Anda di halaman 1dari 37

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

ALUN-ALUN KOTA SURABAYA DALAM MENJAGA


PROTOKOL KESEHATAN PENGUNJUNG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akademik Dan Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Strata-1 Program Studi Administrasi Publik

OLEH :
ZICILYA AMANDASARI
NPM : 1111800074

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2021
Daftar Isi

Daftar Isi i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 7
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan Penelitian 7
1.4 Manfaat Penelitian 8
1.4.1 Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu 8
1.4.2 Manfaat Bagi Pemerintah Kota Surabaya 8
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1 Penelitian Terdahulu 9
2.2 Landasan Teori 12
2.2.1 Kebijakan Publik 12
2.2.2 Manajemen Pelayanan Publik 15
2.2.3 Azaz Pelayanan Publik 17
2.2.4 Prinsip Pelayanan Publik 19
2.2.5 Kualitas Pelayanan Publik 21
2.2.6 Pelayanan Publik 22
2.2.7 Electronical Government 23
2.2.8 E-Ticketing 28
2.3 Kerangka Berfikir 29
BAB III METODE PENELITIAN 30
3.1 Jenis Penelitian 30
3.2 Fokus Penelitian 30
3.3 Lokus Penelitian 31
3.4 Sumber Data 32
3.5 Teknik Pengumpulan Data 32
3.6 Teknik Analisa Data 35
3.7 Keabsahan Data 36
DAFTAR PUSTAKA 38

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruang terbuka adalah kebutuhan yang berpengaruh dan sangat penting yang harus

diutamakan keberadaan dan penataannya, salah satunya ruang terbuka publik. Menurut

Nazarudin (1994) ruang terbuka publik adalah tempat dari behaviour setting dan menjadi

suatu yang harus dimiliki oleh suatu kota. Secara alami biasanya manusia membutuhkan dan

menggunakan ruang publik sebagai ruang atau tempat untuk berkegiatan memenuhi

kebutuhan sosial yang diinginkan. Ruang terbuka publik memungkinkan seseorang atau

kelompok berinteraksi dengan banyak orang, selain itu ruang publik biasanya mendukung

untuk melakukan kegiatan tanpa tujuan yang jelas seperti bersantai, istirahat sejenak dari

kesibukan pekerjaan maupun untuk menghirup udara segar sambil menikmati suasana.

Hubungan antara ruang publik dengan penggunanya terdapat faktor yang dapat memengaruhi

yaitu Comfort (kenyamanan), Discovery (ketertarikan kepada ruang), Active engagement

(bentuk aktivitas melibatkan pengguna), Passive engagement (penggunaan pasif), dan

Relaxation (ketenangan) (Carmona, 2003). Keberhasilan suatu ruang publik bergantung pada

desain dari sebuah ruang publik itu sendiri untuk memberikan kenyamanan terhadap

pengunjung atau masyarakat yang menggunakan ruang tersebut, ataupun dapat mendukung

dan memfasilitasi aktivitas di dalamnya, sehingga pemanfaatan publik banyak dilakukan

(Satwiko, 2009).

Jenis ruang publik yang dimiliki suatu kota yaitu urban park salah satunya adalah

alun-alun. Alun-Alun seringkali dijadikan sebagai landmark suatu kota salah satunya seperti

1
di Kota Surabaya. Alun-Alun Kota Surabaya kini telah bertransformasi menjadi landmark

kota

1
2

Surabaya yang dirancang sebagai ruang terbuka dengan peranan sebagai ruang terbuka publik

yang mempunyai daya tarik tersendiri. Maka dari itu dengan melihat kenyamanan terhadap

elemen fisik dan desain, juga fasilitas pendukung akan menunjang aktivitas terhadap

pemanfaatan ruang publik yang terjadi didalamnya. Meskipun kenyamanan sangat sulit

didefinisikan, tetapi setidaknya kenyamanan masyarakat atau pengunjung dirasakan sehingga

dapat dinilai melalui pengamatan langsung ataupun penilaian responsif setiap individu atau

preferensi pengunjung. Apabila terjadi persoalan dalam behaviour setting pada ruang publik,

maka harus ada beberapa yang diimplementasikan dengan melihat pola kegiatan, lingkungan

pergaulan (milieu) maupun lingkungan pergaulan dengan hubungan pola kegiatan.

Fungsi utama kota besar dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa

yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada umumnya mempunyai corak atau cirinya

sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Corak atau ciri-ciri kota dapat diklasifikasikan

sebagai kota pusat kegiatan produksi (productions centre), kota pusat perdagangan dan

perniagaan (centre of trade and commerce), kota pusat pemerintahan (political centre), kota

pusat kebudayaan (culture centre), kota pusat kesehatan atau rekreasi (pariwisata) (healt or

recreational resort), kota yang beraneka coraknya (diversified cities). Kajian secara terperinci

tentang fungsi kota sebagai pusat kesehatan atau rekreasi (pariwisata), bahwasannya prestasi

kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan,

tingkat kesehatan, keadaan perumahan, kebiasaan dan rekreasi. Dengan cukup tersedianya

rekreasi atau tempat wisata dalam suatu kota diharapkan penduduk di daerah perkotaan dapat

menyegarkan kembali keadaan jasmani dan rohaninya, serta menimbulkan semangat kerja,

yang selanjutnya diharapkan produktivitas kerja dapat meningkat dengan adanya pariwisata

tersebut. Fasilitas pariwisata yang disediakan seharusnya dapat memenuhi cita rasa dan

keinginan penduduk kota secara luas, yang berarti dapat dinikmati oleh sebagian besar
3

golongan umur yang mempunyai berbagai kegemaran. Sering sekali suatu sumber daya

lingkungan, seperti taman publik, memberikan manfaat bagi pemakainya, tetapi karena tak

ada pungutan tarifnya, maka pencerminan akan nilainya tak terlihat. Ini tak berarti bahwa

sumber daya lingkungan itu bukan tanpa nilai atau hilangnya tak akan merupkan kehilangan

kesejahteraan bagi masyarakat. Penilaian ekonomi dilakukan untuk menunjukkan secara nyata

sesuatu yang selama ini kurang mendapatkan perhatian bahkan sering diabaikan dalam sisi

kebijakan. Dengan diketahuinya nilai ekonomi yang diperoleh pegunjung terhadap manfaat

lingkungan taman publik, akan memberikan suatu dorongan untuk pengembangan

pengelolaan taman publik.

Alun-alun merupakan salah satu taman publik yang ada disetiap kota atau daerah di

Indonesia. Di Pulau Jawa sendiri banyak kota yang menyebut alun-alun merupakan tanah

lapang terbuka dan luas untuk umum berbentuk persegi empat mendekati bujur sangkar yang

terletak di pusat kota, ciri khas dari sebuah alun-alun adalah terletak di kediaman penguasa

daerah dan disekelilingnya terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, toko-toko,

kantor pos, halte kendaraan umum, dan fasilitas lainnya. Alun-alun pada masa lampau

merupakan pusat kemasyarakatan. Alun-alun dalam konsep tata ruang kota Jawa merupakan

salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa. Perletakan alun-alun juga didasari tiga unsur

kosmologi yang dianut keraton yaitu alam semesta, manusia, dan tuhan, hubungan korelatif

antara ketiga unsur tersebut secara simbolik terlihat pada bangunan keraton dan tata ruang

kota kerajaan dalam pemahaman Jawa kesejajaran antara makrokosmos atau jagat raya

dengan mikrokosmos atau dunia manusia yang merupakan hal penting, tidak hanya sebagai

pusat politik tetapi juga menjadi pusat magis bagi seluruh wilayah kerajaan. Kerajaan

menunjukkan diri nya sebagai jagad kepada pejabat istana, penguasa-penguasa yang berada di

bawah nya dan rakyat pada alun-alun saat upacara atau pertunjukkan. Mata angin menjadi
4

sumbu dalam mengorganisir tata ruang dan bangunan secara keseluruhan pada alun-alun yang

ada di pulau Jawa, sumbu imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan

hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Sumbu imajiner ini dapat dilihat dari orientasi ruang pada alun-alun yang tersusun dari

elemen fisik dan elemen non fisik. Kondisi alun-alun semakin parah pada jaman pasca

kolonial atau era kemerdekaan banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan

kota ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan sebagai dan untuk apa alun-alun

tersebut. Perubahan yang terjadi juga tidak lepas dari peran pemerintah karena dianggap

kurang tegas dalam pelestarian benda cagar budaya yaitu alun-alun dan apa yang tersimpan

didalamnya dan hanya mementingkan keuntungan ekonomi saja (dari segi ekowisata) karena

mengorbankan alun- alun menjadi kompleks pertokoan.

Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil pembangunan fisik

yang menjadi daya dukung berkembangnya sebuah kota berlangsung dengan pesat. Hal ini

didorong oleh adanya pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi yang semakin meningkat

tinggi. Pada situasi menghadapi berbagai masalah fisik alam tersebut, tuntutan kebutuhan

kualitas udara yang baik, kenyamanan dan kebutuhan ruang terbuka semakin meningkat

seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitasnya. Peran ruang publik bagi

masyarakat perkotaan sangat penting. Ruang publik merupakan sarana bagi masyarakat untuk

melakukan suatu aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan rekreasi atau wisata dan tentu

saja kegiatan tersebut mengarah kepada jenis kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan

sosial masyarakat. Pentingnya peranan ruang terbuka bagi kehidupan masyarakat menjadi

salah satu alasan yang mendasari Pemerintah Kota Surabaya untuk melakukan revitalisasi

taman-taman yang ada di Kota Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menarik minat masyarakat

agar dapat memanfaatkan taman kota sebagai ruang publik dan juga untuk mengurangi
5

pemanfaatan taman kota yang cenderung menyimpang dari fungsinya. Alun -alun merupakan

ruang terbuka publik yang utama yang dijadikan sebagai pusat Kota Surabaya yang

dimanfaatkan masyarakat sebagai ruang dan tempat favorit masyarakat untuk melakukan

berbagai aktifitas. Alun – alun Kota Surabaya memiliki daya tarik yang kuat sehingga banyak

dikunjungi oleh masyarakat. Pengunjung yang datang ke alun-alun tersebut tentu memiliki

persepsi dan preferensi masing-masing terkait dengan fasilitas yang disediakan,

Melihat Alun-alun Kota Surabaya sendiri memiliki konsep lahan terbuka atau public

space dan berada pada lahan yang terbatas. Bila melihat konsep dari alun- alun Kota Surabaya

tersebut maka konsep alun-alun Kota Surabaya jauh dari makna tradisional karena konsep

alun-alun Surabaya yang sekarang menjadi taman terbuka dengan fungsi utamanya yaitu

ekonomi dan hanya sebagai nuansa baru bagi estetika kota. Konsep dari alun-alun Kota

Surabaya ini juga tidak lepas dari peran Pemerintah Kota Surabaya, perkembangan alun-alun

di Pulau Jawa yang mengikuti jaman seharusnya tidak mehilangkan makna filosofinya

sehingga masih dapat menunjukkan ikatan budaya dengan masyarakat yang sesuai dengan

nilai sejarah dan Pendidikan yang tertinggal. Alun-alun juga merupakan aset kekayaan daerah

yang bisa dijual sebagai objek pariwisata, bahkan alun-alun tidak boleh kehilangan makna

filosofinya sebagai warisan kekayaan budaya nasional. Dengan beragam pesona dan

kemodernan konsep yang ada di alun-alun Kota Surabaya, menjadikan alun-alun tersebut

sejak dibuka untuk umum pada bulan Desember 2021 lalu, alun-alun Surabaya ini langsung

menjadi lokasi ruang terbuka atau wisata favorit bagi warga Kota Surabaya bahkan

pengunjung juga hadir dari luar Kota Surabaya meskipun di buka ditengan kondisi pandemi.

Setiap harinya tidak kurang dari 2.000 orang yang mengantre untuk bisa masuk kedalamnya,

bahkan saat Hari Sabtu dan Minggu pengunjung bisa mencapai angka 4000 orang per-

harinya. 
6

Kasus COVID-19 di Indonesia pertama kali terkonfirmasi pada awal Maret tahun

2020. Sejak saat itu pandemi ini cepat menyebar hingga ke seluruh wilayah di Indonesia.

COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang pertama

kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019 lalu (WHO). Virus ini

sekarang menjadi sebuah pandemi yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia. Adapun

penyebaran COVID-19 sangat berdampak bukan hanya pada kegiatan ekonomi dan bidang

transportasi tetapi juga pada dirasakan oleh industri pariwisata. Total kasus terkonfirmasi

COVID-19 di Indonesia adalah 1.111.671 per tanggal 3 Februari 2021 (News Google, 2021).

Jumlah ini terus mengalami kenaikan dari hari ke hari dibuktikan dengan bentuk kurva yang

cenderung masih menanjak. Adanya pandemi ini menyebabkan penurunan yang signifikan

terkait jumlah wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Hal ini tentunya menyebabkan

industri pariwisata mengalami kerugian yang cukup besar dikarenakan adanya penutupan

akses bagi turis-turis mancanegara dan diberlakukannya kebijakan penutupan objek wisata itu

sendiri. Kebijakan penutupan objek wisata dilakukan guna meminimalisir adanya klaster baru

penyebaran COVID-19.

Pandemi Covid-19 juga berpengaruh signifikan terhadap pariwisata Kota Surabaya,

dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang di berlakukan dikota Surabaya

menjadikan ruang terbuka atau tempat wisata di kota Surabaya harus memberlakukan

kebijakan kunjungan wisata atau kegiatan yang mengakibatkan orang berkerumun dengan

standart protokol kesehatan yang ketat. Para stakeholder yang berkenaan langsung dengan

pengelolaan ruang terbuka atau wisata di Kota Surabaya harus menyusun strategi bagaimana

ruang terbuka atau wisata di kota Surabaya tetap bisa diakses dan dinikmati oleh masyarakat

dengan tetap mematuhi kebijakan protokol kesehatan dan tidak menjadikan area ruang

terbuka menjadi tempat penyebaran virus corona. Alun-alun Kota Surabaya yang mendadak
7

menjadi primadona untuk berekreasi atau berkumpul dan berinteraksi sosial dengan

kunjungan yang setiap harinya melibihi 1000 pengunjung lebih disituasi pandemi seperti ini

menjadikan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKORP) Kota

Surabaya membuat aturan baru bagi para pengunjung. Saat ini pengunjung yang ingin masuk

ke alun-alun Kota Surabaya harus melakukan reservasi terlebih dahulu guna mendapatkan

tiket masuk. Namun pengunjung tidak perlu khawatir, karena  tiket masuknya masih tetap

gratis. Reservasi tiket bisa dilakukan melalui laman tiketwisata.surabaya.go.id. Pada laman ini

pengunjung bisa pemesanan tiket dan memilih kapan waktu untuk berkunjung. Setiap harinya

alun-alun Kota Surabaya menyediakan 14 sesi bagi pengunjung untuk bisa masuk

kedalamnya. Nantinya per-sesi tersebut dibatasi maksimal 100 orang saja. Sedangkan untuk

tiap sesi-nya akan dibatasi waktu maksimal 30 menit. alun-alun Kota Surabaya ini buka setiap

hari mulai pukul 09.00 WIB hungga pukul 19.00 WIB. Melihat fenomena tersebut peneliti

tertarik untuk melakukan kajian tentang bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan oleh

stakeholder dalam menjaga protokol kesehatan pengunjung di alun-alun Kota Surabaya

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kualitas pelayanan publik objek wisata alun-alun Kota Surabaya dalam

menjaga protokol kesehatan pengunjung?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik objek wisata alun-alun Kota Surabaya

dalam menjaga protokol kesehatan pengunjung

1.4 Manfaat Penelitian


8

1.4.1 Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk

pengembangan teori administrasi publik pada umumnya dan memberikan

referensi terkait kualitas pelayanan publik di sektor pariwisata saat pandemi.

1.4.2 Manfaat Bagi Pemerintah Kota Surabaya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

pemerintah Kota Surabaya terkait kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan

pariwisata di Kota Surabaya dalam situasi pandemi.

1.4.3 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan

pemahaman terkait kualitas pelayanan publik dalam sektor pariwisata di tengah

pandemi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini penelititi memasukkan beberapa kajian terdahulu

yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang “Kualitas

Pelayanan Publik Alun-Alun Kota Surabaya Dalam Menjaga Protokol

Kesehatan”. Sehingga kajian pustaka ini mempunyai fungsi untuk menjelaskan

gejala apa saja dan permasalahan apa saja yang akan diteliti. Dalam bab ini

berisi uraian secara sistematis tentang hasil penelitian yang sudah dilakukan

sebelumnya tentang yang akan dikaji dalam penelitian. Hasil-hasil penelitian

terdahulu antara lain :

1. Titin Rohiyatin (2018), dengan judul penelitian Penyelenggaraan

Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kota Bandung. Hasil

penelitiannya adalah Pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan

reklame di Kota Bandung belum optimal dilaksanakan, ini ditunjukkan

dengan jawaban dari informan melalui beberapa indikator menyatakan

pelayanan publik dalam izin penyelenggaraan reklame cukup, bahkan

ada beberapa jawaban informan yang menyatakan kurang. Faktor

dominan yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan pelayanan

publik dalam izin penyelenggaraan reklame adalah faktor komunikasi

birokrasi. Ini ditunjukkan dengan hasil jawaban 432 dari informan yang

menyatakan

9
10

bahwa kurang sosialisasi terhadap aturan yang ada, pegawai belum

dapat merespon keinginan masyarakat, pegawai belum dapat

menyelesaikan permasalahan pengguna layanan, ini semua adalah

mengarah kepada tidak terbangunnya komunikasi dan interaksi antara

pelaksana pelayanan dan pengguna layanan masih lemah.

2. Lina Nurmawati (2017), dengan judul penelitian Analisis Pelayanan

Publik Bagi Lanjut Usia Di Kabupaten Bantul Tahun 2016 (Studi

Tentang Pelayanan Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur

Yogyakarta Oleh Dinas Sosial). Hasil dari penelitian menunjukkan

bahwa pelayanan bagi lanjut usia yang dilakukan oleh PSTW Unit Budi

Luhur Yogyakarta yaitu berupa beberapa program pelayanan yaitu,

program pelayanan rutin (reguler), program pelayanan khusus, dan

program pelayanan day care services yang setiap program pelayanan

terdapat beberapa kegiatan didalamnya. Seperti Pelayanan Permakanan,

pelayanan fisik, pelayanan kesehatan, bimbingan psikologi, ceramah

(rohani), kesenian, dan kegiatan rekreasi. Kesimpulan yang dapat

diambil dari penelitian yang dilakukan, berdasarkan keseluruhan

pelaksanaan pelayanan lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta

dapat dikatakan cukup baik artinya lanjut usia sudah mendapatkan

pelayanan yang dapat dikatakan cukup memuaskan. Walaupun masih

ada sedikit kekurangan, akan tetapi untuk secara keseluruhan sudah

dapat dikatan cukup baik.

3. Yuliastono Kurniawan (2017), dengan judul Persepsi Masyarakat


11

Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendidikan Kota

Yogyakarta Tahun 2016. Hasil Penelitiannya menunjukkan bahwa

mayoritas persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada

Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta adalah baik. Kualitas pelayanan

publik yang dipersepsi adalah konsistensi kerja (performance),

kemampuan untuk dipercaya (dependability), kemauan pegawai,

kesiapan pegawai, keterampilan pegawai, pengetahuan pegawai,

kemudahan pegawai untuk dihubungi, kemudahan pegawai untuk

ditemui, sikap sopan santun, dan sikap ramah dalam memberikan

pelayanan.

4. Ida Yunari Ristiani (2020), dengan judul Manajemen Pelayanan Publik

Pada Mall Pelayanan Publik di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa

Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan Penyelenggaraan Manajemen

Pelayanan Publik (MPP) merupakan langkah strategis sebagai wujud

reformasi administrasi untuk mewujudkan sebuah pelayanan publik

yang berkualitas di Kabupaten Sumedang Namun, efektivitas Mal

Pelayanan Publik masih mengalami beberapa kendala selama kantor

tersebut masih mengandalkan tenaga manusia dalam mengurus

administrasi dan menerbitkan perizinan. Pelayanan publik yang banyak

mendapat sorotan dari masyarakat adalah berkait dengan masalah

perizinan, mengingat prosesnya yang demikian panjang dan memakan

waktu lama disamping pembiayaan yang tidak sedikit. Kondisi yang

demikian biasa dikategorikan sebagai penyakit birokrasi red tape, yaitu


12

berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang tidak efisien

sekalipun sebenarnya dapat diselesaikan secara singkat.

5. Denny Nazaria Rifani (2021). Judul Penelitiannya adalah Pelayanan

Publik Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kecamatan Sambaliung

Kabupaten Berau. Hasil Penelitiannya menunjukkan bahwa

penyelenggaraan pelayanan publik pada masa Pandemi Covid-19 masih

dapat dilakukan akan tetapi dengan cara yang berbeda dari biasanya,

standar pelayanan yang diberikan sesuai dengan surat edaran

Pemerintah Kabupaten Berau yang merujuk pada aturan Pemerintah

Pusat, sarana/prasarana/fasilitas telah disediakan sesuai dengan anjuran

Kementerian Kesehatan, kompetensi petugas yang baik serta memiliki

banyak pengalaman ditempatkan pada bidangnya masing-masing agar

dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat. Harus

meningkatkan penyelenggaraan pelayanan berbasis teknologi

informasi, karena masih belum adanya pelayanan yang berbasis online.

2.2 Landasan Teori

2.2.4 Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan suatu elemen yang sangat penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik secara sederhana dapat dipahami

sebagai pelayanan yang di selenggarakan oleh pemerintah. Menurut Mulyadi, Deddy

Dkk. (2016:39). Mengatakan bahwa “Pelayanan publik dapat diartikan sebagai


13

pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah di

tetapkan”. Sedangkan menurut Surjadi.(2011:7) mengemukakan bahwa Pengertian

lain pelayanan publik merupakan merupakan pelayanan negara untuk memenuhi

kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa dan pelayanan

administrasi yang di sediakan oleh penyelengggara pelayanan publik.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga

negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang disediakan

oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan menurut Keputusan Menteri

Pemberdayaan Aparatur Negara No/KEP//25/M.PAN/2/2014 menyebutkan bahwa

pelayanan publik adalah segala kegiatan pelaksanaan yang dilaksanakan

penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pelayanan

maupun dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada

pendapat di atas, menjadikan bukti bahwa pelayanan publik merupakan suatu bentuk

pelayanan yang diberikan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakat. Pelayanan publik juga harus mengacu dan di dukung oleh undang-undang

ataupun regulasi yang berlaku sehingga dapat menjadi acuan dalam penyelenggaranya.

Selain dari pihak pemerintah yang menjadi penyelenggara pelayanan publik,

dimungkinkan pula penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh non pemerintah

seperti swasata.
14

2.2.2 Manajemen Pelayanan Publik

Menurut Manulang sebagaimana dikutip oleh Ratminto & Atik

Septi Winarsih (2016:1) mengemukakan bahwa manajemen adalah seni

dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan

pengawasan dari pada sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan dari perusahaan atau

lembaga pendidikan akan tercapai dengan baik apabila manajemennya

dikelola dengan baik pula. Kepuasan pelanggan dalam suatu

perusahaan atau lembaga pendidikan ditentukan salah satunya oleh

manajemen pelayanan yang bagus atau servis yang baik terhadap

pelanggan.

Manajemen adalah inti dari administrasi, karena manajemen

merupakan alat pelaksana utama administrasi. Adapun pengertian

manajemen menurut para ahli diantaranya Gibson dan Donelly dan

Ivancevich dalam buku Ratmanto (2005:2) mendefinisikan manajemen

sebagai berikut: “suatu proses yang dilakukan oleh satu atau lebih

individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktifitas lain untuk

mencapai hasil-hasil yang tidak dicapai apabila satu individu bertindak

sendiri”.

Sedangkan menurut Ratminto dan Atik Septi Winarsih. (2005:2).

manajmen pelayanan dapat di artikan yaitu: “Suatu proses penerapan

ilmu dan seni untuk menyususn rencana, mengimplementasikan


15

rencana, mengkoordinasikan dan menyelesai kan aktivitas-aktivitas

pelayanan demi tercapainya tujuan-tujuan pelayanan yang tegas dan

ramah terhadap konsumen, terciptanya interaksi khusus dan control

kualitas dengan pelanggan” Manajemen publik seringkali diidentikan

dengan manajemen instansi pemerintah. Kemudian Rinaldi, Runi.

(2012:45) mengatakan bahwa manajemen adalah suatu studi

interdisispliner dari aspek-aspek umum organisasi dan merupakan

gabungan antara fungsi manajemen yaitu seperti planning, organizing,

dan controling di satu sisi sedangkan di sisi lain adalah SDM,

keuangan, fisik, informasi dan politik. Manajemen pelayanan publik

juga dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan dan

pengimplementasian serta mengarahkan dan juga mengkoordinasikan

penyelesaian aktifitas-aktifitas pelayanan publik demi tercapainya

tujuan-tujuan pelayanan publik yang telah di tentukan sebelumnya.

Manajemen pelayanan publik yang baik tentu saja akan berpengaruh

dan memberikan pelayanan yang berkualitas, sebaliknya buruknya

kualitas pelayanan publik maka akan berpengaruh pada tingkat

kepercayaan masyrakat terhadap pemerintah. Dari uraian diatas dapat

di pahami bahwa pelayanan adalah suatu proses. Dengan demikina

objek utama dari manajemen pelayanan publik adalah pelayanan itu

sendiri, jadi manajemen pelayanan publik adalah manajemen proses,

yaitu sisi manajemen yang mengatur dan mengendalikan proses

layanan, agar mekanisme kegiatan pelayanan dapat berjalan dengan


16

tertib, lancar, tepat sasaran, serta memuaskan bagi pihak yang dilayani.

Selanjutnya Rinaldi , Runi. (2012:45).juga menyatakan bahwa

“Pelayanan publik hampir secara otomatis akan dapat membentuk citra

( image ) tentang kinerja birokrasi. Karena kebijakan negara yang

menyangkut pelayanan publik tidak lepas dari birokrasi. Sehubungan

dengan itu kinerja birokrasi secara langsung berkaitan dengan masalah

kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur”.

2.2.3 Azaz Pelayanan Publik

Dalam Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik, disebutkan jika dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus

mengacu pada beberapa asas, yakni:

1. Kepentingan Umum

Artinya pelayanan publik digunakan, dimanfaatkan dan

ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum.

2. Kepastian Hukum

Artinya pelayanan publik memiliki dan mengikuti kepastian

hokum, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanannya.

3. Kesamaan Hak

Artinya masyarakat memiliki kesamaan hak dalam menerima

pelayanan public.

4. Keseimbangan Hak dan Kewajiban


17

Artinya pihak-pihak yang berkaitan dengan pelayanan public

memiliki hak dan kewajiban yang sama.

5. Profesional

Artinya dalam menjalankan tugas, pihak yang terlibat dalam

pelayanan public haruslah bersikap professional.

6. Partisipatif

Artinya pihak yang terlibat dalam pelayanan public harus

bersikap partisipatif.

7. Tidak Diskriminatif

Artinya semua masyarakat, tanpa terkecuali, harus mendapat

perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif.

8. Keterbukaan

Artinya seluruh pihak yang terlibat dalam pelayanan public

harus terbuka misalnya dalam penyampaian informasi.

9. Akuntabilitas

Arti pihak pelayanan publik harus memiliki akuntabilitas atau

bertanggung jawab.

10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan

Artinya pihak pelayanan publik harus memberikan fasilitas serta

perlakuan khusus bagi mereka yang masuk dalam kelompok

rentan.

11. Ketepatan waktu

Artinya pelayanan dan tugas harus senantiasa dilakukan dengan


18

mengutamakan ketepatan waktu.

12. Cepat, murah, dan terjangkau

Artinya pelayanan public harus cepat, mudah atau tidak

berbelit-belit, dan terjangkau atau aksesnya mudah.

2.2.4 Prinsip Pelayanan Publik

Pelayanan publik harus memperhatikan asas-asas keadilan dan non

diskriminasi, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik dikatakan baik jika

memenuhi beberapa asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum,

kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional,

partisipatif, persamaan perlakuan/tindak diskriminatif, keterbukaan,

akuntabilitas, fasilitas dan perlakukan khusus bagi kelompok rentan,

ketepatan waktu, serta kecepatan kemudahan dan keterjangkauan.

Dengan demikian, jelas bahwa seharusnya pelayanan publik tetap

memperhatikan keadilan dan ramah terhadap masyarakat berkebutuhan

khusus seperti penyandang disabilitas sebagai salah satu kelompok

rentan selain lanjut usia, wanita dan anak-anak. Berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik, terdapat 10 (sepuluh) prinsip pelayanan umum yang

diatur di dalamnya, yaitu :


19

1. Kesederhanaan prosedur. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-

belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik.

Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan dan penyelesaian

keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik.

Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

3. Kepastian waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan

dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi (Ketepatan) Produk pelayanan publik diterima dengan

benar, tepat dan sah.

5. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa

aman dan kepastian hokum

6. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau

pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan

pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan

pelayanan publik.

7. Kelengkapan sarana prasarana Tersedianya sarana dan prasarana

kerja, peralatan kerja, dan pendukung lainnya yang memadai,

termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan

informatika (telematika).
20

8. Kemudahan akses (Aksesibilitas) Tempat dan lokasi serta sarana

pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan

dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

Aksesibilitas disini adalah kemudahan yang disediakan untuk

penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.

9. Kedisplinan, kesopanan dan keramahan Pelaksana pelayanan harus

bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah.

10. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan

ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan

sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti

tempat parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

2.2.6 Kualitas Pelayanan Publik

Kriteria kualitas pelayanan oleh Morgan dan Murgatroyd (1997:92)

mengungkapkan adanya suatu konsep tentang perlunya keseimbangan antara 3

(tiga) komponen penyediaan pelayanan adalah 1) interpersonal component, 2)

procedures environtment dan process component, 3) technical professional

component, yang kesemuanya itu disebut dengan The Triangle of Service

Quality. Kualitas pelayanan dengan harapan pelanggan, persepsi manajemen,

kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi eksternal, dan apa yang

dirasakan oleh pelanggan. Kualitas kinerja birokrasi yang dikemukakan oleh

Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990:72) menjelaskan tentang indikator


21

kualitas pelayanan, yang terdiri atas beberapa faktor : a. Tangible yaitu kualitas

pelayanan yang berupa sarana fisik seperti perkantoran, komputerisasi

administrasi, ruang tunggu, toilet dan tempat informasi. b. Reliability yaitu

kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya. c.

Responsiveness yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan

pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen.

d. Assurance yaitu kemampuan dan keramahan serta kesopanan pegawai dalam

meyakinkan konsumen. e. Empaty yaitu sikap tegas, tetapi penuh perhatian

dari pegawai terhadap konsumen.

2.3 Kerangka Berfikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Kualitas Pelayanan Publik Alun-Alun Kota Surabaya


dalam Menjaga Protokol Kesehatan

5 Indikator Kualitas Pelayanan :

1. Tangible
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Empaty

Terwujudnya kualitas pelayanan publik dalam menjaga


protokol kesehatan pengunjung alun-alun Kota Surabaya
yang baik

Sumber : Diolah penulis pada tahun 2022


31

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan

diskriptif. (Creswell, 2010) pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk

membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif konstruktif

(misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai- nilai

sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan

tertentu) atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap

politik, isu, kolaborasi, atau perubahan, atau keduanya (Kasus, 2009).

Sedangkan Menurut Sugiyono (2009:15) dalam (Maxmanroe, n.d.), metode

penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari

pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui

pendekatan kuantitatif. Tujuan penelitian kualitatif menurut Kriyantono dalam

(Hidayat, 2012) adalah untuk menjelaskan suatu fenomena dengan sedalam-

dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang

menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.


32

3.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian sangatlah diperlukan dalam suatu penelitian. Fokus

penelitian bertujuan agar data penelitian tidak meluas. Dalam penelitian

kualitatif, menurut (Idrus,2009) ada batas kajian penelitian yang ditentukan oleh

fokus penelitian. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam

penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah penelitian, sehingga

memudahkan peneliti untuk menentukan data yang terkait dengan tema

penelitiannya. Tanpa adanya fokus penelitian ini, peneliti akan terjebak oleh

banyaknya data yang diperoleh ketika terjun ke lapangan, sehingga dalam

penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah tentang bagaimana kualitas

pelayanan publik dan faktor penghambat pelayanan publik di Alun-alun Kota

Surabaya dalam menjaga protokol kesehatan pengunjung.

3.3 Lokus Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilakukan. Penetapan

lokasi penelitaian merupakan tahap yang sangat penting dalam penelitian

kualitatif, karena dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti objek dan

tujuan sudah ditetapkan sehingga mempermudah penulis dalam melakukan

penelitian. Dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi

dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang

akurat peneliti perlu melakukan penetapan sebuah lokasi penelitian. Lokasi yang

diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan sengaja. Lokasi ini bisa

diwilayah tertentu atau suatu lembaga tertentu dalam masyarakat. Untuk


33

memperoleh data primer dan data sekunder penelitian ini dilakukan di Dinas

Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKORP) Kota

Surabaya dan Alun-alun Kota Surabaya.

3.4 Sumber Data

Sumber data adalah tempat data diperoleh dengan metode tertentu baik

berupa manusia atau dokumen. Pada penelitian kualitatif kegiatan dilakukan

secara sadar, terarah dan senantiasa bertujuan untuk memperoleh suatu

informasi yang diperlukan. Berbagai sumber data yang akan dimanfaatkan

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yaitu:

a) Informan Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta

Pariwisata (DKKORP) Kota Surabaya

b) Informan Pengunjung Alun-alun Kota Surabaya

2. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari

dokumentasi yang bersumber dari dokumentasi Dinas Kebudayaan,

Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKORP) Kota Surabaya ,

jurnal ilmiah dan sumber data elektronik lainnya.


34

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang digunakan,

maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut. Menurut, (Maryadi.Dkk, 2010) Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian kualitatif adalah teknik yang memungkinkan

diperoleh data detail dengan waktu yang relatif lama. Menurut (Sugiyono,

2005), Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan data

merupakan teknik yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang

diperlukan dari narasumber dengan menggunakan banyak waktu.

Penggumpulan data yang dilakukan oleh peneliti sangat diperlukan dalam suatu

penelitian ilmiah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik wawancara,dan dokumentasi. Berikut ini akan dijelaskan teknik-teknik

pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut.

1. Teknik Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila

peneliti akan melaksanakan studi pendahuluan untuk menemukan

permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-

hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya

sedikit.Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur karena peneliti


35

menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara sistematis dan

lengkap untuk mengumpulkan data yang dicari.

Wawancara pada penelitian ini dilakukan pada Kepala Dinas

Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKORP)

Kota Surabaya dan pengunjung alun-alun Kota Surabaya. Wawancara

merupakan suatu kegiatan yang dilakukan langsung oleh peneliti dan

mengharuskan antara peneliti serta narasumber bertatap muka sehingga

dapat melakukan tanya jawab secara langsung dengan menggunakan

pedoman wawancara.

2. Dokumentasi

Menurut Hamidi (Hamidi, 2004), Metode dokumentasi adalah

informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau

organisasi maupun dari perorangan. Dokumentasi penelitian ini

merupakan pengambilan gambar oleh peneliti untuk memperkuat hasil

penelitian. Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2013), dokumentasi bisa

berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumentel dari seseorang.

Dokumentasi merupakan pengumpulan data oleh peneliti dengan cara

mengumpulkan dokumen-dokumen dari sumber terpercaya untuk mencari

data yang diperlukan dalam penelitian. Metode dokumentasi menurut

Arikunto (Arikunto, 2006) yaitu mencari data mengenai variabel yang

berupa catatan, transkrip,buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, agenda dan sebagainya. Berdasarkan kedua pendapat para ahli dapat

ditarik kesimpulan bahwa pengumpulan data dengan cara dokumentasi

merupakan suatu hal dilakukan oleh peneliti guna mengumpulkan data


36

dari berbagai hal media cetak yang membahas mengenai permasalahan

yang akan diteleti. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi untuk

mencari data tentang pelayanan publik yang diberlakukan di alun-alun

Kota Surabaya.

3.6 Teknik Analisa Data

Setelah melakukan penggalian data, tahap selanjutnya adalah analisis data.

Cruswell mengemukakan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam

melakukan analisis data kualitatif, antara lain yaitu:

1. Analisis data kualitatif dapat dilakukan secara simultan dengan proses

pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya. Proses

analisis data kualitatif berjalan beriringan simultan dengan proses lainnya

bahkan pada awal penelitian.

Pastikan bahwa proses analisis data kualitatif yang telah dilakukan

berdasarkan pada proses reduksi data dan interpretasi. Data yang telah

diperoleh direduksi kedalampola-pola tertentu, kemudian melakukan

kategorisasi tema, kemudian melakukan interpretasi kategori tersebut

berdasarkan skema-skema yang di dapat.

2. Ubah data hasil reduksi ke dalam bentuk matriks. Dari matriks tersebut

akan dilihat hubungan antara kategori data menurut subjek, kategori data

menurut informan, berdasarkan lokasi penelitian, berdasarkan demografis,

berdasarkan waktu, dan berdasarkan pernedaan kategorilainnya.

3. Identifikasi prosedur pengodean (coding) digunakan dalam mereduksi


37

informasi ke dalam tema-tema atau kategori yang ada.

4. Hasil analisis data yang telah melewati prosedur reduksi yang telah diubah

menjadi bentuk matriks yang sudah diberi kode, selanjutnya disesuaikan

dengan model kualitatif yang dipilih. Seperti, fenomenologi, etnografi, atau

studi kasus yang masing-masingnya memiliki kekhasan dantujuan.

Demikianlah tahapan yang harus dilakukan dalam analisis data kualitatif

menurut Creswell. (Muthoharoh, 2015)

3.7 Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, validitas ini tidak memiliki konotasi yang

sama dengan validitas dalam penelitian kuantitatif, tidak pula sejajar dengan

reliabilitas (yang berarti pengujian stabilitas dan konsistensi respons) ataupun

dengan generalisabilitas (yang berarti validitas eksternal atas hasil penelitian

yang dapat diterapkan pada setting, orang, atau sampel yang baru) dalam

penelitian kuantitatif). Sebaliknya, validitas kualitatif merupakan upaya

pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur-

prosedur tertentu, sementara reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa

pendekatan yang digunakan peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti lain

dan untuk proyek- proyek yang berbeda (Creswell,2010).

Peneliti kualitatif akan mengetahui bahwa pendekatan mereka konsisten

dan reliable adalah dengan selalu mendokumentasikan seluruh prosedur-prosedur

penelitin mereka dan mendokumentasikan sebanyak mungkin langkah-langkah

dalam prosedur tersebut. Gibbs dalam (Creswell, 2010) merinci sejumlah


38

prosedur reliabilitas sebagai berikut:

1. Ceklah hasil transkripsi untuk memastikan tidak adanya kesalahan yang

dibuat selama proses transkripsi.

2. Pastikan tidak ada definisi dan makna yang mengambang mengenai kode-

kode selama proses coding. Hal ini dapat dilakukan dengan terus

membandingkan data dengan kode-kode atau dengan menulis catatan

tentang kode-kode dan definisi-definisinya.

3. Untuk penelitian yang berbentuk tim, diskusikanlah kode-kode bersama

partner satu tim dalam pertemuan-pertemuan rutin atau sharing analisis.

4. Lakukan cross-check dan bandingkan kode-kode yang dibuat oleh peneliti

lain dengan kode-kode yang telah Anda buat sendiri.

Sementara itu, validitas merupakan kekuatan lain dalam penelitian

kualitatif selain reliabilitas. Validitas ini didasarkan pada kepastian apakah hasil

penelitian sudah akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca

secara umum. Berikut ini adalah delapan strategi validitas yang disusun mulai

dari yang paling sering dan mudah digunakan hingga yang jarang dan sulit

diterapkan (Creswell, 2010):

1. Mentriangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa

bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan

menggunakannya untuk membangun justifikasi tema - tema secara

koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data

atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian.

2. Menerapkan member checking untuk mengetahui akurasi hasil


39

penelitian. Member checking ini dapat dilakukan dengan membawa

kembali laporan akhir atau deskripsi-deskripsi atau tema-tema spesifik

ke hadapan partisipan untuk mengecek apakah mereka merasa bahwa

laporan/deskripsi/tema tersebut sudah akurat. Hal ini tidak berarti

bahwa peneliti membawa kembali transkrip - transkrip mentah kepada

partisipan untuk mengecek akurasinya.

3. Membuat deskripsi yang kaya dan padat (rich and thick description)

tentang hasil penelitian. Deskripsi ini setidaknya harus berhasil

menggambarkan setting penelitian dan membahas salah satu elemen

dari pengalaman- pengalaman partisipan. Ketika para peneliti kualitatif

menyajikan deskripsi yang detail mengenai setting misalnya, atau

menyajikan banyak perspektif mengenai tema, hasilnya bisa jadi lebih

realistis dan kaya. Prosedur ini tentu saja akan menambah validitas

hasil penelitian.

4. Mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam

penelitian. Dengan melakukan refleksi diri terhadap kemungkinan

munculnya bias dalam penelitian, peneliti akan mampu membuat narasi

yang terbuka dan jujur yang akan dirasakan oleh pembaca. Refleksivita

dianggap sebagai salah satu karakteristik kunci dalam penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif yang baik berisi pendapat-pendapat

peneliti tentang bagaimana interpretasi mereka terhadap hasil penelitian

turut dibentuk dan dipengaruhi oleh latar belakang mereka.

5. Menyajikan informasi yang berbeda atau negatif yang dapat

memberikan perlawanan pada tema-tema tertentu. Karena kehidupan


40

nyata tercipta dari beragam perspektif yang tidakselalu menyatu,

membahas informasi yang berbeda sangat mungkin menambah

kredibilitas hasil penelitian. Peneliti dapat melakukan ini dengan

membahas bukti mengenai suatu tema. Semakin banyak kasus yang

disodorkan peneliti, akan melahirkan sejenis problem tersendiri atas

tema tersebut. Akan tetapi, peneliti juga dapat menyajikan informasi

yang berbeda dengan perspektif dari tema itu. Dengan menyajikan

bukti yang kontradiktif, hasil penelitian bisa lebih realistis dan valid.

6. Memanfaatkan waktu yang relatif lama (prolonged time) dilapangan

atau lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti diharapkan dapat

memahami lebih dalam fenomena yang diteliti dan dapat

menyampaikan secara detail mengenai lokasi dan orang- orang yang

turut membangun kredibilitas hasil naratif peneiitian. Semakin banyak

pengalaman yang dilalui peneliti bersama partisipan dalam setting yang

sebenarnya, semakin akurat atau valid hasil penelitiannya.

7. Melakukan tanya-jawab dengan sesama rekan peneliti (peer debriefing)

untuk meningkatkan keakuratan hasil penelitian. Proses ini

mengharuskan peneliti mencari seorang rekan (apeerdebriefer) yang

dapat mereview untuk berdiskusi mengenai penelitian kualitatif

sehingga hasil penelitiannya dapat dirasakan oleh orang lain, selain

oleh peneliti sendiri.

8. Mengajak seorang auditor (external auditor) untuk mereview

keseluruhan proyek penelitian. Berbeda dengan peer debriefer, auditor

ini tidak akrab dengan peneliti atau proyek yang diajukan. Akan tetapi,
41

kehadiran auditor tersebut dapat memberikan penilaian objektif. Hal-

hal yang akan diperiksa oleh investigator independen seperti ini

biasanya menyangkut banyak aspek dalam penelitian (seperti,

keakuratan transkrip, hubungan antara rumusan masalah dan data,

tingkat analisis data mulai dari data mentah hingga interpretasi).Tentu

saja, strategi ini dapat menambah validitas penelitian kualitatif.

Strategi-strategi yang dijelaskan di atas, dalam penelitian ini tidak digunakan

keseluruhan untuk memvalidasi data peneliti. Peneliti hanya menggunakan salah

satu strategi yaitu strategi triangulasi. Penggunaan strategi triangulasi karena strategi

ini mudah terjangkau untuk digunakan peneliti dan lebih mudah dipratekkan untuk

memvalidasi data ini. (Laily, 2014).


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad F.P. (2019). Implementasi E-Ticketing Pada Penjalan Tiket Pt. Putramaju Global
Indonesia

Balai Pemasyarakatan Kelas II Klaten. (2020). Prinsip Pelayanan Publik Yang Harus
Diketahui
Retrivered from http://bapasklaten.kemenkumham.go.id/berita-utama/prinsip-pelayanan-
publik-yang-harus-diketahui

Ida Yunari R. (2020). Manajemen Pelayanan Publik Pada Mall Pelayanan Publik di
Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Retriverd from https://media.neliti.com/media/publications/325691-manajemen-pelayanan-
publik-pada-mall-pel-5b1a807d.pdf

Ismed Kelibay. (2019). Pengembangan Sumber Daya Manusia Pada Organisasi Perangkat
Daerah Kota Sorong Dalam Menunjang E-Government Publik Berbasis Layanan.
Retriverd from http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/30410

Maryadi.Dkk. (2010).Pedoman Penulisan Skripsi FKIP. BP. FKIP Universitas


MuhammadiyahSurakarta.

Maxmanroe. (n.d.). Metode Penelitian Kualitatif: Pengertian, Tujuan, Karakteristik, dan


Jenisnya. Maxmanroe.Com. Retriverd from
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/penelitian-kualitatif.html.

Muthoharoh, B. (2015). Analisis data kualitatif creswell. Kompasiana.Com. Retriverd from


https://www.kompasiana.com/banan0005/5565ad2d1eafbd734115fc0c/a nalisis- data-
kualitatifcreswell.

O’Flynn, J., & Wanna, J. (2008). Collaborative Governance: A New Era Of


Public Policy In Australia. ANU Press. Retriverd from
https://www.jstor.org/stable/j.ctt24h315

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Alfabeta.

Sulfianna. 2020. Kinerja Pelayanan Publik (Studi Kasus Pada Dinas Kependdkan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Maros
http://repository.unhas.ac.id/id/eprint/2498/2/E013171002_disertasi%20%201-2.pdf

38
38

Anda mungkin juga menyukai