Anda di halaman 1dari 7

PERTEMUAN 9.

PERAN METAFISIKA TERHADAP PAHAM KEBERSAMAAN PADA SILA KETUHANAN


YANG MAHA ESA (KYME)

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu pengakuan bangsa terhadap adanya sang Pencipta,
Penguasa Alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa / Allah SWT. Secara foilosofis faham ini telah disepakati
oleh bangsa Indonesia dimana mereka memiliki beragam kepercayaan, keyakinan dari aqidah agama
yang berbeda-beda. Oleh karena itu perbedaan aqidah perlu diketahui oleh setiap penganut agama agar
jelas titik temu dan titik pisahnya, karena KYME yang merupakan sila pertama dalam Pancasila
menuntut agar bangsa Indonesia memeluk ajaran agama sesuai dengan pilihannya sebagai hak
azasinya dan memlilki integritas yang tinggi menerima perbedaan faham dan aqidah dari setiap warga
negara. Kebersamaan dalam faham KYME sebagai bangsa namun berbeda dalam aqidah; sikap
toleransi akan menjadi alami bila warga memiliki Ilmu Pengetahuan dalam agamanya, serta dapat
memahami keyakinan serta dapat memahami keyakinan serta aqidah umat lainnya.
Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, yang membahas
dalam mencari hal yang berada di belakang fisika. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang
mencakup semua hal dan bersifat universal. Yakni sebagai hal “penyelidikan tentang Tuhan yang
menciptakan alam semesta dan seluruh isinya. Bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang
dunia Ilahi yang transenden”. Siapa penyelidiknya? Tentulah kita yang merupakan manusia yang
diciptakan dalam wadah satu nilai dasar, yakni Pancasila sebagai dasar dan lambang negara Indonesia.
Untuk apa? tentulah agar manusia mengetahui tentang Tuhannya dan untuk beribadah kepada Tuhan
semesta alam. Jadi kalau diuraikan, ‘metafisika’ merupakan yang ada dibalik fisika sedangkan
‘Ketuhanan yang maha esa’ adalah usaha manusia memahmi, mengimani Tuhannya. Jadi dari uraian
tersebut diperoleh metafisika Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang ada dibalik keyakinan
pemahaman ketuhanan. Atau Usaha menemukan yang ada dibalik keyakinan pemahaman terhadap
Tuhan yang maha esa dalam beragama. Dalam Islam hal ini sesuai denga firman Tuhan dalam QS.
Adz-Dzariyat: 56 “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
Dari ayat diatas memberikan pesan kepada manusia untuk berupaya mengetahui dan
beribadah serta tunduk dan patuh kepada Tuhan, yang sangat erat dengan unsur spiritualisasi dan nilai-
nilai agama yang tidak bisa dipisahkan dari perilaku atau karakter manusia, namun peranan yang
dilakukan adalah atas kuasa Tuhan. Akan tetapi dalam hal ini kita fokus pada perilaku manusia sebagai
objek metafisika, dan sekaligus manusia sebagai subjek yang berperan dalam menjalankan nilai-nilai
dari sila pertama Pancasila yakni ketuhanan yang maha esa.
Pada masyarakat yang beragama Islam Ketuhanan yang maha esa dipahami sesuai dengan
firman Tuhan Q.S. Albaqarah/2:163 yang artinya Dan Tuhan Kamu adalah Tuhan Yang maha esa,
tidak ada Tuhan selain Dia. Yang maha pengasih maha penyayang.
Pada agama Hindu dialah yang disebut Brahma, Yang maha esa, tiada permulaan yang ada
dan yang tiada.
Pada agama Budha Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Bahasa Pali adalah Atthi Ajatang
Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, Tidak
Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha adalah
suatu yang "tanpa Aku" (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan (tidak memiliki kepribadian) dan
tidak dapat diuraikan seperti apa pun. Tetapi dengan adanya "Yang Mutlak", yang tidak berkondisi
(asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Pada agama Nasrani Kristen dan Katolik, ketuhanan yang maha esa berupa Tuhan adalah
Bapa yang mahakuasa dan penuh bela rasa, yang mewahyukan diri secara penuh kepada manusia
melalui Putra-Nya Yesus Kristus.
Dalam Tap MPR No. III MPR/1978. (Naskah P4, bab II, butir 1) dikatakan bahwa “agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan
pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya. Maka dikembangkanlah
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain.
Dan dalam penjelasan atas bab II, butir 1, P4, ditambahkan bahwa “rumusan Sila KYME.
tidak berarti bahwa Negara memaksa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebab
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat
dipaksakan dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak
memaksa setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya”. Oleh karena itu arti konkret KYME tidak
ditentukan oleh Negara, melainkan oleh agama, atau lebih tepat lagi oleh orang-orang beriman, para
penganut agama. Tuhan memang satu, tetapi pengetahuan tentang Tuhan dan iman kepada-Nya
berbeda-beda. Maka tidak cukup bila iman akan Tuhan Yang Maha esa hanya dinyatakan saja. Perlu
juga diterangkan, apa arti “Tuhan” dan apa isi iman kepada-Nya.
Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam, salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan fondasi teologis dan tauhid secara benar karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dalam membahas tentang Tuhan pada
agama-agama dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya
menghabiskan waktu yang tidak pendek.
Sehingga peran metafisika baik sekali dipakai dalam memecahkan nilai- nilai ketuhanan yang
terlukis dalam sila pertama dalam Pancasila untuk dapat dipantulkan keseluruh masyarakat berbangsa
bernegara bahkan keseluruh dunia agar pemahaman nilai-nilai KYME dilanjutkan dalam
memperaktekannya. Hal ini bertujuan untuk membangun terwujudnya harmonisasi peroses kehidupan
manusia yang dalam kontek pengabdiannya kepada Tuhan, karena alat pemersatu nilai-nilai
harmonisasi sudah disepakati dalam sila pertama dari Pancasila yitu Tuhan yang maha esa.
Sebelum adanya metafisika eksakta yang digagas guru besar UNPAB, Prof. Dr. H. Kadirun
Yahya. Kita banyak tenggelam dengan kehabatan cara berpikir dengan filsafat ang luar biasa, yang
saat ini filsafat masih merupakan ilmu menginspirasi hasrat dalam menghidupkan masyarakat
beragama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama yaitu hakikat agama
sebagai objek dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Tuhan yang suci,
sehingga sering juga kita dengar dengan istilah falsafah Pancasila atau juga dengan istilah falsafah
Ketuhanan yang Maha Esa

Namun jika kita mempelajari filsafat akan membutuhkan energi intelektual yang sangat besar
dan waktu yang lama, sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Namun setelah
metafisika eksakta ada, kini semua hal yang dulu masih dianggap mustahil, gaib dan mistik, kini dapat
ditelusuri dan dipahami dengan pendekatan ilmu eksakta yang sangat menarik minat anak melenial
dizaman now ini. Karena metafisika yang digagas oleh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya ini hanya satu-
satunya didunia yang sanggup menjawab permasyalahan hidup sekarang ini.

A. METAFISIKA MAMPU MENCERDASKAN JIWA BANGSA PADA NILAI-NILAI


LUHUR PANCASILA
Mencadaskan jiwa bangsa kepada nilai-nilai luhur Pancasila dalam presfektif metafisika
merupakan kunci integritas kemajuan bangsa. Hal ini penting untk mendapatkan pemahaman
ketuhanan dari keyakian masyarakat Indonesia yang terdiri dari bebagai lapisan agama. Pembangunan
yang dilakukan selama ini, belum adanya kerja sama kepada yang benar-benar akhli dalam pekerjaan
dalam mencerdaskan bangsa dengan nilai-nilai luhur Pancasila tersebut. Selama puluhan tahun
berjalan jiwa bangsa kita dapat terlihat hasil dan kenyataannya bahwa kita masih tertinggal dari negara-
negara lain yang lebih unggul pada realitanya. Padahal negara kitalah yang sejatinya harus jauh lebih
baik dan maju berkembang bidang, karena kita memiliki fundemen yang kuat dan sangat dikagumi
dunia yakni nilai-nilai KYME.
Namun pada kenyataanya itu belum tercapai, hal ini karena selama ini, mecerdaskan jiwa
hanya dititik beratkan pada jiwa yang berinteraksi dengan otak saja lupa dengan jiwa yang berinteraksi
dengan hati atau batin yang menjadi inti dari pada manusia seutuhnya. Untuk mengatasi hal itu, perlu
ada visi dan gerakan baru dalam dunia pendidikan (di dalam dan luar kampus) yang memberikan
perhatian besar pada usaha-usaha memantapkan kembali pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
Pancasila dalam dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan mencerdaskan bangsa dengan
metodologi yang digagas oleh Prof. Dr H. Kadirun Yahya yang kapabilitasya sebagai pejuang,
ilmuawan, dan pembaharu dalam bidang pendidikan, yang mangaungkan bahwa bidang pendidikan,
Jika Indonesia mau maju melebihi bangsa lain didunia ini dibidang Pendidikan, jangan mendidik
murid hanya sebatas jiwa yang berintaksi dengan badan atau fisik yang mengandalkan otaknya saja,
namun harus memperhatikan juga hati nurani yang harus ditanamkan dengan kalimah Allah, agar
terpenuhi keseimbangan antara jasmani dan rohaninya. Ini sesuai dengan empelementasi dari
ketuhanan yang maha esa dari sila pertama Pancasila.
Hal ini sudah menjadi kebutuhan mendesak agar segenap komponen bangsa menyadari dan
mau menimbang pentingnya tanggung jawab mengantarkan hidup bangsa ini sukses didunia dan
selamat diakhirat. Disamping tangung jawab sosial di tengah maraknya pragmatisme hidup yang selalu
menekankan pada hak dan kebutuhan untuk menumbuhkan kembali keadaban publik (civic virtue)
yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan yang menghormati kebinekaan kita, dan memperbaiki
kebiasaan jiwa (habit of the mind) kita untuk perduli dan memberi dalam semangat gotong royong
sebagai lem perekat kehidupan berpolitik mayarakat dalam mencapai cita-cita kebahagiaan hidup
bersama di dunia dan hidup selamat di hari kemudian.
Zaman sekarang keadaan memaksa manusia bekerja hingga menyita waktu untuk beribadah,
waktu yang 24 jam pun rasanya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi kebanyakan orang.
Namun pada sebagian orang yang memiliki fasilitas seperti jabatan, harta warisan, modal, skil, dan
kemampuan, kebutuhan hidupnya sangat terpenuhi.
Urusan dunia semakin maju dengan instannya, sehingga keadaan terus memicu manusia
untuk urusan dunia yang sedang berjalan tak bisa kita lepaskan sedikit waktupun sehingga urusan
agama untuk beibadah mundur. Pandai-pandailah kita memenejnya agar kita selamat dari keadaan
yang memaksa ini
MemasukiTahun 2020. Dengan bertambah usia kehidupan dan kebangsaan, semoga bisa kita
memperkuat akar-akar jati diri bangsa dengan memiliki dasar ketauhidan kepada ketuhanan yang maha
esa yang kuat agar individu berjiwakan nilai-nilai luhur Pancasila dan bangsa Indonesia senantiasa
berkarakter sesuai nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai luhur dari Pancasila harus tetap berdiri kukuh
dalam menghadapi berbagai terjangan angin tantangan di masa depan.
Dalam sejarah berdirinya Islam yang petama sekali adalah mendirikan tauhidnya bukan
syariatnya demikianjuga para nabi dan rasul hampir seluruhnya merupakan sosok yang mendahulukan
ketauhidannya yang bebnuansakan metafisika termasuk nabi terakhir yakni Rasulullah. Hal ini dapat
dilihat dari ayat yang sangat kental dengan fenomena metafisika yakni Q.S. As-syu’ara/26:45
Artinya: “Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda
palsu yang mereka ada-adakan itu”
Ayat ini bernuansakan fanomena metafisika dimana kehidupan manusia di zaman Fir’aun
yang penuh dengan mistik tak berdaya dengan unsur metafisika yang datangnya dari Allah yang
diberikannya pada nabi Musa. Namun fanomena metafisika ini kurang menjadi perhatian para ulama
dan sainstis untuk menelitinya, fanomena ini lewat bagaikan cerita begitu saja tanpa dikembangkan,
diuraikan dan ditelaah untuk kepentingan yang lebih besar lagi, yakni, membawa manusia kepada
kebesaran Tuhannya dalam meningkatkan imannya menjadi taqwa.
Demikian juga perspektif Tentang Al-Hadis Sejak dulu Hadis memang selalu menjadi bahan
yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik
berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang
begitu besar terhadap ajaran agama. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan
ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran agama itu lewat ajaran agama itu
sendiri. Oleh sebab itu umat beragama perlu melakukan studi mendalam terhadap kitab sucinya,
literatur hadis dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai
otoritas untuk menafsirkan wahyunya.
Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum
Islam sebagaimana yang dikemukakan Alquran. Pendapat Ulama tentang Hadis, yaitu cara Nabi dalam
menyampaikan dakwahnya dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang
dihadapinya ketika itu.
Selain itu juga para ulama mengajak untuk mencontoh cara Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih
menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh
ruang dan waktu.
Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi
selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan seorang filosof
seperti Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan
dari pada Hadis yang masih meragukan kualitasnya.
Ini bukan berarti Hadis-Hadis pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan
Az-Zuhri telah membuat koleksi Hadis tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil
Abu Hanifah karena Ia memandang tujuan-tujuan universal Hadis daripada koleksi belaka. Metafisika
yang dikenal sekarang adalah metafisika teologi yang selalu berupaya merealistiskan semua perihal
yang gaib. Sehingga ilmu metafisika ini bukan bagian fisika yang ilmiah dan bukan pula bagian ajaran
ketuhanan yang benar. Beberapa ilmuwan Barat sendiri menolak keberadaan metafisika. Ilmu
metafisika adalah ilmu yang melebihi fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah
western science, falsafah metafisika Islam adalah ilmu filsafat yang dilanjutkan atau diintegritaskan
sehingga masuk ke dalam ilmu metafisika. Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu
metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehenshif.
Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tidak lain berdiri dari hukum-hukum yang secara
konseptual nyata seperti juga alam jagad raya yang tidak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia
dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama itu lebih tinggi dan bersifat hakiki,
obsalut serta jika dilihat secara ilmiah nampaklah sangat sempurna alam ini. Tujuan pembahasan
metafisika adalah membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama
dengan tuntutan akal.
Dengan penjelasan yang mudah masuk akal bersifat falsafis metafisis logis maka ajaran-
ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan
yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafah
dan metafisis, maka ajaran agama juga sekeddar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat
dihayati maksud lain tujuan ilmiah umat beragama. Dengan metafisika ilmiah ini maka kita bisa
melihat bahwa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin pecaya kepada Tuhan.
Menurut Al-Attas (2010), masalah kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling mendasar
dalam kehidupan masyarakat modern di era globalisasi saat ini. Kekeliruan ini disebabkan masuknya
faham sekuler yang dibawa oleh peradaban barat ke dalam ilmu kontenporer khususnya dalam bidang
pendidikan. Akibatnya dari kekeliruan ilmu adalah munculnya tindakan manusia yang keliru sehingga
menghilangkan kemampuan manusia untuk melakukan tindakan yang benar (loss of akhlak or adab).
Tindakan ini akan memberikan kesengsaraan bagi manusia sendiri. Hal ini dibuktikan dengan semakin
berkembang sains dan tekhnologi di era ini, manusia bukan meraih kebahagiaan melainkan merasakan
keresahan dari kekeringan jiwa serta kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Kerusakan
lingkungan, wabah penyakit, bencana alam, deradasi moral, kriminalitas dan peperangan erus menerus
terjadi.
Berbeda dengan paham sekuler, semua konsep Islam dibangun dalam kaitanya dengan Tuhan.
Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan Islam
mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukan sekedar materi tanpa makna, melainkan tanpa (ayat) tanpa
kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika bearti
ia sedang berusaha mengenal Tuhanya. Hal ini ditegaskan dalam Firman Tuhan Q, S. Ali-Imran/ 3:191
yang artinya: ”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka
Ayat ini menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan
kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua
kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah Pada titik inilah fisika dan metafisika
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahka (tauhid). Oleh karena itu dalam Islam tidak dikenal
istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan memecahkan
misteri alam. Sebabnya di sepanjang sejarah Islam tidak mengenal ada ilmuan Muslim yang menjadi
anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apapun, karena landasan mempelajarinya
berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Tuhan.
Di dalam negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia walaupun tidak sampai meragukan
Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama yang bernuansakan metafisika.
Sekularisme telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuan
tersebut. Hal ini karena visi sekuler selalu memandang realitas secara dikotomis. Menurut sebahagian
mereka sains adalah sains, agama adalah agama. keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada
hubunganya dengan sains yang rasioanal dan empiris metafisika. Terdapat perbedaan-perbedaan yang
selalu terjebak dengan peragmatisme kepentinga individu dan kelompok. Oleh hal tersebut harus ada
yang peduli untuk meningkakan kemampuan jiwa dalam hal mencintai nilai-nilai luhur KYME sebagai
bagia utamakan.

Anda mungkin juga menyukai