Anda di halaman 1dari 10

d.

Manajemen Perubahan
Keseimbangan antara pengelolaan inisiatif bisnis dan pengelolaan dinamika
organisasi dalam membangun struktur kelembagaan yang diinginkan perlu dijaga untuk
mencapai transformasi kelembagaan yang baik. Manajemen Perubahan penting dalam
memastikan bahwa semua stakeholders, baik internal maupun eksternal, terlibat dan
mendukung tercapainya agenda. Aksi utama dalam mengawal tercapainya kerangka
kelembagaan ditekankan pada kegiatan membangun komunikasi. Dengan adanya
manajemen perubahan di lingkungan DJKN akan mendorong percepatan reformasi
birokrasi dan implementasi transformasi kelembagaan mengingat manajemen
perubahan
akan menghimbau dan mengubah budaya serta paradigma pelaku perubahan yang
berada dalam organisasi itu sendiri untuk keadaan yang lebih baik dari kondisi saat ini.

e. Best Practices dan Research-based Policy dalam Manajemen Aset


Untuk mendukung proses manajemen aset berjalan dengan baik, maka
perlu mempertimbangkan faktor-faktor kunci yang diurutkan berdasarkan prioritas
sebagai berikut:
- Information Technology (Teknologi Informasi)
- Capacities/Compentencies (Kapasitas dan Kemampuan)
- Business Process (Proses Bisnis atau SOP)
- Human Resources (Sumber Daya Manusia)
- Organisations (Dukungan Organisasi)
- Sustainability
- Risk Management (Manajemen Resiko)
- Leadership (Kepemimpinan)
- Communication (Komunikasi)
- Planning (Perencanaan)
- Services (Pelayanan)
- Law & Regulations (Peraturan)
- Management of change (Manajemen Perubahan)
- Outsourcing

f. Sertifikasi Internasional Manajemen Aset (ISO 55001)


BSI PAS55 yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Aset bekerja sama dengan
British Standards Institution (BSI PAS) berhasil diadopsi pada beberapa sektor seperti
transportasi, utilitas, pertambangan, dan industri manufaktur di Inggris, Australia, Hong
Kong, Belanda, Amerika Serikat, dan Amerika Latin dalam rangka manajemen aset
yang lebih baik dan telah memberikan hasil yang positif. Kemudian PAS55
disempurnakan pada 2008 dan diterima oleh The International Standards Organisation
(ISO) sebagai cikal bakal dari standar internasional ISO 55001. Dengan sertifikasi ISO
55001, manajemen aset yang dilakukan oleh organisasi secara prinsip telah
mengalami:
- penyelarasan (alignment) antara strategi, tujuan, perencanaan dan aktivitas
sehari-hari manajemen aset terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan.
- perpaduan antara perencanaan yang meliputi setiap tahapan/siklus manajemen
aset secara holistik (whole life cycle asset management) yang harmonis dengan
setiap tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi guna menghasilkan
kombinasi terbaik dengan kinerja yang memberi hasil (outcome) paling optimal
bagi organisasi.
- pemantapan peran manajemen resiko dalam organisasi termasuk pengambilan
keputusan manajemen yang telah mempertimbangkan manajemen resiko yang
memadai.
- eksistensi faktor-faktor yang mendukung integrasi dan sustainability dalam
organisasi seperti kepemimpinan, konsultansi, komunikasi, pengembangan
kompetensi, dan manajemen informasi.
Adapun konsep yang menjadi prinsip untuk memenuhi sertifikasi ISO 55001 yaitu
sebagai berikut:
Peluang bagi DJKN selaku manajer aset untuk meraih sertifikasi ISO 55001
sebagai wujud implementasi manajemen aset yang baik. Untuk menguatkan profil dan
kredibilitas distinguished asset manager yang diakui secara nasional dan internasional,
maka upaya untuk memperoleh sertifikasi tersebut perlu ditargetkan untuk dicapai
dalam jangka pendek atau menengah.

g. Otomasi dalam Manajemen Aset


Dengan adanya transformasi digital, manajemen aset juga akan mengalami
perubahan mendasar dalam proses bisnisnya. Keberadaan basis data yang
terkomputerisasi dan terintegrasi dengan sistem manajemen keuangan pemerintah
serta terdapatnya pemetaan aset (GIS) akan memudahkan bagi manajemen dalam
pengambilan keputusan yang didukung oleh data yang mudah diakses dan mutakhir
(real time). Efisiensi dapat terjadi pula ketika didukung oleh integrasi antar unit dan data
yang ada. Dengan demikian otomasi (tranformasi digital) yang diciptakan akan
mewujudkan good governance dalam manajemen aset bagi keseluruhan sistem
manajemen aset negara. Diharapkan selain dapat digunakan oleh pemerintah, juga
dapat diakses oleh publik terbatas informasi tertentu melalui teknologi smartphone
(mobile technology).

h. Berkembangnya Collaborative Working Space yang Menggeser “Traditional”


Working Space
Collaborative working space (coworking space) merupakan ruang/lingkungan
kerja atau kantor yang disediakan dengan cara sewa yang digunakan oleh banyak
pihak dengan latar belakang atau profesi yang berbeda-beda seperti enterpreneur,
freelancer, startup, asosiasi, konsultan, investor, seniman, peneliti, pelajar, dan lain lain
(Leforestier, 2009). Dengan berbagai latar belakang tersebut, para coworkers (istilah
untuk pengguna coworking space) dapat saling berinteraksi dan memanfaatkan jejaring
dalam rangka meningkatkan keahlian sampai dengan kolaborasi dalam bisnis. Ruang
bekerja yang dinamis, menyenangkan, dan efisien dapat meningkatkan kinerja dan
produktivitas yang pada akhirnya berdampak pada pencapaian tujuan
organisasi/perusahaan. Beberapa manfaat coworking space, antara lain:
- Terciptanya sebuah komunitas kerja untuk para generasi baru yang memiliki
gaya hidup baru termasuk dalam preferensi pekerjaan dan ruang bekerja.
- Meningkatkan peluang bagi para coworkers untuk bersosialisasi dan bahkan
berkolaborasi dengan coworker lainnya.
- Suasana kerja yang didesain lebih kreatif dan kondusif dengan tren yang
berkembang saat ini.
- Tersedianya banyak pilihan coworking space di kota-kota besar mendorong
coworker untuk bekerja lebih produktif, efisien, dan termotivasi.
- Memperluas jaringan personal maupun profesional dengan cepat.
Desain coworking space merupakan peluang baru bagi manajer aset untuk
menyediakan ruang-ruang bekerja bagi coworker yang dimanfaatkan dengan sewa
guna menghasilkan PNBP dengan mengoptimalkan space gedung-gedung milik
pemerintah yang terletak di lokasi strategis. Untuk itu kesiapan regulasi menjadi
konsekuensi logis guna merespons tren baru ini.

i. Isu Green Building dan Penggunaan Bahan Terbarukan (Renewable Materials)


untuk Pembangunan Gedung
Green building bertujuan agar bangunan hijau semakin berperan dalam
mengurangi dampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Hal tersebut
meliputi:
- Penggunaan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien.
- Perlindungan kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas karyawan
- Pengurangan limbah, polusi dan degradasi lingkungan melalui pengembangan
dan penerapan green water dan green waste (pengelolaan sampah dan limbah
melalui reduce-reuse-recycle).
Bangunan hijau dan bahan bangunan terbarukan menjadi tantangan bagi
manajer asset di tengah keterbatasan finansial. Oleh karena itu, perlu dukungan dalam
kebijakan nasional untuk menargetkan perwujudan gedung-gedung hijau milik
pemerintah secara periodik.

j. Pengembangan Lelang terhadap Objek Lelang Berupa Barang Tidak Berwujud


(Hak Menikmati Barang)
Perluasan lelang mencakup lelang barang tidak berwujud, seperti hak menikmati
BMN, penting untuk mengakomodasi perubahan paradigma dalam ekonomi yang telah
bergeser dari “owning economy” ke sharing economy, artinya orang yang memiliki
benda/barang nantinya tidak ingin menjual lepas barang/benda yang dimiliki melainkan
hak manfaatnya saja dengan jangka waktu yang ditentukan (lelang pemanfaatan/lelang
hak sewa). Konsep lelang “hak menikmati barang” juga bisa digunakan untuk
mengurangi asset BMN/BMD yang idle/tidak terpakai ataupun aset BMN/BMD yang
dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak, yang menyebabkan tidak optimalnya dalam
pengelolaan dan pemanfaatan aset tersebut.

k. Era Internet of Things (IoT), Big Data, dan Kecerdasan Buatan dalam
Manajemen Aset dan Investasi
Perangkat IoT mampu mengirim informasi dan melakukan tindak lanjut melalui
jaringan dengan campur tangan manusia yang minimal, sehingga mampu melakukan
beragam fungsi secara otomatis. Adanya big data yang didukung artificial intelligence
(kecerdasan buatan) memungkinkan sebuah sistem mengambil keputusannya sendiri
dengan sedikit campur tangan manusia. Hal ini secara konkrit dapat terjadi pada
pilihan-pilihan pemanfaatan aset atau pemilihan investasi termasuk diantaranya analisa
HBU, cost-benefit dan penilaian aset dimana melalui pemanfaatan big data, opsi terbaik
dapat disajikan secara otomatis oleh perangkat teknologi (robo-advisers) dalam waktu
yang cepat (efisien) dan bahkan dengan bebas biaya sama sekali. Akan tetapi, dampak
lain dari otomatisasi ini adalah tidak lagi diperlukan kuantitas SDM yang banyak.
Beberapa hal konkrit dalam pemanfaatan big data yaitu sebagai berikut:
1) Prediksi nilai ekonomis dan utilisasi aset negara
Dengan sumber data dari internal dan eksternal (emarketplace, agen
properti, rencana tata ruang, NJOP, dan sumber lainnya) yang diolah dengan
metode big data analytics akan dapat dihasilkan informasi dan insight sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
2) Prediksi nilai jual aset/properti atau barang yang dipindahtangankan atau
dilelang
Big data analytics juga bisa dimanfaatkan untuk menghitung nilai wajar
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penghapusan atau pemanfaatan
suatu aset/properti. Nilai ini juga bermanfaat dalam pengayaan basis data
penilaian yang ada di DJKN di masa yang akan datang.
3) Sentiment Analysis atas DJKN pada media sosial dan portal berita
Dengan adanya sentiment analysis yang diperoleh dari teknik big data
analytics, DJKN dapat melihat pandangan dan persepsi masyarakat terkait
pelayanan DJKN sebagai materi untuk mengevaluasi dan meningkatkan
pelayanan kepada para pengguna jasa.

l. Perkembangan Smart City


Smart city merupakan wilayah kota yang telah mengintegrasikan teknologi
informasi dan komunikasi dalam tata kelola sehari-hari, dengan tujuan untuk
mempertinggi efisiensi, memperbaiki pelayanan publik, dan meningkatkan
kesejahteraan warga. Integrasi teknologi dalam tata kelola kota dimungkinkan berkat
keberadaan internet of things (IoT). Perangkat IoT mampu mengirim informasi dan
melakukan tindak lanjut melalui jaringan dengan sedikitnya campur tangan manusia,
sehingga mampu melakukan beragam fungsi secara otomatis. Sebagai contohnya
adalah seperti smart lighting, smart parking, waste management, connected manhole,
dan smart electricity. Arah manajemen aset pemerintah harus siap terintegrasi dan
menjadi subset dari smart city sehingga tercipta tidak hanya efektifitas dalam
penggunaan aset namun dapat meningkatkan efisiensi dalam operasional aset negara.
m. Rencana Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia
Ibu kota baru direncanakan menjadi pusat pemerintahan dengan kegiatan bisnis
yang mendukung aktivitas pemerintahan. Pembiayaan atas pemindahan ibu kota
diupayakan tidak memberatkan APBN karena banyak cara kreatif untuk membangun
kota tersebut tanpa tergantung APBN, seperti manajemen aset yang dimiliki negara,
mendorong peran BUMN, serta mengajak swasta untuk berperan misalnya dengan
skema KPBU. Manajemen aset menjadi berperan penting untuk mengkaji portofolio
aset milik pemerintah berupa bangunan yang nantinya akan ditinggalkan di Jakarta
serta tanah yang dikuasai pemerintah di wilayah ibu kota yang baru agar dapat
dioptimalkan untuk mendapat PNBP dengan berbagai skema pemanfaatan sampai
dengan pemindahtanganan yang akan berkontribusi dalam membangun gedung kantor
baru di ibu kota baru. Dengan demikian DJKN dituntut untuk mengambil peran dalam
rencana tersebut dengan memulai pemetaan aset pemerintah di Jakarta secara
komprehensif dengan diikuti kajian mendalam.

5.2 Tantangan yang dihadapi


a. Aset Dominan Berada di K/L
Dengan proporsi aset yang sedemikian besar berada di K/L, maka komitmen
untuk pelaksanaan manajemen aset yang ideal tidak cukup hanya dilakukan oleh DJKN
namun yang terpenting justru oleh K/L. Dengan demikian, peningkatan kapasitas
manajer aset di K/L harus sama dengan peningkatan para manajer aset yang berada di
DJKN.
b. Aset Idle Secara Fisik Tapi Tidak Diungkapkan oleh K/L
Terdapat potensi manfaat dalam jumlah dan nilai yang besar tak terealisasi
akibat hilangnya kesempatan tindakan pemanfaatan aset (seperti sewa, kerjasama
pemanfaatan, bangun-guna-serah, atau bangun-serah-guna) maupun pelepasan aset
untuk manfaat yang mungkin lebih besar (seperti penjualan atau tukar-menukar)
sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak.
c. Adanya Permasalahan Hukum (Perlawanan Hukum/Litigasi dan Permasalahan
Legalitas)
Terhadap aset yang bermasalah, Pemerintah harus melakukan upaya-upaya
ekstra sampai dengan adanya perkara di lembaga peradilan sehingga memperlambat
upaya negara untuk mewujudkan aset yang tertib dari aspek administrasi, fisik, dan
hukum (3T) yang parallel dengan itu membebani negara dari aspek aset yang tidak
dapat diutilisasi.
d. Belum Terbentuk Enterprise Arcitecture (EA) Kementerian Keuangan
EA juga sangat diperlukan dalam proses bisnis di DJKN karena dalam rangka
menjawab tantangan yang perlu diselesaikan salah satunya mengenai data yang
bersumber dari single source of truth dan integrasi data antar unit eselon I di
Kementerian Keuangan.
e. Perubahan Iklim dan Isu Ketahanan Kota (City Resilience) yang Berdampak
pada Aset
Meskipun dengan upaya mitigasi yang sangat ketat, iklim yang sudah berubah
belum tentu dapat kembali kepada keadaan semula yang berdampak terhadap aset
negara. Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim mutlak perlu dilakukan, dimana salah
satu metoda yang dapat digunakan adalah kajian kerentanan (vulnerability assessment)
dan kajian resiko (risk assessment) terhadap dampak perubahan iklim. Manajer aset
perlu untuk melakukan koordinasi dan berkolaborasi dengan instansi atau elemen
terkait seperti Pemerintah Daerah, BMKG, BNPB/BPBD, BIG, akademisi bidang
perencanaan wilayah dan perkotaan, dan lembaga penelitian terkait lainnya untuk dapat
mengidentifikasi aset-aset negara yang potensial terdampak oleh perubahan iklim
sebagai upaya preventif untuk mengurangi resiko termasuk keamanan dan
keselamatan dari pengguna aset negara baik Pengguna Barang, pelanggan, dan
masyarakat sekitar.
f. Belum Optimalnya Manajemen Aset dan Kapasitas K/L
Pengguna barang (K/L) belum sepenuhnya disiplin dalam penatausahaan dan
pengelolaan aset tetap seperti kesadaran untuk melakukan rekonsiliasi barang,
kesadaran penyerahan aset idle kepada pengelola barang, dan pemanfaatan aset
sesuai ketentuan sebagaimana diungkapkan dari hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
g. Virtual Space (Hyperconnectivity) yang Menggeser “Traditional” Property
Manajer aset dituntut untuk dapat memproyeksikan seberapa besar dampak dari
berubahnya preferensi masyarakat termasuk bagaimana kebijakan pemerintah yang
semakin mengedepankan e-office. Ke depan manajer aset harus memliki kemampuan
untuk mengambil kebijakan strategis dalam mengoptimalkan aset negara dan melihat
kemungkinan untuk dilakukan disposal terhadap aset negara berupa gedung yang
berlebih demi mengefisienkan biaya operasional aset.
h. Lelang di Era Disrupsi
Era disrupsi juga dijadikan sebagai era digitalisasi, dimana seluruh
aktivitas/kegiatan menggunakan daring atau media internet. Hal ini menjadikan para
pelaku bisnis market leader harus pintar mencari celah atau solusi bagaimana cara
menjadikan era disrupsi ini sebagai keuntungan bagi mereka.

BAB 3. AREA PERUBAHAN UNTUK MENCAPAI KONDISI YANG DIKEHENDAKI


Untuk pencapaian kondisi ideal yang diharapkan, yaitu DJKN sebagai manajer
asset yang unggul (distinguished asset manager) dengan end state:
“KEKAYAAN NEGARA DIKELOLA OPTIMAL SERTA BERKELANJUTAN,
INSTRUMENTAL DALAM KEUANGAN NEGARA DAN KONTRIBUTIF DALAM
PEREKONOMIAN NASIONAL.”
maka disusun elemen-elemen Kondisi yang Dikehendaki (Tujuan) yang memuat
Sasaran Strategis sebagai implementasi konkrit yang dikelompokan berdasarkan
karakteristik/prinsip distinguished asset manager (Kontributif, Instrumental, Otoritatif,
dan Sustainable & Adaptif).
3.1 TERWUJUDNYA EFEKTIVITAS, EFISIENSI, OPTIMALISASI, DAN
PRODUKTIVITAS MANAJEMEN ASET & INVESTASI PEMERINTAH
3.1.1 Terwujudnya manajemen aset yang penggunaanya efektif dan berkontribusi
optimal bagi penerimaan negara (PNBP)
3.1.2. Terwujudnya manajemen aset yang efisien bagi belanja negara (cost-savings)
3.1.3. Terwujudnya manajemen aset yang berperan dalam pembiayaan pada APBN
secara optimal dan prudent (underlying asset SBSN dan Efek Beragun Aset)
3.1.4. Terwujudnya optimalisasi manajemen investasi Pemerintah (PNBP dan manfaat
sosial dan ekonomi)
3.1.5. Terwujudnya Pelaporan Investasi Pemerintah yang transparan dan akuntabel
3.1.6. Terwujudnya penatausahaan Investasi Pemerintah yang akuntabel
3.1.7. Terlaksananya pembinaan dan pengawasan Special Mission Vehicle (SMV)
Kemenkeu yang optimal
3.1.8. Terwujudnya pendayagunaan SMV Kemenkeu dalam pembangunan nasional
berkelanjutan (SDGs)
3.1.9. Terjadinya penguatan fungsi Monitoring dan Evaluasi Investasi Pemerintah
3.1.10. Terlaksananya asesmen atas kinerja Investasi Pemerintah yang komprehensif
3.1.11. Penguatan analisis pengelolaan Investasi Pemerintah (Penambahan/
Pengurangan PMN, Holding, Privatisasi, Restrukturisasi dan Revitalisasi)
3.2 TERWUJUDNYA LELANG SEBAGAI SUATU INDUSTRI MODERN YANG
BERPERAN OPTIMAL DAN TERPERCAYA
3.2.1. Terwujudnya peningkatan peran penyelenggaraan lelang dalam perekonomian
nasional
3.2.2. Terwujudnya perlindungan hukum bagi stakeholder melalui transaksi yang efektif,
transparan dan akuntabel
3.2.3. Optimalnya pelayanan Lelang melalui sinergi dengan institusi terkait
3.3 TERWUJUDNYA PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PENGELOLAAN
ASET DAN INVESTASI PEMERINTAH YANG KOMPREHENSIF DAN MUTAKHIR
3.3.1. Terwujudnya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran pengelolaan
aset negara pada RPJMN dan APBN
3.3.2. Terwujudnya perumusan dan perencanaan Investasi Pemerintah yang
berkualitas dan implementatif
3.4 TERWUJUDNYA PERAN KONSULTASI STRATEGIS MANAJEMEN ASET YANG
INSTRUMENTAL DALAM KEUANGAN NEGARA
3.4.1. Terwujudnya peran DJKN dalam konsultansi manajemen aset yang andal bagi
K/L, Pemda, dan Pemerintah Desa
3.4.2. Terwujudnya peran DJKN sebagai asset arranger pemanfaatan aset negara
(project development facility) bagi K/L dan Pemda
3.4.3. Terlaksananya peran DJKN sebagai koordinator, pembina, dan pengawas penilai
pemerintah di lingkungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
3.4.4. Terlaksananya edukasi dan diseminasi secara periodik
3.4.5. Terwujudnya aksesibilitas informasi asset
3.5 OPTIMALNYA PENGELOLAAN PIUTANG PADA KEMENTERIAN LEMBAGA
DAN BENDAHARA UMUM NEGARA
3.5.1. Terwujudnya peningkatan pengurusan Piutang Negara melalui sinergi dengan
OJK, Kemendagri–Ditjen Dukcapil, Kemenkumham–Ditjen AHU
3.5.2. Optimalnya pengelolaan Piutang Negara pada K/L melalui kolaborasi dengan
K/L, DJPB, dan DJA
3.5.3. Terwujudnya pelaksanaan pengelolaan piutang negara yang terkoneksi/integratif
antara K/L dengan Kementerian Keuangan
3.5.4. Terjadinya Penurunan nilai piutang tidak tertagih dan penurunan penyisihan
piutang
3.6. TERWUJUDNYA PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN YANG ANDAL
3.6.1. Terwujudnya optimalisasi pengawasan dan pengendalian yang semakin adil dan
solutif atas permasalahan yang terjadi di lapangan
3.6.2. Terwujudnya Aset 3T
3.6.3. Terwujudnya efektivitas operasional asset
3.6.4. Terwujudnya minimalisasi kualifikasi dalam pemeriksaan laporan keuangan
terkait manajemen aset
3.6.5. Terbentuknya asset whistle blowing system
3.6.6. Terwujudnya tingkat pelanggaran yang terus menurun
3.6.7. Terwujudnya lelang sebagai bagian proses bisnis dalam siklus pengelolaan
kekayaan negara yang semakin berperan

Anda mungkin juga menyukai