disusun oleh
Adelisa Mutiara Dewi Pulungan
01073200150
dibimbing oleh
dr. Jeremia Immanuel Siregar, Sp.PD
Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
BAB I. Pendahuluan 4
BAB II. Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi 6
2.2. Epidemiologi 6
2.3. Etiologi dan faktor risiko 6
2.4. Patofisiologi 7
2.5. Manifestasi Klinis 10
2.6. Diagnosis 11
2.7. Tatalaksana 13
2.8. Prognosis dan komplikasi 16
BAB III. Kesimpulan 18
BAB IV. Daftar Pustaka 20
2
DAFTAR GAMBAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
fungsi renal dan mencegah terjadinya penyakit cardiovascular. Tatalaksananya
terbagi menjadi medikamentosa dan non-medikamentosa. Medikamentosa terdiri
dari obat antihipertensi seperti ACE-inhibitor, ARB dan CCB sedangkan non-
medikamentosa terdiri dari perubahan pola hidup dan tindakan operatif. Apabila
dilakukan tatalaksana yang sesuai dan tepat maka renovascular hypertension dapat
teratasi namun apabila tidak tepat maka kondisi ini dapat berkembang menjadi end
stage renal failure dalam waktu 4 - 5 tahun dan sekitar 10 - 15% dapat terjadi
restenosis.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hipertensi merupakan sebuah kondisi dimana terdapatnya peningkatan dari
tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg
berdasarkan JNC 7. Sedangkan berdasarkan ACC/AHA, hipertensi adalah apabila
terdapat peningkatan tekanan darah sistolik > 130 mmHg atau tekanan darah
diastolik >80 mmHg. Hipertensi terbagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi
primer adalah tekanan darah tinggi yang kemungkinan besar disebabkan oleh faktor
lingkungan dan genetik. Hipertensi primer juga disebut hipertensi esensial dan
dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko yang terkait kuat dan independen
dengannya.1,2
Hipertensi sekunder merupakan kondisi kenaikan tekanan darah yang
penyebabnya dapat diidentifikasi. Penyebab dari hipertensi sekunder itu bervariasi
yang mana bisa disebabkan oleh masalah ginjal, vaskular, endokrin, atau penyebab
lainnya seperti OSA, kondisi hamil, scleroderma, dan lainnya, Selain itu juga, ia
bisa disebabkan oleh penggunaan beberapa obat seperti NSAIDs, antidepresan,
dekongestan, dan obat-obatan lainnya. Renovascular hypertension atau RVH
merupakan salah satu penyebab dari terjadinya hipertensi sekunder dan umumnya
disebabkan oleh lesi oklusi pada arteri renalis. Renovascular hypertension memiliki
definisi sebagai sebuah kondisi dimana terjadi peningkatan dari tekanan darah yang
disebabkan oleh gangguan pada sirku3lasi arteri renalis sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi ginjal.4–6
2.2. Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyakit yang umum ditemukan pada setiap orang di
seluruh dunia. Tercatat sekitar 1 miliar kasus terjadi setiap tahunnya dimana > 9.4
juta dari 1 miliar kasus adalah uncontrolled hypertension dan dapat menyebabkan
kematian. Hipertensi menjadi salah satu faktor risiko untuk terjadinya penyakit
cardiovascular seperti coronary heart disease, congestive heart failure, stroke, renal
6
failure dan peripheral arterial disease. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2018,
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah adalah sekitar 34.1% dimana daerah
Kalimantan Selatan merupakan daerah tertinggi. Hipertensi primer menyumbang
90-95% dari kasus orang dewasa, dan menurut WHO, dari 90-95% kasus tersebut,
sekitar 60% orang tidak menerima pengobatan yang mereka butuhkan. Kemudian,
sekitar 5-10% pasien dengan hipertensi mengalami hipertensi sekunder. 70 - 85%
terjadi pada usia dibawah 12 tahun, 17% pada usia >65 tahun. Sekitar 75%
disebabkan oleh hipertensi renovaskular. Tipe hipertensi sekunder ini dialami oleh
pasien berbagai macam usia namun umumnya ditemukan pada pria diatas 65 tahun
atau pada wanita kurang dari 55 tahun.1,2,4
7
Gambar 2.1. Etiologi dari renovascular hypertension
2.4. Patofisiologi
8
Gambar 2.3. Patofisiologi dari renovascular hypertension
9
aldosteron pada kelenjar adrenal oleh angiotensin II. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan dari tekanan darah arterial. Terakhir adalah fase kronik,
pada fase ini apabila pada model 1C-1K, retensi sodium yang meningkat secara
kronis menyebabkan tekanan arterial darah terus menerus meningkat dapat
menyebabkan ginjal kontralateral terjadi ischemia sehingga yang sebelumnya
unilateral menjadi bilateral menyebabkan terjadinya pressure diuresis dan
hipoperfusi terutama apabila etiologi dari renovascular hypertension disebabkan
oleh stenosis.3,6,8,11 Akibat dari pressure diuresis meningkat, dapat menyebabkan
aktivasi RAAS kembali sehingga siklus kembali berulang. Selain menyebabkan
retensi dari natrium melalui peningkatan sekresi dari aldosteron, angiotensin II
dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, hipertrofi, peningkatan pelepasan
stres oksidatif yang dapat mempromosikan sel inflamatori seperti IL-6 yang
kemudian dapat menyebabkan fibrosis pada ginjal sehingga berakhir pada kidney
injury. Kemudian, akibat peningkatan tekanan darah secara mendadak dan cepat,
bila dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya target-organ injury. 3,6,8,11,12
10
Manifestasi klinis dari renovascular hypertension bervariasi namun pada
umumnya terdiri dari onset hipertensi yang mendadak terutama pada orang berusia
dibawah 30 tahun atau lebih dari 55 tahun. Hipertensi terbagi menjadi beberapa
grade, umumnya pada pasien dengan RVH akan mengalami hipertensi grade III
atau IV sehingga dapat terjadi manifestasi klinis retinopathy. Kemudian dapat
terjadi pulmonary edema yang disebabkan oleh peningkatan dari reabsorbsi dari
natrium dan air sehingga dapat terjadi volume overload. Umumnya pulmonary
edema pada kondisi ini bersifat akut dan mendadak. Kemudian dapat ditemukan
terdapatnya bruit pada daerah abdominal. Manifestasi klinis yang terakhir adalah
terdapatnya azotemia yang mendadak walaupun sudah diberikan obat antihipertensi
ACE-inhibitor dan ARB.3,9
2.6. Diagnosis
Untuk membantu menegakkan diagnosis dari renovascular hypertension
diperlukan anamensis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang
terarah. Pada anamnesis kita dapat lihat dari manifestasi klinis yang dialami pasien
seperti onset hipertensi lebih dari 30 atau lebih dari 55 tahun, terdapat riwayat
hipertensi tidak terkontrol walaupun sudah diberikan 2 - 3 obat antihipertensi,
riwayat merokok jangka panjang. Selanjutnya dari pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tekanan darah yang tinggi, bruit pada daerah abdomen pada regio
lumbaris. Pada pemeriksaan mata dapat ditemukan adanya retinopati atau
pendarahan retina melalui funduskopi.8,11,13
Kemudian terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk menegakan diagnosis dari renovascular hypertension, pemeriksaan tersebut
terdiri dari pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan imaging.11,14
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan terdapatnya hipokalemia, bila
terjadi hipokalemia maka menjadi sebuah penanda dari terjadinya oklusi
pada pembuluh darah arteri renalis. Selanjutnya adalah pemeriksaan fungsi
ginjal, dimana akan terdapat penurunan eGFR, serum creatinine serta
ureum. Kemudian pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan proteinuria,
hematuria ataupun casts dalam urin. Bila terdapat proteinuria menandakan
11
suatu renal parenchymal disorder sedangkan bila terdapat hematuria
menandakan terdapatnya glomerulonephritis.
2. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan imaging atau pencitraan berfungsi dalam memastikan etiologi
dari renovascular hypertension. Beberapa pencitraan yang dapat digunakan
adalah renal arteriography, duplex ultrasonography, CT angiography,
MRA, catheter angiography ataupun nuclear medicine ACE-Inhibitor
renography.11,14
a. Duplex ultrasonography
Pemeriksaan imaging ini merupakan pilihan pertama dalam
mendiagnosis arteri renalis. Duplex ultrasonography memiliki
sensitivitas sekitar 82% dan specificitas 90%. Kelebihan dari
pemeriksaan ini adalah bersifat non invasif serta dapat membantu
melihat lesi pada arteri, melihat gross structural abnormalities dari
ukuran ginjal serta mengukur dari diastolic blood flow index ginjal.
Namun terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan metode
imaging ini yaitu pada pemeriksaan ini tidak dapat melihat fungsi
dari ginjal serta akan kesulitan apabila dilakukan pada pasien
dengan obesitas.
b. CT Angiography
Pemeriksaan CT angiography merupakan salah satu pilihan
dalam mendiagnosis renovascular hypertension. CT angiography
memiliki sensitivitas dan specifitcas sekitar 96% dan 99%. Pada
pemeriksaan ini terdapat kelebihan dapat melihat anatomis ginjal
serta melihat derajat obstruksi dari arteri renalis. Jenis pemeriksaan
ini menggunakan contrast sehingga kontraindikasinya adalah alergi
kontras.
12
Magnetic resonance angiography merupakan salah satu
metode non invasif seperti CT angiography dan duplex
ultrasonography. MRA menggunakan kontras seperti CT
angiography dan memiliki sensitivitas 90 - 100% dengan spesifitas
76 - 94%. Pada MRA, gambaran anatomis ginjal dapat terlihat
secara jernih namun untuk stenosis tidak terlihat dengan jernih.
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti plasma
renin activity, captopril plasma renin activity, spiral computed tomography
scanning, captopril renography. Namun pemeriksaan - pemeriksaan tersebut
dilakukan apabila dibutuhkan, dimana angiography dan duplex doppler ultrasound
tetap menjadi pemeriksaan penunjang inisial dan gold-standard.3,14
2.7. Tatalaksana
Prinsip utama tatalaksana dari renovascular hypertension adalah untuk
kontrol optimal dari tekanan darah, mencegah terjadinya penurunan dari fungsi
renal serta mengurangi risiko terjadinya penyakit cardiovascular. 9,10
13
Gambar 2.6. Algoritma tatalaksana dari renovascular hypertension
14
renovascular hypertension dengan bilateral RAS atau bila terdapat lesi pada
single functioning kidney. Efek samping dari pemberian ACE-inhibitor
adalah hipotensi, hiperkalemia, peningkatan dari BUN dan kreatinin. Jenis
obat yang termasuk ke dalam ACE-inhibitor antara lain adalah ramipril,
lisinopril, enalapril, trandolapril. Kemudian pada ARB, efek samping dari
golongan obat ini adalah hipotensi, renal failure, angioedema. Jenis obat
yang termasuk ke dalam ARB adalah candesartan, irbesartan,
eprosartan.12,14–16
15
operatif yang dapat dilakukan untuk renovascular hypertension ini adalah
revaskularisasi. Sebelum melakukan tindakan tersebut, terdapat beberapa indikasi
dan syarat yang diberikan oleh ACC/AHA untuk renovascular hypertension
yaitu5,8,11 :
1. Pasien dengan congestive heart failure berulang atau dengan flash
pulmonary edema
2. Pasien dengan RAS bilateral disertai dengan perburukan dari CKD
atau hanya terdapat satu ginjal yang berfungsi disertai dengan RAS
3. Resistant atau malignant hypertension serta intoleransi terhadap
medikasi seperti obat antihipertensi
Tindakan PRTA atau Percutaneous Transluminal Angioplasty merupakan
sebuah tindakan non operatif, dimana menggunakan balon pada kateter vaskular
untuk memperluas pembuluh darah arteri renalis. Sekitar 34 - 90% kasus
renovascular hypertension dapat ditangani dengan tindakan ini terutama bila
etiologi dari kondisi ini adalah fibromuscular dysplasia. Selain PRTA terdapat
percutaneous intervention atau revascularization yang merupakan pilihan tindakan
non invasif untuk renal artery stenosis dimana menggunakan balon angioplasti
namun dapat atau tanpa disertai dengan stenting. Sekitar 82 - 100% pasien dengan
renovascular hypertension yang disebabkan oleh stenosis, atherosclerosis
berhasil.8,10,12
16
Tindakan operatif terdiri dari bedah revaskularisasi. Pada bedah
revaskularisasi tujuan utamanya adalah untuk mengoreksi RVH dengan
mempertahankan fungsi ginjal. Umumnya revaskularisasi yang sering atau umum
dilakukan adalah bypass aorta renal. Bypass ini dilakukan dengan cara
menghubungkan lesi pada ginjal dengan pembuluh darah aorta melalui graft secara
end-to side and arteri renal dengan cara end-to-end. Namun, tindakan operatif ini
merupakan tindakan terakhir apabila tindakan seperti angioplasti atau stenting tidak
dapat dilakukan. Pada tindakan operatif ini, tingkat mortalitas perioperatif tinggi
yaitu sekitar 2.1 hingga 6.1% dan faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
bilateral renal bypass, azotemia serta early graft failure. Selain aortorenal bypass,
terdapat pilihan tindakan operatif lainnya yaitu endarterectomy.8,10
17
BAB III
KESIMPULAN
18
dari eGFR pada pemeriksaan fungsi ginjal serta pada pemeriksaan elektrolit
terdapat hipokalemia. Kemudian pada pemeriksaan imaging terdapat beberapa
pilihan modalitas namun berdasarkan AHA, Duplex ultrasonography merupakan
initial assessment untuk imaging dari renovascular hypertension serta merupkan
gold standard beserta dengan CT angiography.
Pemilihan serta pemantauan tatalaksana dari renovascular hypertension
merupakan hal penting. Tujuan dari tatalaksana kondisi ini adalah unutk menjaga
agar tekanan darah tetap optimal, mencegah terjadinya penyakit cardiovascular
yang disebabkan oleh ginjal serta mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal
lebih lanjut. Tatalaksana terbagi menjadi non-medikamentosa serta
medikamentosa. Pada tatalaksana non-medikamentosa terdiri dari perubahan pola
hidup yaitu untuk restriksi garam < 2 gr/hari dan tinggi lipid diikuti dengan olahraga
rutin setiap hari, kemudian terapi non-medikamentosa lainnya adalah melakukan
tindakan seperti Precutaneous transluminal angioplasty, serta tindakan operatif
revascularization. Indikasi untuk melakukan tindakan - tindakan tersebut
berdasarkan ACC/AHA antara lain adalah pasien dengan congestive heart failure
berulang atau disertai dengan flash pulmonary edema, terdapatnya Bilateral RAS
dengan penurunan CKD atau uniltaral RAS serta terdapatnya resitant atau
malignant hypertension. Sedangkan pada tatalaksana medikamentosa berdasarkan
ACC/AHA bahwa renovascular hypertension diberikan tatalaksana medikamentosa
seperti hypertension pada umumnya yaitu obat antihipertensi, statins serta diuretics.
Sejauh ini, obat antihipertensi yang dapat diberikan untuk renovascular
hypertension adalah ACE-Inhibitor, ARB serta CCB. Prognosis dari kondisi ini
bergantung kepada etiologi serta penanganan yang dilakukan. Namun apabila
penanganan telat atau tidak sesuai, dapat terjadi end stage renal failure dengan
mortalitas 35% dalam kurun waktu 4 - 5 tahun. Sehingga pemantauan merupakan
hal yang penting dari renovascular hypertenion.
19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
20
10. Garovic V, Textor SC. Renovascular hypertension: Current concepts. Semin
Nephrol. 2005;25(4):261–71.
11. Elliott WJ. Chapter 244 : Secondary Hypertension. In: McKean SC, Ross JJ,
Dressler DD, Scheurer DB, editors. Principle and Practice of Hospital
Medicine. 2nd ed. United States Of America: McGraw-Hill Education; 2017.
12. Nagasirisha M, S BCP, Ch A, Rajitha B, C MC, Ts MS. Development of
herbal remedies for renovascular disease – An overview. 2012;2(July
2012):110–8.
13. Chandni R, Gayathri R. Renovascular hypertension. 2005;17(1):44–52.
14. Sharma G, Shah SK. Chapter 36 : Arteries. In: Doherty GM, editor. Current
Diagnosis & Treatment : Surgery. 15th ed. United States Of America:
McGraw-Hill Education; 2020.
15. Goyal A, Cusick A., Thielemier B. ACE Inhibitors. StatPearls Publishing.
2022.
16. Hill RD, Vaidya PN. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) [Internet].
StatPearls Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 5]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537027/
17. McKeever R, Hamilton R. Calcium Channel Blocker [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2022 Nov 8]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482473/
21