Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RENOVASCULAR HYPERTENSION

disusun oleh
Adelisa Mutiara Dewi Pulungan
01073200150

dibimbing oleh
dr. Jeremia Immanuel Siregar, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE OKTOEBER - DESEMBER 2022
TANGERANG
DAFTAR ISI

Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
BAB I. Pendahuluan 4
BAB II. Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi 6
2.2. Epidemiologi 6
2.3. Etiologi dan faktor risiko 6
2.4. Patofisiologi 7
2.5. Manifestasi Klinis 10
2.6. Diagnosis 11
2.7. Tatalaksana 13
2.8. Prognosis dan komplikasi 16
BAB III. Kesimpulan 18
BAB IV. Daftar Pustaka 20

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Etiologi dari renovascular hypertension


Gambar 2.2. Patofisiologi dari Renovascular Hypertension
Gambar 2.3. Patofisiologi dari renovascular hypertension
Gambar 2.4. Patofisiologi dari renal artery stenosis
Gambar 2.5. kelebihan dan kekurangan dari pemeriksaan imaging renovascular
hypertension
Gambar 2.6. Algoritma tatalaksana dari renovascular hypertension
Gambar 2.7. Ilustrasi angioplasty

3
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan sebuah penyakit yang umum terjadi pada manusia


dan menjadi salah satu faktor risiko dari berbagai macam penyakit lebih lanjut
seperti chronic kidney disease, stroke, myocardial infract, dsb. Secara defisini,
hipertensi merupakan sebuah kondisi dimana terdapat kenaikan dari tekanan darah
sistolik > 140 mmHg serta kenaikan dari tekanan darah diastolik >90 mmHg.
Hipertensi terbagi menjadi primer atau dikenal sebagai essential hypertension dan
hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan sebuah kondisi dimana tekanan
darah tinggi yang kemungkinan besar disebabkan oleh faktor lingkungan dan
genetik sedangkan sekunder merupakan kondisi kenaikan tekanan darah yang
penyebabnya dapat diidentifikasi. Salah satu hipertensi sekunder disebabkan oleh
renovascular hypertension. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2018, prevalensi
hipertensi di Indonesia adalah adalah sekitar 34.1%. Hipertensi essential terdapat
sekitar 90-95% sedangkan sekunder tercatat sekitar 5 – 10%. Sekitar 75% kasus
hipertensi sekunder disebabkan oleh renovascular hypertension dimana kondisi ini
disebabkan oleh berbagai faktor seperti arterosclerosis, renal artery stenosis serta
fibromuscular dysplasia. Patofisiologi dari kondisi ini dilihat berdasarkan sebuah
teori yang dilakukan pada tahun 1930 yaitu Golblatt theory dimana mengemukakan
bahwa perisiten iskemia dan penurunan perfusi pada ginjal dapat menyebabkan
hipertensi yang dimana memiliki 2 konsep yaitu unilateral kidney involvement dan
bilateral kidney involvement.
Manifestasi klinis dari kondisi ini bervarasi namun terdapat beberapa
keypoint yang dapat kita waspadai atau curigai menjadi sebuah renovascluar
hypertension seperti onset tekanan darah tinggi medadak atau flash pulmonary
edema. Untuk mendiagnosis kondisi ini, selain melihat manifestasi klinis, terdapat
beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis seperti pemeriksaan
dengan Duplex Doppler Ultrasonography, Magnetic Resonance Angiography
namun banyak modalitas yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan imaging dari
renovascular hypertension. Prinsip dari tatalaksana kondisi ini adalah untuk
menjaga agar tekanan darah optimal serta mencegah terjadinya penurunan dari

4
fungsi renal dan mencegah terjadinya penyakit cardiovascular. Tatalaksananya
terbagi menjadi medikamentosa dan non-medikamentosa. Medikamentosa terdiri
dari obat antihipertensi seperti ACE-inhibitor, ARB dan CCB sedangkan non-
medikamentosa terdiri dari perubahan pola hidup dan tindakan operatif. Apabila
dilakukan tatalaksana yang sesuai dan tepat maka renovascular hypertension dapat
teratasi namun apabila tidak tepat maka kondisi ini dapat berkembang menjadi end
stage renal failure dalam waktu 4 - 5 tahun dan sekitar 10 - 15% dapat terjadi
restenosis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hipertensi merupakan sebuah kondisi dimana terdapatnya peningkatan dari
tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg
berdasarkan JNC 7. Sedangkan berdasarkan ACC/AHA, hipertensi adalah apabila
terdapat peningkatan tekanan darah sistolik > 130 mmHg atau tekanan darah
diastolik >80 mmHg. Hipertensi terbagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi
primer adalah tekanan darah tinggi yang kemungkinan besar disebabkan oleh faktor
lingkungan dan genetik. Hipertensi primer juga disebut hipertensi esensial dan
dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko yang terkait kuat dan independen
dengannya.1,2
Hipertensi sekunder merupakan kondisi kenaikan tekanan darah yang
penyebabnya dapat diidentifikasi. Penyebab dari hipertensi sekunder itu bervariasi
yang mana bisa disebabkan oleh masalah ginjal, vaskular, endokrin, atau penyebab
lainnya seperti OSA, kondisi hamil, scleroderma, dan lainnya, Selain itu juga, ia
bisa disebabkan oleh penggunaan beberapa obat seperti NSAIDs, antidepresan,
dekongestan, dan obat-obatan lainnya. Renovascular hypertension atau RVH
merupakan salah satu penyebab dari terjadinya hipertensi sekunder dan umumnya
disebabkan oleh lesi oklusi pada arteri renalis. Renovascular hypertension memiliki
definisi sebagai sebuah kondisi dimana terjadi peningkatan dari tekanan darah yang
disebabkan oleh gangguan pada sirku3lasi arteri renalis sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi ginjal.4–6

2.2. Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyakit yang umum ditemukan pada setiap orang di
seluruh dunia. Tercatat sekitar 1 miliar kasus terjadi setiap tahunnya dimana > 9.4
juta dari 1 miliar kasus adalah uncontrolled hypertension dan dapat menyebabkan
kematian. Hipertensi menjadi salah satu faktor risiko untuk terjadinya penyakit
cardiovascular seperti coronary heart disease, congestive heart failure, stroke, renal

6
failure dan peripheral arterial disease. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2018,
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah adalah sekitar 34.1% dimana daerah
Kalimantan Selatan merupakan daerah tertinggi. Hipertensi primer menyumbang
90-95% dari kasus orang dewasa, dan menurut WHO, dari 90-95% kasus tersebut,
sekitar 60% orang tidak menerima pengobatan yang mereka butuhkan. Kemudian,
sekitar 5-10% pasien dengan hipertensi mengalami hipertensi sekunder. 70 - 85%
terjadi pada usia dibawah 12 tahun, 17% pada usia >65 tahun. Sekitar 75%
disebabkan oleh hipertensi renovaskular. Tipe hipertensi sekunder ini dialami oleh
pasien berbagai macam usia namun umumnya ditemukan pada pria diatas 65 tahun
atau pada wanita kurang dari 55 tahun.1,2,4

2.3. Etiologi dan faktor risiko


Terdapat berbagai macam faktor penyebab dari renovascular hypertension.
Sebagian besar penyebabnya disebabkan oleh arterosklerosis dan fibromascular
dysplasia (FMD). Sekitar 70 - 80% disebabkan oleh atherosclerosis atau renal artery
stenosis, kondisi ini merupakan etiologi tersering, dimana terlihat pada pasien lebih
dari 50 tahun, sudah memiliki riwayat hipertensi, riwayat merokok serta diabetes
mellitus serta aterosklerosis terjadi pada bagian proksimal dari cabang utama arteri
renalis. Kemudian diikuti dengan 10 - 30% disebabkan oleh FMD, lebih umum
ditemukan pada wanita dengan rentangan usia 15 - 50 tahun. Umumnya, FMD
dapat bersifat asimptomatik serta fibrosis berlokasi pada bagian distal dari arteri
renalis. Sedangkan <10% penyebabnya dari kondisi ini adalah aneurisma, takayasu
arteritis, infrak renalis, ataupun trauma.3,9,10

7
Gambar 2.1. Etiologi dari renovascular hypertension

2.4. Patofisiologi

Gambar 2.2. Patofisiologi dari Renovascular Hypertension

8
Gambar 2.3. Patofisiologi dari renovascular hypertension

Renin angiotensin aldosterone system atau RAAS merupakan regulator dari


volume darah dan resistensi sistemik vaskular. Fungsi utama dari regulator ini
adalah untuk regulasi tekanan darah dengan mengatur volume darah, reabsorpsi
dari natrium, sekresi potassium, reabsorpsi air serta tonus atau kekuatan dari
vaskular. Pada renovascular hypertension, terjadi penurunan dari tekanan perfusi di
renal yang disebabkan oleh stenosis ataupun fibromuscular dysplasia. Berdasarkan
beberapa sumber patofisiologi dari renovascular hypertension terbagi menjadi 2
teori yaitu Golblatt hypertension yaitu berdasarkan keterlibatan ginjal yaitu two
kidney one clip (2K-1C) dan one kidney one clip (1K-1C).3,6,8,11 Kedua jenis ini
terdiri dari 3 fase yaitu fase akut, transisi dan kronik. Pad afase akut baik pada 2K-
1C atau 1K-1C, terjadi peningkatan dari tekanan darah yang cepat yang disebabkan
oleh iskemia yang terjadi pada ginjal sehingga terjadi aktivasi dari RAAS melalui
produksi renin yang berlebihan oleh juctaglomerular cell pada ginjal, hal tersebut
menyebabkan terbentuknya angiotensin I dan konversi menjadi angiotensin II
sehingga terjadi vasokonstriksi terhadap pembuluh darah arteri. Renin sendiri
disekresi melalui 3 pathway yaitu renal baroreceptor yang merasakan bahwa
terdapatnya penurunan dari perfusi pada ginjal, penurunan natrium dan klorida pada
macula densa serta terdapatnya betapadrenergic stimulation. Selanjutnya pada fase
transisi sudah dimulai dengan retensi natrium dan air melalui peningkatan sekresi

9
aldosteron pada kelenjar adrenal oleh angiotensin II. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan dari tekanan darah arterial. Terakhir adalah fase kronik,
pada fase ini apabila pada model 1C-1K, retensi sodium yang meningkat secara
kronis menyebabkan tekanan arterial darah terus menerus meningkat dapat
menyebabkan ginjal kontralateral terjadi ischemia sehingga yang sebelumnya
unilateral menjadi bilateral menyebabkan terjadinya pressure diuresis dan
hipoperfusi terutama apabila etiologi dari renovascular hypertension disebabkan
oleh stenosis.3,6,8,11 Akibat dari pressure diuresis meningkat, dapat menyebabkan
aktivasi RAAS kembali sehingga siklus kembali berulang. Selain menyebabkan
retensi dari natrium melalui peningkatan sekresi dari aldosteron, angiotensin II
dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, hipertrofi, peningkatan pelepasan
stres oksidatif yang dapat mempromosikan sel inflamatori seperti IL-6 yang
kemudian dapat menyebabkan fibrosis pada ginjal sehingga berakhir pada kidney
injury. Kemudian, akibat peningkatan tekanan darah secara mendadak dan cepat,
bila dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya target-organ injury. 3,6,8,11,12

Gambar 2.4. Patofisiologi dari renal artery stenosis

2.5. Manifestasi Klinis

10
Manifestasi klinis dari renovascular hypertension bervariasi namun pada
umumnya terdiri dari onset hipertensi yang mendadak terutama pada orang berusia
dibawah 30 tahun atau lebih dari 55 tahun. Hipertensi terbagi menjadi beberapa
grade, umumnya pada pasien dengan RVH akan mengalami hipertensi grade III
atau IV sehingga dapat terjadi manifestasi klinis retinopathy. Kemudian dapat
terjadi pulmonary edema yang disebabkan oleh peningkatan dari reabsorbsi dari
natrium dan air sehingga dapat terjadi volume overload. Umumnya pulmonary
edema pada kondisi ini bersifat akut dan mendadak. Kemudian dapat ditemukan
terdapatnya bruit pada daerah abdominal. Manifestasi klinis yang terakhir adalah
terdapatnya azotemia yang mendadak walaupun sudah diberikan obat antihipertensi
ACE-inhibitor dan ARB.3,9

2.6. Diagnosis
Untuk membantu menegakkan diagnosis dari renovascular hypertension
diperlukan anamensis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang
terarah. Pada anamnesis kita dapat lihat dari manifestasi klinis yang dialami pasien
seperti onset hipertensi lebih dari 30 atau lebih dari 55 tahun, terdapat riwayat
hipertensi tidak terkontrol walaupun sudah diberikan 2 - 3 obat antihipertensi,
riwayat merokok jangka panjang. Selanjutnya dari pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tekanan darah yang tinggi, bruit pada daerah abdomen pada regio
lumbaris. Pada pemeriksaan mata dapat ditemukan adanya retinopati atau
pendarahan retina melalui funduskopi.8,11,13
Kemudian terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk menegakan diagnosis dari renovascular hypertension, pemeriksaan tersebut
terdiri dari pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan imaging.11,14
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan terdapatnya hipokalemia, bila
terjadi hipokalemia maka menjadi sebuah penanda dari terjadinya oklusi
pada pembuluh darah arteri renalis. Selanjutnya adalah pemeriksaan fungsi
ginjal, dimana akan terdapat penurunan eGFR, serum creatinine serta
ureum. Kemudian pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan proteinuria,
hematuria ataupun casts dalam urin. Bila terdapat proteinuria menandakan

11
suatu renal parenchymal disorder sedangkan bila terdapat hematuria
menandakan terdapatnya glomerulonephritis.

2. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan imaging atau pencitraan berfungsi dalam memastikan etiologi
dari renovascular hypertension. Beberapa pencitraan yang dapat digunakan
adalah renal arteriography, duplex ultrasonography, CT angiography,
MRA, catheter angiography ataupun nuclear medicine ACE-Inhibitor
renography.11,14
a. Duplex ultrasonography
Pemeriksaan imaging ini merupakan pilihan pertama dalam
mendiagnosis arteri renalis. Duplex ultrasonography memiliki
sensitivitas sekitar 82% dan specificitas 90%. Kelebihan dari
pemeriksaan ini adalah bersifat non invasif serta dapat membantu
melihat lesi pada arteri, melihat gross structural abnormalities dari
ukuran ginjal serta mengukur dari diastolic blood flow index ginjal.
Namun terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan metode
imaging ini yaitu pada pemeriksaan ini tidak dapat melihat fungsi
dari ginjal serta akan kesulitan apabila dilakukan pada pasien
dengan obesitas.
b. CT Angiography
Pemeriksaan CT angiography merupakan salah satu pilihan
dalam mendiagnosis renovascular hypertension. CT angiography
memiliki sensitivitas dan specifitcas sekitar 96% dan 99%. Pada
pemeriksaan ini terdapat kelebihan dapat melihat anatomis ginjal
serta melihat derajat obstruksi dari arteri renalis. Jenis pemeriksaan
ini menggunakan contrast sehingga kontraindikasinya adalah alergi
kontras.

c. Magnetic Resonance Angiography

12
Magnetic resonance angiography merupakan salah satu
metode non invasif seperti CT angiography dan duplex
ultrasonography. MRA menggunakan kontras seperti CT
angiography dan memiliki sensitivitas 90 - 100% dengan spesifitas
76 - 94%. Pada MRA, gambaran anatomis ginjal dapat terlihat
secara jernih namun untuk stenosis tidak terlihat dengan jernih.
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti plasma
renin activity, captopril plasma renin activity, spiral computed tomography
scanning, captopril renography. Namun pemeriksaan - pemeriksaan tersebut
dilakukan apabila dibutuhkan, dimana angiography dan duplex doppler ultrasound
tetap menjadi pemeriksaan penunjang inisial dan gold-standard.3,14

Gambar 2.5. kelebihan dan kekurangan dari pemeriksaan imaging renovascular


hypertension

2.7. Tatalaksana
Prinsip utama tatalaksana dari renovascular hypertension adalah untuk
kontrol optimal dari tekanan darah, mencegah terjadinya penurunan dari fungsi
renal serta mengurangi risiko terjadinya penyakit cardiovascular. 9,10

13
Gambar 2.6. Algoritma tatalaksana dari renovascular hypertension

Tatalaksana dari kondisi ini terdiri dari medikamentosa serta non-


medikamentosa. Tatalaksana medikamentosa merupakan tatalaksana utama dari
kondisi ini. Berdasarkan The American College of Cardiology (ACC) atau
American Heart Association (AHA) menyebutkan tatalaksana dari renovascular
hypertension dan RAS terdiri dari obat antihipertensi, statin dan antiplatelet.
Golongan obat antihipertensi yang dapat diberikan kepada pasien dengan
renovascular hypertension terdiri dari:
1. Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-Inhibitor), Angiotensin
receptor blockers (ARB)
ACE-Inhibitor dan ARB merupakan obat antihipertensi yang
bekerja secara langsung pada angiotensin II dimana kedua golongan ini
menginhibisi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan meningkatkan
ekskresi dari natrium dan H2O. Kedua golongan obat ini merupakan lini
pertama dari RVH. Namun, pemberian obat ini terdapat beberapa efek
samping salah satunya adalah peningkatan nilai serum kreatinin dan
penurunan dari nilai GFR, hiperkalemia serta angioedema. Berdasarkan The
European Society of Cardiology (ESC) guideline 2014 menyebutkan bahwa
pemberian ACE-Inhibitor dan ARB sebaiknya tidak diberikan pada pasien

14
renovascular hypertension dengan bilateral RAS atau bila terdapat lesi pada
single functioning kidney. Efek samping dari pemberian ACE-inhibitor
adalah hipotensi, hiperkalemia, peningkatan dari BUN dan kreatinin. Jenis
obat yang termasuk ke dalam ACE-inhibitor antara lain adalah ramipril,
lisinopril, enalapril, trandolapril. Kemudian pada ARB, efek samping dari
golongan obat ini adalah hipotensi, renal failure, angioedema. Jenis obat
yang termasuk ke dalam ARB adalah candesartan, irbesartan,
eprosartan.12,14–16

2. Calcium channel blocker


Calcium channel blocker atau CCB bekerja dengan cara menutupi
atau block dari calcium dengan mengikat ke L-type voltage gated calcium
channel di jantung, pankreas beserta otot halus. CCB terbagi menjadi 2 jenis
yaitu non-dihydropyridines serta dihydropyridines. Calcium channel
blocker merupakan pilihan alternatif dari ACE-inhibitor dan ARB apabila
tidak dapat diberikan serta sebaiknya pasien dengan RVH bilateral RAS
diberikan obat calcium channel blocker. Namun efek samping dari
pemberian obat ini adalah penurunan nilai GFR. Pada non-dihydropyridine
dapat menyebabkan konstipasi, bradikardia dan penurunan dari cardiac
output sedangkan pada dihydropyridines menyebabkan nyeri kepala,
peripheral edema. Jenis obat yang termasuk ke dalam calcium channel
blocker antara lain adalah verapamil, diltiazem untuk non-dihydropyridines
sedangkan untuk dihydropyridines terdiri dari amlodipine,
nicardipine.12,14,17

Tatalaksana non-medikamentosa terdiri dari perubahan pola atau gaya


hidup serta tindakan operatif. Perubahan gaya hidup untuk pasien dengan
renovascular hypertension adalah mengurangi makanan tinggi lipid dan natrium,
mengurangi konsumsi alkohol, olahraga rutin sekitar minimal 30-60 menit perhari,
kemudian untuk tidak merokok, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Kemudian tatalaksana non-medikamentosa selanjutnya adalah Tindakan
Percutaneous transluminal angioplasty (PTSA) kemudian terdapat tindakan

15
operatif yang dapat dilakukan untuk renovascular hypertension ini adalah
revaskularisasi. Sebelum melakukan tindakan tersebut, terdapat beberapa indikasi
dan syarat yang diberikan oleh ACC/AHA untuk renovascular hypertension
yaitu5,8,11 :
1. Pasien dengan congestive heart failure berulang atau dengan flash
pulmonary edema
2. Pasien dengan RAS bilateral disertai dengan perburukan dari CKD
atau hanya terdapat satu ginjal yang berfungsi disertai dengan RAS
3. Resistant atau malignant hypertension serta intoleransi terhadap
medikasi seperti obat antihipertensi
Tindakan PRTA atau Percutaneous Transluminal Angioplasty merupakan
sebuah tindakan non operatif, dimana menggunakan balon pada kateter vaskular
untuk memperluas pembuluh darah arteri renalis. Sekitar 34 - 90% kasus
renovascular hypertension dapat ditangani dengan tindakan ini terutama bila
etiologi dari kondisi ini adalah fibromuscular dysplasia. Selain PRTA terdapat
percutaneous intervention atau revascularization yang merupakan pilihan tindakan
non invasif untuk renal artery stenosis dimana menggunakan balon angioplasti
namun dapat atau tanpa disertai dengan stenting. Sekitar 82 - 100% pasien dengan
renovascular hypertension yang disebabkan oleh stenosis, atherosclerosis
berhasil.8,10,12

Gambar 2.7. Ilustrasi angioplasty

16
Tindakan operatif terdiri dari bedah revaskularisasi. Pada bedah
revaskularisasi tujuan utamanya adalah untuk mengoreksi RVH dengan
mempertahankan fungsi ginjal. Umumnya revaskularisasi yang sering atau umum
dilakukan adalah bypass aorta renal. Bypass ini dilakukan dengan cara
menghubungkan lesi pada ginjal dengan pembuluh darah aorta melalui graft secara
end-to side and arteri renal dengan cara end-to-end. Namun, tindakan operatif ini
merupakan tindakan terakhir apabila tindakan seperti angioplasti atau stenting tidak
dapat dilakukan. Pada tindakan operatif ini, tingkat mortalitas perioperatif tinggi
yaitu sekitar 2.1 hingga 6.1% dan faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
bilateral renal bypass, azotemia serta early graft failure. Selain aortorenal bypass,
terdapat pilihan tindakan operatif lainnya yaitu endarterectomy.8,10

2.8. Prognosis dan komplikasi


Prognosis dari renovascular hypertension bervariasi dan dilihat berdasarkan
etiologi penyebab dari terjadinya kondisi ini. Namun, bila renovascular
hypertension tidak diberikan tatalaksana yang tepat maka dapat berkembang
menjadi end stage renal failure dimana presentasi mortalitas dari kondisi ini adalah
35% dalam waktu 4 - 5 tahun. Sekitar 90% kasus akan terjadi penurunan tekanan
darah setelah melakukan tindakan revaskularisasi terutama pada pasien dengan
FMD, pada pasien dengan ARAS terdapat sekitar 60% keberhasilan. Namun,
sekitar 10 - 15% pasien dengan ARAS dapat terjadi stenosis berulang sehingga
pemantauan dari fungsi renal seperti ureum, creatinine, eGFR serta elektrolit
merupakan bagian penting dari tatalaksana dan prognosis dari renovascular
hypertension.3,8,10

17
BAB III
KESIMPULAN

Renovascular hypertension merupakan sebuah kondisi dari hipertensi


sekunder yang disebabkan oleh gangguan riskulasi arteri renalis sehingga terjadi
gangguan perfusi ginjal. Faktor etiologi dari renovascular hypertension bervariasi
namum paling umum disebabkan oleh atherosclerosis renal artery stenosis dan
fibromuscular dysplasia. Atherosclerosis dan renal artery stenosis umum ditemukan
pada pasien ujia lanjut serta dengan riwayat merokok dan hipertensi sedangkan
pada fibromuscular displasia lebih umum ditemukan pada wanita berusia 15 hingga
55 tahun. Serta < 10% dari renovascular hypertension disebabkan oleh aneurisma,
infrak dan trauma. Mekanisme atau patofisiologi dari terjadinya kondisi ini dilihat
dari teori Golblatt yang mengemukakan bahwa renovascular hypertension terjadi
berdasarkan keterlibatan ginjal yaitu unilateral involvement atau one-kidney one-
clip (1K-1C) dan bilateral involvement atau two-kideny one clip (2K-1C).
Kemudian dari teori ini, patofisiologi terbagi menjadi fase akut, transisi dan kronik.
Dimulai pada fase akut dimana saat terjadi iskemik, ginjal akan mengeluarkan renin
yang tinggi sehingga akan teraktivasi RAAS yang product akhirnya adalah
angiotensin II. Angiotensin II kemudian menyebabkan peningkatan aldosteron
yang akan terjadi retensi dari natrium dan air sehingga terjadi peningkatan dari
arterial pressure dan terjadi hipertensi. Angiotensin II selain menyebabkan
peningkatan dari aldosteron, kondisi ini juga menyebabkan peningkatan dari
oksidatif stress yang berakhir dengan kidney injury kemudian menyebabkan LV
hypertrophy.
Manifestasi klinis dari renovascular hypertension bervariasi namun terdapat
beberapa tanda - tanda yang menjadi poin untuk suspek kondisi ini yaitu onset
hipertensi mendadak pada usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 55 tahun, bruit
abdominal, azotemia, flash pulmonary edema ataupun hipertensi grade III dan IV
yang dapat menyebabkan terjadinya retinopathy. Melalui pemeriksaan penunjang,
diagnosis renovascular hypertension dan etiologi penyebabnya dapat ditegakan.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan proteinuria ataupun hematuria
pada urinalysis, kemudian peningkatan serum creatinine, ureum serta penurunan

18
dari eGFR pada pemeriksaan fungsi ginjal serta pada pemeriksaan elektrolit
terdapat hipokalemia. Kemudian pada pemeriksaan imaging terdapat beberapa
pilihan modalitas namun berdasarkan AHA, Duplex ultrasonography merupakan
initial assessment untuk imaging dari renovascular hypertension serta merupkan
gold standard beserta dengan CT angiography.
Pemilihan serta pemantauan tatalaksana dari renovascular hypertension
merupakan hal penting. Tujuan dari tatalaksana kondisi ini adalah unutk menjaga
agar tekanan darah tetap optimal, mencegah terjadinya penyakit cardiovascular
yang disebabkan oleh ginjal serta mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal
lebih lanjut. Tatalaksana terbagi menjadi non-medikamentosa serta
medikamentosa. Pada tatalaksana non-medikamentosa terdiri dari perubahan pola
hidup yaitu untuk restriksi garam < 2 gr/hari dan tinggi lipid diikuti dengan olahraga
rutin setiap hari, kemudian terapi non-medikamentosa lainnya adalah melakukan
tindakan seperti Precutaneous transluminal angioplasty, serta tindakan operatif
revascularization. Indikasi untuk melakukan tindakan - tindakan tersebut
berdasarkan ACC/AHA antara lain adalah pasien dengan congestive heart failure
berulang atau disertai dengan flash pulmonary edema, terdapatnya Bilateral RAS
dengan penurunan CKD atau uniltaral RAS serta terdapatnya resitant atau
malignant hypertension. Sedangkan pada tatalaksana medikamentosa berdasarkan
ACC/AHA bahwa renovascular hypertension diberikan tatalaksana medikamentosa
seperti hypertension pada umumnya yaitu obat antihipertensi, statins serta diuretics.
Sejauh ini, obat antihipertensi yang dapat diberikan untuk renovascular
hypertension adalah ACE-Inhibitor, ARB serta CCB. Prognosis dari kondisi ini
bergantung kepada etiologi serta penanganan yang dilakukan. Namun apabila
penanganan telat atau tidak sesuai, dapat terjadi end stage renal failure dengan
mortalitas 35% dalam kurun waktu 4 - 5 tahun. Sehingga pemantauan merupakan
hal yang penting dari renovascular hypertenion.

19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Iqbal A, Jamal S. Essential Hypertension [Internet]. StatPearls Publishing.


2022 [cited 2022 Nov 10]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539859/
2. Kotchen TA. Chapter 277 : Hypertension. In: Loscalzo J, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 21 Edition. 21th ed. United States Of America: McGraw-
Hill Education; 2021.
3. Cohen DL, Ghosen M, Suarez J, Townsend RR. Chapter 41 : Secondary
Hypertension. In: Lerma E V, Rosner MH, Perazella MA, editors. Current
Diagnosis & Treatment : Nephrology & Hypertension. 2nd ed. United States
Of America: McGraw-Hill Education; 2018.
4. Hegde S, Aeddula N. Secondary Hypertension [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 8]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544305/
5. Nair R, Vaqar S. Renovascular Hypertension [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 2]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551587/#_NBK551587_pubdet_
6. Hall, John E, Granger JP. Chapter 24 : Pathophysiology of Hypertension. In:
Hurst’s The Heart. 11th ed. United States Of America: McGraw-Hill
Education; 2017.
7. Hipertensi Penyakit Paling Banyak Diidap Masyarakat [Internet].
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019 [cited 2022 Nov 15].
Available from:
https://www.kemkes.go.id/article/view/19051700002/hipertensi-penyakit-
paling-banyak-diidap-masyarakat.html
8. Herrmann SM, Textor SC. Current Concepts in the Treatment of
Renovascular Hypertension. Am J Hypertens. 2018;31(2):139–49.
9. Herrmann SM, Textor SC. Renovascular Hypertension. Endocrinol Metab
Clin North Am. 2019;48(4):765–78.

20
10. Garovic V, Textor SC. Renovascular hypertension: Current concepts. Semin
Nephrol. 2005;25(4):261–71.
11. Elliott WJ. Chapter 244 : Secondary Hypertension. In: McKean SC, Ross JJ,
Dressler DD, Scheurer DB, editors. Principle and Practice of Hospital
Medicine. 2nd ed. United States Of America: McGraw-Hill Education; 2017.
12. Nagasirisha M, S BCP, Ch A, Rajitha B, C MC, Ts MS. Development of
herbal remedies for renovascular disease – An overview. 2012;2(July
2012):110–8.
13. Chandni R, Gayathri R. Renovascular hypertension. 2005;17(1):44–52.
14. Sharma G, Shah SK. Chapter 36 : Arteries. In: Doherty GM, editor. Current
Diagnosis & Treatment : Surgery. 15th ed. United States Of America:
McGraw-Hill Education; 2020.
15. Goyal A, Cusick A., Thielemier B. ACE Inhibitors. StatPearls Publishing.
2022.
16. Hill RD, Vaidya PN. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) [Internet].
StatPearls Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 5]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537027/
17. McKeever R, Hamilton R. Calcium Channel Blocker [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 8]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482473/

21

Anda mungkin juga menyukai