Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHUAN HALUSINASI

Pembimbing CI :
Purnomo, S.Kep., Ns

Disusun Oleh:
ALEXANDER NANDITO TIMO
P1337420921016

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHUAN HALUSINASI

Disusun oleh:
ALEXANDER NANDITO TIMO
P1337420921016

Telah Memenuhi Persyaratan dan Disetujui untuk ujian skill dari Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Jurusan Keperawatan
Program Studi Profesi Ners

Oleh:

Pembimbing CI : Purnamo ., S.Kep., Ns

Tanggal :

Tanda tangan :
A. Definisi
Varcarolis mendefinisikan halusinasi sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat simulus (Yosep, 2010). Menurut Stuart dan Sundeen's
(2004) mendefinisikan halusinasi sebagai “hallucinations are defined as false sensory
impressions or experiences”. Arti dari kalimat di atas, Stuart dan Sundeen’s
mendefinisikan halusinasi sebagai bayangan palsu atau pengalaman indera.
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera
seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik (Maramis, 2005). Kemudian Sunaryo
(2004) menjelaskan bahwa halusinasi merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa
pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat.
Halusinasi merupakan salah satu masalah yang mungkin ditemukan dari masalah
persepsual pada skizofrenia, dimana halusinasi tersebut didefenisikan sebagai
pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap stimulus sensori.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari
luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus
eksteren (Persepsi palsu). Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang
salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya timulus
eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada
oleh klien.
Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh klien
Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan psikotik lain
20% mengalami campuran halusinasi pendengaran dan penglihatan.
Pada halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensoris utama yaitu :
1. Pendengaran terhadap suara : Klien mendengar suara dan bunyi yang tidak
berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain
tidak mendengarnya.
2. Visual terhadap penglihatan : Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-
samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain
tidak melihatnya.
3. Taktil terhadap sentuhan : Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa
stimulus yang nyata.
4. Pengecap terhadap rasa : Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata.
Biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak.
5. Penghidu terhadap bau : Klien mencium bau yang muncul dari sumber
tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain
tidak menciumnya.

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Etiologi
Rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara
psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi,
marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan
dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri.

Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk


terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan
seperti menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang
dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).
Faktor predisposisi dan presipitasi:
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti halusinasi antara lain:
1) Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson
tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga
letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi
genetik tambahan No.4,8,5 dan 22 (Buchanan dan Carpenter,2002). Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar 50%
jika salah satunya mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote
peluangnya sebesar 15%, seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami schizofrenia berpeluang 15% mengalami schizofrenia, sementara
bila kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
2) Faktor Neurobiologi.
Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien
schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien
schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.
3) Studi neurotransmitter.
Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan
neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotin.
4) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi schizofrenia.
5) Psikologis.
Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor predisposisi schizofrenia
antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu
melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.

Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi penyebab halusinasi adalah :


1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme gateing
abnormal)
c. Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku
seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :
Nutrisi Kurang
Kurang tidur
Ketidak siembangan irama sirkardian
Kelelahan infeksi
Kesehatan
Obat-obatan system syaraf pusat
Kurangnya latihan
Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan

Lingkungan Lingkungan yang memusuhi, kritis


Masalah di rumah tangga
Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain
Isoalsi sosial
Kurangnya dukungan sosial
Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)
Stigmasasi
Kemiskinan
Kurangnya alat transportasi
Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan

Merasa tidak mampu ( harga diri rendah)


Putus asa (tidak percaya diri )
Mersa gagal ( kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri
Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut.
Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan
Sikap/Perilaku spiritual )
Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
Rendahnya kemampuan sosialisasi
Perilaku agresif
Perilaku kekerasan
Ketidak adekuatan pengobatan
Ketidak adekuatan penanganan gejala.

3. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:
1) Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

4. Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya,
seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan
persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suara-suara
dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut.
Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan
kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera
diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan
perihal haluinasinya.

Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan


respon negatif ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang
lain.Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman-
pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk
dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk memperbincangkan tentang
halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan
memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan
dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.

Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis


halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku
halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar
mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang
diperlukan meliputi :

1) Isi Halusinasi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang
dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang
dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika
halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi
pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi
perabaan.
2) Waktu dan Frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman
halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi
pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat
mengalami halusinasi.
3) Situasi Pencetus Halusinasi.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi
muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami
klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan
klien.
4) Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa
dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman
halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya
atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

2. Jenis-jenis Halusinasi
JENIS
HALUSINASI KARAKTERISTIK

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.


Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata

Pendengaran yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada


percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi.
70% Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa
klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar


Penglihatan geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks.
20% Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.

Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses


umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi
Penghidu
penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.

Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang


jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.

3. Tanda dan gejala


Menurut Keliat (2009), tanda dan gejala klien dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi adalah :
a. Bicara, senyum dan tertawa sendiri;
b. Menarik diri dan menghindar dari orang lain;
c. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata;
d. Tidak dapat memusatkan perhatian;
e. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), dan
takut;
f. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung.

Menurut Maramis (2005), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah
sebagai berikut :
a. Bicara sendiri, senyum sendiri, dan ketawa sendiri;
b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon verbal
yang lambat.;
c. Menarik diri dari orang lain, berusaha untuk menghindari orang lain;
d. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata;
e. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah;
f. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya;
g. Sulit berhubungan dengan orang lain;
h. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah;
i. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat;
j. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton;
k. Curiga dan bermusuhan, bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan;
l. Ketakutan dan tidak dapat mengurus diri;
m. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
4. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya.

5. Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada


dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif.
Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak
ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya
yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya
terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rentang respon :

Respon Adaptif Respon Maladptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikir/delusi

Persepsi akurat Ilusi Halusinasi

Emosi konsisten dengan Reaksi emosi berlebihan Sulit berespon emosi

pengalaman atau kurang

Perilaku sesuai Perilaku aneh/tidak bias Perilaku disorganisasi

Berhubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial


6. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan keparahannya.
Fase halusinasi terbagi empat:
a. Fase Pertama
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.
Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong
untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal
pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
b. Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa
bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien
merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain.
c. Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa
dan tak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa
aman sementara.
d. Fase Keempat.
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan
orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia
yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
C. Pohon Masalah

Efek Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan sensori persepsi: halusinasi


Core

Problem

Etiologi Isolasi sosial


DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W. F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:


Surabaya.

Stuart and Sundeen’s. (2004). Mental Health Nursing Principle and Practice. Mosby: Eidenburgh.

Anda mungkin juga menyukai