Anda di halaman 1dari 8

Nama : Siti Fatimah

Nim : K7621112
Kelas : D/2021
Mata Kuliah : Pendidikan Inklusi
Dosen : Budi Wahyono, S.Pd., M.Pd

Pengembangan Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusi

Pengembangan kurikulum adaptif di sekolah inklusi adalah suatu usaha


untuk mengembangkan kurikulum yang mampu menyesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan siswa inklusi yang beragam. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa semua siswa dapat belajar secara efektif dan meraih
kesuksesan dalam pencapaian akademik.
Pada dasarnya, kurikulum adaptif mengacu pada pendekatan
pembelajaran yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.
Kurikulum ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa secara individu,
sehingga mereka dapat belajar dengan cara yang paling efektif bagi mereka.
1. Model Duplikasi
Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin
berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan
model kuriukulum, berarti Model duplikasi adalah model pendidikan inklusi
di mana semua siswa belajar dengan menggunakan kurikulum yang sama
tanpa ada perbedaan atau adaptasi khusus. Model ini cocok diterapkan pada
lingkungan sekolah yang sudah inklusif dan semua siswa dapat belajar
dengan baik tanpa ada hambatan yang signifikan.

a. Duplikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang


diberlakukan kepada anak-anak regular juga diberlakukan kepada
peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, maka standar
kompetensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk peserta didik
regular juga diberlakukan untuk peserta didik berkebutuhan khusus.
Demikian juga dengan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar
(KD) dan juga indicator keberhasilan.
b. Duplikasi isi/materi, berarti materi-meteri pembelajaran yang
diberlakukan kepada peserta didik regular (umum) juga diberlakukan
sama kepada peserta didik-peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta
didik berkebutuhan khusus memperoleh informasi, materi, pokok
bahasan atau sub-pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan
kepada peserta didik-peserta didik regular.

c. Duplikasi proses, berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani


kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang
diberlakukan kepada peserta didik-peserta didik regular. Duplikasi
proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar,
lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, atau sumber
belajar.

d. Duplikasi evaluasi, berarti peserta didik berkebutuhan khusus


menjalani proses evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang
diberlakukan kepada peserta didik-peserta didik regular. Duplikasi
evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam
waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau
lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.

Contoh dari model duplikasi, Seorang siswa tunanetra membutuhkan


buku pelajaran dalam bentuk braille dan peralatan khusus seperti alat
bantu dengar. Dalam model ini, guru akan menyediakan buku pelajaran
dalam bentuk braille dan memperhatikan kebutuhan siswa dengan
mengulangi dan menjelaskan materi yang disampaikan secara lisan.

2. Model Modifikasi
Model modifikasi adalah model pendidikan inklusi di mana kurikulum
yang sudah ada dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa
inklusi. Modifikasi kurikulum dapat dilakukan dengan menghilangkan atau
menambahkan beberapa materi yang tidak relevan atau memperkaya bahan
ajar dengan sumber daya yang relevan dengan kebutuhan siswa inklusi.
a. Modifikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam
kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi peserta
didik berkebutuhan khusus.

b. Modifikasi isi, berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan


untuk peserta didik regular dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi
peserta didik berkebutuhan khusus.

c. Modifikasi proses, berarti ada perbedaan dalam kegiatan


pembelajaranyang dijalani oleh peserta didik berkebutuhan khusus
dengan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya.

d. Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam system


penilaianuntuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan
khusus.

Contoh model duplikasi, Seorang siswa autis membutuhkan lingkungan


kelas yang tenang dan minim gangguan untuk membantu konsentrasi dan
fokus. Dalam model ini, guru akan memodifikasi lingkungan kelas
dengan meminimalkan suara bising, mengurangi penggunaan lampu yang
terang, dan menyediakan area yang tenang untuk siswa.

3. Model Subtitusi
Model substitusi adalah model pendidikan inklusi di mana kurikulum
yang sudah ada diganti dengan kurikulum alternatif yang lebih sesuai dengan
kebutuhan belajar siswa inklusi. Kurikulum alternatif ini biasanya berupa
kurikulum yang lebih sederhana atau lebih terfokus pada keahlian tertentu,
seperti keterampilan sosial atau keterampilan hidup sehari-hari.
Contoh model Subtitusi, Seorang siswa tunawisma mungkin memiliki
kesulitan untuk mengakses buku pelajaran karena keterbatasan finansial.
Dalam model ini, guru akan memberikan alternatif buku pelajaran dalam
bentuk digital yang dapat diakses secara gratis melalui internet.
4. Model Omisi
Model omisi adalah model pendidikan inklusi di mana beberapa materi
atau topik pada kurikulum yang sudah ada dihilangkan untuk
mengakomodasi kebutuhan belajar siswa inklusi. Hal ini dilakukan untuk
menghindari halangan dalam belajar atau kesulitan yang dapat
mempengaruhi motivasi siswa inklusi.
Contoh model Omisi, Seorang siswa dengan ADHD mungkin memiliki
kesulitan dalam memusatkan perhatian selama periode waktu yang lama.
Dalam model ini, guru akan mengurangi durasi pelajaran dan memberikan
istirahat singkat setiap 20-30 menit untuk membantu siswa memulihkan
konsentrasi.

5. Adaptasi Pembelajaran
Adaptasi Pembelajaran adalah proses mengadaptasi metode
pembelajaran agar dapat diakses oleh siswa dengan kebutuhan khusus.
Contohnhya :
a. Penyandang tunanetra
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk braille atau audio book.
 Memberikan instruksi secara verbal dan taktile.
 Menggunakan alat bantu seperti tongkat, papan tulis, atau kalkulator
dengan huruf braille.
b. Penyandang tunawicara
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk gambar dan visual yang
lebih jelas.
 Memberikan instruksi dengan gerakan tubuh atau tanda tangan.
 Menggunakan alat bantu seperti tablet atau komputer dengan
perangkat lunak pengenalan suara.
c. Penyandang tunarungu
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk gambar dan visual yang
lebih jelas.
 Memberikan instruksi secara visual dan tulisan.
 Menggunakan alat bantu seperti alat bantu dengar atau tuli,
interpreter bahasa isyarat atau komputer dengan perangkat lunak
pengenalan suara.
d. Penyandang Autis
 Memberikan instruksi secara singkat dan jelas.
 Membuat lingkungan pembelajaran yang tenang dan minim
stimulasi.
 Menerapkan pendekatan belajar yang lebih visual dan gamifikasi.
e. Penyandang tunagrahita
 Menggunakan bahan ajar yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti kartu gambar atau media interaktif
yang lebih sederhana.
f. Penyandang tuna laras
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk gambar dan visual yang
lebih jelas.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti papan tulis atau kartu gambar.
g. Penyandang Tunadaksa
 Menggunakan bahan ajar yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti kursi roda atau alat bantu lainnya
untuk memudahkan mobilitas.
h. Penyandang Disklesia
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk audio atau visual yang lebih
jelas.
 Memberikan instruksi secara verbal dan tulisan.
 Menggunakan alat bantu seperti spell checker atau penerjemah
bahasa.
i. Penyandang disgrafia
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk audio atau visual yang lebih
jelas.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti spell checker atau komputer dengan
perangkat lunak khusus.
j. Penyandang diskakulia
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk visual dan gamifikasi.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti kalkulator atau media interaktif.
k. Penyandang Slow Learner
 Memberikan instruksi secara terstruktur dan berulang-ulang.
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk visual dan gamifikasi.
 Memberikan dukungan dan bantuan yang lebih banyak.
l. CIBI
 Menggunakan bahan ajar dalam bentuk visual dan gamifikasi.
 Memberikan instruksi secara langsung dan tegas.
 Menggunakan alat bantu seperti media interaktif dan komputer
dengan perangkat lunak khusus.
6. Adaptasi Sarana Prasarana
Adaptasi sarana dan prasarana (sarpras) juga sangat penting dalam
pendidikan inklusi untuk memastikan bahwa siswa dengan kebutuhan
khusus memiliki akses yang sama dengan siswa lainnya. Berikut ini adalah
beberapa contoh adaptasi sarpras yang dapat dilakukan dalam pendidikan
inklusi:
a) Adaptasi Fisik
Sekolah harus memastikan bahwa fasilitas fisik mereka dapat diakses
oleh siswa dengan kebutuhan khusus, seperti ramah bagi penyandang
disabilitas atau ruang kelas yang cukup luas bagi siswa dengan kursi
roda. Sekolah juga harus menyediakan lift atau tangga yang dapat diakses
oleh siswa dengan kebutuhan khusus.
b) Adaptasi Layanan Pembelajaran
Sekolah harus menyediakan lingkungan belajar yang dapat menampung
kebutuhan siswa dengan kebutuhan khusus, seperti kursi atau meja yang
dapat disesuaikan tinggi rendahnya. Selain itu, sekolah harus
menyediakan layanan pendukung seperti guru pendamping atau konselor
yang dapat membantu siswa dengan kebutuhan khusus dalam belajar.
c) Adaptasi Media
Sekolah harus menyediakan media pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan siswa dengan kebutuhan khusus, seperti buku dengan huruf
besar atau bahan bacaan dalam bentuk braille untuk siswa tunanetra.
Selain itu, sekolah juga harus menyediakan media pembelajaran yang
dapat diakses oleh siswa dengan kebutuhan khusus seperti video dengan
bahasa isyarat untuk siswa tunarungu.
d) Adaptasi Layanan Administrasi
Sekolah harus menyediakan layanan administrasi yang dapat diakses oleh
siswa dengan kebutuhan khusus, seperti koordinator pendidikan inklusi
atau staf administrasi yang terlatih dalam memberikan dukungan kepada
siswa dengan kebutuhan khusus. Selain itu, sekolah juga harus
menyediakan informasi tentang layanan pendukung dan dukungan
finansial untuk siswa dengan kebutuhan khusus dan keluarga mereka.
e) Adaptasi Layanan Kesehatan
Sekolah harus menyediakan layanan kesehatan yang dapat diakses oleh
siswa dengan kebutuhan khusus, seperti konsultan kesehatan atau dokter
yang dapat memberikan dukungan medis yang diperlukan oleh siswa
dengan kebutuhan khusus. Selain itu, sekolah juga harus menyediakan
ruang khusus bagi siswa dengan kebutuhan khusus yang memerlukan
perawatan kesehatan secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, A., Syamsu, Y., & Murniati, I. (2017). Model dan Strategi Pembelajaran
Inklusif. Bandung: PT Refika Aditama.
Kurniasari, L., & Dwiastuti, R. (2019). Implementasi Pendidikan Inklusif untuk
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah Dasar. Journal of
Primary Education, 8(1), 51-62.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sudjana, N. (2018). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Wijayanti, L., & Fauziati, E. (2019). Pendidikan Inklusif: Model, Strategi, dan
Implementasi. Yogyakarta: Deepublish.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pendidikan Inklusif.
World Health Organization. (2021). Disability. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/disability . Diakses pada tanggal 26 April 2023.

Anda mungkin juga menyukai