Anda di halaman 1dari 9

PEMIKIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH

17 MEI 2010 5 KOMENTAR

A. Pendahuluan
Mempelajari dan menganalisa aliran dan pemikiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam,
merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Di sebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan
teologi islam yang tertua dan terbesar yang telah memaiankan peranan penting dalam pemikiran dunia
islam(AHanafi MA 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam
dalam kemajuan dan kemodernannya. Di sebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah
merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter
peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi
interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi
sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
B. Asal Muasal Kaum Mu’tazilah Dalam Teologi Islam
Disini saya akan mengangkat tentang asal muasal faham Mu’tazilah dalam teologi islam. Mu’tazilah sendiri
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari
pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam pembahasannya, mereka banya k
memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
Asal muasal nama Mu’tazilah sendiri berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Ata’ serta temannya
‘Amr bin ubaid dan Hasan al-basri di Bashrah.
Menurut Al-Mas’udi memberkan keterangan lain lagi, yaitu tidak berhubungan dengan permasalahan antara
Wasil dan Amr dari satu pihak hasan Al-basri dari pihak lain. Mereka di sebut kaum Mu’tazilah karena meraka
berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara
kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain) menurut versi ini mereka di sebut Mu’tazilah, karena mereka
membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Mu’tazilah sendiri sudah ada sejak zaman saidina Ali bin Abi Talib. Disitu di tulis karena kaum Khawarij kaum
yang dulunya membela saidina Ali membelot meninggalkan saidina Ali, dan memandang Khalifah ‘Usman,
saidina Ali, Muawiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir. Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah
sendiri memang sulit, karena banyak pendapat yang berbeda-beda yang pernah saya ketahui. Mereka juga
kaum Mu’tazilah sendiri bukan nama ejekan, karena dalam Al-quran sendiri I’tazilah mengandung artian pujian
(di kutip dari nasy’ah hal 430/31). Mereka juga sering menyebut mereka sebagia Ahl al ‘adl dalam artian yang
mempertahankan keadilan tuhan, faham-faham teologi dalam islam lainnya yang termasuk lawan-lawan dari
Mu’tazilah sendiri memakai nama-nama seperti al-Qadariah, karena mereka menganut faham Free will dan free
act al-muattilah, karena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud
di luar zat tuhan, dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-
orang yang tidak patuh, pasti dan tak akan menimpa diri mereka.
Dalam ajaran Mu’tazilah sendiri yang sangat berpengaruh membawa faham ini adalah Wasil bin Ata, dia biasa di
sebut syaikh al mu’tazilah wa qadimuha yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di
madinah dan meninggal tahun 131 H. disana dia belajar pada abu hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-
Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-basri.
C. Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah
1. Definisi Mu’tazilah
a. Secara Etimologi
Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-
quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi
sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
‫صدُو ُر ُه ْم َأنْ ُي َقا ِتلُو ُك ْم َأ ْو ُي َقا ِتلُوا َق ْو َم ُه ْم َولَ ْو َشا َء هَّللا ُ لَسَ لَّ َط ُه ْم َعلَ ْي ُك ْم َفلَ َقا َتلُو ُك ْم َفِإ ِن اعْ َت َزلُو ُك ْم َفلَ ْم‬ ْ َ‫اق َأ ْو جَ اءُو ُك ْم حَ صِ ر‬
ُ ‫ت‬ ٌ ‫ِإاَّل الَّذِينَ يَصِ لُونَ ِإلَى َق ْو ٍم َب ْي َن ُك ْم َو َب ْي َن ُه ْم مِي َث‬
)90( ‫ُي َقا ِتلُو ُك ْم َوَأ ْل َق ْوا ِإلَ ْي ُك ُم ال َّسلَ َم َفمَا جَ عَ َل هَّللا ُ لَ ُك ْم عَ لَي ِْه ْم سَ ِبياًل‬
90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu
telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa
keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi
kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan
kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi
jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
b. Secara Terminologi Para Ulama
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan
tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam
memahami aqidah Islam (al-Aqidah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-
filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.
Filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu, dan
aqidah Yahudi dan Nasrani.
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat
dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr
bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry.
Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat
erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat isla, khususnya Ahli Sunnah, dan
bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah,
tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya
Berbiacara tentang awal mula sejarah Mu’tazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-
Basri(w. 110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema
muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat
memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in grup) atau luar (out grup). Maka
terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-
jawaban sebagai berikut:
Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias
menjadi “kafir”, dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal di tumpahkan darahnya. Jawaban ini di
ajukan oleh kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.
Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam
kaitannya dengan dosa yang di lakukannya itu terserah tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya di
condongi umat islam yang di sebut sebagai kelompok murjiah.
Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat, berada dalam arus
kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar”
(minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus
tadi (bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal, Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita.
I’tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun
kemudian di tempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Mu’tazilah berkembang sebagai satu
pemikiran yang di tegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua
hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah
pimpinan Washil bin Atha’Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-
macam aliran pemikiran yang berkembang pada masa itu, sehingga di dapatkan padanya kebanyakan pendapat
mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota bashroh
yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Basry, lalu menyebar dan merebak ke kota kufah dan baghdad.
Akan tetapi, pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin Dinasti
Umayyah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu
membuat mereka sangat membenci Dinasti Umayyah karena penantangan mereka terhadap mazhab (aliran)
mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka pun tidak menyukai dan tidak meridhoi
seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayyah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat
tahun 126 H) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Waalid telah bermadzab dengan mazhab Mu’tazilah dan pendapat
mereka tentang iilmu pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam –yaitu
pendapat manzilah baina manzilatain- dan amar ma’ruf nahi munkar” dan berkata lagi:”(sehingga Mu’tazilah
mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz”.
Permusuhan dan perseteruan antara Dinasti Umayyah dan Mu’tazilah ini berlangsung terus menerus dengan
keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Kemudian,
bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya
mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan
i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini
adalah Washil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan
manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti
Abbasiyyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi di tambahh
dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu makhluk sampai-sampai Al
Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersnjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini
kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada pembantunya di baghdad pada tahun 218
H untuk menguji para hakim, muhadditsin, dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al Qur’an adalah
makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak
berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar.
Diantara para ulama yang medapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al Imam Ahmad bin Hambal –dan kisah
beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah
tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu’tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah dari zaman Al
Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte Mu’tazilah di jadikan mazhab dan aqidah
resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu
menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan pedang sebagai ganti dari hujjah dan
dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-
pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpecah manjadi dua cabang:
1. Cabang bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Washil bin Atho’. Amr bin Ubaid, Usman Ath Thowil,
Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syaham, Al Jaahidz, Abu Ali
Aljubaa’i, Abu Hasyim Aljubaa’i dan yang lai-lainnya.
2. Cabang baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad
bin Abi Duaad, tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al
Khayaath, Abu Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk
membahas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh islam serta untuk
membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam
mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya, lalu mereka menjadikannya
sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujjah-hujjah kenabian dan
untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagiamana yang dikatakan Al Jaahidz:”dan sesuatu apakah yang lebih
agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-
robb, tidak dapat di tegakan hujjah-hujjah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat,
dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jama’ah dari Al Firqoh
(kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta kanehan dari yang masyhur”.
Walaupun Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sehat
abad kedua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan
akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalamm bidang tersebbut. Hal ini tampaknya terjadi karena
mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya
dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikiran filsafat yunani dan bermacam-macam
aliran pemikiran.
3. Sebab Penamaannya.
Para ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi
beberapa pendapat:
Pertama, penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan, seperti menghukumi
pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya
atau tida. Dan pengusung pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1. Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina manzilataini (satu
diantara dua tempat).
2. Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh Hasan Al Basri dan
membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri berkata “washil telah meninggalkan kita”
bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali
meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi
Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah baru, akan tetapi dia
adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka
“menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah SWT:
‫واعتزلكم وما تدعون‬
D. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar
pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka.
Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola
pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan
menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran
Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa
pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1. Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka
sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang
fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan
seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte
Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak
sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran
pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub
sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut
masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah
melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun,
meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam
beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka
sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
- Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat,
sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
- Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri
tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
- Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang
kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
- Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan
mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak
memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah
disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
- Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan
kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
- Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya
adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah
sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal
rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam
‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum
Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka
merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman
Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini di jelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya
dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un) dan tidak
ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini
adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat
Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-
Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2) Al ‘adl (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya
dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-
Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka.
Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi
terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang
dilarang-Nya.
(3) Al-manzilatu bainalmanzilataini
Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam
kedudukan mukmin juga kafir.
(4) Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar
Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar) adalah kewajiban seluruh
mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan
bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan
penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran
pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi
nasionalitas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks
wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya.
Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu
manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyhaio
kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini
menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada
konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan
Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya
kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, danperaturan itu perlu dicari
untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia
dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan tuhan, yang membawa pada perkembangn islam,
bukan hanya filsafat, teta[pi juga sains, pada nasa antara abad ke VIII dan XIII M.
Titik lemah ideologi Mu’tazilah
Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti
mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam
Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang
muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang
selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari
ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah
akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya
tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu,
dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal
rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan
mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka
mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa
melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala
permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang
sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang
berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita
tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan
seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-
orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat
mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil
pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang
yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita
dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai
benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun,
bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang
mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan
yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan
kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah,
Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan
dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual
mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah
membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya
sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)
E. Pemikiran Kalam Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab a’tazala, artinya mengambil jarak memisahkan diri (Cyirl Glase : 292).
Untuk mengetahui sejarah sebutan Mu’tazilah sangat sulit, karena banyak pendapat yang diajukan untuk
menjelaskan awal kelahirannya. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Pertama, Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Ata dan Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian
Hasan al-Basri di masjid Bashrah, kemudian membentuk pengajiannya sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya
bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, tidak mukmin lengkap dan juga tidak kafir lengkap, melainkan
berada dalam satu tempat diantara dua tempat (Harun Nasution : 38).
Kedua, Pendapat kedua menyebutkan bahwa Wasil bin “Ata dan Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari
majlisnya karena adanya perbedaan pendapat mengenai qadar dan tempat diantara dua tempat keduanya
beserta pengikutnya memisahkan diri dari Hasan al Basri. Mereka disebut Mu’tazilah, karena menjauhkan diri
faham umat Islam. Ketiga, Istilah i’tazala dan Mu’tazilah telah lama dikenal sebelum terjasinya peristiwa Basrah
tersebut. Pendapat ini merujuk kepada sejarah yang menyebutkan bahwa awal kesadaran Mu’tazilah telah lama
berkembang sebelum peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri. Pada saat itu sebutan Mu’tazilah diberikan
kepada komunitas yang tidak melibatkan diri dalam konflik politik antara Ali dan Muawiyyah (Tha’ib Tahir : 102).
Berbagai pendapat di atas menunjukan tidak adanya satu kata sepakat dalam sejarah awal kelahiran aliran
Mu’tazilah. Tetapi yang sangat jelas adalah aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi liberal dan rasional dalam
islam, yang timbbul setelah peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan Al Basri.
Sementara kaum Mu’tazilah sendiri lebih menyukai sebutan ahlul ‘adli wa al tauhid, mereka mengakui diri
sebagai golongan pembela ketauhidan dan keadilan.
b. Sumber-sumber Pemikiran Mu’tazilah
Secara garis besar, sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah ada 4, yaitu:
1. Tradisi politik Islam
Doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah sangat berkaitan dengan pemikiran kalam, teteapi secara historis mengandung
muatan-muatan politik. Berdasarkan historiografis, jjika melihat konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah itu
muncul, akan di temukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Tuhan, yaitu
sifat al qudrat dan al iradat, apakah tuhan secara azali sudah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia
atau tidak. Kemudian melahirkan perseteruan antara yang meyakini kebebasan manusia yang melahirkan aliran
qadariah awal dan yang menafikan kebebasan manusia yang melahirkan mazhab jabariah.
Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak dan doktrin lainnya, dijadikan kekuatan untuk melawan
pihak penguasa (Umayah) yang mempertahankan rezimnya dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana
yang dikemukakan tradisionalis (jabariyah) (Cyril Glase:292). Dalam peerjalanan sejarah dapat dilihat mazhab
jabariyahkalah yang menjadi ideologi negara yang dianut pada masa Umayah, utnuk melindungi dan
melegitimasi supremasi kekuasaan yang korup (Hendar Riyadi: 219). Mazhab Qadariyah yang berkeyakinan
akan kebebasan manusia menjadi oposisi pemerintah Umayah. Diantara pertikaian poitik antara Jabariyah dan
Qadariyah ini muncul Wasil bin ‘Ata dengan al-manzilat baina al-manzilatain (tempat diatara dua tempat).
Pertentangan politik tersebut kemudian dimenangkan oleh Abbasiyyah yang di dalamnya Mu’tazilah turut
berperan.
F. Tradisi Filsafat Yunani
Ali Musthafa al-Ghurabi seperti yang dikutip oleh Hedar Riayadi membagi kesadaran Mu’tazilah kepada 3
periode :
Pertama, Generasi ke-1 yang diwakili oleh Wasil bin ‘Ata dan Amr bin Ubaid. Wasil hidup pada nasa
pemerintahan Umayah, sedangkan Amr bin Ubaid mengetahui periode awal pemerintahan abbasiyyah. Generasi
ke-1 ini belum dan tidak banyak bersentuhan dengan tradisi Yunani, maka pandangan teologisnya masih
bersumber pada teks keagamaan (al Qur’an dan al Sunnah). Hal ini disebabkan karena Mu’tazilah lahirnya di
madinah tempat para sahabat dan tabi’in berkumpul memegang teguh teks-teks teologis yang sumbernya dari al
Qur’an dan al Sunnah.(Hedar Riyadi:221). Meskipun demikian generasi ke-1 ini telah menggunakan
kecenderungan penggunaan akal/rasio, karena pada saat itu Mu’tazilah telah bersentuhan dengan tradisi
rasionalisasi dari Irak (persia).
Kedua, generasi kedua diwakili oleh Abu al-Huzail dan al-Zahzam. Generasi kedua ini telah mengenal dari dekat
dan mempelajari filsafat yunani. Kecuali alat berpikir logika dari Grik dan Nyaya dari India, maka aliran filsafat
yang hidup dalam lingkungan lawan tiu haruslah di dalami dan dikuasai sebaik-baiknya (Joesoef Sou’yb: 14).
Dengan begitu terjadilah kegiatan besar dalam bidang penyalinan literatur Grik, India, Siryani, Kopti dan Iran ke
dalam bahasa Arab, taerutama pada masa Khalifah al Ma’mun dan khalifah berikutnya. Menurut al-Jabiri,
penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sebagai kerja ilmiah yang dilakukan al Ma’mun merupakan bagian dari
strategi umum yang dilakukan Dinasti Abbasiyyah. Sebab pada saat itu ada nalar-nalar pesaing yang bersifat
ideologis untuk menaburkan benih keraguan terhadap islam dan untuk menurunkan Dinasti Abbasiyyah. Mereka
memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam peradaban-peradaban asing yang mereka kenal. Sejak dulu
sudah nampak bahwa al-Allaf dan al-Nazham membuka pemikirannya untuk menerima sebagian pandangan
filosofis Yunani (A Hanafi MA : 40). Penerjemahan buku-buku dan sumber tradisi yunani tersebut telah memberi
pengaruh terhadap bahasa, paradigma berpikir dan keilmuan aliran Mu’tazilah. Jadi sumber nalar aliran
Mu’tazilah selain al-Qur’an dan al-Sunnah juga pandangan masyarakat asing yang masuk dalam pergaulan
islam dan buku-buku filsafat Yunani.
Ketiga, Generasi yang diwakili oleh Abu’Ali al Juba’i dan Abu Hasyim. Penerjemahan karya-karya Yunani terus
berlanjut, hanya saja khalifah al-Makmun telah meniggal. Mu’tazilah mengalami kemunduran terutama ketika
khalifah al-Mutawakili mendeklarasikan pencabutan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
G. Penutup
Aliran pemiiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan
signifikan. Disebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang tertua dan terbesar
yang telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia islam. Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah
merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemoderenannya. Disebut signifikan
karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan
wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization cuonter) terhadap dominasi kultural barat.
Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa
besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan
bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam
membahasnya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
MARAJI’

Anda mungkin juga menyukai