Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

NILAI KETUHANAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok

Dosen Pengampu :

Ns. M Iqbal Angga Kusuma, M.Kep.

Disusun Oleh Kelompok 1 :

No. Nama Siswa No. Nama Siswa


1. Amanda Musyarofah (9) 4. Ithriy Akmalia (35)
2. Arinda Rizki Cahyati (14) 5. Maulidina Meilany (39)
3. Eza Bambang Pratama (29)

YAYASAN PENDIDIKAN UMMI CENDEKIA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) UMMI BOGOR

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

Jalan Raya Pemda No.100 Parakan Kembang RT.002/RW.013, Pasir Jambu, Sukaraja
Kabupaten Bogor - Provinsi Jawa Barat

Tlp. 0251-7508154, Email : stikesummicendekia@gmail.com


DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan rahmat serta karunia-Nya,
Makalah ini dapat kami kerjakan dan selesaikan dengan baik sebagai tugas Pancasila yaitu
Makalah “Nilai Ketuhanan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Pancasila kami yaitu Bapak Ns.
M Iqbal Angga Kusuma, M.Kep. yang telah memberikan tugas dan juga membimbing
sehingga tugas ini dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah
Pancasila ini mungkin saja masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik serta saran agar kedepannya kami dapat lebih baik lagi dalam
pembuatan Makalah Pancasila selanjutnya.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf jika terdapat kesalahan
dalam penulisan atau penjelasan dari Makalah Pancasila “Nilai Ketuhanan Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu” kami yang masih kurang baik, jelas, dan juga lengkap. Harapan kami
semoga Makalah ini dapat diterima oleh Bapak sebagai proses pembelajaran kami
selanjutnya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila merupakan landasan ideologis dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai premis pertama
dalam pancasila meniscayakan segala nilai-nilai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara haruslah bernilaikan Ketuhanan.
Sila pertama dari Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunya arti
kebebasan beragama sesuai keyakinan masing-masing.Dalam penetapan Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mengalami proses yang alot dan diperdebatan dengan
serius. Hal ini karena latar belakangi oleh keragaman agama warga negara Indonesia.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pertama kali diusulkan oleh. Ir. Sukarno dalam
pembukaan sidang BPUPKI dengan kalimat “Ketuhanan” saja yang di tempatkan
pada urutan kelima, urutan yang paling bawah dengan alasan sila ketuhanan tersebut
dapat menjadi landasan sila-sila lainnya. Karena tidak ada kesepatan dengan sila
tersebut akhirnya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
( BPUPKI ) membentuk panitian
kecil atau panitia Sembilan yang beranggotakan
1.Ir. Soekarno ( ketua ),
2.Drs.Muhammad Hatta (perwakilan kebangsaan)
3.Mr. A.A. Maramis (perwakilan kebangsaan)
4.KH. Wachid Hasyim (perwakilan islam),
5.Abdul Kahar Muzakkir (perwakilan islam),
6.Abikusno Tjokrosojoso (perwakilan islam),
7.H. Agus Salim (perwakilan islam),
8.Mr. Ahmad Subardjo (perwakilan islam), dan
9. Mr. Muhammad Yamin (perwakilan kebangsaan).
Pada tanggal 22 Juni 1945 panitia kecil/sembilan berhasil merumuskan
Dasar Negara yang dikenal denga nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran the foundings fathers dalam
mendirikan negara berketuhanan tercermin dan ditegaskan setelah disepakatinya
rumusan dasar negara “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan UUD 1945.
Ketuhanan Yang Maha Esa disepakati untuk ditempatkan sebagai sila pertama
Pancasila. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan nafas
sekaligus roh bagi keseluruhan sila-sila Pancasila. Menurut Jimly Asshiddiqie, sila
pertama dan utama tersebut menerangi keempat sila lainnya.
Hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang bukan merupakan hasil kebudayaan
manusia. Sila itu, merupakan sesuatu yang abadi, yang kekal, tidak berubah-ubah,
tidak dapat dipengaruhi oleh manusia, dan tidak pula dapat ditundukkan pada
kemauan dan keinginan manusia. Oleh karena itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dijadikan landasan yang paling kokoh bagi Negara Republik Indonesia.

Ketuhanan yang Maha Esa pada dasarnya memuat pengakuan ekplisit akan eksistensi
Tuhan sebagai Sang Pencipta. Nilai ketuhanan dalam Pancasila menunjukkan bahwa
eksistensi negara, bangsa, dan manusia Indonesia berelasi dengan Tuhan yang
diyakini sebagai sumber segala kebaikan. Ia merupakan fundamen moral dan
berdimensi religius yang menentukan pola dasar bagi seluruh kehidupan negara.
Dalam Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai
ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak.
Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan.

B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
a) Bagi Pembaca
Dapat mengetahui Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu sehingga
dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan penuh rasa
tanggung jawab dan bermoral.
b) Bagi Penulis
Dapat mengetahui cara memecahkan berbagai masalah dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan dan
mengembangkan ilmu berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nilai Ketuhanan


Nilai Ketuhanan Perkataan Ketuhanan berasal dari Tuhan. Pencipta segala yang ada
dan semuamakhluk. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagiNya, Esa
dalam zatNya, dalam sifatNya maupun dalam perbuatanNya.
Pengertian zat Tuhan disini hanya Tuhan sendiri yang Maha Mengetahui, dan tidak
mungkin dapat digambarkan menurut akal pikiran manusia, karena zat Tuhan adalah
sempurna yang perbuatan-Nya tidak mungkin dapat disamakan dan ditandingi dengan
perbuatan manusia yang serba terbatas. Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh
keberadaan dari makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari
makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu
Tuhan adalah prima causa, yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya
sebab- sebab yang lain.
Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan
sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas,
sedangkan selain-Nya adalah terbatas. Negara Indonesia didirikan atas landasan moral
luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya,
maka negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan
untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya
terkandung dalam:
a.) Pembukaan UUD 1945 aline ketiga, yang antara lain berbunyi: "Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa....". Dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa
negara Indonesia tidak menganut paham maupun mengandung sifat sebagai
negara sekuler. Sekaligus menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan
merupakan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama
tertentu, melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan Pancasila atau
negara Pancasila.
b.) Pasal 29 UUD 1945 (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

Oleh karena itu terjadi dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam
hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang
Maha Esa ini hendaknya diwujudkan dan dihidup suburkan kerukunan hidup
beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau
menurut tuntunan agama masing- masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan
di dalam kehidupan beragama. Untuk senantiasa memelihara dan mewujudkan 3
model kerukunan hidup yang meliputi:

1.) Kerukunan hidup antar umat seagama


2.) Kerukunan hidup antar umat beragama
3.) Kerukunan hidup antar umat beragama dan Pemerintah.

Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa. Di
dalam memahami sila I yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya para pemuka
agama senantiasa berperan di depan dalam menganjurkan kepada pemeluk agama
masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya,
misalnya bagi yang beragama Islam senantiasa berpegang teguh pada kitab suci Al-
Qur'an dan Sunnah Rasul, bagi yang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan)
berpegang teguh pada kitab sucinya yang disebut Injil, bagi yang beragama Budha
berpegang teguh pada kitab suci Tripitaka, bagi yang beragama Hindu pada kitab
sucinya yang disebut Wedha. Sila ke I, Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi
sumber utama nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, yang menjiwai dan mendasari
serta membimbing perwujudan dan Sila II sampai dengan Sila V.

Pengamalan Sila kesatu yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam lingkungan
masyarakat sekitar meliputi berbagai bidang, terutama kalau ditinjau menurut Agama
yang menjadi mayoritas lingkungan masyarakat yaitu menurut ajaran agama Islam,
antara lain:

1.) Bidang Keagamaan.


Menyangkut bidang keagaaman itu sendiri, masyarakat kita sudah tidak meyakini
apa yang menjadi tuntunan dan melaksanakan apa yang menjadi tuntutan serta
kewajiban yang sudah disyariatkan sesuai agama dan kepercayaannya masing-
masing. Contoh dalam ajaran Islam bahwa sholat 5 waktu itu adalah wajib, dan
semua orangpun tahu apa hukuman serta pahala yang diperoleh, ketika seseorang
itu melanggar atau melaksanakan apa yang menjadi tuntutan tersebut. Namun
tidak sedikit orang Islam yang belum bisa melakukan hal yang menjadi tuntutan
tersebut. Ini membuktikan bahwa pengamalan sila pertama ini belum menjiwai
masyarakat itu sendiri. Sehingga apa yang menjadi keyakinannya akan terkikis
habis oleh perubahan zaman. Hal tersebut baru merupakan pelaksanaan ibadah
secara Hablum Minnallah (hubungan dengan Alloh), belum bagaimana
pelaksanaan ibadah secara Hablum Minannas (hubungan dengan manusia). Dan
ini akan mempengaruhi terhadap berbagai pelaksanaan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa ini, menjadikan
kegiatan ibadah-ibadah keagamaan kita dapat dirasakan oleh pribadi dan dapat
bermanfaat untuk masyarakat luas, yang akan membentuk suatu ketentraman
dalam masyarakat itu sendiri.
2.) Bidang Pemerintahan.
Bangsa kita menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kita juga meyakini bahwa Tuhan adalah maha kuasa atas segalanya.
Dalam seluruh aspek kehidupan sangatlah penting menempatkan bahwa Tuhan
Maha kuasa atas segala hal, termasuk dalam menjalankan roda pemerintahan,
sehingga akan merasa ada control yang tidak pernah lepas dan lengah dalam
melakukan berbagai kebijakan pemerintahan. Dalam menjalankan roda
pemerintahan pada kenyataannya, tenyata belum cukup mengakui bahwa
Pancasila sila, sila ke satu, yang berarti merasa bahwa setiap diri kita tidak ada
yang mengawasi atau lupa bahwa Tuhan Melihat kita. Para oknum pejabat
pemerintahan kita serta pelaksana pemerintahan kita sudah tidak lagi
melaksanakan Pengamalan sila kesatu. Dibuktikan bahwa disekitar kita masih
banyak prilaku-prilaku yang seolah-olah Tuhan tidak mengetahui dan tidak ada.
Prilaku Korupsi adalah prilaku yang seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang
yang berkeyakinan dan menyatakan ketaqwaannya. Seandainya kita tahu bahwa
prilaku tersebut adalah prilaku yang tidak sesuai dengan bangsa kita yang
menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Maka
tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan. Seolah Sila Kesatu dari Pancasila
tersebut hanyalah sebagai symbol saja, atau identitas bangsa saja yaitu bangsa
yang berketuhanan Yang Maha Esa, tanpa meyakini dan menjalankan apa yang
menjadi landasan Sila Kesatu tersebut. Korupsi adalah kata halus dari mencuri,
merampok dan lain-lain. Sehingga apa yang bukan haknya menjadikan sesuatu
tersebut menjadi milik pribadi dengan tujuan memperkaya diri. Yang akibatnya
pembengunan suatu bangsa tidak mengalami perubahan yang signifikan, atau
bahkan mengalami kemunduran, baik dari segi materi ataupun moral.
3.) Bidang Sosial Politik.
Politik dalam pengertiannya adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu
Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu, dengan kata lain politik adalah suatu upaya untuk
mencapai tujuan tertentu. Politik identik dengan upaya mendapatkan kekuasaan,
jabatan, wewenang. Dalam prakteknya jika perpolitikan di negara kita
berpedoman pada Sila ketuhanan yang Maha Esa, maka segala proses perpolitikan
di negara kita ini tidak perlu melakukan tindakan diluar ketentuan Perundang-
undangan atau aturan agama itu sendiri. Tidakan Money Politic dalam sebuah
pesta demokrasi merupakan suatu tindakan yang secara nyata tidak meyakini
bahwa Tuhan akan memberikan kekuasaan sesuai apa yang di kehendakiNya.
Kalau dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku maka
berakibat pula dalam melahirkan sebuah penguasa atau penyelenggara Negara
yang berkualitas atau tidak.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
dipercayai dan diyakini. Namun melihat kondisi sekarang ini masyarakat kita sudah
semakin jauh dari konsep tersebut, sehingga perjudian, pemerkosaan, dan prilaku
penyimpangan lainnya adalah suatu hal yang sudah menjamur diseluruh pelosok
negeri ini. Menurunnya moral suatu bangsa diakibatkan karna prilaku sosial kita
sudah tidak berpegang lagi terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga generasi
harapan bangsa kita terjerumus pada hal-hal yang tidak sesuai dengan norma agama.
Hal tersebut diperparah lagi oleh dukungan pemerintah kita yang terkesan setengah-
setengah dalam membuat kebijakan yang mendorong masyarakatnya untuk lebih
menyadari bahwa agama merupakan pondasi dalam berbagai bidang. Temasuk
didalamnya bagaimana mengupayakan agar berbagai kegiatan keagamaan
mendapatkan porsi yang utama dalam membentuk generasi harapan bangsa, dukungan
tersebut dapat dituangkan baik dari segi moril ataupun kelayakan sebuah penetapan
anggaran. Termasuk mengupayakan agar tenaga pendidik serta kurikulum sekolah
kita agar lebih berkualitas lagi dalam membentuk moral generasi, karna dari sanalah
berawal Sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat diamalkan secara menyeluruh pada
berbagai bidang kehidupan.
Ada juga permasalahan-permasalahan yang muncul tertakait dengan nilai-nilai
ketuhanan selain permasalahan di atas, seperti kasus bom Bali dan bom bunuh diri di
Solo. Dari kedua kasus tersebut diatas menandakan bahwa sudah tidak relevannya
warga indonesia dengan nilai pancasila khususnya pada sila pertama. Dari kasus
pertama dikatakan bahwa pelaku melakukan hal tersebut dengan alasan jihad,
sedangkan pada kasus kedua yaitu menunjukkan bahwa adanya pendangkalan iman
seseorang. Hal tersebut jelas sangat bertentangan dengan nilai pada sila pertama
tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu menghilangkan nyawa seseorang sekalipun
alasannya adalah berjihad dan membela agama islam. Belajar dari kasus pengeboman
yang sering terjadi di berbagai daerah seharusnya pemerintah mengadakan tindakan
yang tegas kepada pelaku bom, memberikan hukuman kepada pelaku.

B. Ilmu pengetahuan
Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu- ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari
sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-
masalah sosial, dan sebagainya. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan
pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan
ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu
banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1.) Objektif
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara
tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif, bukan subjektif
berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.) Metodis
Adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada
cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa
Yunani "Metodos" yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.) Sistematis
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu
harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan
mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan
yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat
ilmu yang ketiga.
4.) Universal
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180°. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu- ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan
tertentu pula.
Istilah "model", "hipotesis", "teori", dan "hukum" mengandung arti yang berbeda
dalam keilmuan dari pemahaman umum. Para ilmuwan menggunakan istilah model
untuk menjelaskan sesuatu, secara khusus yang bisa digunakan untuk membuat
dugaan yang bisa diuji dengan melakukan percobaan/eksperimen atau pengamatan.
Suatu hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum didukung atau dibuktikan oleh
percobaan, dan hukum fisika atau hukum alam adalah generalisasi ilmiah berdasarkan
pengamatan empiris.

C. Pilar penyangga eksistensi Ilmu


Melalui teori relativitas Einstein paradigm kebenaran ilmu sekarang sudah berubah
dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun
teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas
yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada
kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam
perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap
koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif
pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek
ontologis epistemologis, maupun ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling
tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan,
baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun
berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan
(context of discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada
persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
1.) Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi) :
a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme,
dualisme, pluralisme)
b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu
(mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).

Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi,


dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat
hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada
kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu
bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.

2.) Pilar epistemologi (epistemology)


Selalu menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber
kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-
dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat
memberikan sumbangan bagi kita :
a) Sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu
b) Memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu
c) Mengembangkan ketrampilan proses
d) Mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3.) Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius)
dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman
aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu,
mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto
Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara imperative mengacu
ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat integratif dan prerequisite.
Berikut ilustrasinya dalam bagan 1.

D. Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan


1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
a.) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor
subjektif (misal: perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita).
b.) Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh
orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan
otorita.
c.) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif.
Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis
selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
d.) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas
dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis,
hermeneutik, intuitif).
e.) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah
prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah
tujuan yang jelas.
2. Masalah nilai dalam IPTEK
A) Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita
tidak biasa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat
mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan
masa lalu lebih menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti
pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan
inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk
mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita
ini. Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan.
Secara metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk
memahami hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain
sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun
dalam perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke arah
keserbamajemukan ilmu.
1) Spesialisasi
Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya
selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan
metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu.
Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu
psikologi. Kalau psikologi mau maju dan berkembang harus
mengembangkan metode, objek dan tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang
berdekatan, biokimia dan kimia umum keduanya memakai "hukum" yang
dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana biokimia perlu pengetahuan
susunan bekerjanya organisme-organisme yang tidak dituntut oleh seorang
ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan
mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai
dasar-dasar yang sama. Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu
cabang ilmu, namun kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat
dalam rangka spesialisasi.
Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan
masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi
manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di
samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia
untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia.
Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan
memahami semua ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo, 1982).
2) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan
segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam
melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang
mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya.
Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa dampak ilmuwan tidak
mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang spesialis bisa berada
dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari rumpun keilmuannya
atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya otonom dan
paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak
tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan
bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu
diperoleh dari ilmu- ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu
spesialis yang dipelajari atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu
pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada
manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai
terasing dari sesamanya dan bahkan dari dirinya karena terbelenggu oleh
ilmunya yang sempit. Dalam praktik ilmu spesialis kurang memberikan
orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah dunia ekonomi,
politik, moral, kebudayaan, ekologi dll. Persoalan tersebut bukan berarti
tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir jika ada kerjasama
ilmuilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak
akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan
memudahkan penempatan tiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan
manusia. Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia
dan segala kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan
memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat
sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan akhir
apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri.
B) Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah pemikiran : apakah ada kaitan antara moral
atau etika dengan ilmu pengetahuan dan saat mana dalam pengembangan ilmu
memerlukan pertimbangan moral/etik. Akhir-akhir ini banyak dibahas dalam
segi etika dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini
adalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita mau
menyebarkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu
pengetahuan yang semakin dikembangkan perlu “sapa menyapa” dengan
etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral?.
Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh.
Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kaitannya dengan manusia. Kedua, membicarakan dimensi
etis serta kriteria etis yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa
pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar dari permasalahan yang
muncul.
1.) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguh menepati janji awalnya
200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan
akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar
merupakan sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami
sekitar 1800-1900-an dengan menyediakan ketrampilan "know how" yang
memungkinkan manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung
pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus
dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri
(secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini.
Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan
itu menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi
manusia. Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan
genetis, problem mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi
keterbatasannya. Ia butuh kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin
ilmunya sendiri. Kompleksitas permasalahan dalam pengembangan ilmu
dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama persoalan
keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi manusia.
2.) Akibat teknologi pada perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen penerapan
kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan
kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang
dikehendaki oleh si pengatur (the ability to get some one to do one's
bidding). Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini
mengakibatkan munculnya masalah-masalah etis seperti berikut :
a) Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan
kemampuan perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi
syaraf otak melalui "psychosurgery's infuse" kimiawi, obat bius
tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang secara baru bagian-
bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun. Kalau
begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang
kemusnahan.
b) Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang
kelakuan manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah
melalui iklan atau media lain.
c) Pemahaman "njlimet" tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis,
rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat
untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV)
untuk mengatur kelakuan manusia.
d) Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang
dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik
muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang
dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut
kehendak si pengontrol.
Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher.
Bagi Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi
manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia
adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian
teknologi modern condong mengasingkan manusia dari eksistensinya
sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak mengalami kepuasan dalam
bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan tenaga-tenaga
mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).

E. Nilai Ketuhanan sebagai Dasar Nilai dalam Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan
manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik
dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan
dan memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan nilai
ketuhanan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan nilai ketuhanan suatu sumber
orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam konteks nilai ketuhanan sebagai dasar
nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis
berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak
mengenal titik henti, atau "an unfinished journey".
Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi
epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok
ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam
mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu
ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka
diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun kultural.

Anda mungkin juga menyukai