Anda di halaman 1dari 32

Nama : Desi Priyanti

NIM : 204.2021.002

Mata Kuliah : Tafsir Ahkam

Prodi/Fakultas : IQT/FDH

Semester : IV/Genap

HAJI & UMRAH

A. Text Ayat
Al-Baqarah[2]: 196-197
       
       
         
          
       
        
        
        
       
        
          
        
      
196. dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.
jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka
(sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada
di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau
bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka
bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak
berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, Maka tidak boleh rafat, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya
Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-
orang yang berakal.
B. Tafsiran Ayat
Pada ayat 196, Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima. Haji
mulai diwajibkan bagi umat Islam pada tahun ke enam Hijri. Sebelumnya,
Rasulullah saw pernah beribadah haji sebagai ibadah sunah. Di samping
ibadah haji ada pula ibadah umrah. Kedua-duanya wajib dikerjakan umat
Islam, sekali seumur hidup. Ibadah haji dan umrah lebih dari sekali,
hukumnya sunah. Namun Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa
ibadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh. Ibadah haji dan umrah
tidak harus segera dikerjakan, boleh dikerjakan bila keadaan telah
mengizinkan. Siapa yang mampu mengerjakan ibadah haji dan umrah
sebaiknya ia segera menunaikannya.
Tempat mengerjakan ibadah haji dan umrah itu hanya di tanah suci
Mekah dan sekitarnya. Mereka yang diwajibkan pergi mengerjakan ibadah
haji dan umrah ialah mereka yang dalam keadaan sanggup dan mampu,
yaitu biaya cukup tersedia, keadaan jasmaniah mengizinkan dan keamanan
tidak terganggu. Perbedaan ibadah haji dengan umrah ialah haji rukunnya
lima, yaitu: niat, wukuf, tawaf, sa’i, dan tahallul, sedangkan umrah
rukunnya hanya empat: niat, tawaf, sa’i, dan tahallul.
Amal-amal dalam ibadah haji ada yang merupakan rukun, ada yang
wajib dan ada yang sunah. Amal-amal yang merupakan rukun ialah jika
ada yang ditinggalkan maka ibadah haji dan umrah tidak sah. Amal-amal
yang wajib ialah jika ada yang ditinggalkan, maka dikenakan denda (dam)
tetapi haji dan umrah sah. Amal-amal yang sunah jika ada yang
ditinggalkan, maka haji dan umrah sah dan tidak dikenakan dam.
Di samping itu, ada larangan-larangan bagi orang yang sedang
beribadah haji dan umrah. Larangan-larangan itu lazimnya disebut
muharramat. Barang siapa melanggar muharramat, dikenakan dam. Besar
kecilnya sepadan dengan besar kecilnya muharramat yang dilanggar.
Bersetubuh sebelum selesai mengerjakan tawaf ifadah membatalkan haji
dan umrah.
Ibadah haji dan umrah mempunyai beberapa segi hukum. Oleh
karena itu, siapa yang akan mengamalkan ibadah itu seharusnya lebih
dahulu mempelajarinya. Amalan-amalan ini biasa disebut manasik. Ayat
196 ini diturunkan pada waktu diadakan perdamaian Hudaibiah pada tahun
ke-6 Hijri sama dengan turunnya ayat 190 tentang izin berperang bagi
kaum Muslimin.
Ayat ini diturunkan berhubungan dengan ibadah haji dan umrah di
mana kaum Muslimin diwajibkan mengerjakan haji dan umrah. Yang
dimaksud dengan perintah Allah untuk menyempurnakan haji dan umrah,
ialah mengerjakannya secara sempurna dan ikhlas karena Allah swt. Ada
kemungkinan seseorang yang sudah berniat haji dan umrah terhalang oleh
bermacam halangan untuk menyempurnakannya.
Dalam hal ini Allah swt memberikan ketentuan sebagai berikut:
orang yang telah berihram untuk haji dan umrah lalu dihalangi oleh musuh
sehingga haji dan umrahnya tidak dapat diselesaikan, maka orang itu harus
menyediakan seekor unta, sapi, atau kambing untuk disembelih.
Hewan-hewan itu boleh disembelih, setelah sampai di Mekah, dan
mengakhiri ihramnya dengan (mencukur atau menggunting rambut).
Mengenai tempat penyembelihan itu ada perbedaan pendapat, ada yang
mewajibkan di Tanah Suci Mekah, ada pula yang membolehkan di luar
Tanah Suci Mekah. Jika tidak menemukan hewan yang akan disembelih,
maka hewan itu dapat diganti dengan makanan seharga hewan itu dan
dihadiahkan kepada fakir miskin.
Jika tidak sanggup menyedekahkan makanan, maka diganti dengan
puasa, tiap-tiap mud makanan itu sama dengan satu hari puasa. Orang-
orang yang telah berihram haji atau umrah, kemudian dia sakit atau pada
kepalanya terdapat penyakit seperti bisul, dan ia menganggap lebih ringan
penderitaannya bila dicukur kepalanya dibolehkan bercukur tetapi harus
membayar fidyah dengan berpuasa 3 hari atau bersedekah makanan
sebanyak 3 sa’i (10,5 liter) kepada orang miskin, atau berfidyah dengan
seekor kambing.
Pada ayat 197, Waktu untuk mengerjakan haji itu sudah ada
ketetapannya yaitu pada bulan-bulan yang sudah ditentukan dan tidak
dibolehkan pada bulan-bulan yang lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan sudah berlaku di dalam mazhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam
Ahmad, bahwa waktu mengerjakan haji itu ialah pada bulan Syawal,
Zulkaidah sampai dengan terbit fajar pada malam 10 Zulhijah. Ketentuan-
ketentuan waktu haji ini telah berlaku dari sejak Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail.
Setelah agama Islam datang ketentuan-ketentuan itu tidak diubah,
malahan diteruskan sebagai-mana yang berlaku. Orang-orang yang sedang
mengerjakan haji dilarang bersetubuh, mengucapkan kata-kata keji,
melanggar larangan-larangan agama, berolok-olok, bermegah-megah,
bertengkar, dan bermusuhan.
Semua perhatian ditujukan untuk berbuat kebaikan semata-mata.
Hati dan pikiran hanya tercurah kepada ibadah, mencari keridaan Allah
dan selalu mengingat-Nya. Apa saja kebaikan yang dikerjakan seorang
Muslim yang telah mengerjakan haji, pasti Allah akan mengetahui dan
mencatatnya dan akan dibalas-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.
Agar ibadah haji dapat terlaksana dengan baik dan sempurna maka setiap
orang hendaklah membawa bekal yang cukup, lebih-lebih bekal makanan,
minuman, pakaian dan lain-lain, yaitu bekal selama perjalanan dan
mengerjakan haji di tanah suci dan bekal untuk kembali sampai di tempat
masing-masing.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Daud, an-Nasa’i, dan lain-lain
dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia mengatakan, Ada di antara penduduk Yaman,
bila mereka pergi naik haji tidak membawa bekal yang cukup, mereka
cukup bertawakal saja kepada Allah. Setelah mereka sampai di tanah suci,
mereka akhirnya meminta-minta karena kehabisan bekal. Maka bekal
yang paling baik ialah bertakwa, dan hendaklah membawa bekal yang
cukup sehingga tidak sampai meminta-minta dan hidup terlunta-lunta.
Allah mengingatkan, agar ibadah haji itu dikerjakan dengan penuh
takwa kepada Allah dengan mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya
dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Dengan begitu akan dapat
dicapai kebahagiaan dan keberuntungan yang penuh dengan rida dan
rahmat Ilahi1.
C. Asbabun Nuzul Al-Baqarah[2]: 196-197
1. Asbabun Nuzul al-Baqarah Ayat 196
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
Shafwan bin Umayyah, seorang laki-laki berjubah yang semerbak
dengan wewangian zafaran menghadap kepada Nabi SAW dan

https://tafsiralquran.id/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-196-197/Tafsir
1

Kemenag, pada hari Rabu, 10 Mei 2023 pukul 23:49 WIB


berkata. "Ya Rasulullah, apa yang harus saya lakukan dalam
menunaikan umrah?" Maka turunlah "Wa atimmulhajja wal 'umrata
lillah." Rasulullah bersabda: "Mana orang yang tadi bertanya tentang
umrah itu?" Orang itu menjawab: "Saya ya Rasulullah." Selanjutnya
Rasulullah SAW bersabda, "Tanggalkan bajumu, bersihkan hidung
dan mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakan apa yang biasa
kau kerjakan pada waktu haji." 2
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Ka'ab bin Ujrah
ditanya tentang firman Allah "Fafidyatum min shiyamin aw
shadaqatin aw nusuk" (S. 2. 196). Ia bercerita sebagai berikut: "Ketika
sedang melakukan umrah, saya merasa kepayahan, karena di rambut
dan di muka saya bertebaran kutu. Ketika itu Rasulullah SAW melihat
aku kepayahan karena penyakit pada rambutku itu. Maka turunlah
"fafidyatum min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk" khusus tentang
aku dan berlaku bagi semua. Rasulullah bersabda: "Apakah kamu
punya biri-biri untuk fidyah?" Aku menjawab bahwa aku tidak
memilikinya. Rasulullah SAW bersabda: "Berpuasalah kamu tiga hari,
atau beri makanlah enam orang miskin. Tiap orang setengah sha' (1
1/2 liter) makanan, dan bercukurlah kamu." (Diriwayatkan oleh al-
Bukhari yang bersumber dari Ka'ab bin 'Ujrah) 3

2. Asbabun Nuzul al-Baqarah Ayat 197


Al Bukhari menyatakan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, dia
berkata,”Adalah penduduk Yaman berhaji. mereka tidak membawa
bekal dan berkata ‘Kami bertawakal kepada Allah.’ Maka Allah
berfirman, ‘Berbekallah kamu, makasebaik-baik bekal adalah
ketakwaan.’” Mereka dilarang bersikap demikian dan diperintahkan
supaya membawa bekalseperti tepung, gandum, dan kue kering.4

2
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam I, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 105.
3
Ibid., 106.
4
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu
Katsir, terj. Syihabudin, Jakarta: Gema Insani, 1999, hlm. 325.
Dari Mujahid dikatakan bahwa Ibnu Umar mensyaratkan bekal
pada orang yang menemaninya. Firman Allah, “Sesungguhnya sebaik-
baik bekal adalah ketekwaan.” Sete;ah Allah menyuruhmanusia
berbekal dalam perjalanan dunia maka Allah punmenunjukkan bekal
menuju akhirat yaitu berupa ketakwaan sebagaimana firman Allah,
“… pakaian untuk menutup auratnu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa ialah yang paing baik.” Yaitu
kekhusyukan, kataatan, dan ketakwaan sebagai bekal akhirat.5
D. Pembahasan Kandungan Ayat
1. Hukum Haji & Umrah
Berkaitan dengan firman Allah, “Dan sempurnakanlah haji dan
umrah karena Allah,” Ali berkata “Kamu harus berihram dari
lingkungan keluargamu.” Pendapat senada dikemukakan pula oleh
Ibnu Abbas, Said bin Jubeir, dan Thawus. Sufyan berkata,
“Menyempurnakan haji dan umrah berihram dari keluargamu, kamu
tidak betujuan apapun kecuali beribadah haji dan umrah, serta kamu
memulai dari miqat itu bukan bertujuan untuk berdagang atau
kepentingan tertentu, bahkan walaupun kau dekat dari Mekah
kemudian mengatakan, ‘Andaikan aku berhaji atau umrah,’ hal itu
memang memadai, namun sempurna ialah jika kamu bertujuan untuk
haji saja atau untuk tujuan lainnya.”6
Makhul berkata, “Menyempurnakan keduanya berarti melakukan
keduanya bersama dalam miqat.” (Hal ini menurut pendapat ulama
yang mengatakan bahwa haji qiran lebih utama). Abdul Razak
mengatakan dengan sanadnya yang bersambung sampai az-Zuhri, dia
berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa Umar berkata
mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Sempurnakanlah haji dan umrah,’
yakni dengan melakukan keduanya secara terpisah dari yang lain dan
hendaklah kemu berumrah bukan ada bulan Dzulhijjah” (Ini menurut

5
Ibid.
6
Ibid., hlm. 313.
pendapat para ulama yang mengatakan bahwa haji ifrad lebih baik).
Hal ini perlu dipertimbangkan, sebab sudah ditetapan bahwa umrah-
umrah Rasulllhah SAW dilakukan dalam bulan Dzulhijjah dan
Dzulqa’idah, misalnya umrah Hudaibiyah yang diakukan pada bulan
Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijrah, umrah al-Qadhaha’ pada bulan
Dzulqa’dah tahun ke-7 Hijrah, dan umrah Ji’ranah pada bula
Dzulqa’dah tahun ke-8 Hijrah. Adapun umrah Nabi yang disatukan
dengan haji, maka beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan 7
pada bulan Dzulqa’dah pada tahun ke-10 Hijrah. Beliau tidak
berumrah lagi selain itu. Namun Ummu Hani berkata “Umrah pada
bulan Ramadhan sebanding dengan berhaji bersamaku.” Hal itu tiada
lain bahwa umrah itu sudah diniatkan Nabi SAW untuk berhaji
sehingga umrah terlepas dari haji karena kesucian. Diceritakan pula
bahwa dalam melakukan ihram, Nabi menyatukan haji dan umrah.8
Dalam shahih dikatakan pula, “Umrah itu termasuk dalam haji
hingga akhir kiamat.” Dalam Shahihain dikatakan bahwa Ya’la in
Umayah berkaitan dengan kisah seseorang yang bertanya kepada Nabi
SAW ketika beliau di Ji’ranah. Maka beliau bersabda, “Bagaimana
pendapat engkau mengenai sesoang yang berihram untuk umrah,
sedangkan ia masih mengenakan jubah dan wangi-wangian?” Maka
Rasulullah diam. Kemudian turunlah wahyu. Lalu beliau melongok
dan bertanya, “Mana orang yang betanya tadi?” Oang itu menjawab,
“Saya.” Nabi bersabda, “Adapun jubah, maka harus dilepaskan,
sedangkan wangi-wangian yang menempel maka cucilah. Kemudian
7
Ditetapkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “seandainmuya kamu menerima
perintahku, iscaya aku tidak akan berpikir panjang untuk menggiring binatng kurban dan
menjadikannya sebagai umrah.” Dari hadis ini tampak jelas bagaimana keutamaan haji
tamattu’. Walaupun tidak mengutip pendapat ulama yang mewajibkan tamattu’, Ibnu
Katsir lebih cenderung pada pendapat mereka.
8
Hadis ini tidak menunjukkan keutamaan qiran, sebab Nabi SAW masi berada
dalam ihramnya dan belum bertahallul karena beliau tengah mengiring binatng kurban.
Kalau tida demikian niscara dia suah bertahallu bersama orang-orang yn disuruhnya
bertahallul dan membatalkan niat hajinya untuk umrah dan dikemukakan pula dalam kitab
shahih bahwa beliau bersabda kepada para sahabatya, “Umrah itu termasuk ke dalam haji
hingga hari kiamat.” Dengan demikian keutamaa itu terdapat pada haji tamattu’.
apa yang telah kamu lakukan untuk hajimu, lakukan kembali itu untuk
ihrammu.” 9
2. Keterkepungan
Firman Allah, “Jika kamu terkepung, maka sembelihlah kurban
yang mudah didapat.” Para ulama berpendapat bahwa ayat ini
diturunkan pada tahun ke-6 Hijrah, yakni pada masa Perjanjian
Hudaibiyah tatkala kaum musyrik menghalang Rasulullah agar tidak
sampai ke Baitullah. Pada saat itupun Allah menurunkan surat al-Fath
secara tuntas. Allah memberikan rukhshah kepada mereka supaya
menyembelih hewan kurban yang ada pada mereka, yaitu 70 unta
budnah ‘kurban’. Allah juga menyuruh mereka bercukur dan
bertahallul. Namun mereka tidak melakukannya karena menunggau
pembatalan perintah. Kemudian tampillah Nabi SAW mencukur
kepalanya dan orang-orang pun mengikutinya. Di antara khalayak ada
yang mecukur rambutnya dan ada pula yang mengguntingnya. Oleh
karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati orag-
orang yang bercukur.” Orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, apakah
termasuk orang-orang yang menggunting?” Maka pada ketiga kalinya
beliau bersabda, “Juga orang-orang yang menggunting.” Mereka
menyembelih kuraban untuk bersama, yaitu satu ekor unta budnah
untuk tujuh orang, dan jumlah mereka sebanyak 1.400 orang, ketika itu
mereka berada di Hudaibiyab, yaitu di luar tanah Haram. Namun ada
pula yang mengatakan bahwa mereka berada di ujung tanah Haram.10
Para ulama ber-ikhtilaf, apakah keterkepungan itu terbatas oleh
musuh sehingga tidak melakukan tahallul kecuali orang yang dikepung
musuh, dan tidak termasuk orang sakit atau yang lainnya. Mengenai
hal ini terdapat dua pedapat. Ibnu Abbas berpadapat, “Tiada
keterkepungan kecuali oleh musuh. Sedangkan orang yang sakit,
celaka, atau tersesat maka dia tidak boleh bertahallul.” Adapun maksud

9
Op. Cit., hlm. 314.
10
Ibid., hlm. 315.
firman Allah Ta’ala, “apabila kamu telah merasa aman” bukanlah rasa
aman dari keterkepungan semata. Pendapat ini didukung oleh
sekelompok orang yang di dalamnya terdapat Ibnu Umar dan sejumlah
tabi’in. Pendapat lainnya mengatakan bahwa istilah keterkepungan itu
lebih universal dari sekedar terkepung oleh musuh, sakit, tersesat di
jalan, dan semacamnya. Imam Ahad meriwayatka dengan sanadnya
yang sampai pada al-Hajaj Ibnu Umar al-Ashai, dia berketa bahwa
Raslullah SAW bersabda, “Barang siapa terluka, atau sakit, atau
terjatuh (tepincang-pincang), maka dia daat bertahallul dan wajib
atasnya menglangi lagi hajinya.” (H.R. Ahmad).11
Al-Hajaj berkata “Kemudian hadis itu saya ceritakan kepada Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah, maka keduanya membenarka aku.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Ibnu Zubeir, Alqamah, Said bin
Musayyab, dan yang lain bahwa mereka menatakan, “Keterkepugan
bisa saja dari musuh, penyakit, atau luka.” Dalam shahihhain dikatakan
dari Aisyah: “Bahwasannya Rasulullah SAW bertamu kepada
Dhaba’ah binti Zubeir bin Abdul Muthalib, dia bertanya, ‘Ya
Rasulullah, aku hendak berhaji namun aku sakit.’ Maka Nabi bersabda,
‘Berhajilah, namun syaratkanlah dalam niatmu untuk bertahuallul jika
kamu tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya.’” Maka ada di antara
ulama yangmenguatkan niat mensyaratkan tahallul. Syafi’i mengaitkan
validitas mazhabnya kepada keshahihan hadis ini. Demikian pula al-
Baihaqi dan para hafizh lainnya mengatakan tentang keshahihan hadis
ini.12
3. Penyembelihan Al-Hadyu
Berkaitan dengan firman Allah, “Maka sembelihlah kurban yang
mudah didapat,” Ali berkata, “Binatang itu ialah kambing.” Menurut
Ibnu Abbas, sekelompok tabi’in juga demikian. Pendapat inilah yang
dipegang keepat imam mazhab. Ada pua yang berpandangan bahwa

11
Ibid., hlm. 316.
12
Ibid.
kurban itu mesti unta ada sapi. Ibnu Katsir berpendapat bahwa yang
menjadi sandaran pendapat mereka ialah kisah Hudaibiyah.
Sesungguhnya tidak ada yang mengiformaikan dari seorang pun dari
pelaku kisah Hudaibiyah yang menyatakan bahwa Nabi bertahallul
denga menyembelih kambing, namun mereka menyebelih satu unta
dan satu sapi masing-masing utuk tujuh orang, sebagaimana hal iatu
dikemukakan dalam shahihain dari Jabir bin Abdillah, dia berkata,
“Rasulullah SAW menyuruh kami untuk meyembalih seekor unta atau
sapi masing-masing utuk tujuh orang.” Ibnu Abbas berkata “Berkurban
itu dipandang dari segi kelonggaranya. Jika dia leluasa, maka
berkurban dengan unta, jika tidak maka dengan sapi, jika tidak maka
dengan kambing.” Dalam shahihain dari Aisyah Ummil Muukmini r.a.
berkata, “Pada suatu kali Nabi SAW berkurba dengan kambing.”13
Firman Allah, “Jangan kamu mencukur rambut sebelum hewan
kuraba samapai pada tempat penyembelihannya.” Ini di-athaf-kan
kepada, “Dan sepurakanlah haji dan umrah karena Allah.” Karena
tidak boleh enyembelih kurban kecuali di tanah haram dalam kondisi
aman. Adapun kasus yang terjadi di Hudaibiyah itu penyembelihan
dilakukan di luar Tanah Haram. Hal ini merupakan pengecualian
karena mereka dikepung oleh kafir Quraisy sehingga tidak daoat
memasuki Tanah Haram firman Allah, “Sebelum hewan kurban
sampai di tempat penyembelihannya” berarti selesainya seseorag dari
manasik haji dan umrah, jika ia melakuka haji qiran. Atau selesai
melakukan salah satunya: haji atau umrah, jika dia melakukan haji
tamattu’ atau ifrad.14
Firman Allah, “Barang siapa di antar kamu sakit atau adapeyakit
di kepalaya, maka harus membayar fidyah berupa puasa, atau
sedekah, atau berkurban.” Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya
yang sampai pada Abdulah bin Ma’qi, dia berkata, “Saya duduk

13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 317.
bersama Ka’ab bin Uzrah di masjid ini, yakni masjid di Kufah, lalu
aku bertanya kepadanya ihwal fidyah berupa puasa. Ka’ab berkata,
‘Saya dibawa oleh seseorang kapaa Nabi SAW smentara itu kutu
berkeliaran di wajahku. Maka beliau bersabda, ‘Aku belum pernah
melihat penderitaan seperti yang engkau alami ini, apakh kmupunya
domba?’ Aku menjawab tidak. Beliau bersabda, ‘Berpuasalah tiga
hari, atau memberi makan kepada enam orang miskin yangsetiap orang
diberi enam sha makanan, kemudian cukurlah kepalamu.’ Jadi ayat di
atas diturunkan khususnya mengeai diriku dan secara umum mengenai
kalian.” Ahmad pun meriwayatkan dari Ka’ab bin Ujrah, dia berkata,
“Sayadikunjgi Nabi SAW ketika saya tegah menyaakan api di bawa
kuali sentara kutu bertebaran di wajaku,” atau katanya “di dahiku.”
Maka beliau bersabda, ‘Kutu itykah yang menyakitimu atau
menyebabkan kepaamu sakit?’ saya mengiyakannya. Maka belau
bersabda, ‘Cukurlah rambutmu kemudian berpuasalah tiga hari, atau
memberi makan kepada enam orang miskin, atau menyembelih
kuranan.’15
Menurut saya itulah padangan para imam mazhab empat dan ulama
pada umumnya. Dalam hal ini diberi pilihan, jika seorang sanggup
maka berpuasaah, jika dia mau maka bersedeah kepada sekelompok
orang sebanyak tiga sha’, setiap orang miski mendapat setengah sha’
atau dua mud, dan jika tidak mau maka menyembelih kambing kudian
disedekahka kepada kaum miskin. Pilihan yang mana pun yang
diambilnya aalah mencukupi. Ketika lafal al-Qur’an yang menjelaskan
hal yang mudah kepada hal yang lebih mudah, yaitu “membayar
fidyah berupa puasa, atau sedekah, atau menyembelih kurban”, maka
Nabi SAW menyuruh Ka’ab bin Ujrah melakukan hal itu dan
membimbingnya kepada pilihan yang lebih utama dan paling utama,
maka dia bersabda, “Sembelihlah domba, atau berikanlah makan
15
Yakni fidyah karena telah mencukur rambut sebelum binatang kurbansampai
ke tempat penyembelihannya. Hal ini bagi orang yag ada peyakit di kepalanya, dan hadis
ini tiada hubungannya dengan binatang kurban.
kepada enam orang miskin, atau berpuasalah. Semua itu adalah bagus
daam kedudukannya masing-masing. Segaa puji da karunia kepunyaan
Allah.”16
Hisyam berkata, “Laits menceritakan kepada kami dari Thawuts
bahwasnnya dia berkata: ‘Perbuatan yang mengandung darah (kurban)
dilakukan di Mekah, sedangakan puasa dan peberian makan dilakukan
di mana saja ia suka.’”
Firman Allah, “Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji ia harus menyembelih
kurban yang mudah didapat.” Maksudnya, apabila kamu telah dapat
menjaankan manasik, kemudia ingin mendahuluka urah atas haji, dan
ini mencakup orang yang berihram untuk haji dan umrah atau pertama-
tama ia berihram untuk umrah, dan seteah sselesai ia berihram uantuk
haji, firmab Allah, “Maka bagi yang ingin mengerjakan umrah
sebelum haji, dia harus menyembelih kurban yang mudah didapat,”
artinya sembelihlah kurban yang mudah diperoleh, minmal kambing.
Dia pu boleh menyembelih sapi karena Rasulullah menyembelih sapi
untuk kurban istri-istrinya.17
Al-Auza’i berkata dari Abu Hurairah r.a., “Adalah Rasulullah
SAW menyembelih sapi untuk kurban istri-istrinya yang
mendahulukan umrah atas haji.” Dalam shahihain dari Imran bin
Hisin, dia berkata, “ayat tamattu’ diturunkandalam kitab Allah dan
kami melaksanakannya bersama Rasulullah SAW. Kemudian tidak
diturunkan yang mengharamkan atau melarangnya hingga beliau
wafat.” Dia berkata, “Seseorang dapat melakukan praktik yang
dikehendakinya menurut pertimbangan nalarnya.” Al-Bukhari berkata,
“Orang itu adalah Umar.” Berkaitan dengan kasus ini, Bukhari
menjelaskan bahwa Umar melarang bertaattu’. Dia berkata, “Jika kita
berpegang kepada kitab Allah, maka sesungguhnya Allah menyuruh

16
Op. Cit., hlm. 318.
17
Ibid.
kita menyempurnalannya, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah
karena Allah.’” Pada saat yang sama Umar pun tidak melarang haji
tamattu’ dalam arti mengharamkanna. Dia melarang karena banyak
orang yang menuju Baitullah untuk haji dan umrah dengan niat
bertamattu’ seperti yang telah dijelaskannya.18
Firman Allah, “Barang siapa yang tidak mendapatkannya, maka
tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari lagi setelah kamu kembali
itulah sepuluh hari yang sempurna.” Maksudnya, barang siapa yang
tidak melaksanakan penyembelihan kurban, mka dia haus berpuasa
selama tiga hari ketika wakt pelaksanaan manasik haji. Para ulama
berkata, “Yang paling baik ialah dia berpuasa sebelum tanggal 10
Arafah.” Mengenai pelaksanaan puasa pada hari-hari tasyrik, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka berpendapat
bahwa berpuasa pada hari Tasyrik diperbolehkan, karena ada
keterangan lain dari Aisyah dan Ibnu Umar dalam Shahih Bukhari,
“Tidak diberi rukhshah untuk berpuasa pada hari-hari Tasyrik kecuali
bagi orang yang tidak dapat menyembelih hewan kurban.” Dari Ali
diriwayatkan bahwa dia berkata, “Barang siapa yang meninggalkan
kesempatan berpuasa tiga hari pada musim haji, maka lakukanlah pada
hari-hari tasyrik.” Pengertian senada dikemukakan pula oleh Ikrimah,
al-Hasan, dan Urwah bin Zubair. Mereka berpandangan demikian
karena melihat keumuman firman Alah, “Maka berpuasalah tiga hari
pada waktu haji.” Keterangan tersebut meupakan pendapat Syafi’i,
baik pada qaul jadid maupun pada qaul qadim, walaupun dalam hal
lain mazhab ini melarang berpuasa pada hari Tasyrik karena ada hadis
yang diriwayatkan oleh muslim dari Qutaibah al-Huzairi r.a. dia
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari Tasyrik
merupakan saat-saat untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah
(H.R. Muslim).

18
Ibid., hlm. 319.
Firman Allah Ta’ala, “Dan tujuh hari apabila kamu kembali ke
kampung halaman dan keluarga”. Ditafsirkan demikian karena ada
sabda Nabi SAW yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ibnu Umar
megatakan, “Barang siapa yang tidak dapat melaksanakan kurban,
maka berpuasalah tiga hari pada waktu haji, dan tujuh hari setelah
pulang ke keluarga.” Firman Allah Ta’ala, “Itulah sepulh hari yang
sempurna” mnguatkan kata “tiga dan sepuluh” sebagai kesempurnaa
karena perintah menyuruh menyempurnakan dan melengkapan firman
Allah Ta’ala, “Hal itu bagi orang-orang yang keluargnya tidak berada
di wilayah masjidil haram.” Para ahi takwi sepakat bahwa penduduk
tanah Haramlah yang di aksud da bahwasannya tiada muth’ah (haji
tamattu’) bagi mereka. Qatada berkata, Ibnu abbas menceritakan
kepada kami demikian, “Hai penduduk Mekah, tiada muth’ah bagimu
muth’ah dihalalka bagi ahli ufuk (timur dan barat) dan diharamkan
kepadamu. Sesungguhnya salah seorang di antara kamu harus
menempuh lembah.” Atau dia berkata “Dia menjadikan lembah antara
dirinya dan tanah haram.”
Fiman Allah Ta’ala, “Dan bertakwalah kepada allah. “maksudnya
dalam perkara yang telah diperintahkan dan dilarang Allah. “Dan
ketahuilah sesungguhnya Allah sangat keras siksaanya” terhadap orang
yang menyalahi perintah-Nya dan melakukan apa yang dilarang-Nya.
4. Waktu Haji
Ahli bahasa bersilang pendapat ihwal firman Allah Ta’ala,
“(musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” Ada yang
berpandangan bahwa ayat itu asalnya kira-kira. haji adalah beberapa
bulan yang dimaklumi. Berdasarkan perkiraan ini, berihram untuk haji
pada bulan-bulan tersebut adalah lebih sempurna dari pada berihram
dibulan lainnya, walaupun ihram dibulan lain juga sah. Pendapat
yanhg mengesahkan ihram untuk haji pada sepanjang tahun adalah
mazhab Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan lainnya. Mereka
berhujjah dengan firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Jawablah, “bulan sabit merupakan penentu waktu bagi
manusia dan ibadah haji.” Dan karena haji merupakan salah satu
manasik, maka sah ihram untuk haji sepanjang tahun, seperti halnya
umrah.
Namun demikian, Imam Syafi’i berpandangan bahwa tidak sah
ihram untuk haji kecuali dilakukan pada bulan yang ditentukan untuk
berhaji. Jika seseorang ihram sebelum waktunya, maka ihramnya tidak
sah. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Ibnu Abas dan Jabir.
Pendapat ini dipegang pula oleh Atha’, Thawus, dan Mujahid r.a. yang
menjadi dalilnya ialah firman Allah, “Haji merupakan bulan-bulan
yang dimaklumi.” Jadi, ihram sebelum bulan untuk berhaji tidaklah
syah sepertihalnya ketentuan waktu shalat. Imam Syafi’I rahimahullah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, “Tidak selayaknya
seseorang berihram untuk haji kecuali dalam bulan musim haji.” Ibnu
Mardawih meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas, “Termasuk
sunnah ialah idak boleh berihram untuk haji kecuali pada bulan musim
haji, karena di antara sumah haji ialah berihram untuk haji pada bulan-
bulan musim haji.” Sanad hadis ini shahih. Sementara itu, pendapat
sahabat mengatakan bahwa ihram pada musim haji termasuk tataran
sunah, demikian pula menurut kebanyakan ulama mengenai hadis
marfu’. Terutama pendapat Ibnu Abbas yang merupakan penafsir dan
penjelas al-Qur’an.
Firman Allah, “Bulan-bulan yang dimaklumi.” Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Umar, “Ia adalah biulan syawal, dzulqa’dah,
dan sepuluh hari pada bulan haji.” Hal inilah yang dikaitkan oleh al-
Bukhari dengan bentuk kepastian. Hadis yang senada dengan itu
diriwayatkan pula oleh jarir yang sampai pada Ibnu Umar dan
sanadnya juga shahih. Hadis senada pun diriwayatkan oleh al-Hakim
mengikuti syarat periwayatan syaikhani. Ibnu Katsir berpendapat
keterangan itu diriwayatkan dari seluruh sahabat dan tabi’in, dan ini
merupakan pegangan mazhab Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad, dan
ulama lainnya. Ibnu Jarir berkata, “Adalah sah saja jumlah dua bulan
dan sebagian hari dari bulan ketiga diungkapkan dalam bentuk jamak
untuk menunjukkan dominasi.
Firman Allah, “Barang siapa yang mewajibkan haji pada bulan
itu.” Ibnu Jarir berkata, “Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan fardhu pada ayat itu ialah memastikan dan mengharuskan.
Yakni, ihramnya itu dipastikan untuk haji.” Atha’ berkata bahwa yang
dimaksud fardhu di sana ialah ihram, ulama lain pun demikian.
Sementara itu, Ibnu Abbas berkata, “Adalah tidak selayaknya dia
menyambut seruan haji kemudian dia tertinggal di daerahnya.”
5. Rafats, kefasikan, dan berbantah-bantahan
“Maka tidak ada rafats dan kefasikan.” Menurut Atha’ “Yang
dimaksud rafats ialah jimak dan perkataan-perkataan cabul atau kotor.”
“Dan tiada kefasikan” yakni melakukan kemaksiatan di tanah haram.
Dalam shahihain dikatakan, “Mencaci maki seorang muslim
merupakan kefasikan dan membunuhnya merupakan kekafiran.”
“Dikatakan dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: “Barang siapa
yang berhaji ke Rumah ini sedang dia tidak berkata perkataan kotor
dan kefasikan, maka ia akan terlepas dari dosa-dosanya seperti ketika
dia dilahirkan oleh ibunya (H.R.Bukhari dan Muslim).
Firman Allah, “Dan tidak berbantah-bantahan dalam masa
mengerjakan haji”, artinya harus memutuskan perselisihan ihwal
manasik haji dan menjelaskannya karena sesungguhnya Allah telah
menjelaskannya secara tuntas dan menerangkannya secara gamblang.
Kadang-kadang terjadi perbantahan antara orang Quraisy dan orang
arab lainnya. Orang Quraisy berwukuf di dekat Masya’aril haram di
Muzdalifah, sedangkan orang arab lainnya berwukuf di Arafah.
Kemudian, mereka berbantahan dan masing-masing mengklaim bahwa
haji dan wukuf seperti yang dilakukan Ibrahim a.s. Allah memutuskan
perselisihan mengenaai hal itu, Dia menjelaskan seluruh manasik,
mengharamkan perbantahan mengenai manasik dan pada waktu
menjalankannya. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perdebatan di dalam ayat ini adalah permusuhan,
saling membanggakan diri, caci maki, pertengkaran, dan kemarahan.
Dalam riwayat Ahmad dikatakan secara ringkas bahwa dia berkata
dari Jabir, “Barang siapa menuntaskan manasiknya dan
menyelamatkan kaum muslim dari gangguan lisan dan tangannya,
maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dilakukannya. “fiman
Allah, “kebaikan apapun yang kamu lakukan diketahui oleh Allah.”
Dari Mujahid diktakan bahwa Ibnu Umar mensyaratkan berbekal
pada orang yang menemaninya. firman Allah, “Sesungguhnya sebaik-
baiknya bekal ialah ketakwaan.” setelah Allah menyuruh manusia
berbekal dalam perjalanan dunia, maka Allah pun menunjukkan
kepada mereka perbekalan akhirat berupa ketakwaan. Muqatil bin
Hayyan berkata bahwa setelah ayat “dan berbekallah kamu”
diturunkan, maka bangkitlah kaum muslimin yang miskin. mereka
berkata, “ya Rasulallah, kami tidak memiliki sesuatu yang dapat kami
jadikan bekal.” maka Rasulallah bersabda, “berbekallah kamu dengan
sesuatu yang dapat menutupi kehormatan wajahmu dari direndahkan
oleh manusia dan sebaik-baiknya bekal ialah ketakwaan. (HR. Ibnu
Abi Hatim).19
E. Hadits
1. Dari Ibnu Abbas ra, berkata: Rasulullah saw. berkhotbah pada kami
dan berkata “wahai manusia telah diwajibkan atas kalian berhaji, lalu
Aqra’ bin Habis berdiri dan berkata: apakah pada tiap tahun wahai
Rasul? Beliau bersabda “jika aku iyakan pasti diwajibkan (tiap
tahun), dan kalau diwajibkan (tiap tahun) niscaya kalian tidak akan
sanggup melakukan dan kalian tidak akan mampu. Haji itu hanya
sekali, dan siapa saja yang menambahnya maka itu dinilai sebagai
tathawwu’ (sunnah).(Hr. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Al-Hakim)

19
Ibid., hlm. 320-325.
2. Dari Abi Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw pernah
menceramahi kami, beliau bersabda “wahai sekalian manusia
sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian menjalankan ibadah
haji, maka berhajilah!” Tiba-tiba seorang pria berkata? Apakah di
setiap tahun ya rasul? Beliau diam hingga pria tadi mengulangi
pertanyaannya sebanyak tiga kali, maka Rasulullah saw. bersabda
“kalau aku katakan iya maka pasti wajib dan pasti kalian tidak akan
mampu…(HR. Muslim)
F. Makna dan Historis Haji
Secara bahasa kata haji berasal dari bahasa Arab ‫جا‬
ًّ ‫ح‬-
َ ‫يَ ُح ُّج‬-‫َح َّج‬
yang berarti sekedar berkehendak/menuju. Secara terminologi, Wahbah al-
Zuhailiy mendefenisikan haji sebagai perbuatan menuju ke Ka’bah untuk
menjalankan perbuatan tertentu, atau berangkat menziarahi tempat tertentu
(Ka’bah, arafah, mina, dan muzdalifah) pada masa tertentu (bulan-bulan
haji) untuk melakukan perbuatan tertentu (ihram, thawaf, sa’i, wuquf,
mabit, melontar jumrah dan tahallul). Ka’bah yang ada di Mekah sebagai
titik sentral ritual ibadah haji merupakan rumah ibadah yang paling
pertama dibangun di muka bumi. Allah menginformasikan hal tersebut
dalam QS. Ali Imran/3: 96. Konon, awalnya di lokasi itu dibangun al-
Baitu al-Ma’mur, kemudian karena datang topan dan banjir bah pada masa
Nabi Nuh, maka bangunan itu diangkat ke langit.
Menurut Ahmad as-Shawiy, sebelum itu para malaikat bumi
beribadah di tempat itu selama dua ribu tahun sebelum di utusnya Nabi
Adam as. Riwayat lain menyebutkan bahwa Allah memuliakan Nabi
Adam dengan sebuah kemah yang berasal dari surga. Kemah itu
diletakkan di tempat bangunan Ka’bah sekarang. Setelah Adam
meninggal, anak-anaknya membangun sebuah bangunan dari tanah dan
batu di tempat tersebut. Tapi akibat banjir bah dan topan di masa Nabi
Nuh as. bangunan itu roboh rata dengan tanah dan tidak diketahui lagi
posisinya.
Pada masa Nabi Ibrahim as. diutus sebagai Nabi dan Rasul, Allah
memberi petunjuk kepadanya untuk membawa keluarganya ke sebuah
lembah tandus dan kering kemudian mereka tinggal di sana. Kemudian ia
diperintahkan untuk membangun Baitullah persis di tempat yang pernah
dibanguni oleh anak-anak Adam. Bangunan itupun diberi nama Ka’bah.
Setelah selesai membangun Ka’bah, Allah memerintahkannya untuk
mensucikan tempat itu dari perbuatan-perbuatan terlarang (najis dan
syirik) guna memberi kenyamanan kepada orang-orang yang akan thawaf,
shalat, ruku, dan sujud di tempat itu.
Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar
memanggil orang untuk mendatangi tempat itu guna melaksanakan ibadah
yang kemudian disebut dengan ibadah haji. Sebagaimana yang diabadikan
dalam QS. Al-Hajj/22: 26-27.
Menurut al-Sayyid Sabiq, ibadah haji disyariatkan pertama kali
dalam Islam pada tahun ke- 6 Hijriyah. Ditandai dengan turunnya firman

Allah dalam QS. AlBaqarah/2: 196...  

.
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pensyariatan haji
terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah.9 Pendapat tersebut didukung oleh
Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh,
bahwa haji disyariatkan pada akhir tahun ke-9 Hijriyah. Namun karena
ayat ini turun setelah berlalunya waktu pelaksanaan ibadah haji, maka
Nabi saw. baru menjalankannya di tahun ke-10 Hijriyah.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan ulama dari
sisi apakah ibadah haji diwajibkan agar segera dijalankan atau tidak wajib
disegerakan? alias dapat ditunda. Bagi yang berpendapat ibadah haji
disyariatkan pertama kali tahun ke-6 mengatakan hukumnya wajib namun
dapat ditunda. Dan bagi yang berpendapat ibadah haji disyariatkan tahun
ke-9 mengatakan hukum menjalankannya adalah wajib dan segera.
Bila kita coba membuka lembar sejarah kenabian, maka didapati
informasi bahwa sebenarnya keberadaan syariat ibadah haji ini telah ada
pada syariat Nabi- nabi sebelumnya. Pakar Tafsir Indonesia, M. Quraish
Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an menulis bahwa ibadah haji
telah dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim as. sekitar 3.600 tahun lalu.
Namun sepeninggal beliau, praktik pelaksanaannya sedikit banyak
mengalami perubahan, sehingga setelah hadirnya Nabi Muhammad saw.
banyak aktifitas haji yang diluruskan dan disempurnakan kembali praktik
pelaksanaannya.
Di antara praktik ibadah haji yang mengalami penyempurnaan
dalam praktik pelaksanaannya pada masa Nabi Muhammad saw. adalah
praktik berwuquf, praktik berthawaf, dan praktik bersa’i. Dalam riwayat
yang diterima dari Aisyah dijelaskan bahwa kelompok “al-Hummas” yaitu
orang-orang Quraisy dan yang sekeyakinan dengan mereka, berwukuf di
Muzdalifah. Mereka berkata atau kami adalah penduduk Allah. Mereka
merasa memiliki rasa superioritas dari umat Islam kebanyakan sehingga
enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan ibadah wuquf di
padang Arafah saat berhaji. Praktik berwuquf secara keliru yang
dijalankan oleh al-Hummas ini kemudian dicegah oleh Al-Qur’an dengan
turunnya QS. al-Baqarah/2: 199.
Pada masa pra Islam, praktik berthawaf di sekeliling Ka’bah masih
melenceng. Dijumpaimasyarakat jahiliyah berthawaf di sekelilingnya
sambil telanjang, sehingga Al-Qur’an turun untuk meluruskan prosesi
ritual tawaf tersebut dengan turunnya firman Allah dalam surah al-A’raf/7:
26 yang berpesan agar setiap orang yang hendak beribadah ke masjid
(masjidil haram) menggunakan pakaian yang tertutup. Demikian halnya
dengan praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada
periode awal Islam. Hal inipun dibatalkan oleh Nabi saw. dengan
pertimbangan kemaslahatan bersama.
Begitupula halnya dengan praktik pelaksanaan ibadah sa’i antara
Shafa dan Marwah. Ibadah ini sudah dijalankan sebelum syariat Islam
datang, namun pelaksanaannya melenceng dari yang diajarkan oleh Islam
sebab dilakukan dalam rangka menyembah berhala. Menurut riwayat dari
at-Tirmidziy dari Ashim al- Ahwal dia berkata “saya bertanya kepada
Anas bin Malik tentang shafa dan marwah”. Anas menjawab “di situ
dahulu merupakan tempat pelaksanaan syariat kaum jahiliyah. Makanya
setelah Islam datang, kami enggan untuk bersa’i di antara kedua bukit
tersebut, kemudian Allah menurunkan ayatnya dalam QS. Al-
Baqarah/2:158
         
          
     
158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginyamengerjakan sa'i antara
keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan
kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha mengetahui.
Lebih jelasnya, al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul
menyebutkan bahwa Amru bin Husain bertanya kepada Ibnu Umar tentang
ayat tersebut, maka Ibnu Umar pergi menemui Ibnu Abbas dan
menanyakan hal itu. Ibnu Abbas menjawab “dahulu di atas bukit Shafa
terdapat sebuah patung berbentuk seorang laki-laki yang diberi nama Asaf,
dan di atas bukit marwah terdapat pula sebuah patung berbentuk seorang
wanita dan diberi nama Na’ilah. Ahli Kitab menduga bahwa kedua patung
itu berasal dari dua orang yang berzina dalam Ka’bah, lalu Allah
mengubah kedua orang itu menjadi batu, dan selanjutnya diletakkan pada
kedua bukit tersebut agar menjadi i’tibar bagi umat sesudahnya”. Setelah
beberapa lama justru kedua patung itu disembah oleh orang jahiliyah.
Ketika mereka sa’i antara kedua bukit itu mereka mengusap kedua patung
itu. Setelah Islam datang patungpatung tersebut dihancurkan dan kaum
muslimin tidak mau lagi melakukan sa’i antara shafa dan marwah.
Kemudian Allah menurunkan ayat Al- Baqarah/2:158 tersebut.
Dalam ajaran Islam, ibadah haji merupakan puncak peraihan status
keislaman seseorang. Ia menyempurnakan empat ajaran inti lainnya yaitu
mengucapkan syahadatain, menjalankan ibadah shalat lima waktu,
menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw ”Islam dibangun atas lima perkara, yaitu persaksian diri
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan
utusanNya, menjalankan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah
dan berpuasa di bulan ramadhan.”
Ibadah haji sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keempat
ajaran tersebut wajib dijalankan sekali seumur hidup bagi setiap
muslim/muslimah yang berkategori mampu. Dalil tentang kewajiban itu
diperoleh berdasarkan informasi dari Al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijmak.
1. Al-Qur’an (Q.S Al-Baqarah[2]: 196)
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. Selanjutnya dalam
QS. Ali Imran/3: 97.

        


        
         


97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)


maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.

2. Hadis/Sunah
Hadis pertama adalah sabda Rasulullah saw dari Abi Hurairah
yang diriwayatkan oleh Muslim, Dari Abi Hurairah ra. ia berkata,
Rasulullah saw pernah menceramahi kami, beliau bersabda “wahai
sekalian manusia sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian
menjalankan ibadah haji, maka berhajilah!” Tiba-tiba seorang pria
berkata? Apakah di setiap tahun ya rasul? Beliau diam hingga pria
tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, maka Rasulullah
saw. bersabda “kalau aku katakan iya maka pasti wajib dan pasti
kalian tidak akan mampu…(HR. Muslim)
Juga hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw.
bersabda: Dari Ibnu Abbas ra, berkata: Rasulullah saw. berkhotbah
pada kami dan berkata “wahai manusia telah diwajibkan atas kalian
berhaji, lalu Aqra’ bin Habis berdiri dan berkata: apakah pada tiap
tahun wahai Rasul? Beliau bersabda “jika aku iyakan pasti
diwajibkan (tiap tahun), dan kalau diwajibkan (tiap tahun) niscaya
kalian tidak akan sanggup melakukan dan kalian tidak akan mampu.
Haji itu hanya sekali, dan siapa saja yang menambahnya maka itu
dinilai sebagai tathawwu’ (sunnah).
Hadis tersebut juga memberi pesan bahwa untuk menjalankannya
membutuhkan prasyarat berupa istitha’ah (kemampuan). Baik
kemampuan fisik, materi, fasilitas kendaraan, maupun pengetahuan.
Bahkan, kategori kemampuan dewasa ini sudah semakin luas, seperti
adanya kemampuan memperoleh izin masuk/visa bagi yang berada di
luar wilayah Saudi Arabia, serta telah tervaksinasi, dan lain
sebagainya.
3. Ijmak
Para ulama sepakat bahwa ibadah haji hukumnya wajib bagi setiap
orang yang mampu sekali seumur hidup. Meski demikian, bisa saja
ibadah haji wajib dijalankan lebih dari sekali karena suatu alasan
syar’i. Umpamanya karena ada suatu nazar tertentu yang
diucapkan/dilakukan setelah sebelumnya telah berhaji. Atau karena
alasan qadha’ (mengganti) ibadah haji yang rusak tahun sebelumnya,
meskipun sifatnya hanya haji sunah. Selain itu, ibadah ini merupakan
ibadah membutuhkan banyak pengorbanan dari diri seorang hamba.
Baik berupa tenaga, fikiran, waktu, harta, bahkan bisa saja
pengorbanan jiwa. Itulah sebabnya orang yang menjalankan ibadah ini
dimasukkan dalam kategori jihad, dan bila wafat di dalamnya dinilai
sebagai syahid di mata agama.
Di sisi lain, bagi yang kembali dari menjalankan ibadah ini dengan
selamat akan memperoleh prestise secara sosial (duniawi) dan prestise
secara ukhrawi. Dengan demikian, dari berbagai informasi nas dan
kesepakatan ulama tersebut maka dapat dipastikan bahwa ibadah haji
ini adalah sesuatu yang sudah sampai pada tingkat aksioma dalam
agama. Dengan kata lain, bagi siapa saja yang mengingkari atau
mencoba meragukan eksistensi persoalan ini dapat disebut atau
dikategorikan sebagai kafir.
G. Urgensi dan Keutamaan Haji
Kehadiran syariat ibadah haji memegang peranan yang sangat
penting dan mengandung berbagai kemaslahatan bagi umat manusia. Para
ulama mencoba menggaris bawahi beberapa keutamaan dari ibadah haji
yang disarikan dari berbagai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadis
Nabi saw., di antaranya:
1. Ibadah haji termasuk dalam kelompok amal paling utama dalam Islam.
Berdasarkan sabda Rasulullah saw. dari Abi Hurairah r.a: Dari Abi
Hurairah berkata: Rasulullah saw pernah ditanya “Amal yang mana
yang paling utama?” Rasul berkata “Iman kepada Allah dan Rasul-
Nya”, lalu dikatakan “kemudian apa?” Beliau bersabda “kemudian
Jihad di jalan Allah”, lalu dikatakan lagi “kemudian apa?” beliau
bersabda “kemudian haji yang mabrur”.
2. Pelakunya mendapat kehormatan menjadi tamu Allah di rumah-Nya
(Baitullah) dan di dua tanah sucinya. Berdasarkan sabda Nabi saw:
Dari Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda
“Para jemaah haji dan umrah merupakan tetamu Allah, jika mereka
berdoa kepada Allah Ia akan mengijabah doa mereka, dan jika mereka
meminta ampun kepada Allah, Ia akan mengampuni mereka.
3. Ibadah haji termasuk jihad yang paling utama.
Dari Aisyah r.a, Rasulullah saw. bersabda “bagi kalian jihad yang
afdhal adalah haji mabrur.’’
4. Nafkah atau biaya yang dikeluarkan saat berhaji dinilai sebagai infak
di jalan Allah.
Dari Buraidah ra. berkata Rasulullah saw. pernah bersabda
“Nafkah/biaya dalam ibadah haji seperti infaq fisabilillah berbanding
700 kali lipat.’’
5. Ibadah haji termasuk sarana penggugur dosa dan mendapat
pengampunan sehingga bersih seperti pada hari dilahirkan.
Dari Abi Hurairah ra, ia berkata “Rasulullah saw. pernah bersabda
“siapa saja yang mengerjakan haji karena Allah, lalu tidak melakukan
berkata kotor dan berbuat fasik, ia pasti kembali seperti hari ia
dilahirkan oleh ibunya”
6. Pahala yang disediakan bagi pelaku yang hajinya diterima adalah surga
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda “ Umrah yang satu
ke umrah berikutnya terdapat penghapus dosa di antara keduanya.
Sedang haji yang mabrur tiada balasannya kecuali surga‘.

Dibalik pensyariatan setiap hukum yang dihadirkan oleh Tuhan


dapat ditangkap satu substansi yang ingin diwujudkannya, yaitu untuk
kebaikan dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Termasuk
halnya ibadah haji, Allah telah menghadirkan tujuan mulia serta berbagai
hikmah dan pelajaran berharga yang dapat dirasakan oleh manusia.
Menurut Muhammad Bakr Ismail dalam kitab “al-Fqih al-Wadhih”, di
antara tujuan dan manfaat yang akan dirasakan oleh pelaku ibadah haji
adalah:

1. Kehadiran kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia di Mekah dan


Madinah setiap tahunnya untuk beribadah haji mencerminkan suatu
bentuk konferensi tahunan bagi umat Islam sedunia. Di sana mereka
saling merapatkan barisan dan menyatukan kekuatan, berbagi
keluhkesah, dan saling menunjukkan kepeduliannya dalam menopang
satu sama lain, seraya merasakan indahnya persaudaraan sebagai
sesama hamba. Di samping itu memberi ruang untuk saling memberi
manfaat ekonomi antara penduduk dua tanah suci dengan orang-orang
yang mendatanginya untuk tujuan berdagang.
2. Aktifitas nusuk dalam ibadah haji menampakkan prinsip persamaan
dan persaudaraan, serta kesatuan visi dan misi umat.
3. Ibadah haji memberi kesempatan kepada setiap muslim untuk dapat
merasakan langsung dari dekat seluruh tempat-tempat suci dan tempat
turunnya wahyu. Hal itu semua dapat membangkitkan semangat
beramal serta semakin mengokohkan keimanannya.
4. Perjalanan menjalankan ibadah haji dapat melatih diri untuk terbiasa
menanggung kesulitan perjalanan dan berhijrah, khususnya
meninggalkan keluarga dan kampung halaman dalam rangka
mempertahankan keimanan dan meraih ridha tuhan. Sebagaimana yang
dirasakan oleh generasi awal Islam (Nabi dan para sahabatnya).
5. Orang yang baru pulang menjalankan ibadah haji akan mendapati
dirinya selalu rindu untuk mendatangi rumahNya kembali di waktu
yang lain.

Menurut Wahbah al-Zuhailiy dengan terlaksananya ibadah haji dan


umrah maka terwujudlah suatu kewajiban yang termasuk dalam kategori
fardhu kifayah yakni menghidupkan Ka’bah setiap tahun dengan ibadah.
Selain itu ibadah haji memiliki manfaat secara sosial maupun secara
individu. Di antara manfaat secara individualnya adalah ibadah haji dapat
menghapuskan dosa-dosa kecil dan mensucikan jiwa pelakunya dari jamur
kemaksiatan, serta memberi peluang besar kepada pelakunya untuk masuk
surga. Tidak hanya itu, haji juga dapat menguatkan keimanan, memotivasi
diri untuk segera bertaubat sungguh-sungguh, mengangkat harkat
kemanusiaan dihadapan Allah dan manusia, membiasakan diri untuk rela
berkorban dan menanggung kesusahan hidup, bersabar atas berbagai
cobaan dan tantangan, optimistis pada rahmat Allah, gemar berbagi,
pandai bersyukur atas nikmat, serta menyadari kekurangan dan kelemahan
diri di hadapan Allah, demikian pula menampakkan posisi sebagai hamba
yang sesungguhnya tanpa rasa bangga, hanya bisa tunduk, rela, patuh, dan
berserah diri kepadaNya.

Adapun manfaat haji secara sosial menurut al-Zuhailiy adalah :


menjadikan umat ini bisa saling kenal meski berbeda bahasa, warna kulit
dan bangsa serta memungkinkan mereka saling berbagi keuntungan
secara ekonomi. Selain itu, para jemaah haji juga akan merasakan
kekuatan ikatan persaudaraan dengan sesama umat beriman dari berbagai
pelosok bumi sehingga mereka betul-betul merasakan kebersamaan, tiada
bangsa yang merasa lebih dibanding yang lain kecuali ketaqwaannya. Dan
yang tak kalah pentingnya para jemaah haji ini nanti akan menjadi pioner
penyambung dakwah Islam ke seluruh pelosok negeri masingmasing dan
dapat menjadi motivator bagi saudaranya yang lain dalam beragama.

H. Filosofi Haji
1. Pesan Al-Qur’an Bagi Orang Yang Berhaji
a. Perintah untuk menyiapkan bekal (Q.S. al-Baqarah/2: 197.)
Menurut M. Quraish Shihab, bekal pertama dan utama yang
dibutuhkan adalahan taqwa. Sebagaimana petunjuk Allah dalam
ayat di atas. Bekal kedua adalah bekal harta untuk memenuhi
keperluan selama dalam perjalanan pergipulang ke dan dari tanah
suci serta bekal yang ditinggalkan bagi keluarga yang wajib
dinafqahi. Bekal ketiga adalah bekal pengetahuan agar ibadahnya
menjadi ibadah yang sah di mata agama, terutama tentang
penguasaan manasik dan tata cara melaksanakan ibadah haji seperti
yang dicontohkan oleh Nabi saw. Bekal ketiga adalah bekal
kesehatan (jasmani dan rohani) selama melaksanakan ibadah haji
agar ibadahnya bisa berjalan dengan sukses dan sempurna. Bekal
keempat adalah semangat jihad, kesungguhan, serta ketekunan
melaksanakan ibadah haji secara sempurna. Dan bekal kelima
adalah keikhlasan.
b. Perintah menyempurnakan pelaksanaan ibadah haji dan umrah.(
Q.S. al-Baqarah/2 :196
M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah
mengatakan bahwa kata “atimmu” oleh sementara ulama difahami
dalam dua arti. Pertama, laksanakanlah masing-masing keduanya
dengan sempurna sehingga tidak ada salah satu unsurnya pun yang
tersisa/tertinggal. Baik itu rukun maupun syarat. Yakni perintah
untuk melaksanakan keduanya sebagaimana ditetapkan oleh
syari’at. Kedua, ada juga yang memahami perintah penyempurnaan
dalam ayat itu dalam arti sempurnakanlah keduanya sesuai dengan
apa yang seharusnya dilaksanakan dalam kegiatan haji dan umrah
c. Perintah meluruskan motivasi berhaji untuk Allah semata (lillahi
ta’ala). (Q.S. Ali-Imran[3]:97)
Menurut M. Quraish Shihab ini disebabkan pada masa
jahiliyah kaum musyrikin melaksanakannya untuk aneka tujuan
yang tidak sejalan dengan tuntutan Allah. Misalnya berdagang,
reuni, dan sebagainya. Olehnya itu, pesan/perintah ini menjadi
penting bagi setiap yang ingin berhaji. Apalagi dengan adanya
budaya di masyarakat yang memberi gelar haji bagi yang sudah
kembali dari tanah suci, atau bahkan menuliskan gelar itu di depan
namanya. Budaya tersebut dapat menjadi faktor yang mengalihkan
niat tulus seseorang dari beribadah haji karena Allah.
2. Rahasia & Hikmah Dibalik Haji
Dalam kitab Hujjatullah al-Baligah, Syah Waliyullah al-Dahlawi
menjelaskan sekurangnya terdapat 4 rahasia dan hikmah yang terkandung
dibalik pelaksanaan ibadah haji.
a. Ketahuilah bahwa hakikat haji adalah pertemuan/reuni orang-orang
shaleh di suatu waktu yang mengingatkan kondisi orang-orang yang
telah diberi nikmat atas mereka yaitu para Nabi, orang jujur, para
syuhada, dan orang shaleh, di suatu tempat yang terdapat di dalamnya
tanda-tanda nyata akan kebesaran Tuhan, yang dituju kelompok besar
dari pemuka-pemuka agama sambil mengagungkan syiar-syiar Allah
dengan penuh kerendahan diri sambil mengharap berbagai kebaikan
dan ampunan dosa dari Allah.
b. Baitullah adalah tempat yang paling berhak untuk didatangi. Sebab,
pada dasarnya ibadah haji ada di setiap umat. Mereka harus memiliki
tempat yang selalu ditempati mencari berkah di dalamnya ketika
mereka melihat penampakan tanda-tanda kekuasaan Allah di
dalamnya. Atau sebagian dari media mendekatkan diri atau bangunan
yang diwariskan dari nenek moyang mereka, sebab hal-hal tersebut
akan mengingatkan orang-orang yang ingin mendekatkan diri padanya
pada hal-hal apa saja yang ada di sekitar mereka.
c. Ibadah haji adalah ajang penyucian jiwa seorang hamba. Betapa tidak,
seorang yang berhaji sedang berada di tempat yang terus menerus
diagungkan oleh orang-orang shaleh, mereka mendiaminya dan
senantiasa memakmurkannya dengan berzikir kepada Allah.
d. Ibadah haji sebagai ajang evaluasi untuk memilah orang taat dari orang
munafiq. Sebagaimana biasanya, setelah melewati perjalanan panjang
dan lama, setiap Negara membutuhkan suatu ajang evaluasi untuk bisa
memilah warganya siapa yang loyal dan tidak loyal, siapa yang tunduk
dan siapa yang ingin memberontak kepada negara
I. Kesimpulan

Wahbah al-Zuhailiy mendefenisikan haji sebagai perbuatan menuju


ke Ka’bah untuk menjalankan perbuatan tertentu, atau berangkat
menziarahi tempat tertentu (Ka’bah, arafah, mina, dan muzdalifah) pada
masa tertentu (bulan-bulan haji) untuk melakukan perbuatan tertentu
(ihram, thawaf, sa’i, wuquf, mabit, melontar jumrah dan tahallul). Ka’bah
yang ada di Mekah sebagai titik sentral ritual ibadah haji merupakan
rumah ibadah yang paling pertama dibangun di muka bumi.

Manfaat haji secara sosial menurut al-Zuhailiy adalah : menjadikan


umat ini bisa saling kenal meski berbeda bahasa, warna kulit dan bangsa
serta memungkinkan mereka saling berbagi keuntungan secara ekonomi.
Selain itu, para jemaah haji juga akan merasakan kekuatan ikatan
persaudaraan dengan sesama umat beriman dari berbagai pelosok bumi
sehingga mereka betul-betul merasakan kebersamaan, tiada bangsa yang
merasa lebih dibanding yang lain kecuali ketaqwaannya. Dan yang tak
kalah pentingnya para jemaah haji ini nanti akan menjadi pioner
penyambung dakwah Islam ke seluruh pelosok negeri masingmasing dan
dapat menjadi motivator bagi saudaranya yang lain dalam beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hamdani, 2010, Tafsir Ahkam I, Kudus: Nora Media.

https://tafsiralquran.id/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-196-197/Tafsir Kemenag, pada


hari Rabu, 10 Mei 2023 pukul 23:49 WIB
Muhammad Ali A., 1976, Tafsir Ayatul Ahkam, terj. Lubis Zamakhsyari, Medan.

Muhammad Amin Suma, 1997, Tafsir Ahkam I, Jakarta: Logos.

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, 1999, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
terj. Syihabudin, Jakarta: Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai