Anda di halaman 1dari 23

SEKRETARIAT JENDERAL

DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL


____________________________________________

EXECUTIVE SUMMARY
PENYELENGGARAAN PEMILU 1999
YANG BEBAS DAN BERSIH (FREE AND FAIR) SERTA AMAN
DALAM RANGKA MENUMBUHKAN BUDAYA POLITIK YANG DEMOKRATIS

JAKARTA, APRIL 1999


0
SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL
____________________________________________

EXECUTIVE SUMMARY
PENYELENGGARAAN PEMILU 1999
YANG BEBAS DAN BERSIH (FREE AND FAIR) SERTA AMAN
DALAM RANGKA MENUMBUHKAN BUDAYA POLITIK YANG DEMOKRATIS

PENDAHULUAN

1. Selama Orde Baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan enam kali Pemilihan
Umum. Di satu sisi Pemilu tersebut telah dapat dilaksanakan sesuai jadwal,
menghasilkan pemerintahan yang stabil, namun demikian pada perkembangan
dekade terakhir semakin mencuat opini masyarakat yang terbentuk melalui para elit
politik di luar lingkaran kekuasaan yang menilai bahwa Pemilu selama ini penuh
dengan rekayasa penguasa dan penuh kecurangan.
2. Pemilu 1999 yang akan dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 merupakan salah
satu tonggak penting dalam sistim kehidupan nasional Indonesia . Pemilu yang
diniatkan dapat diselenggarakan secara bebas, bersih serta aman, diyakini akan
semakin menumbuhkan perkembangan demokrasi dan budaya politik Indonesia.
Pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 mengakar kepada aspirasi masyarakat, legal
karena memenuhi semua aturan serta diakui (legitimate).
3. Hal di atas adalah wajar dan alamiah, yang menjadi persoalan adalah bagaimana
Pemilu tersebut dapat terselenggara secara aman, lancar, jurdil, luber, demokratis
dan fair (bersih). Kata kunci fair dan aman inilah yang harus diupayakan oleh semua
pihak agar pemilu berjalan sesuai rencana, apapun hasilnya dapat diterima oleh
pihak-pihak yang bersangkutan baik yang kalah maupun yang menang.

EVALUASI PEMILU 1997

1. Kekurangan
a. Instrumen pengatur memberi peluang kepada salah satu OPP untuk lebih
memberi keuntungan.
b. Pelaksanaan pemilu, salah satu OPP lebih menikmati hasil perolehan suara.
c. Kampanye pemilu, banyaknya insiden dan kerusuhan serta gejolak sosial.
d. Penghitungan suara, terjadi protes dari OPP yang merasa dirugikan.

2. Keberhasilan
a. Pemilu 1997 tepat waktu.
b. Pemilu 1997 berhasil menarik 90.58% pemilih.
c. Tahapan pemilu 12 tahap sehingga sanggup mengakomodasikan semua
kebutuhan pemilu.

1
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

1. Faktor yang mendukung / positif:


a. Telah tersedianya Undang-Undang tentang Pemilu.
b. Telah disusunnya organisasi pemerintah dan atau swasta yang berkaitan
langsung dengan Pemilu antara lain KPU, PPI, Panwaslak, KIPP dan Unfrel
(University Network for Free and Fair Election).
c. Telah ditetapkannya OPP yang ikut pemilu sebanyak 48 buah.
d. Tengah disusun produk peraturan yang merupakan penjabaran
dari UU NO.3 tahun 1999 tentang Pemilu oleh pemerintah, KPU maupun PPI
(KPU 34 buah, PPI 2 buah, Pemerintah 2 Keppres dan 2 Kep. Mendagri, jumlah
seluruhnya 40 buah).
e. Berkembangnya kesadaran politik masyarakat dan organisasi politik sebagai
infra struktur penyalur aspirasi politik masyarakat.
f. Besarnya perhatian dunia Internasional terhadap perkembangan demokrasi di
Indonesia dan banyaknya bantuan positif dari negara asing terhadap
penyelenggaraan Pemilu 1999.

2. Faktor yang menghambat / negatif :


a. Terbatasnya waktu yang tersedia untuk persiapan pemilu dihadapkan kepada
kompleknya permasalahan yang harus dipecahkan.
b. Peralihan tanggung jawab organisasi penyelenggaraan pemilu dari Pemerintah
kepada badan independen di luar pemerintah yaitu KPU merupakan hal yang
sama sekali baru, belum tersedianya perangkat pendukung peraturan
perundang-undangan serta belum tumbuhnya budaya organisasi dari KPU.
c. Masih terdapatnya polemik tentang partai politik yang tidak lolos verifikasi,
penggunaan tinta sebagai tanda bagi pemilih yang telah menggunakan hak
pilihnya, citra independen dan bebas organisasi penyelenggara pemilu dari
intervensi kekuasaan.
d. Belum tumbuhnya budaya politik yang dapat menerima kekalahan sebagai
kondisi nyata dari iklim kompetisi politik dan belum tumbuhnya tradisi sirkulasi
kekuasaan (mempertahankan status quo).
e. OPP belum mempunyai basis politik yang dipersiapkan secara baik dan mantap.
f. Perubahan metoda pendaftaran pemilih dari stelsel pasif menjadi stelsel aktif,
cukup memberatkan calon pemilih sehingga dapat mengurangi intensitas
pendaftaran pemilih.
g. Dispersi keberadaan Parpol yang tidak merata diseluruh wilayah RI dihadapkan
kepada banyaknya tanda gambar OPP pada kertas suara, dapat mengacaukan
hak pilih masyarakat.
h. Banyaknya tanda gambar OPP yang hampir sama dapat menimbulkan
kesalahan pemilih dalam menentukan pilihannya.
Faktor-faktor di atas baik yang mendukung/positif maupun yang
menghambat/negatif harus menjadi perhatian pihak-pihak yang berkepentingan,
agar upaya untuk merencanakan persiapan pemilu dan penyelenggaraannya dapat
menghasilkan kinerja yang optimal.
2
ANALISIS

1. Tolok Ukur Pemilu yang aman dan fair :


a. Fair adalah bersih, terbuka, adil, jujur, bebas dari kecurangan dan
pelaksanaannya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hakekat fair
bekerja pada dimensi psikologis dengan tujuan agar barang siapapun akan
dapat menerima hasil akhir pemilu dengan lapang dada.
b. Aman adalah lancar, tertib, tenang, bebas dari segala macam gangguan baik
fisik maupun psikologis. Hakekat aman adalah terciptanya rasa aman dan
keamanan selama persiapan penyelenggaraan dan paska Pemilu. Semua pihak
bebas dari rasa takut dan tekanan dengan demikian seluruh pemilih dapat
menggunakan hak pilihnya dengan bebas.

2. Paradigma Pemilu Fair dan Aman


a. Partisipasi aktif masyarakat
c. The rule of the game
d. Tim wasit yang independen
e. Proses hukum dan sanksi hukum yang jelas dan tegas bagi barang siapapun
pelanggar pemilu
f. Pengamanan yang mampu menerapkan manajemen konflik.

3. Prasyarat
a. Pegawai Negeri Sipil dan ABRI harus netral, tidak berpihak pada salah satu
OPP.
b. Sosialisasi/penerangan tentang pemilu lewat media cetak maupun elektronik
dilaksanakan secara berlanjut.
c. Ketaatan OPP, pemerintah dan pelaku-pelaku pemilu terhadap peraturan
pelaksanaan kampanye, pemungutan suara dan penghitungan suara.
d. Penyelenggaraan kampanye yang tidak memancing emosi masyarakat dan
bentrokan fisik antara OPP.
e. Pemilu diselenggarakan oleh komite yang independen (KPU) dan diwasiti
dipantau/diawasi oleh panitia pengawasan yang independen pula ( Panwaslu
dan KIPP).
f. Pemilu dilengkapi peraturan perundangan yang secara jelas dan lugas dapat
mengatur penyelenggaraannya serta sanksi hukum yang jelas bagi peserta yang
melakukan pelanggaran.
g. Pemilu dilengkapi lembaga peradilan yang bebas dari intervensi penguasa.
h. Masyarakat diberi peluang untuk turut serta mengawasi langsung mulai dari
proses pendaftaran calon pemilih, kampanye pencoblosan tanda gambar,
perhitungan suara disetiap TPS dan komputerisasi data-data penghitungan
suara secara nasional.

4. Skenario
a. Persiapan pemilu gagal, berarti pemilu secara keseluruhan akan gagal.

3
b. Persiapan pemilu berhasil namun pelaksanaannya cacat politik, sebagian besar
OPP tidak mengakui hasil pemilu termasuk partai yang tergolong “besar”
(sembilan parpol), berarti pemilu gagal.
c. Persiapan pemilu berhasil, proses pemilu tidak cacat sebagian besar partai
politik, khususnya partai politik tergolong besar menerima hasil pemilu, berarti
pemilu berhasil namun ada keberatan dari beberapa parpol yang mengalami
“kekalahan”.
d. Persiapan pemilu berhasil, proses pemilu tidak cacat, hasil pemilu diterima oleh
seluruh OPP berarti pemilu berhasil baik.

5. Kerawanan Pemilu 1999 yang menonjol


a. Pencalonan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II kemungkinan terlibat money
politic, KKN atau atas pesanan.
b. Kampanye yakni metoda, mekanisme, prosedur kampanye yang mengutamakan
pengerahan massa, tema kampanye yang memancing emosi, kampanye
terselubung, intimidasi dan teror.
c. Pencoblosan tanda gambar dan penghitungan suara yang diselenggarakan
secara curang, pemilih tidak diberi surat panggilan manipulasi perhitungan
suara, jual beli suara (Money Politics), Intimidasi, ancaman dan teror.
d. Pengambilan sumpah janji anggota DPR, DPRD I dan DPRD II serta Sidang
Umum MPR 1999.
1) Unjuk rasa pada saat pengambilan sumpah janji anggota DPR baik di daerah
maupun di pusat.
2) Pemilihan Presiden/Wakil Presiden akan rawan unjuk rasa dari kelompok-
kelompok yang tidak menyetujui calon Presiden dan Wakil Presiden.

6. Langkah Tindak
a. Pemerintah mencegah sedini mungkin setiap tindakan dan barang siapapun
yang berniat melakukan pemihakan, intimidasi, teror, ancaman, money politics
agar Orpolnya mendapat suara terbanyak.
b. Pemerintah dan OPP mengupayakan pendidikan politik dalam rangka
menumbuhkan kesadaran para pemilih bahwa penggunaan hak pilihnya adalah
LUBER atas panggilan hati nuraninya dan tak ada satupun kekuatan yang dapat
mengarahkan hak pilih yang bersangkutan untuk memilih parpol yang bukan
pilihannya.
c. Pemerintah mensosialisasikan melalui upaya yang intensif agar birokrat, PNS
dan ABRI netral/tak memihak salah satu parpol.
d. Pemerintah, KPU, dan Panwaslu membuka peluang sebesar-besarnya agar
masyarakat proaktif dan secara sukarela menjadi pemantau Pemilu.
e. Organisasi penyelenggara pemilu, pemerintah dan OPP membuat kesepakatan
dan menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan agar kampanye
pemilu diselenggarakan secara cerdas, proaktif, simpatik, dialogis, berorientasi
pada program dan menghindari sekecil-kecilnya pengerahan massa. (Kampanye
cerdas adalah kampanye yang menawarkan program pemenuhan kebutuhan
mendasar pada segmen “pasar” pemilih tertentu. Kampanye proaktif adalah
kampanye yang dilakukan oleh sekelompok pemilih terorganisir yang

4
mengajukan kebutuhan program organisasinya yang ditawarkan kepada OPP,
bila OPP yang bersangkutan berpeluang untuk dipilih).
f. Semua pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu menghargai,
menghormati kebiasaan, nilai, norma, tatakrama, adat istiadat yang berlaku di
lingkungan wilayah setempat.
g. Para petugas resmi yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu harus
dilengkapi dan menunjukkan atribut tanda pengenalnya pada tempat yang
sejelas-jelasnya serta senantiasa berperilaku sopan santun serta memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. Sebaliknya dalam menjalankan tugas yang
bersangkutan tidak menggunakan/memakai atribut atau pakaian tertentu yang
dapat mempengaruhi opini pemilihan dalam memberikan suaranya/mencoblos di
TPS nya.
h. Pemerintah, KPU dan Panwaslu mencegah terjadinya “Disinformasi”, mencegah
penyebarluasan informasi mengenai Pemilu yang tak jelas sumbernya dan tak
dijamin kebenarannya. Sebaliknya transparansi/keterbukaan yang “sah”
merupakan salah satu jaminan agar masyarakat mendapat informasi yang
dibutuhkannya secara mudah, cepat dan dapat dipercaya. Semua informasi
yang disebarluaskan telah melalui uji coba verifikasi, dijamin validitasnya, bisa
dipertanggungjawabkan oleh pejabat, badan, organisasi yang mendapat otoritas
untuk itu.

PENUTUP

Demikian Executive Summary ini disusun sebagai bahan masukan bagi Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi pada saat persiapan, penyelenggaraan dan paska pemilu tahun 1999.
Pemilu tahun 1999 adalah pemilu pertama pada era Reformasi menuju demokrasi
yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, untuk itu perlu dukungan penuh dari
semua pihak untuk mensukseskannya.

SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL

5
SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL
_________________________________________

PENYELENGGARAAN PEMILU 1999


YANG BEBAS DAN BERSIH (FREE AND FAIR) SERTA AMAN
DALAM RANGKA MENUMBUHKAN BUDAYA POLITIK YANG DEMOKRATIS

JAKARTA, APRIL 1999


SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL
_________________________________________

PENYELENGGARAAN PEMILU 1999


YANG BEBAS DAN BERSIH (FREE AND FAIR) SERTA AMAN
DALAM RANGKAMENUMBUHKAN BUDAYA POLITIK YANG DEMOKRATIS

PENDAHULUAN
bersih). Kata kunci fair dan aman inilah yang harus diupayakan oleh semua pihak
agar pemilu berjalan sesuai rencana, apapun hasilnya dapat diterima oleh pihak-pihak
yang bersangkutan baik yang kalah maupun yang menang.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

Keberhasilan Pemilu 1999 amat ditentukan oleh partisipasi aktif setiap pihak yang
mempunyai kepentingan terhadap persiapan, penyelenggaraan maupun
penyelesaiannya. Mengingat jangka waktu yang tersedia amat sempit untuk
melaksanakan persiapan dan penyelenggaraannya, perlu diindra beberapa faktor yang
akan mempengaruhinya baik yang bersifat mendukung/positif maupun yang bersifat
menghambat/ negatif.

1. Faktor yang mendukung/positif:


a. Telah tersedianya Undang-Undang tentang Pemilu
b. Telah disusunnya organisasi pemerintah dan atau swasta yang berkaitan
langsung dengan Pemilu antara lain KPU, PPI, Panwaslak, KIPP dan Unfrel
(University Network for Free and Fair Election).
c. Telah ditetapkannya OPP yang ikut pemilu sebanyak 48 buah.
d. Tengah disusun produk peraturan yang merupakan penjabaran dari UU NO.3
tahun 1999 tentang Pemilu oleh pemerintah, KPU maupun PPI (KPU 34 buah,
PPI 2 buah, Pemerintah 2 Keppres dan 2 Kep. Mendagri, jumlah seluruhnya 40
buah). Daftar terlampir.
e. Berkembangnya kesadaran politik masyarakat dan organisasi politik sebagai
infra struktur penyalur aspirasi politik masyarakat.
f. Besarnya perhatian dunia Internasional terhadap perkembangan demokrasi di
Indonesia dan banyaknya bantuan positif dari negara asing terhadap
penyelenggaraan Pemilu 1999.

2. Faktor yang menghambat / negatif:


a. Terbatasnya waktu yang tersedia untuk persiapan pemilu dihadapkan kepada
kompleknya permasalahan yang harus dipecahkan.
b. Peralihan tanggung jawab organisasi penyelenggaraan pemilu dari Pemerintah
kepada badan independen di luar pemerintah yaitu KPU merupakan hal yang
sama sekali baru, belum lengkapnya perangkat pendukung peraturan
perundang-undangan serta belum tumbuhnya budaya organisasi dari KPU.
1
c. Masih terdapatnya polemik tentang :
1) Boleh tidaknya menteri berkampanye.
2) Dua belas partai Politik yang tidak lolos verifikasi namun tetap menuntut
untuk tetap ikut pemilu.
3) Distribusi dana bantuan Pemilu agar adil seadil-adilnya.
4) Transparansi penggunaan dana Pemilu.
5) Penggunaan tinta sebagai tanda bagi pemilih yang telah menggunakan hak
pilihnya, dipandang tidak sesuai dengan syariat agama Islam karena dapat
membatalkan wudhu.
6) Model kampanye yang menggunakan pengerahan massa.
7) KPU yang mampu menampilkan citra independen dan bebas dari intervensi
kekuasaan.
d. Belum tumbuhnya budaya politik yang dapat menerima kekalahan sebagai
kondisi nyata dari iklim kompetisi politik dan belum tumbuhnya tradisi sirkulasi
kekuasaan (mempertahankan status quo).
e. OPP belum mempunyai basis politik yang dipersiapkan secara baik dan mantap.
f. Perubahan metoda pendaftaran pemilih dari stelsel pasif menjadi stelsel aktif,
cukup memberatkan calon pemilih sehingga dapat mengurangi intensitas
pendaftaran pemilih.
g. Dispersi keberadaan Parpol yang tidak merata diseluruh wilayah RI dihadapkan
kepada banyaknya tanda gambar OPP pada kertas suara, dapat mengacaukan
hak pilih masyarakat.
h. Banyaknya tanda gambar OPP yang hampir sama dapat menimbulkan
kesalahan pemilih dalam menentukan pilihannya.
Faktor-faktor di atas baik yang mendukung/positif maupun yang
menghambat/negatif harus menjadi perhatian pihak-pihak yang berkepentingan,
agar upaya untuk merencanakan persiapan pemilu dan penyelenggaraannya dapat
menghasilkan kinerja yang optimal.

PEMILU YANG DIHARAPKAN

Penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan aspirasi rakyat adalah pemilu yang
sebesar-besarnya memberi peluang kepada masyarakat untuk turut serta aktif, seluruh
kegiatannya jujur, adil, bebas, rahasia, demokratis, aman, bersih, sehingga hasil pemilu
dapat menciptakan pemerintahan yang legal dan legitimate. Penyiapan pemilu yang
lebih baik dan sesuai dengan aspirasi rakyat, mensyaratkan semua pihak yang
berkepentingan perlu memperhatikan hal-hal yang kurang baik pada pemilu yang lalu.

1. Evaluasi pemilu 1997.

a. Kekurangan :
Opini negatif masyarakat terhadap Pemilu 1997, terbentuk oleh beberapa
faktor antara lain masyarakat pada umumnya merasa bahwa nuansanya
monoton dan Golkar selalu menang apalagi bila sementara opini rakyat
terbentuk oleh tindakan dan perbuatan Golkar dibalik kemenangan itu sendiri,
2
tidak demokratis. Kondisi ini menimbulkan kesan statis, tidak ada perubahan
berarti, khususnya bagi pihak yang kalah. Timbul berbagai pemikiran, tindakan,
prasangka dan hujatan bahwa penyelenggaraan pemilu penuh dengan
rekayasa, curang, tidak jurdil, ABRI dan PNS tidak netral. Hal ini bertentangan
dengan hakekat demokrasi.
Berbagai indikasi signifikan yang mendukung penilaian di atas antara lain :
1) Dari segi instrumen pengatur, memberi peluang kepada salah satu OPP untuk
memanfaatkan pembuatan peraturan perundang-undangan yang
menguntungkan dirinya, langsung maupun tak langsung mendiskriminasi,
membatasi ruang gerak OPP lainnya serta menghambat partisipasi aktif
masyarakat.
2) Dari segi pelaksanaan pemilu, memberi peluang kepada salah satu OPP
untuk menikmati hasil perolehan suara sebab penyelenggara Pemilu
merupakan hak eksklusif pemerintah, menutup keterlibatan OPP lain dan
masyarakat serta LSM untuk mengawasi Pemilu. Demikian pula keterlibatan
langsung ABRI dalam penyelenggaraan Pemilu mulai dari tingkat pusat
sampai tingkat daerah dinilai membatasi peluang OPP lainnya, masyarakat
dan LSM untuk turut serta dalam pengawasan.
3) Dari segi kampanye pemilu 1997, telah disarati oleh berbagai insiden,
kerusuhan, gejolak sosial, tindakan, kekerasan dan kerusuhan sehingga
menimbulkan kerugian material dan korban jiwa. Kampanye monologis yang
mengandalkan pengerahan massa, tema kampanye yang memancing
kemarahan, juru kampanye yang membakar emosi turut memicu terjadinya
insiden.
4) Dari segi perhitungan suara, telah diwarnai protes terhadap kecurangan
seperti antara lain pencoblosan dua kali, intimidasi dan teror kepada pemilih,
perhitungan suara diluar jadwal yang ditentukan, penggantian surat suara,
penggantian kotak suara, mengabaikan saksi kartu suara rusak dan
dinyatakan tak sah, coblosan lebih dari satu pada satu kartu suara , kartu
suara tanpa coblosan (Golput). Pada ujungnya memunculkan reaksi keras
dari PPP dan PDI, semula tak mau menanda tangani berita acara hasil total
perhitungan suara, mengundang maraknya protes masyarakat, kerusuhan di
Sampang yang mengakibatkan diulanginya pemungutan suara. Namun pada
akhirnya PPP dan PDI menerima hasil dengan catatan:
a) Pemilu 1997 kualitasnya tidak lebih baik dari Pemilu sebelumnya.
b) Desakan kepada penegak hukum dan pengadilan untuk memproses
secara hukum terhadap setiap pelanggar Pemilu.
c) Merevisi 5 paket UU tentang Politik.
Fenomena munculnya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)
merupakan reaksi masyarakat terhadap prasangka diatas, sebagai suatu
lembaga swadaya masyarakat KIPP bertujuan untuk memonitoring dan
mengawasi berbagai bentuk kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Selama
KIPP dapat menjaga kenetralan dan steril dari pengaruh kepentingan politik
tertentu serta tidak dibangun di atas prasangka emosi dan ketidak percayaan
yang luar biasa terhadap pemerintah, KIPP dapat memainkan peran yang positif
yaitu sebagai penilai yang “jujur dan bersih”.

3
b. Keberhasilan.
1) Pemilu 1997 dapat diselenggarakan tepat waktu sesuai rencana, hal ini
berarti bahwa pemerintah Indonesia dapat menyelenggarakan siklus Pemilu
secara teratur.
2) Pemilu 1997 telah berhasil menarik 90,58 persen pemilih yang terdaftar
untuk menggunakan hak pilihnya.
3) Tahapan pemilu (12 tahap) membuka peluang kepada setiap WNI yang
mempunyai hak pilih untuk turut serta dalam Pemilu.
Berdasarkan kekurangan dan keberhasilan di atas adalah sangat wajar dan
manusiawi apabila semua pihak yang berkepentingan dengan perkembangan sistim
politik Indonesia mengidamkan agar pemilu 1999 lebih maju dan berkualitas, yang
diselenggarakan secara aman, lancar, jurdil, luber, demokratis dan fair.

2. Harapan positif pada pemilu 1999


Pemilu 1999 adalah “salah satu” ajang uji coba proses kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam menumbuhkan sendi-sendi demokrasi. Semua pihak dituntut
mempunyai niat yang sungguh-sungguh serta berupaya sekuat tenaga untuk
berpartisipasi aktif mengawasi dan meningkatkan mutu melalui Pemilu yang
berjalan “aman, lancar, luber, demokratis dan bersih”.
Bangsa Indonesia dapat berlatih berdemokrasi antara lain dalam koridornya
hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia sebagaimana telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pemilu yang fair adalah prasarat mutlak
demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Dari pemerintahan yang
demokratis akan lahir stabilitas politik, dari stabilitas politik akan tumbuh
kepercayaan pelaku usaha dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasinya.
Dari sini akan tumbuh tenaga pendorong sendiri (Self propelled and
autonomouse force) untuk membangkitkan ekonomi nasional yang terpuruk. Apabila
ini berhasil optimis kesejahteraan bangsa Indonesia akan pulih dan tumbuh
kembali.
Persoalannya apakah benar bahwa stabilitas politik akan otomatis terjamin bila
pemilu 1999 terselenggara dengan aman, lancar, jurdil, demokratis dan fair. Banyak
pihak yang masih meragukan kebenaran ini karena bangsa Indonesia belum cukup
matang dalam berdemokrasi dan belum mampu menjadi pelaku demokrasi yang
dapat menerima kekalahan (Good and gentelmen looser). Kekalahan bagi sebagian
kecil bangsa Indonesia merupakan aib, sehingga kekalahan tersebut harus ditebus
dengan perilaku yang bila perlu melanggar hukum norma, etika dan moral.
Dari kenyataan ini pendidikan politik dapat merupakan salah satu jawaban
penting agar dalam hingar-bingarnya pertumbuhan demokrasi setiap pihak mampu
dan siap untuk menerima perbedaan pendapat bahkan kekalahan, karena
pendapatnya atau konsepnya tidak dapat diterima orang banyak.
Untuk menumbuhkan kondisi “fair” sudah dapat dipastikan bukan terletak pada
pemerintah, salah satu alasannya adalah “pemerintah paska Soeharto belum
mendapat kepercayaan rakyat, minimal dari oposan dan atau dari pihak-pihak yang
tak (mau) peduli”. Untuk menjamin agar pemilu berjalan aman, deteksi dini, cegah
dini dan tanggulangi dini setiap aparatur keamanan.
Oleh sebab itu penyelenggaraan pemilu dengan berbagai atribut di atas harus
dilaksanakan dengan membuka “peluang sebesar-besarnya” bagi masyarakat untuk
4
berpartisipasi aktif di dalamnya. Peluang tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh
“kelompok kepentingan tertentu (Interests group) mutlak diperlukan adanya aturan
main (The rule of the game) yang disepakati bersama serta mempunyai kekuatan
hukum dan terutama harus dilengkapi “proses hukum dan sanksi hukum” bagi
“barang siapapun” yang melakukan pelanggaran. Untuk memenuhi tuntutan
tersebut diperlukan adanya Tim Wasit yang independen.
Berdasarkan logika di atas maka paradigma Pemilu yang fair dan aman
setidaknya ditentukan oleh :
a. “Partisipasi aktif masyarakat”
b. “The rule of the game”
c “Tim wasit yang independen”
d. “Proses hukum dan sanksi hukum yang jelas dan tegas bagi barang
siapapun pelanggar pemilu”
e. “Pengamanan yang mampu menerapkan manajemen konflik”.

ANALISIS

Tolok Ukur Pemilu yang aman dan fair sebagai berikut :


1. Fair adalah bersih, terbuka, adil, jujur, bebas dari kecurangan dan harus sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Hakekat fair bekerja pada dimensi psikologis
dengan tujuan agar barang siapapun akan dapat menerima hasil akhir pemilu
dengan lapang dada.
2. Aman adalah lancar, tertib, tenang, bebas dari segala macam gangguan baik fisik
maupun psikologis. Hakekat aman bekerja pada dimensi fisik, yaitu terciptanya rasa
aman dan keamanan selama persiapan penyelenggaraan dan paska Pemilu.
Semua pihak bebas dari rasa takut dan tekanan dengan demikian seluruh pemilih
dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas.
Pemilu 7 juni 1999 adalah salah satu jawaban atas amanat reformasi, pemilu ini
diharapkan dapat menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin nasional yang memiliki
legitimasi, kredibel serta mengakar kepada rakyat. Terdapat lima butir penting yang
terkandung dalam undang-undang tentang pemilu dan peraturan lain yang terkait, yang
dapat menjamin pelaksanaan pemilu luber dan jurdil antara lain :
1. Pemilu tidak diselenggarakan secara monopolistik oleh pemerintah tetapi
dilaksanakan secara gabungan antara wakil dari parpol/OPP dan wakil pemerintah
dalam posisi yang setara, menjamin suara yang berimbang mulai dari tingkat pusat
sampai ke TPS.2.
2. Netralitas pegawai negeri dijamin melalui PP No. 5/1999 yang disempurnakan
dengan Undang-Undang nomor 12/1999.
3. Undang-Undang tentang Pemilu dan Undang-Undang tentang Parpol telah
mengatur pihak mana saja yang dapat memberi sumbangan dana, jumlah minimal
yang harus dilaporkan, jumlah maksimal yang boleh diterima dan bagaimana
mekanisme audit dan pertanggung jawabannya agar dapat menghindari politik
uang.

5
4. Pengawas pemilu dilaksanakan oleh Panwaslu yang keanggotaannya meliputi
kejaksaan, OPP, pemantau pemilu dari masyarakat, KIPP, UNFREL, Perguruan
Tinggi, mahasiswa dan pemantau dari luar negeri.
5. Perhitungan suara dilakukan secara langsung di TPS disaksikan oleh Panwaslu dan
pemantau serta hasilnya disyahkan melalui sertifikat hasil perhitungan suara.
Berdasarkan logika di atas maka untuk menyelenggarakan pemilu yang fair
diperlukan prasyarat sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri Sipil dan ABRI harus netral, tidak berpihak pada salah satu OPP
2. Sosialisasi/penerangan tentang pemilu lewat media cetak maupun elektronik
dilaksanakan secara berlanjut.
3. Ketaatan OPP, pemerintah dan pelaku-pelaku pemilu terhadap peraturan
pelaksanaan kampanye, pemungutan suara dan penghitungan suara.
4. Penyelenggaraan kampanye yang tidak memancing emosi masyarakat dan
bentrokan fisik antara OPP.
5. Pemilu diselenggarakan oleh komite yang independen (KPU) dan dipantau/diawasi
oleh panitia pengawasan yang independen pula (KIPP).
6. Pemilu dilengkapi peraturan perundangan yang secara jelas dan lugas dapat
mengatur penyelenggaraannya serta sanksi hukum yang jelas bagi peserta yang
melakukan pelanggaran.
7. Pemilu dilengkapi lembaga peradilan yang bebas dari intervensi penguasa.
8. Masyarakat diberi peluang untuk turut serta mengawasi langsung mulai dari proses
pendaftaran calon pemilih, kampanye pencoblosan tanda gambar perhitungan
suara disetiap TPS dan komputerisasi data-data penghitungan suara secara
nasional.
Prasyarat di atas merupakan tuntutan minimal namun mutlak, apabila tidak, maka
pemilu 1999 akan gagal.
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang aman, bebas dan bersih,
sedikitnya ada 2 faktor yang perlu dipertimbangkan :

1. Faktor internal.
a. Perangkat peraturan perundang-undangan antara lain undang-undang tentang
politik, partai politik, KPU, KPPS, TPS dan para pelaku yang terlibat langsung
maupun tak langsung dengan pengawasan dan pemantauan pemilu belum
dijabarkan secara lebih rinci kedalam peraturan pelaksanaan. Upaya ini semakin
rumit apabila dihadapkan pada terbatasnya waktu yang tersedia. Upaya yang
tergesa-gesa dikhawatirkan dapat mengurangi kadar kualitas peraturan
pelaksanaan yang disiapkan.
b. OPP sejumlah 48 parpol tidak didukung basis dan ideologi politik yang mapan,
tidak mempunyai cukup waktu untuk mengembangkan basis politiknya sehingga
OPP ini cenderung untuk menjadi kerumunan politik (bukan barisan politik).
Dampaknya antara lain cenderung menjadi politik bendera, mengedepankan
simbol-simbol dan pengerahan masa, unjuk kekuatan, potensial menampilkan
budaya kekerasan, kurang memperhatikan program yang mampu
memperjuangkan aspirasi rakyat .

6
c. KPU sebagai lembaga tunggal penyelenggara pemilu dibentuk secara tergesa-
gesa, beranggotakan cukup besar (53 orang) dari berbagai latar belakang
sumber (heterogen) akibatnya sulit untuk pengambilan keputusan yang
berdasarkan kearifan guna menjamin kepentingan bersama.
d. Pengawas dan pemantau pemilu baik dari unsur resmi maupun unsur
sukarelawan dihadapkan kepada banyaknya jumlah TPS (320.000 buah)
tersebar tidak merata, banyak yang terpencil dan sulit terjangkau transportasi
serta tidak didukung oleh peralatan komunikasi yang memadai, membutuhkan
biaya dan upaya yang besar.
e. Masyarakat pemilih pada umumnya belum mendapatkan pendidikan politik yang
memadai, kesadaran politik masyarakat masih terdesak oleh pemenuhan
kebutuhan hidup keseharian. Dalam kondisi ini politik uang menjadi amat rawan.
Pendaftaran pemilih berdasarkan stelsel aktif belum membudaya sehingga
proses pendaftaran pemilih dihadapkan pada kemungkinan terlambat dan
banyak pemilih yang tidak mendaftar disamping kemungkinan besar dari para
pemilih trauma dengan pengalaman masa lalu. Pemilih yang bermukim di
perdesaan dan wilayah terpencil cenderung untuk melakukan pilihan terhadap
OPP yang selama ini menjadi pilihannya, meskipun situasi politik sudah
berubah.
f. Budaya politik sebagian besar masyarakat Indonesia dan partai politik baru
belum terbiasa dalam suasana perbedaan pendapat, perbedaan konsep,
perbedaan tradisi, belum terbiasa terlibat dalam iklim kompetisi yang sehat,
sebaliknya masih banyak yang menganut budaya politik subyektif, dirinyalah
yang paling baik dan benar.
g. Tradisi politik, sebagian besar elit politik belum terbiasa dan belum siap
menerima kekalahan dan mengakui kemenangan pihak lain. Pihak yang kalah
sering terjerumus ke dalam perilaku lebih baik kalah semua ketimbang ada
pemenang, dengan menghalalkan segala cara.

2. Faktor eksternal
a. Pemilu 1999 dihadapkan pada kondisi yang khas yaitu sebagian besar
masyarakat tengah dihadapkan pada kesulitan ekonomi, masalah politik, belum
pulihnya kepercayaan kepada pemerintah sebagai akibat krisis nasional. Kondisi
ini dapat dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan tertentu.
b. Kemudahan akses informasi baik dari dalam maupun luar negeri oleh sebagian
besar pelaku politik menimbulkan kondisi yang sangat rawan, potensial
menimbulkan kekerasan politik, risiko yang sulit diatasi dalam jangka pendek
khususnya apabila terjadi perbedaan persepsi antara yang bersangkutan
dengan pihak lawannya atau dengan pihak pemerintah.
c. Komunalisme dan primordialisme yang berbasis pada golongan, suku, ras dan
agama potensial menjadi kondisi yang sangat eksplosif terutama apabila
dihadapkan pada kondisi kritis.
d. Politik uang dari pihak kepentingan tertentu (interests group) yang ingin
memanfaatkan kondisi selama persiapan, pelaksanaan dan paska pemilu
melalui OPP yang diperkirakan dapat digunakan sebagai sarana menjamin
kepentingannya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas apabila pemilu tidak dapat dikelola secara
baik tidak mustahil dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Beberapa
7
kemungkinan yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan pemilu 1999 digambarkan
melalui 4 (empat) skenario besar sebagai berikut :
a. Persiapan pemilu gagal, berarti pemilu secara keseluruhan akan gagal.
b. Persiapan pemilu berhasil, namun pelaksanaannya cacat politik, sebagian
besar OPP tidak mengakui hasil pemilu termasuk partai yang tergolong “besar”
(sembilan parpol), berarti pemilu gagal.
c. Persiapan pemilu berhasil, proses pemilu selanjutnya tidak cacat, sebagian
besar partai politik khususnya partai politik tergolong besar menerima hasil
pemilu, berarti pemilu berhasil namun ada keberatan dari beberapa parpol yang
mengalami “kekalahan”.
d. Persiapan pemilu berhasil, proses pemilu selanjutnya tidak cacat, hasil pemilu
diterima oleh seluruh OPP berarti pemilu berhasil baik.
Dari skenario di atas diperkirakan akan terdapat berbagai kerawanan karena
kemungkinan gangguan baik secara politis, phisik atau psychologis oleh parpol yang
tidak ikut pemilu sebagai berikut :

1. Pendaftaran dan Penelitian Parpol (Persiapan Pemilu)


Pendirian parpol ke Notaris antara tanggal 1 s/d 3 Pebruari 1999 terdaftar 148
partai, Pendaftaran parpol ke Departemen Kehakiman pada tanggal 4 s/d 21
Pebruari 1999 terdaftar 141 partai. Pendaftaran dan penelitian parpol di
PERSIAPAN PEMILU pada tanggal 7 s/d 27 Pebruari 1999 lolos ikut pemilu 1999
sebanyak 48 partai.
Proses penentuan jumlah OPP yang lolos verifikasi sebanyak 48 dari 148
parpol yang telah mendaftar masih menimbulkan persoalan yang berkepanjangan,
antara lain dari 12 parpol yang menganggap dirinya kurang memenuhi syarat untuk
menjadi OPP, namun tidak lolos verifikasi, serta 98 parpol lainnya yang telah
mendaftar juga tidak lolos verifikasi, namun tetap menuntut sejumlah dana untuk
persiapan pemilu berikutnya.

2. Pendaftaran Pemilih
a. Pemalsuan identitas calon pemilih, adanya kemudahan membuat KTP dapat
menimbulkan peluang penyalahgunaan KTP ganda. Sebagaimana diatur oleh
pasal, 28 UUD No. 3/1999 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa calon
pemilih adalah WNRI yang pada tanggal 7 Juni 1999 telah berusia 17 tahun atau
sudah kawin.
b. Satu KTP digunakan lebih dari satu kali pendaftaran, peluang ini dapat terjadi
bila calon pemilih menyalahi aturan antara lain bila diwakilkan kepada orang lain.
c. Petugas panitia pemungutan suara (PPS) memaksa calon pemilih untuk
mendaftar.
d. Pemilih terdaftar tak diberi surat bukti pendaftaran berupa surat panggilan untuk
mencoblos, peluang ini dapat dimanfaatkan untuk menggugurkan hak pilih
seseorang yang diduga akan memilih PP tertentu.

3. Pencalonan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II


a. Kemungkinan terjadinya money politic untuk mendapatkan urutan di atas dalam
daftar calon.
b. Terjadinya praktek KKN
8
c. Munculnya calon karbitan atau perdasarkan pesanan.

4. Pencalonan, penyaringan dan penentuan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II.
a. Pemilihan kandidat oleh OPP yang bersangkutan melalui cara kronisme
akibatnya yang terpilih adalah bukan kandidat yang mempunyai integritas,
kredibilitas dan kapabilitas yang mampu mewakili rakyat banyak.
b. Praktek-praktek money politics mencemari demokrasi, beberapa praktek money
politics yang perlu diwaspadai antara lain penyuapan, jual beli suara, pemberian
hadiah yang diluar kewajaran, perjudian terhadap hasil pemilihan kandidat yang
difavoritkan.

5. Kampanye
a. Tema, topik, isu kampanye yang dapat memancing, memicu terjadinya tindakan
kekerasan yang berbau SARA bahkan dapat mengarah kepada perpecahan
bangsa.
b. Penggunaan fasilitas negara seperti bangunan gedung, kendaraan bermotor
milik pemerintah yang digunakan oleh salah satu OPP.
c. Keberpihakan PNS dan ABRI dalam salah satu OPP saja mencemari
netralitasnya dan menimbulkan ketidak adilan dan kecemburuan.
d. Penggunaan jadwal dan tempat kampanye yang tidak dipatuhi dapat
menimbulkan konflik kekerasan antar OPP.
e. Kampanye yang berlanjut ke masa tenang (dua hari sebelum pencoblosan).
f. Kampanye terselubung seperti “door to door campaign”.
g. Pengarahan kepada karyawan/personil organisasi tertentu, pertandingan olah
raga, peringatan upacara keagamaan, pertunjukan kesenian/budaya, pelayanan
sosial/kesehatan massal yang diwarnai nuansa Parpol tertentu.
h. Pemancangan tanda gambar Orpol tertentu baik di atas maupun berdampingan
dengan tanda gambar Orpol lainnya, mencabut tanda gambar Orpol lainnya dan
mengganti dengan tanda gambar Orpolnya sendiri.
i. Intimidasi dan teror yang dilaksanakan melalui telpon, pengeras suara mobil,
arak-arakan massa dengan yel-yel bernada ancaman yang berlangsung melalui
wilayah simpatisan Orpol lainnya.

6. Masa Tenang
a. Penurunan bendera partai, pelepasan gambar-gambar dan atribut-atribut partai
dikhawatirkan menimbulkan keributan antar partai apabila tidak diawasi oleh
petugas KPU dan atau Panwaslu.
b. Adanya partai-partai yang tidak mematuhi peraturan sehingga bendera partai,
gambar-gambar dan atribut partai tidak semua bersih pada masa tenang.
c. Masih berlangsungnya kampanye.

7. Pemungutan suara (pencoblosan tanda gambar) dan penghitungan suara.


a. Pengerahan massa pendukung OPP tertentu di TPS-TPS untuk mempengaruhi,
mengintimidasi, memaksa calon pemilih agar memilih Orpolnya.

9
b. Penggunaan hak pilih lebih dari satu kali oleh satu orang pemilih baik di TPS
yang sama maupun TPS yang berlainan.
c. Pemilih yang sudah mendaftar tidak diberi surat panggilan sehingga tak dapat
menggunakan hak pilihnya.
d. Memasukkan tanda gambar yang dicoblos oleh pemilih yang bukan haknya
(oleh PPS) terutama di TPS mobil, TPS terpencil.
e. Manipulasi perhitungan suara
f. Jual beli suara (Money Politics)
g. Intimidasi, ancaman teror baik terhadap petugas PPS dan saksi resmi maupun
terhadap saksi relawan dan atau masyarakat.
h. Perhitungan suara bukan di TPS tetapi di tempat lain.
i. Waktu perhitungan suara tenggang waktunya terlampau lama dari selesainya
pencoblosan.
j. Manipulasi komputerisasi hasil penjumlahan perhitungan suara antar TPS (baik
secara regional maupun nasional).

8. Perhitungan suara serta penetapan hasil pemilu


a. Intimidasi, teror, ancaman terhadap seseorang atau masyarakat agar tidak mau
dan tidak dapat menjadi pemantau atau saksi (resmi) perhitungan suara.
b. Salinan hasil perhitungan suara tidak diberikan kepada saksi resmi sehingga
membuka peluang manipulasi perhitungan suara antar TPS (di Kelurahan,
Kecamatan dst).

9. Penetapan dan pemberitahuan kepada calon terpilih


a. Mengganti “calon jadi” oleh OPP yang bersangkutan sebagai akibat dari money
politic, KKN dan adanya tekanan.
b. Keterlambatan pemberitahuan dapat mengakibatkan dampak berantai.

10. Pengucapan Sumpah Janji Anggota DPR, DPRD I dan DPRD II serta Sidang
Umum MPR 1999.
a. Unjuk rasa pada saat pengambilan sumpah janji anggota DPR baik di daerah
maupun di pusat. Hal ini dimungkinkan dengan kekurangsiapan masyarakat
OPP menerima kekalahan.
b. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden akan rawan unjuk rasa dari kelompok-
kelompok yang tidak menyetujui calon Presiden dan Wakil Presiden.
Catatan :
1. Pertimbangan : Urutan tersebut di atas diubah dari semula tujuh tahap menjadi 10
tahap disusun untuk menjamin agar jadwal dan langkah-
langkah pemilu lebih rinci.
2. Dasar hukum : Peraturan KPU Nomor : 11/1999.

10
Beberapa Langkah Tindak Untuk Mengurangi Kerawanan.
Beberapa kerawanan yang telah dianalisis di atas apabila tidak mampu dideteksi,
diantisipasi dan dicegah sedini mungkin tidak mustahil akan dapat mengarah ke kondisi
yang dapat mengganggu kelancaran tahap-tahap penyelenggaraan Pemilu.
Agar supaya penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan aman, lancar, jurdil, luber,
demokratis dan fair maka perlu ditempuh beberapa langkah tindakan proaktif yang
dilakukan oleh KPU, PPS masyarakat umum, mahasiswa Panwas resmi dan saksi
resmi serta PNS, ABRI sebagai berikut :
1. Pemerintah mencegah sedini mungkin setiap tindakan dan barang siapapun yang
berniat melakukan niat dan upaya menggagalkan, intimidasi, teror, ancaman,
money politics agar Orpolnya mendapat suara terbanyak.
2. Pemerintah dan OPP mengupayakan pendidikan politik dalam rangka
menumbuhkan kesadaran para pemilih bahwa penggunaan hak pilihnya adalah
LUBER atas panggilan hati nuraninya dan tak ada satupun kekuatan yang dapat
mengarahkan hak pilih yang bersangkutan untuk memilih parpol yang bukan
pilihannya.
3. Pemerintah mensosialisasikan melalui upaya yang intensif agar birokrat, PNS dan
ABRI netral/tak memihak salah satu parpol.
4. Pemerintah, KPU, dan Panwaslu membuka peluang sebesar-besarnya agar
masyarakat proaktif dan secara sukarela menjadi pemantau Pemilu.
5. Semua pihak dalam melaksanakan kegiatan pemilu menghargai, menghormati
kebiasaan, nilai, norma, tatakrama, adat istiadat yang berlaku di lingkungan wilayah
setempat.
6. Organisasi penyelenggara pemilu, pemerintah dan OPP membuat kesepakatan dan
menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan agar kampanye pemilu
diselenggarakan secara cerdas, proaktif, simpatik, dialogis, berorientasi pada
program dan menghindari sekecil-kecilnya pengerahan massa. (Kampanye cerdas
adalah kampanye yang menawarkan program pemenuhan kebutuhan mendasar
pada segmen “pasar” pemilih tertentu. Kampanye proaktif adalah kampanye yang
dilakukan oleh sekelompok pemilih terorganisir yang mengajukan kebutuhan
program organisasinya yang ditawarkan kepada OPP, bila OPP yang bersangkutan
berpeluang untuk dipilih).
7. Para petugas resmi yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu harus
dilengkapi dan menunjukkan atribut tanda pengenalnya pada tempat yang sejelas-
jelasnya serta senantiasa berperilaku sopan santun serta memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya. Sebaliknya dalam menjalankan tugas yang bersangkutan
tidak menggunakan/memakai atribut atau pakaian tertentu yang dapat
mempengaruhi opini pemilihan dalam memberikan suaranya/mencoblos di TPS
nya.
8. Pemerintah, KPU dan Panwaslu mencegah terjadinya “Disinformasi”, mencegah
penyebarluasan informasi mengenai Pemilu yang tak jelas sumbernya dan tak
dijamin kebenarannya. Sebaliknya transparansi/keterbukaan yang “sah” merupakan
salah satu jaminan agar masyarakat mendapat informasi yang dibutuhkannya
secara mudah, cepat dan dapat dipercaya. Semua informasi yang disebarluaskan
telah melalui uji coba verifikasi, dijamin validitasnya, bisa dipertanggungjawabkan
oleh pejabat, badan, organisasi yang mendapat otoritas untuk itu.

11
Hal di atas dapat terwujud dengan baik apabila didukung beberapa hal sebagai
berikut:
1. KPU harus mempunyai kredibilitas independensi dan bebas pengaruh intervensi
kekuasaan agar KPU dapat menegakkan peraturan perundang-undangan. Apabila
pada saat ini anggota KPU dapat berkampanye akan menyulitkan kredibilitas KPU.
KPU harus segera menyiapkan jadwal serta prioritas untuk membuat penjabaran
UU Pemilu, membuat juklak dan juknis. Hal ini dapat membuat keterlambatan
persiapan pemilu.
2. Personil lembaga peradilan yang menangani pelanggaran ketentuan-ketentuan
pemilu perlu dibentuk secara tersendiri agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya
dengan cepat, dalam arti setiap pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh pihak-
pihak tertentu, secara cepat dan tuntas, langsung diproses dan diberi sanksi hukum
sesuai tingkat pelanggarannya.
3. Aparatur keamanan pada tingkat gangguan sosial, institusi yang berwenang adalah
pemerintah daerah setempat. Pada tingkat gangguan yang lebih tinggi adalah
aparat Kepolisian, bila keadaan mendesak dapat menggunakan bantuan kekuatan
Tentara. Pada kondisi krisis dengan didahului pernyataan keadaan darurat baik
lokal maupun nasional aparatur militer mengambil alih komando dan tanggung
jawab pemeliharaan keamanan.
4. Aparatur pemerintah terutama Departemen Dalam Negeri dan Departemen
Penerangan beserta seluruh jajarannya harus menjadi fasilitator dan dinamisator
yang sebaik-baiknya.
5. Kesadaran politik masyarakat untuk mensukseskan Pemilu serta meniadakan
trauma masa lalu bahwa Pemilu adalah rekayasa penguasa.

PENUTUP

Demikian naskah ini disusun sebagai bahan masukan bagi Dewan Pertahanan
Keamanan Nasional guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
pada saat persiapan, penyelenggaraan dan paska pemilu tahun 1999.
Pemilu tahun 1999 adalah pemilu pertama pada era Reformasi menuju demokrasi
yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, untuk itu perlu dukungan penuh dari
semua pihak untuk mensukseskannya.

SEKRETARIAT JENDERAL
DEWAN PERTAHANAN KEAMANAN NASIONAL

12
INVENTARISASI PENGATURAN LEBIH LANJUT TERHADAP MATERI
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999
TENTANG PEMILIHAN UMUM

NO MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 PASAL BENTUK KEPUTUSAN KETERANGAN

1 Penetapan Jumlah Penduduk untuk tiap Daerah Tingkat I dan Penjelasan Pasal 4 Keputusan KPU
Daerah Tingkat II. ayat (1) dan Pasal 10
huruf d.

2 Penetapan Jumlah Kursi Anggota DPR di masing-masing Pasal 4 ayat (3) Keputusan KPU Nomor 2, 3 dan 4 dijadi-kan
Daerah Pemilihan. satu Keputusan KPU.

3 Penetapan Jumlah Kursi Anggota DPRD I untuk setiap Daerah Pasal 5 ayat (4) Keputusan KPU.
Pemilihan.

4 Penetapan Jumlah Kursi Anggota DPRD II untuk setiap Pasal 6 ayat (4) Keputusan KPU
Daerah Pemilihan.

5 Pembentukan KPU Pasal 8 ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 5 dan 6 dijadikan satu
Keputusan Presiden.

6 Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPU Pasal 9 ayat (9) dan Keputusan Presiden
Penjelasan Pasal 9
ayat (11).

6a Tugas dan Tata Kerja Unit Organisasi Sekretariat KPU - Keputusan Mendagri Penjabaran Keputusan
Presiden tersebut pada
Nomor 5 dan 6.

7 Tata Kerja KPU Pasal 9 ayat (7) Keputusan KPU

8 Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Umum dan Pasal 9 ayat (10) Keputusan Presiden
Wakil Sekretaris Umum KPU.

9 Susunan dan Keanggotaan PPI Pasal 12 ayat (14) Keputusan KPU

10 Pembentukan PPDI Pasal 14 ayat (1) Keputusan PPI Nomor 10 dan 11 dijadi-kan
satu keputusan PPI.
2

NO MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 PASAL BENTUK KEPUTUSAN KETERANGAN

11 Susunan dan Keanggotaan PPDI Pasal 14 ayat (4) Keputusan PPI

12 Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat PPI, PPLN, Pasal 20 ayat (2) Keputusan Mendagri
PPDI, PPD II, dan PPK.

13 Penetapan Jumlah, Tugas dan Kewajiban Anggota KPPS Pasal 23 ayat (5) dan Keputusan KPU Petunjuk Teknis KPU me-
Penjelasan Pasal 23 ngenai tata cara Pemu-
ayat (6) ngutan/penghitungan suara
di TPS

14 Tata Cara Pemantau Pemilihan Umum oleh Lembaga-lembaga Pasal 27 ayat (2) Keputusan KPU
Pemantau Pemilihan Umum.

15 Penentuan Jadwal Waktu dimulai dan berakhirnya Pendaftaran Pasal 32 ayat (4) Keputusan KPU
Pemilih.

16 Penetapan format daftar pemilih Pasal 33 ayat (2) Keputusan KPU Nomor 16, 17, 18 dan 19
dijadikan satu Keputusan
KPU.

17 Penetapan format surat panggilan untuk memberikan suara Pasal 34 ayat (2) Keputusan KPU

18 Penetapan pemilih terdaftar yang tidak dapat memberikan Pasal 37 ayat (3) Keputusan KPU
suara di TPS yang ditentukan, dan akam memberikan suara di
TPS lain.

19 Pengaturan jadwal waktu pengumuman daftar pemilih Pasal 38 ayat (4) Keputusan KPU
sementara/tetap/tambahan.

20 Keputusan tentang pendaftaran parpol untuk menjadi peserta Pasal 39 ayat (5) Keputusan KPU Dilaksanakan oleh MDN/
Pemilu. Ketua LPU sesuai Pasal 79

21 Penetapan format pengisian data pencalonan. Pasal 44 ayat (2) Keputusan KPU Nomor 21 dan 22 dijadikan
satu Keputusan KPU.
3

NO MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 PASAL BENTUK KEPUTUSAN KETERANGAN

22 Pengaturan tata cara dan jadwal waktu pencalonan Anggota Pasal 45 ayat (3) Keputusan KPU
DPR/DPRD I/DPR II.

23 Pengaturan tata cara dan jadwal waktu kampanye. Pasal 46 ayat (6) Keputusan KPU Nomor 23 dan 24 dijadikan
satu Keputusan KPU.

24 Penetapan batas dana kampanye yang dapat diterima Parpol Pasal 48 ayat (2) Keputusan KPU
peserta Pemilu.

25 Penetapan tanggal pemungutan suara. Pasal 50 ayat (1) Keputusan KPU Nomor 25 dan 26 dijadikan
satu Keputusan KPU.

26 Penetapan tanggal pemungutan suara bagi Warga Negara Pasal 50 ayat (2) Keputusan KPU
Republik Indonesia di Luar Negeri.

27 Pembuatan surat suara. Pasal 52 ayat (1) Keputusan KPU

28 Penetapan berita acara penerimaan dan penggunaan surat Pasal 52 ayat (4) Keputusan KPU Nomor 28, 29, 30, 31, 32,
suara tambahan. dan 33 dijadikan satu
Keputusan KPU.

29 Penentuan cara pemberian dan pemungutan suara di TPS. Pasal 53 Keputusan KPU

30 Penentuan sah dan tidak sahnya suara dalam surat suara. Pasal 54 ayat (2) Keputusan KPU

31 Penetapan tanda khusus dalam pemungutan suara di TPS. Pasal 55 ayat (2) Keputusan KPU

32 Penetapan format berita acara dan sertifikat hasil Pasal 64 Keputusan KPU
penghitungan suara di TPS serta format berita acara dan
sertifikat tabulasi hasil penghitungan suara di PPS, PPK, PPD
II, PPD I, dan PPI.

33 Penetapan format berita acara dan sertifikat tabulasi Pasal 65 ayat (3) Keputusan KPU
penetapan hasil penghitungan suara keseluruhan.

34 Penetapan hasil penghitungan suara untuk anggota DPR. Pasal 66 ayat (3) Keputusan KPU Nomor 34 dan 35 dijadikan
satu Keputusan PPI.
4

NO MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 PASAL BENTUK KEPUTUSAN KETERANGAN

35 Penetapan keseluruhan hasil penghitungan suara untuk Pasal 66 ayat (4) Keputusan KPU
Pemilu Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II.

36 Tata cara Pengesahan calon terpilih anggota DPR, DPRD I, Pasal 68 ayat (4) Keputusan KPU Nomor 36, 37 dan 38
dan DPRD II. dijadikan satu Keputusan
KPU.

37 Jadwal waktu pengumauman hasil Pemilu anggota DPR, Pasal 70 ayat (2) Keputusan KPU
DPRD I, dan DPRD II

38 Jadwal waktu pemberitahuan kepada calon terpilih anggota Pasal 71 ayat (2) Keputusan KPU
DPR, DPRD I dan DPRD II.

39 Penetapan jenis dan jumlah wakil masing-masing golongan Pasal 81 huruf a Keputusan KPU
untuk pengisian anggota MPR dan utusan golongan.

40 Pengaturan Tata Cara Penetapan Anggota MPR dari Utusan Pasal 81 huruf c Keputusan KPU
Golongan.

Catatan :

1. Jumlah Keputusan Presiden = 2 Keputusan


2. Jumlah Keputusan KPU = 34 Keputusan
3. Jumlah Keputusan PPI = 2 Keputusan
4. Jumlah Keputusan Mendagri = 2 Keputusan

Anda mungkin juga menyukai