Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad
SAW, Nabi yang telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan
kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah
kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan
kita kecuali untuk menyembah kepada-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“ (QS. Az-Dzariyat:
56). Olehnya itu, jika ada manusia yang menyombongkan diri tidak mau taat
dan tunduk kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari tujuan ia diciptakan.
Akibat dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan
dihinakan.
Ketika masih berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian
kesiapan dari manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka
lahir ke muka bumi ini. Allah SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan
mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dengan semua
konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan tegas bahwa mereka
bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani dan mereka
sembah. Allah bertanya kepada ruh tersebut:
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang lengah terhadap (ketauhidan) ini” (QS. Al-A’raf: 172)
Fitrah adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah
SWT. Namun keadaan manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya
sehingga menodai kesucian fitrah tersebut. Maka berubahlah ia dari
ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan menjadi kekafiran. Rasulullah
SAW bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan
tauhid, ketundukan dan penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri
sebagai hamba Tuhan yang Maha Pengasih. Jika di penghujung Ramadhan ini
kaum muslimin merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya adalah
kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai proses
pembersihan diri dan kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. Dan
hakikat kembali fitrah itu diwujudkan dalam bentuk mengokohkan ketauhidan,
menguatkan komitmen ubudiyah, dan memelihara karakteristik terpuji.
Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih,
tilawatil Qur’an, membayar zakat fitrah dan zakat harta, I’tikaf, membaca dzikir
dan ma’tsurat, hingga hari ini kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul
fitri. Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita kepada
Allah SWT.
Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita
lakukan. Terkadang kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun bekerja keras dan banting tulang hanya untuk menyenangkan
hati orang-orang yang kita cintai. Suami menghabiskan hampir semua waktu
siangnya untuk menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan
shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu
malamnya untuk menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan
shalat Maghrib dan isyanya. Keadaan itu tentu menjadikan kita seolah lemah
keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik keimanan yang sangat
lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan semakin jauh dari fitrah
kita.
“Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya
dari Allah), akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan
tauhid kita, yang dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah
kehambaan kita yang lurus, kita akan dijauhkan dari sikap menghinakan diri
kepada makhluk. Dengan kekuatan tauhid, orang yang kaya akan menjaga
fitrah dirinya sehingga tidak sombong dan angkuh, dengannya pula orang
miskin akan tegar mengarungi ujian hidupnya dan tidak berputus asa.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya,
di mana tujuan-tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan
jiwa dan meraih keutamaan dalam setiap ibadah. Imam As-Syathibi
mengatakan bahwa asal mula disyariatkannya ibadah shalat adalah
ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan penghadapan diri
kepada-Nya, bersimpuh di atas kaki kehinaan di hadapan-Nya dan
mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat kepada-Nya. Allah SWT berfirman
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar
keutamaannya.” (QS. Al-Ankabut: 45).
Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan
disenangi dan dirindukan semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang
bersungguh-sungguh memelihara fitrah kehambaanya. Semua karakter terpuji
itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses penempaan dan pelatihan.
Dan salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa. Dengan berpuasa,
seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa ia
sudah melatih dirinya agar amanah memelihara puasanya dari segala hal yang
membatalkannya, meski pun orang lain tidak melihatnya. Ia memelihara
amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia mungkin bisa
berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa
membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada
Allah SWT.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS.
al-Anfal: 46)
Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan
itsar (mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti
menetapkan masuknya 1 Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan
dan saling membenci. Sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu
yang selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa
lemah dan gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat.
Hati kita pun akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan
karakter pemarah, egois, dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali
kepada fitrah, padahal kita berkumpul menaikkan shalat Idul fitri hari adalah
agar kita kembali kepada fitrah kita.
Untuk mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan kepala kita, melupakan
kebesaran diri kita di hadapan manusia, mengakui betapa kecil dan lemahnya
kita di hadapan Allah Penggenggam langit dan bumi.
Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa nafsu yang penuh
ambisi, yang selalu mau menang sendiri dan tidak mau peduli dengan
penderitaan sesama. Jadikanlah kami hamba-hamba yang tahu mensyukuri
nikmat dan karunia-Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan rasa, yang
membuat kami mampu meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau
membantunya.
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“
Ya Allah yang Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu
memikul beban yang dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha
Kaya lepaskanlah kami dari lilitan utang dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah
yang Maha Penyayang buanglah rasa benci dan dendam yang bersemayam di
dalam dada kami, Ya Allah yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada kami
rasa kasih kepada orang tua kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami.
Ya Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Penerima Taubat dengarlah
permohonan kami dan terimalah taubat kami. Innaka Antas Samiud Du’a wa
Innaka Antat Tawwabur Rahim.
Ya Allah Ya Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat
mengerti arti jasa ibu bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan
tulus menampung kami selama berbulan-bulan di dalam rahimnya dalam
keadaan lemah dan bertambah lemah, yang rela bersakit-sakit bersimbah
darah ketika melahirkan kami, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi
agar kami dapat menghirup udara kehidupan, yang bersedia terganggu
tidurnya setiap malam demi agar kami dapat tertidur lelap, yang bersedia
menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar kami dapat merasakan kenyang.
Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin kami yang dengan
tulus ikhlas hendak mengeluarkan kami dari keterpurukan dan kesulitan hidup,
dengan kemurahan dan kasih sayang-Mu. Agar kami dapat mengantarkan
bangsa kami ini menuju negeri yang lebih baik yaitu Baldatun Thoyyibatun Wa
Robbun Ghofur.