘jingo-nationalism’ atau chauvinisme. Nasionalisme kita adalah nasionalisme
yang di dalam kele-baran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa,
sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk
hidupnya segala hal yang hidup.”
Di mata Soekarno, berdasarkan rumusannya tentang sosio-nasionalismenya di atas,
jenis-jenis nasionalisme yang dibangun atas dasar sentimen ras tidak saja tidak sesuai
dengan karakter nasionalisme Indonesia, tetapi juga merupakan musuh sejati nasionalisme
Indonesia. Itu sebabnya Soekarno memberi ruang untuk sosio-nasionalismenya bagi
tumbuhnya kecintaan pada bangsa lain—sebagai lawan dari nasionalisme chauvinis yang
sangat dibenci Soekarno itu.
Konsisten dengan cara pandangnya itu dalam artikel yang olehnya diberi judul
“Mencapai Indonesia Medeka” Soekarno menjelaskan tentang pentingnya menciptakan
front antar bangsa terjajah menentang kolonialisme dan imperialisme sebagai tugas historis
yang diemban oleh kaum nasionalis Indonesia. Cara pandang Soekarno ini dengan
sendirinya mengandung tolakan bahwa nasionalisme dapat “bekerja” sendiri dan terputus
atau menutup diri dari pergaulan antar bangsa.
5
Dalam pandangan Soekarno pemikiran semacam itu tak ubahnya seperti katak dalam
tempurung. Seorang nasionalis sejati, di mata Soekarno, tidak seharusnya menutup diri,
melainkan membuka diri membentuk front antar bangsa terjajah melawan stelsel
kolonialisme dan imperialisme. Dasar pemikiran Soekarno dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa sistem kolonialisme dan imperialisme bekerja secara global, dan oleh karena itu,
memerlukan kerjasama antar-kaum nasionalis di negeri-negeri terjajah untuk melakukan
perlawanan.
Dengan demikian, Soekarno menolak menyamakan konsep nasionalismenya dengan
“kesendirian” atau “kedirian” dan “keterpencilan”. Dalam kata-katanya:
“Inilah ‘kesendirian’ yang berbedaan bumi-langit dengan kedirian yang sempit-budi.
Kesendirian tidak melarang perhubungan dengan lain-lain bangsa, tidak melarang
pekerjaan-bersama dengan lain-lain bangsa, kesendirian hanyalah suatu r a s a-
kemampuan, suatu rasa-kebi-saan, suatu rasa-ketenagaan, suatu rasa-keperibadian, yang
menyuruh sebanyak-banyak dan seboleh-boleh berusaha sendiri, tetapi tidak
mengharamkan pekerjaan-bersama dengan luar pagar bila-mana berfaedah dan perlu.
Imperialismelah, dan bondoroyotnya imperialismelah yang harus kita ingkari, tetapi
musuh-musuh imperialisme adalah kawan kita! Lemparkanlah kesendirian yang sempit-
budi itu dan ambillah kesendirian yang lebar-budi ini, lemparkanlah kedirian itu dan
ambillah keperibadian ini!”
Dengan rumusannya itu Soekarno jelas tidak hanya menentang nasionalisme
chauvinis, tetapi juga menolak jenis nasionalisme yang “menyendiri”. Pandangan
Soekarno tentang perlunya kaum nasionalis Indonesia membuka diri untuk menjalin front
persatuan antar bangsa terjajah ini dapat bermakna ganda. Pertama, nasionalisme Indonesia
yang didasarkan atas prinsip humanisme tidak hanya menentang kolonialisme yang terjadi
di negerinya sendiri, tetapi juga menentang kolonialisme di mana pun ia berada—sekalipun
kaum nasionalis Indonesia lebih memproritaskan perjuangan nasional. Kedua, didasarkan
atas kenyataan bahwa kolonialisme beroperasi secara global, maka front semacam itu dapat
bermakna sebagai strategi melemahkan kolonialisme secara internasional.
Soekarno tentu sepenuhnya menyadari bahwa nasionalisme chauvinis—karena sangat
mudah membakar emosi massa—merupakan “ideologi” sangat berbahaya. Oleh sebab itu,
dalam pidato 1 Juni di depan siding BPUPKI Soekrano mengingatkan,
“Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang
meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia Uber
Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
6
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja
daripada dunia! Ingatlah akan hal itu! Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan
yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa,
“Deutshland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania…yang dianggapnya tertinggi
di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas
asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan
termulya serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia.”
Dari pidatonya itu tergambar dengan amat jelas bahwa selain sebagai penganut
nasionalisme kerakyatan (civic nationalism) Soekarno adalah seorang penganut pandangan
internasionalisme. Bagi Soekarno internasionalisme adalah realitas dunia yang tak
terbantahkan. Dalam konteks ini, Soekarno menilai bahwa nasionalisme Indonesia tidak
dengan sendirinya bermakna bahwa relasi dan menggalang solidaritas antar-bangsa
merupakan hal yang tabu.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian diperingati sebagi hari lahirnya
Pancasila itu Soekarno berkata:
“Kita bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa… Internasionalisme tidak dapat hidup subur,
kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur,
kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Justru inilah prinsip-prinsip saya
yang kedua. Inilah filosofiseli principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-
tuan, yang boleh saya namakan ‘internasionalisme’.”
Jelas terpapar di sini bahwa sekalipun Soekarno adalah seorang nasionalis radikal, ia
menyadari sepenuhnya bahwa dunia sedemikian rupa telah terpola menjadi global di mana
relasi antar bangsa semakin menguat. Konsisten dengan pandangan kritisnya tentang
nasionalisme yang “menyendiri” serta kegandrungannya terhadap humanisme sebagai
dasar nasionalisme Indonesia—sebagaimana yang sering kutip dari pernyataan Gandhi,
Soekarno memandang internasionalisme sebagai sarana mewujudkan solidaritas
kemanusiaan universal. Tentu saja internasionalisme yang dibayangkan Soekarno adalah
kondisi kemanusiaan universal tanpa kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.
Internasionalisme di mata Soekarno, oleh karenanya, justru tidak mematikan atau
membunuh nasionalisme sebagaimana yang dikatakannya dalam Pidato 1 Juni.
Internasionalisme, berdasarkan pembacaan Soekarno, adalah masyarakat dunia yang
beranggotakan semua nasion. Itu sebabnya Soekarno mengidentikan internasionalisme
7
dengan sebagai taman sari di mana setiap nasion menjadi tanaman dan bunganya. Analogi
Soekarno ini tentu benar sepenuhnya, sebab orang tidak mungkin membayangkan sebuah
taman sari tanpa dihiasi tanaman dan bunga.
Namun demikian, sekalipun Soekarno penganut paham kemanusiaan universal
(internasionalisme), ia menolak menyamakan pandangannya dengan kosmopolitanisme.
Di mata Soekarno, paham kosmopolitanisme yang memposisikan dunia tanpa tanpa tapal
batas kedaulatan negara dan menempatkan setiap orang menjadi warga dunia tanpa jati diri
adalah sejenis absurditas.
Bagaimanapun, nation state adalah fakta dunia, dan oleh karena itu, sulit
membayangkan ada warga dunia yang tidak memiliki Tanah Air. Oleh karena itu, Soekarno
dengan tegas membedakan antara internasionalisme dengan kosmopolitisme, sebagaimana
yang dinyatakannya dalam Pidato 1 Juni 1945 yang amat bersejarah itu. Ia berkata:
“Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitisme, yang tidak mau akan adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada
Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan
lain-lainnya.”
Dengan mengambil sikap kritis terhadap kosmopolitanisme di satu sisi serta menerima
penuh gagasan internasionalisme di sisi lain, Soekarno telah meneguhkan dirinya sebagai
seorang nasionalis sejati. Mengapa? Kosmopolitanisme jelas tidak mengenal Tanah Air.
Pandangan ini mengkonstruksi manusia sebagai entitas individu yang tak berjati diri,
sementara internasionalisme menerima dan mengakui nasionalisme sebagai unsur
pokoknya.
2. Pemberontakan 1926
Secara sosio historis, kehadiran Sneevliet di Semarang 1913 sebagai sekretaris kongsi
dagang Belanda membawa Marxisme ke Indonesia. Akibat dari Gerakan Sneevliet,
perlawanan rakyat lewat SI terpecah. Apalagi 1914 Sneevliet sudah mendirikan ISDV
(Indische Social Democrat Vereniging), di Semarang, bahkan kader-kader utamanya
dipersiapkan untuk disusupkan ke SI.
1920 ISDV berubah nama menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Pengurus PKI
berhasil menyusup ke SI dan berhasil membentuk SI Merah dan dalam kongres PKI 1923,
PKI berhasil menghimpun peserta kongres dan menuduh SI berbau kapitalis.
H.Misbach, seorang Komunis keagamaan, mencoba mnedekatkan Komunisme dan
Islamisme, akan tetapi susupan yang terjadi di tubuh SI membuat khawatir pimpinan SI
untuk lenih mendekat pada PKI.
Dari kalangan bawah, seruan-seruan yang mempropagandakan PKI seirama dengan
harapan rakyat, sehingga dukungan rakyat juga besar. Apalagi setelah masuk anggota
Kominten (Komunis Internasional), Tan Malaka sebagai pengurus PKI di Indonesia maka
PKI merasa cukup kuat melakukan program aksinya.
Ada apologi dari berbagai pimpinan PKI yang mempermasalahkan pemberontakan
1926, termasuk Tan Malaka yang tidak hadir dalam Rapat Prambanan, termasuk Semaun
setelah mengadakan pembicaraan dengan M. Hatta di Belanda (Desember 1926). Menurut
Semaun, Stalin, Sekretaris Jendral PKUS pun tidak seuju (adanya pemberontakan).
Pemberontakan PKI 1926 secara strategis menguntungkan Kolonialisme Belanda.
Pemberontakan dipatahkan dalam 7 hari. Dengan alas an peristiwa ini, Belanda menahan
dan membuang ribuan patriot tanah air ke Digul.
3. Sumpah Pemuda
Rasa simpati dan dan solider rakyat kepada para patriot tanah air yang dibuang ke
Digul pada gilirannya menginjak pada penangkapan besar-besaran sampai tahun
berikutnya (1927). Rakyat kemudian mempunyai kesadaran untuk bersama-sama dalam
Kemauan Nasional. Peristiwa yang terjadi ini memberikan gambaran suatu proses dialektis
bahwa the rust en orde berhadapan dengan anti thesa dari rakyat yang secara kualitatif
meningkat ke fase National Will , setelah cukup lama di fase National Geest.
13
National Will jelas dipakemkan dalam PNI (4Juli 1927), dengan program partai :
“Indonesia Merdeka” sekarang juga!.
Dalam mencapai tujuannya, dilaksanakan kursus-kursus, rapat anggota PNI, dengan
semagat pergerakan mau merdeka. Sehingga muncul kesimpunlan :
• Di tanah air harus tersusun semua kekuatan politik yang akan dimulai
dengan2penghimpunan organisasi pemuda.
• Kongres Penghimpunan Pemuda pemudi Indonesia (PPPI) yang di dalamnya turut
aktif Pemuda Indonesia (ormas PNI) pada 26-28 Oktober 1928 berhasil mengakui
Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa (Sumpah Pemuda).
• Desember 1927 terbentulah PPPKI (permufakatan Perhimpunan-perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia).
• Secara Mondial berkumandang suara Bung Karno di dekat Solo, 29 Desember 1929
te ntang antithesa dalam menghadapi penjajah. Akibatnya Bung Karno harus ditahan
di Digul dan pada 1930 mengajukan gugatan (yang mendunia) sekaligus
menkonsolidasi potensi rakyat yang sudah mau merdeka (National Will).
14
• Mengikutsertakan putra-putra Indonesia dalam pasukan militer, seperti Heiho,
PETA, Gyugun.
Bung Karno yakin bahwa setiap perjuangan mengandung resiko kekalahan di samping
kemenangan. Penjajahan Jepang yang hanya tiga setengah tahun memang menyebabkan
rakyat lebih sengsara. Tetapi perhitungan bahwa Pemimpin Indonesia bias memanfaatkan
kelemahan Jepang untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia ternyata tidak melesat.
Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu siaplah rakyat Indonesia untuk masuk ke fase
National Daad.
2. Proklamasi
Secara fakta yang mengalahkan Belanda dari Indonesia adalah Jepang, jadi anti thesa
yang menghasilkan sinthesa terhadap rust en orde (Belanda) dilakukan oleh Jepang. Posisi
Indonesia berada pada satu kubu dengan Jepang. Tetapi segera sirna tatkala 17 Agustus
1945 saat kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Dengan demikian bias dikemukakan
bahwa fase kesadaran berbangsa telah muncul sejak adanya perlawanan local dan sporadic
terhadap Belanda.
Fase kemauan berbagsa merdeka yan g digerakkan sejak kebangkitan nasional
mendapat momen historis pada Perang Pasifik dengan buah kekalahan Jepang di 1945. saat
itu National Geets dan National Will berkulminasi pada National Daad, sehingga
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 disambut seluruh rakyat dengan gembira.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membangunkan suhu, di mana mayoritas rakyat
siap melaksanakannya. Rakyat bukan sekedar mendengar pidato, seluruh rakyat siap
menggerakkan kekuatan menjalankan kemerdekaan. Maka wajar perampasan senjata
seperti yang dilakukan tentara pelajar di Solo, dan hamper di seluruh wilayah Indonesia,
serdadu Jepang selalu dalam posisi kalah.
Dengan senjata yang berhasil direbut dari Jepang, Pemuda-pemuda Indonesia segera
menyusun pasukan bersenjata yang kemudian bermunculan. Lewat pidato Presiden 23
Agustus 1945 Bung Karno menganjurkan agar pasukan-pasukan bergabung dalam BKR
(badan Keamanan Rakyat). Akan tetapi adanya Maklumat Hatta tentang multi partai
berdampak bukan hanya lahirnya banyak partai, tetapi masing-masing partai membangun
pasukan bersenjata, seperti PSI dengan Pesindo, PKI dengan Laskar Merah, Masyumi
dengan Hizbullah, PNI dengan Barisan Pelopor, dll.
Kehadiran pasukan-pasukan bersenjata ini, seolah-olah merupakan bentuk anarki.
Tetapi ketika pasukan Inggris sebagai wakil dari Sekutu mendarat di Indonesia, mereka
15
berhadapan dengan pasukan rakyat yang solid. Titik puncaknya adalah peristiwa 10
Nopember di Surabaya. Perlawanan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Banyak
korban di mana-mana. Rakyat yang menghormati jasa-jasa mereka yang berjuang
menguburkan mereka di makam-makam pahlawan yang mereka ciptakan, bahkan banyak
makam pahlawan yang tak dikenal.
3. Revolusi Fisik
Bung Karno mengatakan, Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan Revolusi
Nasional. Lima tahun pertama (1945-1950) rakyat Indonesia mengalami masa Revolusi
Fisik. Tahapan ini memerlukan kekuatan fisik bangsa untuk dihantamkan melawan agresi
musuh.
Dalam periode revolusi itu sudah muncul dorongan dari sekelompok kaum yang
mengaku Marxis dan mendesakkan keinginan mereka menjalankan Revolusi Sosial. Pada
kenyataannya 1945-1950 adalah membludaknya kehendak rakyat untuk tetap dalam
kondisi merdeka. Mereka berhadapan langsung dengan Belanda yang dibantu Sekutu.
Kehendak merdeka (National Will) beralih menjadi kemampuan melaksanakan dan
mempertahankan kemerdekaan (National Daad) dilakukan oleh berbagai kesatuan
perjuangan, baik yang buatan partai maupun dari kelompok masyarakat umum.
Tidak terkoordinirnya pemunculan mereka di tingkat pimpinan nasional sebagai
akibat langsung dari kebijaksanaan multi partai Hatta, menimbulkan insiden di sana –sini
antara kesatuan bersenjata, seperti misalnya terjadi pertempuran antara kesatuan lascar di
Solo yang mengakibatkan tewasnya Dr. Moewardi (1948).
Bertahan dalam bentuk melawan musuh, dengan kesadaran demi tegaknya
kemerdekaan mengantarkan hamper semua pemuda Indonesia memasuki barisan
kelaskaran, selain masuk TKR. Semangat berjuang dikuatkan fatwa para ulama bahwa mati
dalam membela kemerdekaan termasuk syahid.
Dari berbagai peristiwa pertempuran melawan Belanda, seringkali terjadi laskar
gabungan dari berbagai kesatuan apakah Pesindo atau Hizbullah atau juga Laskar Merah
atau dengan Barisan Pelopor dan bila diantara pejuang ini ada yang gugur, maka jenazah
akan dikebumikan sebagai syuhada. Masaalh dia mau muslim, atau bukan, dari Hizbullah
atau Laskar Merah, tetap dikebumikan sebagai syahid. Apapun mereka, dalam penilaian
rakyat dianggap sebagai syuhada.
16
Persiapan rakyat Indonesia dalam membela kemerdekaan dengan resiko gugur
dihadapi dengan gagah berani. Dalam pelaksanaan National Daad mereka menyadari dan
sangat bangga.
Kualitas semangat kemerdekaan dan kesiapan berkorban bagi kemerdekaan tidak
perlu diragukan lagi . Di mana-mana rakyat Indonesia terutama lapisan bawah (Marhaen)
tetap berpihak pada perang kemerdekaan (yang waktu itu popular di hati rakyat).
Sikap rakyat kecil yang begitu setia kepada kemerdekaan dalam bentuk republik yang
merupakan immanenten krachten dari National Geest melahirkan perlawanan terhadap
musuh yang bersifat ‘total deforce’ (Perang Rakyat Semesta). Bahkan seluruh pasukan
bersenjata republik, baik Tentara Republik Indonesia (TRI) maupun laskar tidak satu
orangpun yang terima gaji, atau imbalan materi. Tidak satu pun dari mereka yang menyebut
diri sukarelawan, tapi aktivitas mereka 24 jam satu hari satu malam bersifat sukarela
sebagai pejuang. Sebagai pejuang yang benar-benar berjuang dengan senjata seasanya
mereka menghadapi ujian Agresi I (21 Juli 1947) dan Agresi II (19 Desember 1948).
Perlawanan Rakyat Semesta sungguh luar biasa. Sulit dipercaya rakyat Indonesia yang
sejak jaman Belanda sudah miskin lebih dipermiskinkan lagi oleh pendudukan Jepang
mampu tegar bertahan dalam Revolusi Nasional pada tahapan Revolusi Fisik. Rakyat
miskin pun antara tahun 1945-1949 menerima beban tanggung jawab menghidupi
pengungsi satu keompok kota yang tidak sudi berada di bawah kekuasaan Belanda.
Apakah yang diharapkan rakyat selain kemerdekaan, sehingga mereka bahu membahu
dalam mempertahankan kemerdekaan dan kukuh semangatnya membela dan
mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Nasionalisme dalam arti positif, dalam pandangan Soekarno, dapat membentuk karakter
percaya pada kemampuan diri sendiri serta menumbuhkan ikatan solidaritas. Dalam situasi
keterjajahan, mental semacam ini penting sebagai modal bagi perjuangan nasional menuju
kemerdekaan. Inilah yang menurut Soekarno merupakan hakekat semangat nasionalisme.
Menurut Soekarno, nasion yang dilandasi tekad semacam itu akan mempermudah jalan untuk
melenyapkan struktur kolonialisme yang menindas dan merusak.
Soekarno (dalam Soenario,1988:39), pada 1928 mengemukakan adanya “Trilogi
Nasionalisme”, yaitu nationale geest, nationale wil, dan nationale daad (roh dan semangat
nasional, kemauannasional, dan perbuatan nasional), bahkandapat ditambahkan nationale denken
(berpikir nasional) sebagai dasar tumbuhnya semangat nasional
3.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan diatas maka pendidikan harus menjadi realitas
praktik hidup karena realitas lebih kuat dari pada kesadaran, praktik lebih kuat daripada teori,
tindakan lebih kuat daripada perkataan, fakta lebih kuat dari sabda.
Melalui Nasionalisme Bung Karno diharapkan mampu menjawab problematika atau lebih
tepatnya menyembuhkan penyakit kronis NKRI yaitu kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta
menambah wawasan tentang Kebangsaan kita, agar generasi penerus Bangsa lebih siap untuk
berpartisipasi demi NKRI yang lebih maju. Jangan pernah melupakan jasa para Pahlawan, karena
kemerdekaan yang kita rasakan bukanlah sesuatu yang turun dari langit akan tetapi kemerdekaan
diraih dengan darah, susah payah, dan penderitaan.
18
DAFTAR PUSTAKA
• eprints.uny.ac.id
• Prameswari,Vidya.2017.Soekarno dan Nasionalisme Indonesia:koransulindo.com
• Soekarno.2021.Dari Sabang Sampai Merauke!:id.wikisource.org
• Ibrahimsyah Magribi Sultani,Zofrano.2018.Pemikiran Nasionalisme dalam Pergerakan
Nasional Indonesia sebagai Titik Awal Rasa Kebangsaan dan Persatuan Indonesia (1908-
1942):www.academia.edu
• Tim Ajaran Bung Karno.2011.Diktat ABK II, Jakarta:UPT ABK Universitas Bung Karno.
• Adams,Cindy.2015.Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat,Jakarta:Yayasan Pendidikan Bung
Karno dan Media Pressindo.
• Soekarno.2015.Di Bawah Bendera Revolusi,Jilid I,Jakarta:Yayasan Pendidikan Bung Karno dan
Gramedia Media Group.
• Magnis Suseno,Frans.1999.Pemikiran Karl Marx,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
• Marx,Karl.1989.Political Manifest,Jakarta:Djambatan.
• Soekarno.2015.Di Bawah Bendera Revolusi,Jilid I,Jakarta:Yayasan Pendidikan Bung Karno dan
Gramedia Media Group.
• Soekarno.2015.Di Bawah Bendera Revolusi,Jilid II,Jakarta:Yayasan Pendidikan Bung Karno
dan Gramedia Media Group.
• Soekarno.1986.Amanat Proklamasi IV,Jakarta:Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan
Soekarno.
• Soekarno.2014.Pidato Lahirnya Pancasila I Juni 1945,Jakarta:Yayasan Pendidikan Soekarno.
19