i
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Tim Peneliti i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 1
1.3 Keluaran Kegiatan 4
1.4 Metode Kegiatan 5
1.5 Kerangka Pemikiran 5
1.6 Kondisi Jawa Barat Terkini 6
1.6.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 8
1.6.2 Ekonomi 9
1.6.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 11
1.6.4 Sarana dan Prasarana 13
1.6.5 Politik 14
1.6.6 Hukum 15
1.6.7 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 16
1.6.8 Aparatur 17
1.6.9 Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah 18
1.6.10 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 19
1.7 Tantangan 19
1.7.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 20
1.7.2 Ekonomi 23
1.7.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26
1.7.4 Sarana dan Prasarana 27
1.7.5 Politik 28
1.7.6 Hukum 29
1.7.7 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 29
1.7.8 Aparatur 30
1.7.9 Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah 30
1.7.10 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 31
1.8 Modal Dasar 31
iii
BAB III AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN
DEMOKRATIS 39
III.1. Pembenahan Sistem Hukum, Politik Hukum dan Penghapusan
Diskriminasi 39
III.2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kekerasan Pada
Anak-Anak 41
III.3. Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 42
III.3.1 Politik 43
III.3.2. Pendidikan 43
III.3.3. Angka Melek Huruf (AMH) 44
III.3.4. Angka Partisipasi Sekolah 45
III.3.5. Rata-rata Lama Sekolah 48
III.3.6. Tenaga Kerja 49
III.3.7. Kekerasan Pada Anak 50
III.4. Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah 50
III.4.1. Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan Pusat dan Daerah 50
III.4.2. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah 54
III.4.3. Kelembagaan Pemerintah Daerah 58
III.4.4. Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah
Daerah 71
III.4.5. Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan 76
III.4.6. Tertatanya Daerah Otonom Baru 80
III.5. Pencapaian Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa 88
III.5.1. Jumlah Praktik Korupsi yang Melibatkan Pejabat
Pemerintah Daerah dan Penanganannya 88
III.5.2. Tingkat Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Daerah 90
III.5.3. Tingkat Partisipasi Masyarakat 90
III.6. Perwujudan Lembaga Demokrasi yang makin Kokoh 93
III.6.1. Terselenggaranya Pemilu yang Demokratis, Jujur, dan
Adil 93
III.6.2. Jumlah Partai Politik, Organisasi Non Pemerintah, dan
Lembaga Swadaya Masyarakat 95
iv
Masyarakat
IV.9. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang
Berkualitas
138
IV.10. Peningkatan Perlindungan Dan Kesejahteraan Sosial 153
IV.11. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, Pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda
dan Olahraga Kependudukan 155
IV. 12. Kehidupan Beragama 164
IV.13. Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Mutu Lingkungan
Hidup 164
IV.14. Percepatan Pembangunan Infrastruktur 195
v
DAFTAR TABEL
vi
Tabel 4.7 Realisasi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal
Dalam Negeri Jawa Barat Tahun 2004-2007 112
Tabel 4.8 Kinerja Sektor Pertanian Jawa Barat 2006-2007 116
Tabel 4.9 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2006 (Rp Juta dan persen) 120
Tabel 4.10 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Juni 2007 (Rp Juta dan
persen) 121
Tabel 4.11 Bantuan Operasional Kinerja Aparatur Pemerintah Desa dan
Kelurahan se- Jawa Barat Tahun 200 – 2007 127
Tabel 4.12 Bantuan Rehabilitasi Kantor Desa dan Kelurahan serta Sarana
Olahraga di Jawa Barat Tahun 2005 – 2007 127
Tabel 4.13 Indikator Mutu Pendidikan Di Jawa Barat (%) Tahun
2005/2006
132
Tabel 4.14. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2005 134
Tabel 4.15. Rencana Pencapaian Angka (RLS) Tahun 2002 – 2010 136
Tabel 4.16 Data Role Sharing Rehabilitasi Ruang Kelas Dan
Pembangunan RKB , Tahun 2006-2008 138
Tabel 4.17. Data Umum Kesehatan 140
Tabel 4.18. Lama Balita Menyusui dan Persentase Penolong
KelahiranTerakhir Menurut Jenis Kelamin di Jawa Barat
Tahun 2007 142
Tabel 4.19. Data Derajat Kesehatan 143
Tabel 4.20. Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup di Provinsi
Jawa Barat dibandingkan dengan angka Nasional tahun 1986,
1992, 1993 dan 2000 145
Tabel 4.21. Pola Penyakit Penyebab Kematian Anak Balita (1 – 4 Tahun)
Yang Dirawat Di Rumah Sakit Di Provinsi Jawa Barat,
Tahun 2006 146
Tabel 4.22. Status Gizi Balita Tahun 1999-2001 dan 2004-2007 150
Tabel 4.23. Jumlah Kerugian Akibat Bencana Alam Menurut Jenis di
Jawa Barat 153
Tabel 4.24. Jumlah Permasalahan Sosial Menurut Jenis di Jawa Barat 154
Tabel 4.25. Jumlah Panti Wreda Berdasarkan Data Dinas Sosial 154
Tabel 4.26 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2000 – 2006 156
Tabel 4.27. Angka Kelahiran Kasar (CBR) dan Angka Kesuburan Total
(TFR) di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000 – 2006 158
Tabel 4.28. Penduduk Wanita berusia 10 tahun ke atas yang pernah
menikah Menurut usia perkawinan pertama di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2002 – 2006 158
Tabel 4.29. Luasan Abrasi Pesisir Jawa Barat Berdasarkan Wilayah. 193
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 4.9 Rasio Tempat Tidur Di Seluruh Rumah Sakit
TerhadapPenduduk Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 -
2007 141
Gambar 4.10. Angka Kematian Bayi (AKB) menurut Kabupaten /
Kota Di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 144
Gambar 4.11. Penyebab Kematian Ibu Maternal di Provinsi Jawa
Barat, Tahun 2003-2005 147
Gambar 4.12. Perbandingan Proyeksi UHH dan Target UHH Provinsi
Jawa Barat, Tahun 2000 s.d. 2010 148
Gambar 4.13. Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beriodium
yang Baik Di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2003 s.d
2006 150
Gambar 4.13. Prevalensi Anemia Gizi Ibu Hamil di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2003 151
Gambar 4.14. Jumlah Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000 –
2006 156
Gambar 4.15. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Provinsi Jawa Barat
Selama Kurun Waktu 2002-2007 157
Gambar 4.16. Cakupan Peserta KB Baru di Provinsi Jawa Barat Tahun
2001s/d 2006 159
Gambar 4.17 Tahapan Keluarga Sejahtera di Propinsi Jawa Barat
2005-2006 160
ix
BAGIAN I
PENDAHULUAN
1
pembangunan sektoral dan kewilayahan yang berlangsung di kabupaten/kota yang
termasuk dalam wilayahnya. Propinsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah
Pusat memiliki kewenangan untuk berperan sebagai fasilitator dan koordinator
dalam penyelenggaraan pembangunan daerah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pembangunan juga berkaitan erat dengan pemberdayaan masyarakat
karena pada hakikatnya pembangunan merupakan upaya untuk memberikan
kebebasan pada masyarakat dalam menentukan nasibnya. Kemampuan dan
kemandirian ini tidak akan terwujud bila tidak ada pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan kapasitas masyarakat
agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi, mampu mencari
alternatif solusinya, mampu mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin
timbul dari alternatif solusi tersebut, serta mampu memilih alternatif solusi yang
paling tepat. Kemampuan ini hanya akan tercapai bila ada peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Pendidikan akan memperluas wawasan pemikiran dan keterampilan masyarakat,
sementara kesehatan akan menjadi faktor penunjang untuk meningkatkan
produktivitas masyarakat.
Dengan latar belakang keadaan demografis, geografis, infrastruktur, dan
kemajuan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya (manusia dan
alam) yang berbeda, maka salahsatu konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah adanya perbedaan kinerja pembangunan antar daerah. Perbedaan
kinerja pembangunan antar daerah selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan
dalam kemajuan dan tingkat kesejahteraan antardaerah. Selain itu, berbagai
permasalahan yang terjadi, seperti bencana alam, flu burung, demam berdarah,
konflik sosial, kelangkaan BBM, serta masalah kemiskinan perlu dipantau dan
dievaluasi secara cermat dan terus-menerus.
Paradigma pembangunan yang berkembang sekarang ini berfokus pada
peningkatan kualitas hidup manusia. Tolok ukur yang digunakan adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup kualitas pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi (daya beli). Melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan daya beli
diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan mengacu
pada konsep IPM tersebut, maka evaluasi kinerja pembangunan di Jawa Barat
2
diarahkan untuk menganalisis capaian kinerja pembangunan di bidang pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Namun demikian, keberhasilan pembangunan manusia
juga tidak dapat dilepaskan dari kinerja pemerintah yang masih penting
peranannya dalam menciptakan regulasi bagi tercapainya tertib sosial. Sepanjang
tahun 2007, sejumlah permasalahan masih terjadi di Jawa Barat menyangkut
bidang politik dan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan
hidup.
Permasalahan yang dihadapi Jawa Barat saat ini adalah masih rendahnya
capaian IPM dibandingkan dengan target tahunan menuju IPM 80 di tahun 2010;
penduduk miskin Jawa Barat yang meningkat terus menjadi 13.55% dari total
penduduk di Jawa Barat (data bulan Maret tahun 2008); tingkat pengangguran
terbuka (TPT) di Jawa Barat adalah 14,51% dari jumlah angkatan kerja (data
bulan Maret tahun 2008); serta rendahnya cakupan infrastruktur di Jawa Barat.
Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang merupakan salah satu wujud fungsi
pemerintah diarahkan selain untuk pencapaian IPM 2008 sebesar 76,60 juga untuk
mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran atau secara umum
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, reformasi birokrasi masih
menjadi wacana krusial yang belum selesai tergarap. Pilkada langsung yang
diharapkan membawa perubahan dalam praktik pemerintahan ternyata belum
memunculkan dampak signifikan. Kasus-kasus penyimpangan dalam perilaku
birokrat dan politisi, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai perjalanan
pembangunan di Jawa Barat sepanjang tahun 2007 hingga pertengahan 2008.
Namun demikian, berbagai praktik inovatif dalam pelayanan publik
khususnya pelayanan pendidikan dasar juga berkembang di berbagai daerah
kabupaten/kota dalam bentuk pembebasan SPP atau pemenuhan anggaran
pendidikan 20% dari APBD. Kondisi ini membawa harapan baru bahwa
desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendorong perkembangan daerah ke arah
yang lebih baik. Di bidang pendidikan ini, secara umum terjadi peningkatan dalam
capaian indikator pendidikan, seperti Rata-rata Lama Sekolah, Angka Partisipasi
Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) serta Angka Melek Huruf
(AMH). Namun, peningkatan dalam capaian Indeks Pendidikan ternyata masih
3
belum mencapai target yang ditetapkan. Sejumlah permasalahan diduga sebagai
penyebab kegagalan ini, antara lain anggaran pendidikan 20% dari APBD yang
belum dapat diwujudkan di seleuruh kabupaten/kota bahkan propinsi sendiri,
pemerataan akses pendidikan, kualifikasi dan kualitas tenaga kependidikan yang
masih belum memadai, serta sarana dan prasarana pendidikan yang belum
memadai dan tersebar merata di berbagai wilayah Jawa Barat.
Di bidang kesehatan, sejumlah permasalahan muncul terkait dengan masih
maraknya epidemi berbagai jenis penyakit seperti demam berdarah, gizi buruk,
dan kelaparan di beberapa daerah di Jawa Barat. Sekalipun capaian Indeks
Kesehatan menunjukan peningkatan selama periode 2003 – 2007, namun capaian
ini juga belum berhasil mencapai target yang ditetapkan. Akses masyarakat
terhadap kesehatan, seperti jarak ke pusat kesehatan, biaya kesehatan yang mahal,
kualitas permukiman yang kurang memadai, perilaku masyarakat, dan tenaga
kesehatan yang masih kurang menjadi isu-isu penting dalam pembangunan bidang
kesehatan.
Pembangunan manusia juga mensyaratkan keberlanjutan atau kontinuitas,
sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi penting untuk diperhatikan.
Banyak kebijakan pembangunan yang disadari atau tidak mengarah pada
perusakan lingkungan hidup. Motivasi untuk meningkatkan PAD seringkali
"mengalahkan" pertimbangan untuk konservasi lingkungan. Karena itu, dimensi
lingkungan hidup menjadi salah satu dimensi yang akan juga dievaluasi.
Evaluasi terhadap berbagai permasalahan dan penyebabnya tersebut
menjadi penting sebagai bahan masukan bagi perbaikan penyelenggaraan
pembangunan dan kepemerintahan daerah di masa mendatang.
4
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan RPJM Nasional serta
mengembangkan sistem deteksi dini masalah daerah.
5
2. Forum Group Discussion dengan sekelompok responden atau nasrasumber
dalam hal ini merupakan stakeholders pembangunan dengan tujuan
mendiskusikan topik-topik yang telah dipersiapkan oleh tim evaluasi propinsi.
Peran Bapeda Propinsi Jawa Barat akan sangat signifikan dalam tahapan ini
3. Penilaian (assessment) secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap hasil dari
pelaksanaan hasil butir (1) dan (2) dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang sedang berjalan dan yang sudah
dilaksanakan di daerah dalam menunjang pencapaian tujuan pembangunan
nasional dalam RPJMN 2004-2009.
4. Perumusan isu-isu strategis berdasarkan tahapan butir (1), (2) dan (3).
Sesuai dengan PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan
membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome)
terhadap rencana dan standar.
6
lintas Kementrian/Lembaga, kewilayahan dan lintas Kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiscal dalam rencana kerja berupa kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan. Di tingkat daerah, berdasarkan UU No 25 tahun 2004
tentang SPPN maka RPJMN ini dapat dijabarkan/menjabarkan lebih lanjut lewat
RPJMD (yang saat itu masih bernama PROPEDA) 2003 – 2007 yang disahkan
oleh Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2003 tentang Program Pembangunan
Daerah Propinsi Jawa Barat 2003 – 2007; kemudian RPJMD ini diteruskan
kepada Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana
Kerja SKPD (Renja SKPD).
7
Langkah awal dalam mengidentifikasi pelaksanaan pembangunan di
daerah adalah dengan memahami RPJMN Tahun 2004-2009 terutama agenda,
sasaran dan indicator kinerja. Dengan menggunakan pendekatan dan tahapan yang
telah dijelaskan dalam sub bab 1.4. maka tujuan dari EKPD 2008 ini dapat dicapai
dengan baik.
8
1.6. Kondisi Jawa Barat Terkini
Pembangunan daerah yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan
beragama, ekonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana,
politik, ketentraman dan ketertiban masyarakat, hukum, aparatur, tata ruang dan
pengembangan wilayah, serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional. Pelaksanaan pembangunan daerah
telah mencapai kemajuan pada berbagai bidang. Namun demikian, masih ditemui
pula berbagai masalah dan tantangan yang perlu diselesaikan dalam pembangunan
daerah kedepan, dengan memperhatikan modal dasar yang dimiliki Provinsi Jawa
Barat.
9
Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan
menitikberatkan pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana
pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan pendidikan
luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan jumlah dan
pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas masyarakat terhadap
pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih cukup tinggi, kualitas dan
relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
daya saing.
Pembangunan pemuda sebagai salah satu unsur sumber daya manusia dan
tulang punggung bangsa serta penerus cita-cita bangsa, disiapkan dan
dikembangkan kualitas kehidupannya, mulai dari tingkat pendidikan,
kesejahteraan hidup dan tingkat kesehatannya. Jumlah penduduk usia 15 s.d. 34
tahun di Jawa Barat adalah 14.848.357 jiwa atau 34,16% dari jumlah penduduk
10
Provinsi. Jawa Barat juga memiliki organisasi kepemudaan sebagai salah satu
elemen masyarakat yang potensial untuk menjadi generasi muda yang lebih
berkualitas dan mandiri.
11
sesama pemeluk agama maupun antarumat beragama. Namun masih dihadapi
munculnya ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama
yang mengganggu kehidupan beragama dan bermasyarakat.
1.6.2. Ekonomi
Provinsi Jawa Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat beragam baik
dari sisi produk wisata maupun pasar wisatawan, dengan alam dan budaya yang
dimiliki sebagai modal dasar pengembangan daya tarik wisata. Peringkat sektor
pariwisata secara nasional dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan berada pada
posisi 3 setelah DKI Jakarta dan Bali. Kendala yang masih dihadapi adalah belum
tertatanya objek wisata dan masih rendahnya kualitas infrastruktur pendukungnya.
12
Pertanian di Provinsi Jawa Barat secara umum sudah ada dan tumbuh di
masyarakat, memiliki potensi yang besar dan variatif, dan didukung oleh kondisi
agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian dalam arti
luas (tanaman, ternak, ikan, dan hutan). Kondisi tersebut mendukung Jawa Barat
sebagai produsen terbesar untuk 40 (empatpuluh) komoditas agribisnis di
Indonesia khususnya komoditas padi yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap produksi padi nasional. Sektor pertanian juga memiliki tingkat
penyerapan tenaga kerja yang tinggi yaitu sebesar 29.65 persen dari jumlah
penduduk bekerja. Namun hubungan antar subsistem pertanian belum sepenuhnya
menunjukkan keharmonisan baik pada skala lokal, regional, dan nasional. Cara
pandang sektoral yang belum terintegrasi pada sistem pertanian serta
ketidaksiapan dalam menghadapi persaingan global merupakan kendala yang
masih dihadapi sektor pertanian.
13
Peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi dirasakan belum optimal. Hal tersebut disebabkan
kurangnya efektifitas fungsi dan peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
dalam pembangunan, masih tingginya kredit konsumsi dibandingkan dengan
kredit investasi sehingga kurang menopang aktivitas sektor riil.
Publikasi dan kajian ilmiah yang dihasilkan oleh lembaga penelitian baik
milik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta yang banyak berlokasi di Jawa
Barat belum dapat diimplementasikan dengan maksimal. Hal ini disebabkan oleh
sumber daya IPTEK masih terbatas, mekanisme intermediasi yang menjembatani
interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna belum
efektif, sinergi kebijakan yang lemah menyebabkan kegiatan IPTEK belum
sanggup memberikan hasil yang signifikan, dan budaya pemanfaatan iptek belum
berkembang serta belum terkaitnya hasil kajian dengan kebutuhan riil masyarakat.
Pada aspek transportasi yang terdiri dari transportasi darat, udara dan laut,
rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan antara lain dicirikan dengan
rendahnya nilai indeks aksesibilitas dan mobilitas rata-rata jaringan jalan
dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk jaringan jalan
provinsi; belum optimalnya kemantapan jalan provinsi terutama di jalur jalan
vertikal yang menghubungkan wilayah tengah dan selatan Jawa Barat; masih
kurangnya pembangunan jalan tol; rendahnya kapasitas ruas jalan di perkotaan
dengan nilai Volume Capacity Ratio (VCR) rata-rata mendekati nilai 0,8;
kurangnya penyediaan angkutan massal dan jaringan jalan rel; belum optimalnya
14
kondisi dan penataan sistem hierarki terminal sebagai tempat pertukaran moda;
belum optimalnya pelayanan Bandar Udara Husein Sastranegara dan bandara
lainnya dalam melayani penerbangan komersial dari dan ke Jawa Barat; serta
masih terbatasnya fungsi Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan niaga.
Keberadaan infrastruktur sumber daya air dan irigasi juga masih belum
memadai, yang dicirikan dengan masih tingginya fluktuasi ketersediaan air
permukaan yang menimbulkan banjir dan kekeringan; masih terbatasnya
penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan, serta belum optimalnya intensitas
tanam padi akibat rendahnya layanan jaringan dan penyediaan air irigasi.
1.6.5. Politik
15
membentuk partai politik, baik yang muncul secara sendiri, maupun karena
pemisahan dari partai dominan yang diakui selama Orde Baru, kebebasan
berorganisasi yang makin luas dengan membentuk berbagai organisasi
kemasyarakatan, kebebasan pers, dan desentralisasi kekuasaan dari Pusat ke
daerah yang ditandai oleh berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Di samping itu
paket perundang-undangan lainnya yang menandai demokratisasi berlangsung di
Indonesia antara lain adalah mengenai penyelenggaraan Pemilu yang
dilaksanakan pada 1999, Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari KKN dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
16
dengan tuntutan untuk ikut serta dalam berpemerintahan dan peningkatan
pelayanan publik.
1.6.6. Hukum
Dalam penegakkan HAM telah disusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RAN-HAM) yang melibatkan seluruh stakeholders pembangunan.
Rencana aksi tersebut menjadi acuan semua pihak di daerah dalam implementasi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM, terutama lembaga pemerintah
yang memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan memenuhi hak
asasi warga negara.
17
berkaitan erat dengan aspek sosial, politik, dan hukum. Kondisi sosial Jawa Barat
sampai dengan akhir tahun 2006 berlangsung dinamis. Berbagai organisasi
kemasyarakatan dan lembaga keswadayaan masyarakat berkembang dan berperan
dalam berbagai bidang, baik budaya, keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan
aktivitas sosial lainnya. Meskipun masih terdapat pertentangan dalam kehidupan
bermasyarakat, tetapi masih dapat ditolerir. Kondisi sosial tersebut berkaitan
dengan kondisi politik dan kondisi hukum. Kehidupan politik yang diarahkan
untuk mewujudkan demokrasi masih dimaknai sebagai kebebasan semata oleh
sebagian masyarakat yang seringkali dapat mengganggu kelompok masyarakat
lainnya yang mempengaruhi kondisi ketentraman dan ketertiban umum. Dalam
aspek hukum, penegakkan hukum yang lemah dan tidak konsisten mempengaruhi
pula kondisi ketentraman dan ketertiban masyarakat.
1.6.8. Aparatur
18
beberapa bidang sudah dapat diimpelementasikan meskipun pengawasan terhadap
pelaksanaannya belum dapat dilakukan. Untuk standar operasional prosedur
(SOP) dalam setiap alur kegiatan administrasi pemerintahan belum dapat
diimplementasikan.
Jumlah aparatur walaupun secara kuantitas terus berubah dan tidak dapat
dikatakan ideal atau telah memenuhi kebutuhan, tetapi yang perlu diperhatikan
aspek kualitasnya yang masih rendah dalam arti dari sisi kedisiplinan,
profesionalisme dan etika. Hal tersebut mempengaruhi kinerja aparatur secara
umum dan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kondisi sarana dan prasarana aparatur sudah cukup baik dengan gedung
kantor yang layak dan seluruh organisasi perangkat daerah telah memiliki gedung
tersendiri. Namun sarana dan prasarana yang secara langsung memberikan
pelayanan kepada masyarakat masih perlu ditingkatkan karena belum sesuai
dengan standar pelayanan minimal, seperti unit pengelola teknis daerah dalam
pemungutan pajak daerah, dan unit perijinan.
Pola tata ruang Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) mengamanatkan proporsi kawasan lindung sebesar 45 % dan kawasan
budidaya 55 %. Namun pengendalian pemanfaatan ruang menjadi kendala dalam
mewujudkan proporsi tersebut. Belum tertata dan terkendalinya pertumbuhan
lahan terbangun di kawasan konservasi, serta degradasi lingkungan di wilayah
Jabar Selatan merupakan ancaman terhadap daya dukung lingkungan. Selain itu,
terjadinya pergeseran tutupan lahan hutan dan sawah menjadi permukiman dan
industri merupakan permasalahan dalam upaya pengendalian tata ruang.
19
Pengembangan wilayah dalam struktur tata ruang Jawa Barat sampai saat
ini masih terjadi ketimpangan. Dalam konteks wilayah utara-tengah-selatan Jawa
Barat, terjadi pemusatan pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat di wilayah
utara dan tengah, sementara wilayah perdesaan di selatan Jawa Barat yang
seharusnya dikembangkan menjadi wilayah pendukung dari aspek lingkungan dan
pertanian agro kurang mendapat sentuhan pemerataan pembangunan. Sementara
itu di wilayah perbatasan masih terjadi ketidaksetaraan dalam penyediaan sarana
dan prasarana dasar permukiman maupun prasarana jalan.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran penting dalam
keberlanjutan pembangunan Jawa Barat. Namun demikian, peran penting ini
belum dioptimalkan hingga saat ini. Fenomena yang terjadi justru menunjukkan
bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup Jawa Barat berada pada
tingkat cukup mengkhawatirkan. Dampak negatif dari fenomena ini diantaranya
adalah semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan dan
munculnya konflik sosial antara pencemar dan yang tercemar, serta konflik
pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan di hulu dan hilir.
20
1.7. TANTANGAN
1.7.1. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama
21
terciptanya perilaku sehat dan lingkungan yang sehat baik fisik maupun sosial
yang mendukung produktivitas masyarakat. Selain itu, perlu juga didorong
kepada berlangsungnya paradigma hidup sehat yang terintegrasi pada pencapaian
kualitas hidup penduduk yang sehat dan berumur panjang.
22
kondisi yang diinginkan. Untuk itu upaya perlindungan dan pelestarian terhadap
keempat aspek kebudayaaan tersebut, penerapan muatan pendidikan nilai-nilai
budaya daerah terhadap anak usia dini dan usia pendidikan dasar, serta revitalisasi
terhadap lembaga/organisasi kesenian dan kebudayaan pelestarian cagar dan desa
budaya, dan pengembangan nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan strategi
yang optimal dalam pembangunan budaya daerah.
1.7.2. Ekonomi
23
berkelanjutan dan berkualitas untuk mewujudkan secara nyata peningkatan
kesejahteraan sekaligus mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi serta
pengangguran. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Jawa Barat tahun 2005–2025
diperkirakan akan berada pada kisaran 6% sampai 8% per tahun. Struktur
ekonomi Jawa Barat ke depan akan didominasi oleh empat sektor utama yaitu
sektor pertanian, industri, perdagangan, dan pariwisata. Seiring dengan era
perdagangan bebas yang akan terus mewarnai perkembangan ekonomi dunia di
masa mendatang, peningkatan daya saing ekonomi daerah menjadi faktor penentu
bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi daerah. Penguatan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi
daerah, yang didukung oleh reorientasi ekonomi kepada basis penelitian dan
teknologi serta pasar.
24
erat dengan tingkat pertumbuhan penduduk serta proyeksi tingkat konsumsi per
kapita per tahun.
25
Masalah kemiskinan akan sangat berkaitan dengan ketidakmampuan
individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Kebutuhan
akan sandang, pangan, papan serta pendidikan dan kesehatan merupakan
tantangan yang harus mendapatkan perhatian dalam rangka penanggulangan
kemiskinan. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan
prioritas utama dalam pembangunan jangka panjang sehingga diharapkan pada
tahun 2025 jumlah penduduk miskin terus berkurang.
26
1.7.4. Sarana dan Prasarana
27
1.7.5. Politik.
28
kehidupan politik merupakan suatu keniscayaan melalui sistem masyarakat
madani yang egaliter dan terbuka terhadap perubahan. Termasuk keinginan
masyarakat untuk membentuk daerah otonom akan terus bermunculan selama
aspirasi masyarakat belum dapat diakomodir dengan tepat, dan komunikasi antara
pemerintah dan masyarakat mengalami hambatan.
1.7.6. Hukum
29
Gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat masih berpotensi untuk
muncul, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan kriminalitas yang disebabkan masih
besarnya pengangguran, akibat belum seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan
lapangan kerja yang tersedia. Kondisi sosial politik yang rentan masih rentan
terhadap perbedaan pendapat dan etnisitas, serta penegakkan hukum yang tidak
konsisten juga merupakan tantangan dalam mewujudkan tertib sosial di Jawa
Barat.
1.7.8. Aparatur
30
tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor. Tantangan lainnya adalah
mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah khususnya antara wilayah di
perkotaan dan perdesaan khususnya yang berada di Selatan Jawa Barat dan
menyeimbangkan Pusat Kegiatan Nasional, Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat
Kegiatan Lokal sehingga dapat berkembang secara merata dan optimal.
Tantangan aspek pola tata ruang adalah penyediaan kebutuhan lahan untuk
kawasan permukiman terutama di kawasan perkotaan dalam kondisi luasan lahan
yang ada sangat terbatas karena adanya kawasan lindung yang tidak boleh
berubah fungsi dan adanya lahan sawah yang juga harus dipertahankan
keberadaannya. Selain itu pengelolaan kawasan perkotaan akan menjadi tantangan
tersendiri dalam mengatur aktivitas perkotaan dan memenuhi penyediaan sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dengan tetap memperhatikan prinsip
pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2025
adalah memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam pe-
laksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan seluruh potensi
masyarakat untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan
budaya ramah lingkungan serta sadar risiko bencana perlu terus
ditumbuhkembangkan. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dengan
prinsip berkelanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidup ke depan. Pendayagunaan sumber daya alam harus dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin, ditopang IPTEK yang memadai sehingga
memberikan nilai tambah yang berarti.
31
pola role sharing hulu hilir atau pusat-daerah, bagi hasil pajak untuk lingkungan,
dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemulihan lingkungan harus mulai
dilakukan. Pengawasan secara berkesinambungan dan penegakan hukum secara
konsisten adalah sasaran dalam rangka pemulihan daya dukung lingkungan lebih
maksimal. Pemahaman risiko bencana harus mulai diintegrasikan pada proses
pembangunan ke depan, guna meminimalisasi risiko dan kerugian yang mungkin
timbul atas hasil – hasil pembangunan yang dicapai.
32
BAB II
Untuk Kasus di Jawa Barat, kondisi aman dan damai sebenarnya relatif
lebih baik dibandingkan kondisi daerah-daerah di luar Jawa Barat, khususnya
dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di luar Jawa, Sumatera, dan Bali.
Dalam RPJMD 2008-2013, hal ini dinyatakan secara eksplisit melalui keinginan
untuk mengandalkan kearifan local lewat budaya masyarakat yang mumpuni dan
berdaya social tinggi. Pembangunan kebudayaan di Jawa Barat ditujukan untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati
diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus
informasi dan pengaruh negatif budaya global. Dengan demikian, arahan
pengembangan kebudayaan yang berlandaskan nilai-nilai luhur yang dicanangkan
dalam RPJMN 2004-2009 dapat diterjemahkan di daerah Propinsi Jawa Barat.
Sekaligus juga dapat diwujudkan adanya peningkatan rasa saling percaya antar
kelompok masyarakat khususnya sub-etnik di Jawa Barat sehingga semangat
promordial sub-etnik tidak terlalu mengkhawatirkan untuk ditengarai sebagai
salah satu masalah dalam pembangunan Jawa Barat, sebagai contoh adalah
maraknya semangat pemisahan sub-etnik pantura di Jawa Barat akibat
ketidakpuasan rasa keterpihakan dalam aspek politik (lihat BOX 1) .
Terlebih lagi, pembangunan seni dan budaya di Jawa Barat sudah
mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap
nilai budaya dan penggunaan bahasa daerah Sunda, Cirebon, Dermayu dan
Melayu Betawi sebagai bahasa ibu masyarakat Jawa Barat. Namun demikan,
upaya peningkatan jati diri masyarakat Jawa Barat seperti halnya solidaritas
sosial, kekeluargaan, penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa masih perlu
terus ditingkatkan. Budaya berperilaku positif seperti kerja keras, gotong royong,
kebersamaan dan kemandirian dirasakan makin memudar. Hal ini menunjukkan
33
perlunya mengembalikan dan menggali kearifan lokal dalam kehidupan
masyarakat.
BOX 1.
Kendati demikian, sempat muncul kontroversi. tidak sedikit tokoh memilih jalan
tengah, namun ada pula yang bersikap skeptis, bahkan menolak dengan alasan
belum siap, selain tidak setuju bila wacana itu hanya karena emosionalitas tidak
terakomodasinya yance dalam pilgub.
34
2004-2009 memang tidak begitu menggembirakan dari 2004 hingga 2006 (data
terbaru belum dipublikasikan). Angka kejahatan di Jawa Barat pada tahun 2006
meningkat, dari 19.963 kasus pada tahun 2005 menjadi 21.511 kasus pada tahun
2006. Namun demikian, data Polda Jabar menunjukkan bahwa tingkat
penyelesaian kasus kejahatan tahun 2006 menunjukkan peningkatan kinerja
dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 2006, penyelesaian mencapai 12.631
kasus, sedangkan tahun 2005 mencapai 11.788 kasus.
35
Gambar 2.1 Jumlah Pelanggaran Perda di Jawa Barat Tahun 2004 – 2007
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
2004 2005 2006 2007
Gambar 2.2 Data Gangguan Trantibum Di Jawa Barat Tahun 2004 - 2007
1800
1600
1400 Ketertiban Umum
1200
1000 Unjuk rasa
800 Kenakalan Remaja
600
400 Pemogokan
200
0 Narkotika
JTP JPTP JTP JPTP JTP JPTP JTP JPTP JUMLAH
2004 2005 2006 2007
36
Dari gambar tersebut memperlihatkan bahwa gangguan ketertiban dan
ketentraman masyarakat yang paling menonjol sepanjang tahun 2003-2008,
muncul dari penyalahgunaan penggunaan narkoba, dengan trend menunjukkan
peningkatan pada setiap tahunnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman
narkoba menjadi ancaman laten yang memerlukan penanganan berkesinambungan
serta terintegrasikan antara aparat ketentraman daerah, yang bekerja sama dengan
perangkat satuan polisi pamong praja, aparat perlindungan masyarakat (LINMAS)
serta lingkungan keluarga masing-masing. Sedangkan untuk tindak kriminalitas,
gambarannya terlihat pada gambar berikut.
4500
4000
3500
3000
TAHUN 2003
2500
TAHUN 2004
2000
TAHUN 2005
1500
TAHUN 2006
1000
TAHUN 2007
500
0
TIPU
BUNUH
NARTIK
CURAN
CRT
CRS
GELAP
UNRAS
CUR KAY
KEBAKAR
ANIAYA
37
konstelasi terkendali oleh aparat penegak hukum kepolisian daerah dibantu oleh
masyarakat.
38
BAB III
AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN
DEMOKRATIS
Secara diagram jumlah produk hukum yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar
berikut ini :
39
Gambar 3.1 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat Yang Dihasilkan
Tahun 2003 s/d 2007
INGUB, 4
PERDA, 65
PERGUB, 350
PERDA
PERGUB
KEPGUB
INGUB
KEPGUB, 3756
3. Jumlah Produk Hukum daerah yang diterbitkan Provinsi Jawa Barat dan
dibatalkan Pemerintah sebanyak 4 buah yakni Perda bidang retribusi daerah.
4. Dalam rangka menjaga keserasian produk hukum yang diterbitkan oleh
pemerintah kabupaten/kota dengan peraturan perUndang-undangan yang lebih
tinggi, sesuai perintah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sejak tahun 2004 telah dilaksanakan evaluasi terhadap
raperda APBD, pajak daerah, retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota
dengan jumlah keseluruhan mencapai 29 buah.
40
Gambar 3.2 Hasil Evaluasi Produk Hukum Daerah Kabupaten/Kota
di Jawa Barat Tahun 2004 s/d 2007
60
53
50 50 51
50
APBD
Murni/Perubahan
40
Pajak Daerah
30
30
Retribusi Daerah
20 15
Tata Ruang Daerah
10
10
3 3
00 00 0 1 1
0
2004 2005 2006 2007
5. Jumlah perda inisiatif DPRD yang tersusun sebanyak 1 buah yakni Perda
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat.
III.2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kekerasan Pada Anak-
Anak
Untuk kasus korupsi, catatan resmi pemerintah khususnya data dari Kejati
Jawa Barat menunjukkan adanya kemajuan walaupun dirasakan lambat oleh
sebagian kalangan masyarakat. Untuk tahun 2007 Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
memang masih menunggak penyelesaian dua kasus korupsi dari total 6 kasus
utama, yaitu kasus dana bantuan bencana dan pembangunan Islamic Center di
Kabupaten Purwakarta senilai Rp 3 miliar. Sedangkan empat kasus lain sudah
41
diselesaikan dan dinyatakan ditutup, antara lain pemeriksaan Kaplinggate yang
diambil alih Kejaksaan Agung (Kejagung) dan kasus korupsi pembangunan
Stadion Jalak Harupat yang dinyatakan dihentikan penyidikannya. Target Kejati
Jabar sudah mendekati baik. Ini didasarkan pada target yang ditetapkan Kejagung.
Kejagung hanya menetapkan minimal lima kasus terselesaikan oleh kejati dan
kejari. Hal yang belum bisa dipenuhi targetnya oleh banyak Kejati dan Kejari di
daerah-daerah propinsi lain. Sebagai data pembanding, memang agak terlalu
timpang bila membandingkan angka resmi dari Kejati ini dengan kasus yang
ditenggarai mengandung unsure korupsi baik menurut versi Indonesia Corruption
Watch (ICW). Adapun lembaga legislatifnya menjadi terkorup kedua versi
Komisi Pemberantasan Korupsi.
42
mencapai 54,4 sedangkan untuk angka nasional 62,2 dan Indeks Pembangunan
Gender 60,8 sedangkan angka nasional 65,7.
III.3.1 Politik
III.3.2. Pendidikan
43
Terdapat 2 indikator utama dalam pendidikan, yaitu Angka Melek Huruf
(AMH- literacy rate) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS – participation rate for
school age population).
AMH di provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 sebesar 93,60, tahun 2004
sebesar 93,96, dan pada tahun 2005 menjadi 94,52. Angka penduduk berusia 10-
44 tahun yang buta huruf/aksara mengalami peningkatan dari 562.837 orang pada
tahun 2005 menjadi 1.642.927 orang pada tahun 2006.
Sedangkan berdasarkan data tahun 2007, Angka Buta Huruf Total adalah
5,34 %, dengan perincian laki-laki 3,10% dan perempuan 8,74%. Distribusi
penduduk miskin dalam hal kemampuan baca tulis sampai dengan tahun 2007
masih didominasi kaum ibu. Data Suseda 2007 memperlihatkan angka buta huruf
perempuan masih lebih tinggi daripada angka buta huruf laki-laki. Ini merupakan
44
akibat dari fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di mana secara
umum tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pendidikan perempuan. Berdasarkan hasil Suseda 2007, penduduk usia 10 tahun
ke atas yang buta huruf (tidak dapat membaca huruf latin atau huruf lainnya)
sekitar 2,079 juta orang (atau sebesar 5,34 persen). Komposisinya terbagi atas
buta huruf lakilaki sebanyak 0,622 juta orang (3,10 persen) dan perempuan
sebanyak 1,456 juta orang (8,74 persen). Angka buta huruf (total) menurut hasil
Suseda tahun 2007 sebesar 5,34 persen. Hal yang memprihatinkan adalah
terjadinya peningkatan persentase buta huruf perempuan sebanyak 2,19 poin. Ini
menunjukkan kecenderungan masyarakat, terutama yang biasa terjadi di daerah
perdesaan, untuk mengutamakan pendidikan bagi anak laki-lakinya dibanding
perempuan belum mengalami pergeseran.
45
bawah sebesar 58,98 persen. Sosialisasi bahwa pendidikan itu penting baik bagi
laki-laki maupun perempuan masih perlu terus disuarakan.
46
Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan grafik di atas tampak bahwa pada tingkat SD, nilai APK
menunjukkan angka di atas 100%, maka nilai APK untuk jenjang selanjutnya
menunjukkan angka yang rendah (pada tahun 2006, APK SMP sebesar 60,96%
sedangkan APK SMA dan SMK sebesar 37,76%). Hal yang menggembirakan
adalah angka putus sekolah pada setiap jenjang menunjukkan peningkatan.
47
III.3.5. Rata-rata Lama Sekolah
Pada tahun 2007, persentase penduduk usia 10 tahun ke atas di Jawa Barat
yang berpendidikan SD ke bawah masih cukup besar (61,34 persen). Sedangkan
penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP ada sebanyak 16,48 persen. Hal
yang menggembirakan adalah adanya peningkatan persentase penduduk yang
mampu menamatkan pendidikan di tingkat SMU/K maupun perguruan tinggi.
Sumber yang sama menunjukkan persentase penduduk 10 tahun ke atas yang
tamat SMU/SMK sebesar 17,15 persen; dan sebanyak 5,03 persen mampu
menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).
Sebagai ilustrasi, dari setiap orang penduduk 10 tahun ke atas di Jawa Barat, 50
orang di antaranya ternyata berkesempatan menyelesaikan pendidikan tingginya
di berbagai level pendidikan antara lain Diploma I, Diploma II, Diploma III,
Sarjana, Doktor, hingga program Master.
48
Tabel 3.2 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Jenjang
Pendidikan yang Ditamatkan Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007
LAKI-
PENDIDIKAN LAKI PEREMPUAN TOTAL
Tidak tamat 21.73 24.9 26.27
SD/MI 37.29 38.94 38.07
SLTP/sederajat 16.34 16.63 16.48
SMU/sederajat 12.55 10.92 11.76
SMK 6.7 3.99 5.38
DI/DII 0.66 1.18 0.81
DIII 0.36 1.32 1.34
DIV/Universitas 3.4 2.12 2.78
49
87,75 sedangkan pada tahun 2005 didapatkan TPT pada laki-laki 90,62 dan
perempuan 81,92 dengan total 88,09.
Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Daerah, jumlah pekerja tidak dibayar
pada perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Data tahun 2005
didapatkan jumlah pada laki-laki 2,48% dan perempuan 20,63%, sedangkan data
tahun 2007 didapatkan jumlah pada laki-laki 3,67% dan perempuan 24,02%.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat diskriminasi dalam hal
pekerjaan, di mana kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
masih didominasi oleh laki-laki. Kesempatan kerja pada umumnya lebih terbuka
lebar bagi laki-laki dibandingkan perempuan, karena sifat pekerjaan yang sesuai
untuk perempuan pada umumnya lebih spesifik dan tingkat pendidikan perempuan
lebih rendah dibandingkan laki-laki.
50
Tahun Anggaran 2007). Dalam pelaksanaannya, 1 (satu) raperda telah ditetapkan
menjadi perda, yaitu Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan
dan Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Adapun 12 (dua belas) raperda yang
telah dibahas bersama Panitia Legislasi DPRD Provinsi Jawa Barat, meliputi:
1. Perubahan atas Perda No. 16 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan
Laboratorium Kebumian.
2. Perubahan atas Perda No. 17 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan.
3. Retribusi Jasa Pengujian Penyakit Hewan, Bahan Asal Hewan dan Mutu
Pakan/Bahan Baku Pakan.
4. Retribusi Jasa Pelayanan Industri Kecil Menengah.
5. Peredaran Hasil Hutan.
6. Taman Hutan Raya.
7. Pengelolaan Barang Milik Daerah.
8. Penyelenggaraan Kepariwisataan.
9. Penyelenggaraan Pendidikan.
10. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa
Barat Tahun 2005-2025.
11. Irigasi.
12. Pengelolaan Air Tanah.
Pembahasan ke-12 raperda tersebut, sesuai Surat Pimpinan DPRD
Provinsi Jawa Barat No. 188.34/3061.Set-DPRD tanggal 12 Desember 2007
dilaksanakan pada Tahun Sidang 2008. Tidak tertuntaskannya pembahasan ke-12
raperda tersebut di DPRD, antara lain disebabkan adanya pembahasan 6 (enam)
raperda tentang penyertaan modal daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 6
(enam) Badan Usaha Milik Daerah, yang merupakan raperda di luar Program
Legislasi Daerah, namun bernilai strategis karena dapat berdampak pada
pembatalan Peraturan Daerah tentang APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
Enam raperda tentang penyertaan modal daerah tersebut merupakan tindak lanjut
dari hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri terhadap Perda tentang APBD Provinsi
Jawa Barat Tahun 2007 dan penjabarannya. Pembahasan ke-12 raperda tersebut
51
dilanjutkan kembali pada tahun 2008 bersama dengan 20 (dua puluh) raperda
lainnya yang telah diprogramkan sebelumnya.
Jumlah produk hukum daerah, dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda),
Peraturan Gubernur (Pergub), Keputusan Gubernur (Kepgub), dan lain-lain yang
telah dihasilkan sepanjang tahun 2003-2008 mencapai 4.175 buah, dengan
perincian: Perda sebanyak 65 buah, Pergub sebanyak 350 buah, Keputusan
Gubernur sebanyak 3.756 buah, dan Instruksi Gubernur sebanyak 4 buah.
Gambar 3.4 Jumlah Produk Hukum Daerah di Jawa Barat yang dihasilkan
Tahun 2003-2008
4000 3756
3500
3000
2500
2000
1500
1000
350
500 4 65
0
Ingub Perda Pergub Kepgub
Jumlah produk hukum daerah yang diterbitkan Provinsi Jawa Barat dan
dibatalkan Pemerintah pusat sebanyak 4 (empat) buah, yakni perda-perda terkait
dengan bidang retribusi daerah. Menyikapi pembatalan Pemerintah Pusat terhadap
perda-perda yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat melakukan kegiatan evaluasi produk hukum, antara lain yang
dilakukan pada tahun 2007 terhadap 6 (enam) peraturan daerah, yakni:
1. Perda No. 20 Tahun 2001 tentang Peredaran Hasil Hutan di Jawa Barat.
2. Perda No. 25 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Hewan, Bahan Asal
Hewan dan Ransum Makanan Ternak.
3. Perda No. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Perhubungan.
4. Perda No. 13 Tahun 2000 tentang Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat.
52
5. Perda No. 15 Tahun 2000 tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat.
6. Perda No. 16 Tahun 2000 tentang Lembaga Teknis Provinsi Jawa Barat.
Di antara perda yang dievaluasi tersebut terdapat Perda No. 20 Tahun 2001
tentang Peredaran Hasil Hutan di Jawa Barat dan Perda No. 25 Tahun 2001
tentang Pemeriksaan Hewan, Bahan Asal Hewan dan Ransum Makanan Ternak
yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai penyikapan atas pembatalan
perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melakukan upaya untuk
menjamin tetap berlangsungnya pelayanan kepada masyarakat tanpa melakukan
pemungutan, konsultasi kepada Departemen Dalam Negeri dan Departemen
Teknis, serta mengagendakan kembali pembahasan kedua perda bidang retribusi
daerah tersebut dalam Program Legislasi Daerah Tahun 2007.
Namun, sehubungan dengan padatnya jadwal kerja DPRD, pembahasan
kedua raperda bidang retribusi daerah tersebut baru selesai dalam tahapan Panitia
Legislasi dan akan dilanjutkan dalam tahun sidang 2008. Berkaitan dengan PP
No. 41 Tahun 2007, pembahasan ketiga raperda terkait organisasi perangkat
daerah dilakukan pada tahun sidang 2008 dan sekarang telah disahkan menjadi
perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, perda tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DPRD, perda tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah, serta perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah.
Dalam rangka menjaga keserasian produk hukum yang diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, sesuai perintah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sejak tahun 2004, telah dilaksanakan evaluasi terhadap Raperda APBD, pajak
daerah, retribusi daerah, serta tata ruang kabupaten/kota dengan jumlah
keseluruhan mencapai 292 buah.
Untuk menyelesaikan masalah ketidaksesuaian perda kabupaten/kota
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, upaya yang telah
dilakukan adalah:
1. Membentuk perda dan petunjuk pelaksanaan mengenai penyusunan perda
yang di dalamnya mengatur program legislasi daerah serta penguatan
peran Panitia Legislasi DPRD.
53
2. Melaksanakan capacity building sumber daya aparatur legal drafter dan
pengacara daerah.
3. Membangun, menegakkan, dan mengembangkan pemberian reward and
punishment secara tegas dan adil serta meningkatkan koordinasi dengan
aparat penegak hukum.
4. Membangun networking dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan antar susunan pemerintahan serta meningkatkan kerjasama
dengan perguruan tinggi dalam penyusunan naskah akademik.
5. Mengembangkan konsultasi publik yang menempatkan masyarakat
sebagai subyek hukum yang berhak menyampaikan pendapat sebagai
wahana public sphere dalam menjaring aspirasi masyarakat.
Dalam kerangka regulasi daerah, DPRD Provinsi Jawa Barat, telah
menginisiasi penyusunan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Penyandang Cacat, sehingga Jawa Barat tercatat sebagai provinsi
kedua yang mengatur secara khusus hak-hak para penyandang cacat di Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari penetapan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat, Pemerintah Provinsi
telah menerbitkan lembaran daerah khusus dalam huruf braille, serta melengkapi
peraturan daerah dimaksud dengan petunjuk pelaksanaannya. Hal tersebut telah
mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS-HAM).
54
Dalam pelaksanaan program tersebut selama kurun waktu 2003-2007,
telah terealisasi capaian kinerja pada tingkat program yang ditandai oleh
indikator:
1. Tersusunnya 11 (sebelas) kebijakan SPM untuk kabupaten/kota di Jawa
Barat dan 5 (lima) dasar kebijakan SPM untuk Pemerintah Provinsi, yang
meliputi bidang kesehatan, pendidikan, tenaga kerja dan transmigrasi,
koperasi dan usaha kecil dan menengah serta penanaman modal. Selain
itu, Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) telah diterapkan kepada Unit
Kerja Pelayanan Publik (UKPP) dalam menerapkan klasifikasi dan
kualifikasi pelayanan yang berada pada UKPP unggulan sebagai
barometer terhadap kualitas kinerja pelayanan publik.
2. Terselenggaranya kewenangan daerah provinsi berdasarkan PP No. 25
Tahun 2000, yang kemudian diperbaharui untuk menindaklanjuti PP No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota. Pada tahun 2008, disahkan perda tentang Urusan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berisi pengakuan terhadap 26 urusan
wajib dan 8 urusan pilihan.
3. Terselenggaranya kerjasama antardaerah sebanyak 43 buah, kerjasama
dengan pihak ketiga sebanyak 35 buah, dan kerjasama dengan pihak luar
negeri sebanyak 24 buah, yang dilaksanakan untuk mendukung
pengembangan 6 (enam) core business (bidang pertanian, kelautan,
kepariwisataan, manufaktur, infrastruktur, dan pengembangan sumber
daya manusia), serta common goals. Secara khusus dalam kerjasama
bidang kepariwisataan daerah telah dilakukan satu kesepakatan
(Memorandum of Understanding) Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan di Taman Nasional Gunung Pangrango (TNGP) melalui
Keputusan Bersama No. B. 06/Dep.VII/LH/07/2004 antara Bupati Bogor,
Sukabumi, dan Cianjur dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Departemen Kehutanan RI yang juga diketahui oleh Gubernur Jawa Barat
dan Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat. Demikian pula untuk model
pariwisata berkelanjutan di TNGP telah mendapat dukungan dari
55
Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi serta terbentuknya 4 (empat)
desa model konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGP yang berada di 3 kabupaten.
Kerjasama lainnya yaitu:
1. Memfasilitasi dalam penyelesaian konflik antara Kabupaten Bogor dan
Kota Bogor dalam masalah trayek jurusan terminal Laladon dan
Bubulak sehingga menghasilkan kesepakatan bersama.
2. Memfasilitasi penyelesaian konflik antara Pemerintah Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor mengenai aset tanah dan bangunan ex kantor
Departemen Tenaga Kerja di Jalan Dedali Kota Bogor yang disepakati
bahwa kepemilikan akan mengacu pada dokumen Pemerintah Provinsi
Jawa Barat (di Biro Perlengkapan).
3. Memfasilitasi kesepakatan penyerahan aset Pemerintah Provinsi Jawa
Barat kepada Pemerintah Kota Depok berupa tanah di Kecamatan
Cimanggis yang semula disyaratkan dengan tukar guling.
4. Memfasilitasi penyelesaian konflik batas wilayah antara Kota Depok
dengan Kabupaten Bogor di Pasar Citayam Kecamatan Bojong Gede
sehingga menghasilkan kesepahaman batas wilayah masing-masing.
5. Memfasilitasi dan mediasi penyelesaian masalah rehabilitasi bangunan
Sekolah Dasar (SD) di lingkungan perkebunan di Kecamatan Cempaka
yang diusulkan oleh masyarakat ke Kabupaten Cianjur selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut usulan tersebut tidak diakomodir, dan telah
berhasil direalisasikan.
6. Memfasilitasi penyelenggaraan kerjasama di wilayah perbatasan
terutama dengan Provinsi DKI Jakarta dan Banten dalam Forum BKSP
Jabodetabekjur.
7. Terdapatnya kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat
dengan Provinsi Shandong RRC untuk mengembangkan kerjasama di
berbagai bidang yang potensial dalam kerangka kerjasama sister
province.
Dalam rangka penyusunan kebutuhan kerjasama pemerintahan tersebut,
telah ditetapkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
56
Pedoman Kerjasama Daerah dengan Pihak Luar Negeri dan Keputusan Gubernur
Jawa Barat No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Kerjasama Daerah dengan Pihak
Ketiga.
Gambar 3.5 Kerjasama yang telah Dilaksanakan di Jawa Barat Tahun 2003-
2007
24 Kerjasama
43 Daerah
35 Pihak Ketiga
Meskipun kerjasama daerah dan kerjasama dengan pihak lain telah banyak
dilakukan, namun masih terdapat perbedaan pemahaman dalam menafsirkan
ketentuan pelaksanaan regulasi otonomi daerah maupun pelaksanaan
kewenangan/urusan, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, terutama
berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan dari kementerian sektoralnya.
Inkonsistensi peraturan perundang-undangan juga menjadi penyebab belum
terbentuknya kesamaan persepsi tentang regulasi pelaksanaan kerjasama daerah.
Untuk menangani permasalahan tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
meningkatkan konsultasi, koordinasi, dan menyampaikan rekomendasi kepada
Pemerintah Pusat, melalui Departemen Dalam Negeri maupun melalui forum-
forum asosiasi pemerintah provinsi tentang pelaksanaan petunjuk teknis
penyelenggaraan urusan/kewenangan pemerintahan. Sebagai contoh, melalui
Forum Kerjasama MPU tercapai kesepakatan program kerjasama antardaerah,
serta tersedianya rekomendasi daerah dalam forum APPSI untuk disampaikan
kepada Pemerintah Pusat berkenaan dengan permasalahan dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Selain itu, kegiatan capacity building bagi aparatur pengelola
57
kerjasama di provinsi dan kabupaten/kota juga ditingkatkan dalam rangka
menambah kapabilitas dan profesionalisme di samping meningkatkan koordinasi
antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota.
58
II. Kantor Perwakilan Provinsi
III. Sekretariat DPRD
IV. Dinas
1. Dinas Pendidikan
2. Dinas Kesehatan
3. Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
4. Dinas Pertambangan dan Energi
5. Dinas Perikanan dan Kelautan
6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
7. Dinas Peternakan
8. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
9. Dinas PSDA
10. Dinas Bina Marga
11. Dinas Perhubungan
12. Dinas Cipta Karya
13. Dinas Industri Perdagangan
14. Dinas Pendapatan
V. Lembaga Teknis
1. Bapeda
2. Bawasda
3. Badan Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
4. Badan Kebudayaan Pariwisata Daerah
5. Badan Perpustakaan, Kearsipan, dan Telematika Daerah
6. Badan Promosi dan Investasi Daerah
7. Badan Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
8. Badan Pendidikan dan Pelatihan
9. Bakorwil Barat
10. Bakorwil Timur
11. Badan Pengembangan Koperasi dan UKM
12. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
59
Namun, rekomendasi ini tidak jadi diberlakukan karena belum diperoleh
kesepakatan politik antara Pemerintah Provinsi dengan DPRD Provinsi, sehingga
struktur kelembagaan Pemerintah Provinsi tetap berlaku sampai dengan keluarnya
UU dan PP yang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai
penjabaran dari UU No. 32 Tahun 2004, dikeluarkan PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No. 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Kedua PP ini merupakan landasan
hukum bagi penataan organisasi perangkat daerah, termasuk di Provinsi Jawa
Barat.
Berdasarkan kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan,
kompleksitas permasalahan, dan potensi daerah, DPRD dan Pemerintah Provinsi
menyepakati bahwa urusan wajib Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26
(dua puluh enam) urusan, sedangkan urusan pilihan pemerintahan daerah yang
disepakati terdiri dari 8 (delapan) urusan.
Tabel 3.3 Urusan Wajib dan Urusan Pilihan dalam Lingkup Pemerintah
Provinsi Jawa Barat
Urusan Wajib Urusan Pilihan
1. Pendidikan 1. Kelautan dan perikanan
2. Kesehatan 2. Pertanian
3. Lingkungan hidup 3. Kehutanan
4. Pekerjaan umum 4. Energi dan sumberdaya mineral
5. Penataan ruang 5. Pariwisata
6. Perencanaan pembangunan 6. Industri
7. Perumahan 7. Perdagangan
8. Kepemudaan dan olah raga 8. Ketransmigrasian
9. Penanaman modal
10. Koperasi, usaha kecil, dan
menengah
11. Kependudukan dan catatan sipil
12. Ketenagakerjaan
13. Ketahanan pangan
14. Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak
15. Keluarga Berencana dan
keluarga sejahtera
16. Perhubungan
17. Komunikasi dan informatika
60
18. Pertanahan
19. Kesatuan bangsa dan politik
dalam negeri
20. Otonomi daerah, pemerintahan
umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah,
kepegawaian dan persandian
21. Pemberdayaan masyarakat dan
desa
22. Sosial
23. Kebudayaan
24. Statistik
25. Kearsipan
26. Perpustakaan
Sumber: Biro Desentralisasi Pemprov Jabar, 2008
61
Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Besaran Organisasi menurut PP No. 41 Tahun
2007
No Kriteria Nilai
1. Jumlah penduduk = 44 juta
> 30.000.000 40
2. Luas wilayah = 44.354,61 km2
> 40.000 km2 35
3. Jumlah APBD = Rp 5.273.196.799.606,83
> Rp2.000.000.000.000,00 25
JUMLAH 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2007
62
Tabel 3.5 Desain Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang diusulkan
Pemerintah Provinsi
63
1. Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat dan Sekretariat DPRD
Provinsi Jawa Barat
Dalam susunan organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat,
dipandang perlu untuk memunculkan fungsi kehumasan dan pengelolaan
barang daerah secara khusus. Fungsi kehumasan penting untuk mendapat
perhatian mengingat salahsatu faktor keberhasilan pembangunan adalah
adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang akan meningkat jika
komunikasi antara pemerintah provinsi dan masyarakat dapat terjalin
dengan baik. Untuk itu, pembentukan Biro Humas, Protokol, dan Umum
pada Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat menjadi penting untuk
dilakukan.
Dalam hal pengelolaan barang daerah, perlu mendapat perhatian tersendiri
mengingat banyaknya persoalan yang terkait dengan barang daerah
meliputi inventarisasi yang kurang cermat, sertifikasi yang belum
memadai, serta adanya beberapa sengketa yang menimpa barang daerah
Provinsi Jawa Barat. Untuk itu, perlu dibentuk biro tersendiri yang
menangani barang daerah di bawah Asisten Pemerintahan.
Selain itu, juga dipandang perlu adanya pertimbangan khusus terhadap
Biro Keuangan Sekretariat Daerah. Dalam pelaksanaan tugas Biro
Keuangan, ada tugas yang penting dan menyangkut kepentingan publik
Jawa Barat, yaitu evaluasi terhadap APBD Kabupaten/Kota. Karena itu,
perlu ada penambahan bagian tersendiri yang menangani urusan dimaksud,
sehingga jumlah bagian di Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi
Jawa Barat, yang semula 4 (empat) bagian menjadi 5 (lima) bagian.
Dalam mengkaji organisasi tata kerja pada Sekretariat DPRD Provinsi
Jawa Barat, juga terdapat pertimbangan khusus terhadap penanganan
urusan keuangan yang perlu dilakukan oleh suatu bagian tersendiri, karena
itu terjadi perubahan pada Sekretariat DPRD yang semula terdapat 4
(empat) bagian menjadi 5 (lima) bagian, yaitu Bagian Persidangan, Bagian
Perundang-undangan, Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol, Bagian
Umum, Bagian Administrasi dan Bagian Keuangan.
2. Organisasi Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat
64
Berdasarkan usulan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat 20 dinas
yang diajukan untuk dibentuk sebagai perangkat daerah di tingkat
provinsi. Terhadap usulan tersebut, Pansus DPRD memberikan tanggapan
terkait dengan perlunya pemisahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan,
pengelolaan fungsi pendidikan luar biasa pada Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat, serta pembentukan Dinas Olah Raga dan Pemuda. Pansus
berpandangan bahwa untuk memperkuat fungsi unit kerja yang mengelola
kehutanan dalam upaya mewujudkan 45% kawasan lindung sebagaimana
diamanatkan dalam Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Barat, luasnya kawasan hutan Jawa Barat,
banyaknya masyarakat desa sekitar hutan, serta tingginya potensi hutan
Jawa Barat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Jawa Barat,
maka urusan kehutuanan perlu ditingkatkan menjadi dinas yang berdiri
sendiri, yaitu Dinas Kehutanan.
Sedangkan untuk pengelolaan fungsi perkebunan yang meliputi produksi
perkebunan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan dan
permodalan, pengembangan dan pengendalian perkebunan, pengolahan,
pemasaran, dan usaha perkebunan rakyat yang melibatkan petani dalam
rangka pencegahan perambahan hutan, unit kerja yang menanganinya
perlu diperkuat sehingga menjadi dinas tersendiri, yaitu Dinas Perkebunan.
Sementara itu, terkait dengan pengelolaan fungsi Pendidikan Luar Biasa
(PLB) pada Dinas Pendidikan yang sangat penting, maka terjadi
perubahan. Semula, fungsi ini dilaksanakan oleh unit kerja setingkat seksi
di bawah Bidang Manajemen Pendidikan Dasar, kemudian diubah menjadi
setingkat bidang karena beban kerja fungsi PLB cukup tinggi, meliputi
kurikulum pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, alat bantu
media pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus dan bina
promosi kompetensi siswa. Namun, perubahan ini tidak mengubah jumlah
bidang pada Dinas Pendidikan, tetap 4 (empat) bidang.
Penggunaan nomenklatur “manajemen” pada pembidangan Dinas
Pendidikan juga dihapus, karena kata manajemen memiliki makna terlalu
luas sehingga dapat menimbulkan persepsi yang salah seolah-olah
65
tanggung jawab manajerial berada pada kepala bidang tersebut, yang
seharusnya fungsi manajer ada pada kepala dinas.
Pertimbangan pembentukan Dinas Olah Raga dan Pemuda, berdasarkan
kebutuhan daerah dalam rangka memfasilitasi terselenggaranya
pengembangan olah raga masyarakat, mendukung penanaman nilai-nilai
solidaritas, soliditas, dan sportivitas yang selama ini belum ada yang
menangani karena lembaga yang ada, seperti KONI difokuskan pada
penanganan olah raga prestasi. Selain itu, sebagai jaring koordinasi dan
mendukung pengalokasian anggaran kegiatan pengembangan keolahrgaan
dan kepemudaan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan
UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, lebih tepat
nomenklaturnya Dinas Olah Raga dan Pemuda, sesuai pula dengan bobot
pekerjaan yang harus ditangani oleh provinsi lebih besar fungsi olah raga
daripada fungsi pemuda.
Selain itu, Pansus DPRD juga berpendapat bahwa nomenklatur sejumlah
dinas perlu diubah, antara lain:
a. Dinas Pertambangan dan Energi diubah menjadi Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral.
b. Dinas Pengairan diubah menjadi Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air.
c. Dinas Pemuda dan Olah Raga diubah menjadi Dinas Olah Raga dan
Pemuda.
Dalam pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pansus
DPRD menyarankan agar pembentukan UPTD memperhatikan aspek
kebutuhan daerah dan dinas/badan serta efektivitas dan efisiensi.
Memperhatikan kompleksitas masalah, jumlah penduduk, dan kebutuhan
riil daerah maka Pansus DPRD bersepakat dengan Pemerintah Provinsi
untuk membentuk 20 (dua puluh) dinas, meskipun jumlah ini melebihi
kuota yang diberikan untuk Provinsi Jawa Barat, yaitu maksimal sebanyak
19 dinas daerah termasuk Dinas Pendapatan Daerah. Namun, berdasarkan
hasil konsultasi dengan Departemen Dalam Negeri tanggal 11 September
2008, yang ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
061/3114/SJ tanggal 17 Oktober 2008, hal ini dimungkinkan. Dengan
66
demikian, jumlah dinas daerah yang dibentuk menjadi 20 (dua puluh)
buah, meliputi:
a. Dinas Pendidikan.
b. Dinas Kesehatan.
c. Dinas Pendapatan Daerah.
d. Dinas Sosial.
e. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
f. Dinas Perhubungan.
g. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
h. Dinas Bina Marga.
i. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air.
j. Dinas Permukiman dan Perumahan.
k. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
l. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
m. Dinas Pertanian Tanaman Pangan.
n. Dinas Peternakan.
o. Dinas Perikanan dan Kelautan.
p. Dinas Kehutanan.
q. Dinas Perkebunan.
r. Dinas Olah Raga dan Pemuda.
s. Dinas Komunikasi dan Informatika.
3. Organisasi Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007, Provinsi Jawa Barat mendapatkan
kuota lembaga teknis daerah sebanyak 12 lembaga di luar Bappeda dan
Kantor Perwakilan. Menanggapi usulan dari Pemerintah Provinsi Jawa
Barat yang menyampaikan usulan pembentukan 13 (tiga belas) lembaga
teknis daerah, maka Pansus DPRD memberikan tanggapan dengan
menyatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan
desa serta penanganan keluarga berencana perlu mendapatkan perhatian
tersendiri. Hal ini mengingat tingginya jumlah desa di Jawa Barat, kondisi
desa yang masih perlu upaya pemberdayaan, dan banyaknya program
nasional yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat desa.
67
Oleh karena itu, Pansus berpendapat perlunya pembentukan badan
tersendiri yang menangani pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan
desa. Sedangkan mengenai keluarga berencana, memperhatikan hasil
konsultasi dengan Departemen Dalam Negeri dan masih tingginya
pertumbuhan penduduk Jawa Barat, Pansus memandang perlunya
pemunculan nomenklatur keluarga berencana ini pada Badan
Pemberdayaan Perempuan. Karena itu, badan yang semula bernama Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Sejahtera diubah menjadi Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
Dengan demikian, terdapat kelebihan kuota 1 (satu) lembaga teknis
daerah. Namun, mengingat kebutuhan daerah dan hasil konsultasi dengan
Departemen Dalam Negeri, hal ini dimungkinkan. Dengan demikian,
lembaga teknis daerah yang dibentuk adalah:
a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
b. Badan Kepegawaian Daerah.
c. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah.
d. Badan Ketahanan Pangan Daerah.
e. Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah.
f. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah.
g. Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat
Daerah.
h. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah I.
i. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah II.
j. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III.
k. Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah IV.
l. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah.
m. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
n. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa.
o. Kantor Perwakilan Pemerintah.
4. Badan Penanaman Modal Daerah
Nomenklatur untuk badan ini mengalami perubahan menjadi Badan
Koordinasi dan Promosi Penanaman Modal, dengan pertimbangan bahwa
68
selain menangani fasilitasi penanaman modal, fungsi promosi yang selama
ini dilaksanakan oleh masing-masing organisasi perangkat daerah terkait
perlu penanganan khusus dan terkoordinasi oleh unit kerja yang
menangani penanaman modal, sehingga akan lebih efisien dan sinergi
dalam mempromosikan daerah. Oleh karena itu, nomenklaturnya menjadi
Badan Koordinasi dan Promosi Penanaman Modal Daerah.
5. Badan Koordinasi Wilayah
Luasnya wilayah Provinsi Jawa Barat, besarnya jumlah penduduk,
panjangnya rentang kendali pemerintahan Jawa Barat serta untuk
meningkatkan sinergitas pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
masih memerlukan Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) ini. Selain itu,
penguatan pada tugas pokok dan fungsi Bakorwil perlu dilakukan untuk
menunjang perannya sebagai koordinator pembangunan di wilayah Jawa
Barat. Karena itu, keberadaan Bakorwil tetap dipertahankan dan
nomenklaturnya diubah menjadi Badan Koordinasi Pemerintahan dan
Pembangunan Wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat fungsi
Bakorwil, sehingga tercermin jelas obyek yang harus dikoordinasikan,
yaitu fungsi pemerintahan dan pembangunan yang menjadi tugas gubernur
sebagai kepala daerah maupun wakil pemerintah.
6. Rumah Sakit Daerah
Rumah sakit daerah merupakan unsur pelaksana kesehatan. Rumah sakit
ini mempunyai tugas pokok melaksanakan upaya pelayanan kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna. Karena itu, perlu ada penguatan
dalam struktur rumah sakit daerah, khususnya dalam upaya peningkatan
pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui perubahan dalam
susunan organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, menjadi terdiri
atas 1 (satu) orang direktur dan 2 (dua) wakil direktur, yaitu Direktur
Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan dan Umum, serta Wakil
Direktur Bidang Pelayanan. Sedangkan susunan organisasi Rumah Sakit
Paru Provinsi Jawa Barat terdiri dari Direktur dengan 3 (tiga) seksi, yaitu
Seksi Pelayanan Medik, Pelayanan Perawatan, dan Penunjang Medik.
Untuk Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan, susunan organisasi terdiri
69
dari direktur dan 2 (dua) wakil direktur, yaitu Bidang Umum dan
Keuangan dan Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik dan Keperawatan.
7. Lembaga Lain
Dalam raperda tentang lembaga lain, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
mengusulkan adanya 6 (enam) lembaga lain, yakni:
a. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat.
b. Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat.
c. Sekretariat Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat.
d. Sekretariat Badan Pelaksana Pengembangan Bandara Internasionl dan
Kertajati Aerocity.
e. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
f. Sekretariat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa
Barat.
Terhadap ketiga lembaga lain yang diusulkan dalam raperda, yaitu Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, Sekretariat Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat, Sekretariat Badan
Narkotika Provinsi Jawa Barat, disepakati pembentukannya mengingat
urgensi dari keberadaan lembaga-lembaga lain tersebut.
Sementara terhadap ketiga lembaga lainnya, yaitu Sekretariat Badan
Pelaksana Pengembangan Bandara Internasional dan Kertajati Aerocity,
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Provinsi Jawa Barat, serta Sekretariat Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat, pembentukannya ditangguhkan
karena sampai dengan saat ini peraturan pelaksanaannya masih belum
ditetapkan.
Berdasarkan kesepakatan DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
ditetapkan bahwa organisasi perangkat daerah Provinsi Jawa Barat terdiri dari: 1
Sekretaris Daerah, 4 Asisten, 12 Biro, Sekretariat DPRD, 20 Dinas Daerah dan 1
Satuan Polisi Pamong Praja, 19 Lembaga Teknis Daerah, terdiri dari 14 Badan, 1
Inspektorat, 1 Kantor, dan 3 Rumah Sakit, serta 3 Lembaga Lain Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.
70
III.4.4. Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat hingga Juni 2008 sebanyak 14.867 orang yang tersebar pada 48 unit
kerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 915 orang (6,15%) merupakan PNS dengan
jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan-jabatan berikut ini:
Tabel 3.6 Jumlah PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional di Jawa Barat
Tahun 2008
No. Nama Jabatan Formasi Jumlah %
Fungsional Ahli Terampil
1 Analisis 14 36 50 5,46
kepegawaian
2 Apoteker 4 - 4 0,44
3 Arsiparis 7 58 65 7,10
4 Asisten apoteker - 6 6 0,66
5 Auditor 44 10 54 5,90
6 Dokter 26 - 26 2,84
7 Dokter gigi 5 - 5 0,55
8 Epidemiolog 2 - 2 0,22
kesehatan
9 Fisioterapi - 4 4 0,44
10 Guru 202 - 202 22,08
11 Instruktur - - - -
12 Medik veteriner - 4 4 0,44
13 Nutrisionis 3 10 13 1,42
14 Pamong budaya - 1 1 0,11
15 Pekerja sosial 4 48 52 5,68
16 Peneliti 6 - 6 0,66
17 Penera 25 5 30 3,28
18 Pengantar kerja 5 - 5 0,55
19 Pengawas benih 6 9 15 1,64
tanaman
20 Pengawas bibit 1 10 11 1,20
ternak
21 Pengawas 6 - 6 0,66
ketenagakerjaan
22 Pengawas sekolah 13 - 13 1,42
23 Pengendali OPT 7 13 20 2,19
24 Penguji kendaraan - 16 16 1,75
bermotor
25 Penyuluh kehutanan - - - -
26 Penyuluh kesehatan 6 - 6 0,66
71
27 Penyuluh pertanian 4 1 5 0,55
28 Perantara hubungan 5 - 5 0,55
industrial
29 Perawat 12 90 102 11,15
30 Perawat gigi - 3 3 0,33
31 Perekam medis - 8 8 0,87
32 Perencana 26 - 26 1,75
33 Pranata komputer 10 56 66 7,21
34 Pranata lab. 2 11 13 1,42
Kesehatan
No. Nama Jabatan Formasi Jumlah %
Fungsional Ahli Terampil
35 Pustakawan 3 18 21 2,30
36 Radiografer - 9 9 0,98
37 Sandiman - 2 2 0,22
38 Sanitarian 2 6 8 0,87
39 Surveyor Pemetaan - 1 1 0,11
40 Teknisi elektromedis - 6 6 0,66
41 Widyaiswara 24 - 24 2,62
JUMLAH 474 441 915 100
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
72
MPU sebanyak 30 orang. Selain itu, selama periode 2003-2007 juga telah
dilakukan fasilitasi diklat teknis, fungsional, dan kepemimpinan sebanyak 100
orang, fasilitasi penataran, pelatihan, seminar dan kursus sebanyak 27 orang,
peningkatan pelayanan sumber pendapatan daerah sebanyak 8 orang, peningkatan
kemampuan pejabat hubinsnaker sebanyak 25 orang, kemampuan pejabat
pengawas sebanyak 25 orang, dan terlaksananya pelatihan pegawai fungsional
pengantar kerja sebanyak 30 orang. Kegiatan Diknalma “A” Ketenagakerjaan
sebanyak 25 orang, Bimtek Pegawai Perantara sebanyak 20 orang, dan Rakornis
anggota sebanyak 40 orang.
Selama kurun waktu 2003-2007, jumlah aparatur yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah sebanyak 7.550 pegawai (Diklat
Prajabatan), 1.285 orang (Diklat Kepemimpinan III dan IV), 3.739 orang (Diklat
Teknis Substantif), serta 490 orang (Diklat Fungsional). Jumlah aparatur yang
mengikuti pendidikan kedinasan (formal) melalui jalur tugas belajar dan izin
belajar pada jenjang pendidikan menengah, S1, S2, dan S3 selama tahun 2003-
2008, adalah sebagai berikut:
Gambar 3.6 PNS yang Mengikuti Tugas Belajar dan Izin Belajar
Berdasarkan Jenjang Pendidikan, Tahun 2003-2008
800 774
700
596
600
500
400 344 Tugas Belajar
Izin Belajar
300
200
81 109
100 46
0 5 2 26
0
D3 D4 S1 S2 S3
73
Melalui upaya diklat dan pendidikan kedinasan, diharapkan kompetensi
pegawai di lingkungan pemerintah provinsi dapat meningkat. Kondisi ini akan
membantu mengurangi beban anggaran kedinasan pada pemerintah daerah, namun
tetap dilakukan pengendalian dalam pemilihan jenis-jenis kompetensi yang diikuti
para pegawai yang mengikuti izin belajar, untuk tetap relevan dengan komposisi
kebutuhan kompetensi yang menunjang fungsi pemerintah provinsi.
Ditinjau dari golongan kepangkatan, komposisi PNS di Provinsi Jawa
Barat mayoritas berada pada Golongan III atau berpangkat pada kategori penata.
7,41% 2,91%
27,76%
61,92%
74
Tabel 3.7 Kegiatan Mutasi Pegawai Provinsi Jawa Barat
No. Kegiatan Pelaksanaan 2003 2004 2005 2006 2007
1 Kenaikan Penyelesaian 12.175 21.275 26.815 25.714 20.325
Pangkat Surat
Keputusan KP
2 Kenaikan Gaji Penyelesaian 557 543 564 569 579
Berkala Surat
Pemberitahuan
KGB
3 Pemensiunan Penyelesaian 43 277 426 383 268
Surat
Keputusan
Pensiun
4 Perpindahan Penyelesaian 2.067 2.646 1.566 1.617 1.722
Perpindahan
PNS
5 Inpassing Penyelesaian - - - 2.445 -
inpassing gaji
pokok PNS
6 Peningkatan Penyelesaian - - 258 - 400
status CPNS SK CPNS
menjadi PNS
7 Perpanjangan Pelaksanaan 32 17 16 9 15
BUP Tes Kesehatan
Pejabat Eselon
I dan II
berusia di atas
55 tahun
8 Pembekalan Pembinaan 280 160 160 120 120
kewirausahaan PNS yang
bagi PNS yang menjelang
menjelang pensiun
pensiun
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
75
Tabel 3.8 Rekrutmen CPNSD di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2003-2007
No. Kegiatan 2003 2004 2005 2006 2007
(orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
1 Rekrutmen dari - 260 120 - -
pelamar umum
2 Rekrutmen dari - - 280 1.443 1.115
tenaga honorer
JUMLAH - 260 400 1.443 1.115
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
76
Tabel 3.9 Target dan Realisasi Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 2003-
2007
No. Pendapatan Daerah Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
A Pendapatan Daerah 19.968.064.540.883,60 23.482.244.635.887,60 117,60
1 Pendapatan Asli 14.147.842.358.040,80 16.617.908.659.203,00 117,46
Daerah
Pajak Daerah 13.201.596.000.000,00 15.421.474.784.489,10 116,82
Retribusi Daerah 114.485.027.189,00 125.738.792.484,70 109,83
Hasil Perusahaan 447.848.592.117,38 451.269.176.194,83 100,76
Milik Daerah dan
Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan
Lain-lain PAD yang 383.912.738.734,40 619.425.906.034,39 161,35
sah
2 Dana Perimbangan 5.812.872.182.842,80 6.566.958.931.628,61 112,97
Bagi Hasil Pajak dan 2.594.376.092.842,80 3.348.451.814.629,61 129,07
Bagi Hasil Bukan
Pajak
Dana Alokasi Umum 3.218.496.090.000,00 3.218.507.116.999,00 100,00
Dana Alokasi Khusus 0,00 0,00 0,00
3 Lain-lain Pendapatan 7.350.000.000,00 297.377.045.056,00 4045,95
Daerah yang Sah
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
Data di atas menunjukkan bahwa kapasitas fiskal Jawa Barat masih belum
optimal. Dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah masih belum optimal karena sejumlah kendala, antara lain belum terdatanya
semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan
daerah yang sah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan
perkuatan BUMD antara lain belum optimalnya pihak manajemen perusahaan
dalam mengimplementasikan pengelolaan perusahaan yang baik, termasuk
pengembangan aset BUMD. Dalam hal optimalisasi penerimaan dari dana
perimbangan, permasalahan yang dihadapi antara lain masih belum akuratnya data
obyek dan subyek PBB, BPHTB, dan PPh Perseorangan. Dalam kaitannya dengan
departemen terkait, belum tercapai kesepakatan dalam perhitungan data produksi
dan lifting migas. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum
sepenuhnya melibatkan daerah penghasil migas dalam moonitoring produksi
migas sebagai dasar perhitungan lifting migas.
Dari sisi pembiayaan, dalam tahun anggaran 2003-2007, belanja daerah
dialokasikan sebesar Rp 22.550.256.221.918,25 dan dapat direalisasikan sebesar
77
Rp 21.294.423.424.264,90 atau 94,43%. Kinerja penyerapan anggaran belanja
mencapai 94,43% menunjukkan bahwa tingkat penyerapan dalam batas proporsi
yang masih ideal karena dalam realisasi sebuah anggaran akan dipengaruhi
berbagai hal, baik yang bersifat faktor internal maupun faktor eksternal. Rincian
lengkap untuk alokasi anggaran dan realisasi belanja daerah dapat disajikan dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel 3.10 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2003-2006
No. Belanja Daerah Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Belanja Aparatur 16.781.079.867.662,10 16.020.369.041.399,90 95,47
2 Belanja Publik 4.326.022.145.404,35 4.109.807.656.572,00 95,00
3 Belanja Bagi Hasil 7.344.251.444.203,36 7.158.539.080.484,00 97,47
dan Bantuan
Keuangan
4 Belanja Tidak 317.416.016.273,16 271.721.384.104,00 85,60
Tersangka
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
Tabel 3.11 Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Barat
Tahun Anggaran 2007
No. Belanja Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Daerah Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Belanja 4.205.511.878.443,34 3.893.642.282.742,00 92,58
Tidak
Langsung
2 Belanja 1.563.664.475.812,81 1.380.412.100.123,00 88,28
Langsung
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
78
direalisasikan akibat dana maupun waktunya tidak mencukupi untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Untuk belanja tidak langsung pada tahun 2007 direalisasikan sebesar
92,58%. Namun hal tersebut masih dalam batas proporsi yang ideal, sisa
penyerapan belanja tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu untuk belanja
pegawai karena adanya pegawai yang pensiun atau alih tugas ke kabupaten/kota,
adanya peraturan lanjutan yang belum diterapkan, dan adanya pengangkatan PNS
baru untuk formasi 2007 yang baru dibayarkan pada tahun 2008. Untuk belanja
bunga tidak terdapat realisasi karena realisasi belanja bunga menyatu dengan
pembayaran pokok utang.
Belanja subsidi direalisasikan sebesar 89,118%, belanja hibah
direalisasikan sebesar 73,82%, bantuan sosial, belanja bantuan keuangan kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja bagi hasil kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa direalisasikan sebesar 96,97%.
Realisasinya diseleksi dengan jumlah proposal yang masuk dan yang telah
memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta karena
masih terdapat kabupaten/kota yang belum meminta haknya, terutama untuk bagi
hasil retribusi dan untuk belanja tidak terduga disebabkan karena pada tahun 2007
tidak terjadi kejadian yang luar biasa seperti bencana alam dan bencana sosial.
Belanja tidak tersangka dan tidak terduga direalisasikan sebesar 76,48% karena
alokasi dana pada pos Belanja Tidak Tersangka merupakan penyediaan anggaran,
sedangkan realisasinya sesuai kebutuhan dan diberitahukan kepada DPRD. Untuk
belanja langsung pada tahun 2007 direalisasikan sebesar 88,28% karena adanya
efisiensi pada beberapa kegiatan dan adanya bagian kegiatan yang tidak
direalisasikan akibat dana dan waktunya tidak mencukupi.
Selain pendapatan dan belanja daerah, realisasi pembiayaan daerah selama
periode 2003-2007 adalah sebagai berikut:
79
Tabel 3.12 Alokasi Anggaran dan Realisasi Pembiayaan Tahun Anggaran
2003-2007
No. Pembiayaan Anggaran Setelah Realisasi Pencapaian
Perubahan (Rp) (Rp) Target (%)
1 Penerimaan Daerah 4.126.306.962.147,78 4.124.017.874.822,69 99,94
a. Transfer dari dana 158.271.347.760,00 158.271.347.760,00 100,00
cadangan
b. Hasil penjualan 0,00 0,00 0,00
saham daerah
c. Penerimaan 0,00 0,00 0,00
pinjaman dan
obligasi daerah
d. Sisa lebih 3.708.035.614.387,78 3.705.746.527.062,69 99,94
perhitungan
anggaran tahun
lalu
e. Pencairan dana 250.000.000.000,00 250.000.000.000,00 100,00
cadangan
f. Penerimaan 10.000.000.000,00 10.000.000.000,00 100,00
kembali pemberian
pinjaman
2 Pengeluaran Daerah 1.485.271.945.606,91 4.692.132.153.660,40 315,91
a. Transfer ke dana 341.048.861.730,13 341.048.861.730,00 100,00
cadangan
b. Penyertaan modal 809.561.040.000,00 798.621.040.000,00 98,65
c. Pembayaran utang 303.032.043.876,78 302.141.254.951,00 99,71
pokok yang jatuh
tempo
d. Sisa lebih 0,00 3.230.370.996.979,40 0,00
perhitungan
anggaran tahun
berjalan
e. Pemberian piutang 31.630.000.000,00 19.950.000.000,00 63,07
kepada pihak lain
3 Sisa Lebih Pembiayaan 58.843.335.506,25 58.843.335.506,25 100,00
Anggaran Tahun
Berkenaan
Sumber: LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur (2003-2008)
Sebagai provinsi dengan luas daerah dan jumlah penduduk yang cukup
besar, Jawa Barat menghadapi permasalahan yang cukup kompleks dalam hal
rentang kendali dan penyebaran pembangunan. Kesenjangan pembangunan akibat
pemusatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah kawasan menimbulkan persoalan-
persoalan kesejahteraan, seperti kemiskinan, pengangguran, dll. Bahkan isu
80
etnisitas yang membedakan antara Priangan dengan non Priangan turut mewarnai
wacana pemekaran daerah di Jawa Barat.
Bila merujuk pada desain penataan wilayah yang dibuat Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada tahun 1990 yang termuat dalam Pola Induk
Pengembangan Wilayah Propinsi DATI I Jawa Barat dalam jangka panjang (25-
30 tahun), kebijakan kemungkinan penataan kembali Daerah Tingkat II di Jawa
Barat diarahkan untuk berkembang dari 24 menjadi 42 Daerah Tingkat II.
Meskipun demikian, hingga tahun 2006, jumlah daerah otonom di Jawa Barat
masih berjumlah 26 termasuk dengan Kabupaten Bandung Barat yang dibentuk
pada akhir tahun 2006. Dari daerah otonom baru yang terbentuk pada periode
1999-2006, yang benar-benar merupakan hasil pemekaran hanya Kabupaten
Bandung Barat, sedangkan Kota Depok (1999), Kota Cimahi (2000), Kota
Tasikmalaya (2001), Kota Bekasi (2001), dan Kota Banjar (2002) merupakan
peningkatan status dari kota administratif (kotif) yang merupakan bagian
kabupaten. Hal ini berarti bahwa pengalaman penataan wilayah di Provinsi Jawa
Barat sebenarnya relatif unik dan menarik untuk dijadikan perbandingan
tersendiri, bagaimana perkembangan daerah otonom baru yang muncul dari hasil
pemekaran dibandingkan dengan daerah yang terbentuk melalui proses
peningkatan status kotif. Apakah daerah yang semula kotif relatif lebih “mulus”
perkembangannya karena telah melalui masa transisi ataukah tidak ada perbedaan
signifikan dengan daerah yang muncul melalui pemekaran murni? Meskipun
demikian, perbandingan ini bisa menjadi bias bila dilakukan sekarang karena
Kabupaten Bandung Barat baru berusia kurang dari 1 tahun, sehingga belum bisa
dievaluasi secara menyeluruh terkait dengan kinerja pemerintahannya.
Meski demikian, evaluasi awal tentang perkembangan daerah otonom baru
di Jawa Barat tetap perlu dilakukan. Bahkan idealnya, tidak hanya daerah otonom
yang baru terbentuk, tapi terhadap keseluruhan kabupaten/kota di Jawa Barat.
Hasil evaluasi ini menjadi bahan untuk melakukan penataan wilayah secara
komprehensif, yang nantinya dapat mengkritisi kebijakan Pola Induk
Pengembangan Wilayah tahun 1990, apakah masih relevan dengan kondisi
sekarang atau perlu disempurnakan. Hasil evaluasi juga dapat menjadi bahan
pertimbangan obyektif agar wacana pemekaran atau pembentukan daerah otonom
81
tidak direspon secara apriori, prasangka negatif, bahkan konflik antara daerah
induk dengan daerah calon pemekaran. Karena itu, evaluasi daerah-daerah otonom
di Jawa Barat perlu didahului dengan kejelasan konsep penataan wilayah untuk
membangun kesamaan visi dan pemahaman, bahwa penataan wilayah bukan
hanya pemekaran tapi bisa juga penggabungan daerah; bahwa penataan wilayah
tidak harus selalu menghasilkan daerah otonom baru tapi bisa juga berupa
kawasan khusus yang bersifat administratif; bahwa penataan wilayah bisa
memunculkan model alternatif manajemen pemerintahan, seperti pelimpahan
kewenangan, pembentukan unit-unit pelayanan, pembentukan manajer kota,
penyelenggaraan kerjasama antar daerah, dll. Apapun pilihan yang dihasilkan dari
penataan wilayah ini, orientasi utamanya harus diarahkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga biaya politiknya dapat ditekan seminimal
mungkin.
Secara umum, dengan membandingkan kondisi capaian Indeks
Pembangunan Manusia di daerah-daerah sebelum dan setelah pemekaran, maka
untuk Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Bekasi, Kota Banjar, dan Kota
Tasikmalaya, terjadi peningkatan dalam capaian IPM. Hasil pengukuran IPM
untuk daerah induk kelima kota tersebut pada tahun 1999 berdasarkan pengukuran
yang dilakukan UNDP menunjukan bahwa Kabupaten Bogor (induk Kota Depok)
mencapai IPM sebesar 66,6; Kabupaten Bandung (induk Kota Cimahi dan
Kabupaten Bandung Barat) mencapai IPM sebesar 66,6; Kabupaten Bekasi (induk
Kota Bekasi) mencapai IPM sebesar 64,6; Kabupaten Ciamis (induk Kota Banjar)
mencapai IPM sebesar 64,8; dan Kabupaten Tasikmalaya (induk Kota
Tasikmalaya) mencapai IPM sebesar 65,3. Pada tahun 2003, capaian IPM untuk
daerah induk dan daerah baru adalah sebagai berikut;
82
Tabel 3.13. Perbandingan Capaian IPM sebelum dan setelah Dimekarkan
(Data Tahun 2003-2006)
No. Daerah IPM Daerah Baru IPM
Induk 2003 2004 2005 2006 2003 2004 2005 2006
1 Kabupaten 67,81 68,10 68,99 69,79 Kota Depok 76,13 76,85 77,81 77,97
Bogor
2 Kabupaten 67,52 68,52 69,16 70,41 Kota Cimahi 72,00 73,83 75,16 75,25
Bandung Kabupaten 65,15 66,06 66,86 70,11
Bandung
Barat
3 Kabupaten 70,33 73,78 73,92 71,08 Kota Bekasi 73,49 74,95 75,48 75,65
Bekasi
4 Kabupaten 69,93 70,89 71,08 71,95 Kota Banjar 70,96 71,52 71,82 71,94
Ciamis
5 Kabupaten 67,06 68,46 69,08 69,74 Kota 69,78 71,05 71,62 72,33
Tasikmalaya Tasikmalaya
Sumber: Basis Data Analisis IPM Jabar, 2007, Kabupaten Bandung Dalam
Angka, 2007 (diolah)
83
menerjemahkan otonomi yang diperoleh daerah baru tersebut ke dalam kebijakan-
kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain sisi positif peningkatan kesejahteraan tersebut, pemekaran daerah di
Jawa Barat pun menyisakan sejumlah permasalahan yang harus segera
diselesaikan. Kabupaten Tasik dan Kota Tasik, misalnya, hingga sekarang masih
belum menuntaskan sengketa peralihan aset daerah. Kabupaten Bandung Barat
hingga saat ini masih berkutat pada konsolidasi birokrasi pemerintahan baru dan
persiapan pembentukan pemerintahan definitif melalui pilkada, sehingga belum
sepenuhnya berkonsentrasi pada peningkatan pelayanan publik. Kota Cimahi
masih berdebat dengan Kabupaten Bandung mengenai perluasan wilayah karena
Kota Cimahi merasa mulai “sesak” dengan hanya 3 wilayah kecamatan sementara
laju pertumbuhan penduduk mulai meningkat pesat. Masalah-masalah khas
perkotaan (urban) pun mulai dihadapi Kota Bekasi dan Kota Depok yang semakin
merasa “dekat” dengan Jakarta dibanding dengan Jawa Barat. Perkembangan Kota
Bekasi dan Kota Depok sebagai kota satelit Jakarta memunculkan wacana
megapolitan yang menjadi perdebatan antara Jawa Barat dan Jakarta.
Berbagai permasalahan tersebut sesungguhnya merefleksikan “pekerjaan
rumah” yang akan dihadapi pascapembentukan daerah baru. Selama periode
transisi (minimal 1 tahun pertama), daerah baru akan dihadapkan dengan
persoalan-persoalan elitis, seperti penunjukkan pejabat kepala daerah, pengisian
DPRD, pengisian struktur birokrasi, penyelenggaraan pilkada, pengesahan
pemerintahan definitif, peralihan aset dan bagian keuangan daerah, dst. Pada
periode ini, alokasi anggaran, baik dari provinsi maupun daerah induk akan
terkonsentrasi untuk pembiayaan birokrasi, sehingga tidak heran bila pada periode
awal pemekaran, belum akan tampak perubahan signifikan dalam kualitas
pelayanan publik, apalagi dalam tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain
terkonsentrasi pada biaya birokrasi, periode transisi juga rentan dengan potensi
konflik, baik antara daerah induk dengan daerah baru, maupun antara elit-elit di
daerah baru yang berpotensi memunculkan para free riders yang hanya
memanfaatkan “arena baru” untuk memperoleh jabatan-jabatan politik. Bila tidak
terkelola dengan baik, potensi konflik ini akan berdampak panjang, seperti pada
84
kasus Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, atau Kabupaten dan Kota
Tasikmalaya, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Selama periode 2007-2008 berkembang tuntutan pembentukan daerah
otonom baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Indramayu (menjadi
Kota Indramayu), Kabupaten Sukabumi (menjadi Kabupaten Sukabumi Selatan,
Kabupaten Sukabumi Utara, dan Kabupaten Palabuhanratu), Kabupaten Garut
(menjadi Kabupaten Garut Selatan), Kabupaten Ciamis (menjadi Kabupaten
Ciamis Selatan), Kabupaten Cianjur (menjadi Kota Cipanas), dan Kabupaten
Bogor (menjadi Kabupaten Bogor Barat). Dari keenam usulan pembentukan
daerah otonom baru tersebut, baru 1 (satu) usulan yang disetujui oleh DPRD
Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bogor, dimekarkan menjadi Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Bogor Barat. Kelimat usulan lainnya masih dalam tahap
pengkajian untuk mengukur kelayakan pemekaran.
Dengan menggunakan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Pembentukan,
Penggabungan, dan Penghapusan Daerah Otonom, kajian kelayakan pembentukan
daerah otonom baru tidak mudah dilakukan karena seringkali daerah calon atau
daerah induk tidak dapat memenuhi skor minimal untuk layak dimekarkan. Kasus
pembentukan Kota Cipanas (pemekaran dari Kabupaten Cianjur) dan Kabupaten
Ciamis Selatan (pemekaran dari Kabupaten Ciamis) menunjukkan hasil penilaian
total menunjukkan kedua daerah tersebut dapat dimekarkan, namun karena ada
komponen nilai yang kurang memenuhi skor minimal maka usulan pembentukan
daerah otonom baru masih harus melalui proses politik berupa pembahasan di
DPRD induk untuk membentuk persetujuan dan kesepakatan dengan pemerintah
daerah induk untuk melanjutkan usulan pada pemerintahan yang lebih tinggi. Pada
kasus pembentukan Kota Cipanas, ternyata capaian skor potensi keuangan daerah
untuk daerah induk menjadi menurun setelah dimekarkan sehingga nilainya
kurang dari batas minimal. Sementara itu, untuk kajian pembentukan Kabupaten
Ciamis Selatan menunjukkan capaian skor untuk potensi daerah kurang dari skor
minimal.
PP No.78 Tahun 2007 merupakan pedoman yang harus dirujuk dalam
proses pembentukan suatu daerah otonom baru. Kriteria dan prosedur teknis yang
ditetapkan dalam PP No.78 Tahun 2007 berbeda dengan kriteria dan prosedur
85
teknis yang ditetapkan dalam PP No. 129 Tahun 2000, yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah. Seyogianya PP No.78 Tahun 2007 dapat lebih efektif dan efisien
untuk digunakan sebagai pedoman pengganti, namun demikian dalam praktiknya
PP No.78 Tahun 2007 belum sepenuhnya dapat diterapkan secara praktis dalam
proses penilaian kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Pendapat ini
muncul mengingat secara praktis sulit untuk mendapatkan data-data yang valid
dan aktual tentang indikator-indikator yang ditetapkan dalam PP No.78 Tahun
2007.
Kesulitan penerapan metode penilaian yang digunakan dalam PP No.78
Tahun 2007 dapat dilihat pada hal-hal berikut ini. Pertama, metode penilaian
indikator yang digunakan dalam PP No.78 Tahun 2007 mayoritas (bahkan nyaris
seluruh indikatornya) berbasis penggunaan data sekunder dan bersifat hard data 1,
padahal sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia,
ketersediaan basis data sekunder yang valid sangat terbatas 2. Kedua, kalaupun
data tentang indikator tersebut tersedia, maka ketersediaannya tidak meliputi
semua daerah yang akan dikaji, jelasnya bahwa BPS di tiap-tiap kabupaten/kota
memiliki format dan konten dokumen statistik (misalnya daerah dalam angka)
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketiga, indikator yang dipilih belum
sepenuhnya tepat untuk merepresentasikan faktor atau variabel yang digunakan
sebagai kriteria penilaian.
Pada masalah yang pertama dan kedua, yaitu tentang ketaktersediaan data
dari sumber-sumber resmi (BPS, BAPPEDA), data yang valid untuk indikator-
indikator berikut ini tidak ditemukan:
• Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan: Wilayah yang dapat dimanfaatkan
untuk kawasan budi daya di luar kawasan lindung;
1
Yang dimaksud dengan hard data disini adalah data yang bersifat objektif, bukan merupakan data
hasil penilaian, judgement atau persepsi seseorang. Data yang dimaksud seperti halnya data-data
yang diperoleh melalui pengukuran gejala fisik.
2
Sebagai ilustrasi tentang sulitnya mendapatkan data sekunder yang valid dan uptodate adalah
ketika hendak dilakukan pemetaan penduduk miskin dalam rangka pembagian dan penyaluran
dana BLT beberapa waktu yang lalu, dimana terdapat perbedaan nilai dari berbagai sumber data
resmi yang ada di Indonesia, misalnya terdapat perbedaan antara BPS, BKKBN, Departemen
Sosial, Departemen Kesehatan dan lembaga lainnya.
86
• Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau
perahu atau perahu motor atau kapal motor;
• Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia
18 tahun ke atas;
• Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia
25 tahun ke atas;
• Balai Pertemuan: Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan
masyarakat melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial;
• Personil Aparat Pertahanan
• Personil Aparat Keamanan
• Karakteristik Wilayah: Adalah ciri wilayah yang ditunjukan oleh hamparan
permukaan fisik calon daerah otonom (berupa daratan, atau daratan dan
pantai/laut, atau kepulauan), dan posisi calon daerah otonom (berbatasan
dengan negara lain atau tidak berbatasan dengan negara lain).
Hampir semua dokumen resmi di Kabupaten/Kota tidak mencantumkan
data tentang luas wilayah efektif sebagaimana yang didefinisikan di atas.
Sedangkan data mengenai kepemilikan kendaraan bermotor biasanya tidak
didasarkan atas jumlah rumah tangga atau keluarga yang memilikinya, tetapi
hanya sebatas jumlah tanda bukti kepemilikan seperti BPKB dan STNK.
Demikian pula berkenaan dengan data ketenagakerjaan, umumnya data
ketenagakerjaan tidak didistribusikan seperti indikator yang digunakan dalam PP
No. 78 tahun 2007. Sementara mengenai karakteristik wilayah, PP No. 78 tahun
2007 menyebutkan penilaian skor menggunakan judment subjektif, dengan
demikian terdapat tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mentransformasikan
nilai subjektifnya ke dalam ukuran-ukuran objektifnya.
Perihal jumlah personil keamanan dan pertahanan tentu tidak terdapat
dalam dokumen statistik, namun demikian tim peneliti mendapatkan data ini dari
sumber terkait seperti Polda, Polres, Kodim dan Kodam. Namun terkait dengan
kendala ketiga yakni indikator yang dipilih belum sepenuhnya tepat untuk
merepresentasikan faktor atau variabel yang digunakan sebagai kriteria penilaian,
misalnya yang terkait dengan jumlah aparat keamanan dan pertahanan.
Sebagaimana penjelasan dari komandan Kodim dan Polres yang kami temui,
87
distribusi gelar pasukan TNI AD dan penempatan anggota Polri telah diatur secara
tersendiri, misalnya untuk jumlah komado teritorial dan anggotanya, TNI AD
menggunakan kriteria jumlah penduduk, di samping itu selain anggota TNI yang
bertugas di staf komando teritorial atau komando kewilayahan, ada juga anggota
TNI yang ditempatkan pada satuan-satuan lain, seperti batalyon infanteri, batalyon
Armed dan sebagainya, demikian pula di TNI AD, TNI AL dan Polri. Kebijakan
penempatan anggota itu pun memiliki aturan dan logikanya tersendiri yang
ditentukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Mabes TNI dan Mabes Polri.
Terhadap persoalan data di atas dapat digunakan proxy dalam penilaian
terhadap data-data yang “bermasalah” tersebut. Dalam hal ini ada data yang
diganatikan oleh proxy-nya dan ada pula proses penilaian skor dengan
menggunakan judgement pakar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data
dan proses skoring dengan PP No.78 tahun 2007 ini tidak dapat 100% mengikuti
kaidah yang ditetapkan, namun demikian sebatas ketersediaan para ahli dan data
proxy yang tersedia maka dapat disimpulkan bahwa potensi error yang terjadi
masih dapat ditolerir.
Gambar 3.8 Jumlah Kasus Pidana Korupsi di Jawa Barat Tahun 2005-2007
100
84
80
60 58
60 48 54 50
40 36
20 6 8
0
2005 2006 2007
Masuk Putus Sisa
88
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 2006-2008
Data tersebut menunjukkan jumlah perkara korupsi yang sudah masuk ke
Kejaksaan Tinggi, diproses di pengadilan dan diputus secara hukum. Jumlahnya
memang mengalami penurunan meski tidak terlalu signifikan. Namun, perlu
diingat bahwa data ini belum memuat kasus-kasus yang masih dalam tahap
penyidikan oleh kepolisian, atau kasus-kasus yang ditangani Bawasda dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Informasi mengenai kasus-kasus ini tidak mudah
diakses oleh publik, sehingga dapat menyulitkan pemantauan terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Sebagai terobosan dalam pencegahan tindak pidana korupsi, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat bersama-sama dengan DPRD, Kepolisian Daerah, Kejaksaan
Tinggi, Perwakilan BPKP, Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Kabupaten
Indramayu, KADIN, GAPENSI, kalangan Perguruan Tinggi, Persatuan Wartawan
Indonesia, dan Bandung Institute of Governance Studies, telah menandatangani
Kesepakatan Bersama untuk mendukung penyusunan Rencana Aksi Daerah
Pemberantasan Korupsi. Upaya ini patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen
politik dalam memberantas korupsi, dan harus segera ditindaklanjuti dengan
langkah-langkah konkret dalam penegakan hukum maupun upaya preventif
lainnya, seperti pembenahan birokrasi, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas
dalam pemerintahan.
89
secara elektronik (e-government procurement), melalui kelembagaan khusus
berupa unit pengadaan barang dan jasa, yang saat ini telah dibangun instalasi
operasionalisasinya.
Peluang partisipasi publik juga diperluas melalui penyelenggaraan
Musrenbang mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat provinsi untuk
membahas rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan tahunan.
Meskipun kadar efektivitas dari partisipasi publik ini masih belum optimal,
namun dari sisi transparansi, upaya ini dapat diapresiasi sebagai langkah awal
untuk menyelenggarakan pembangunan daerah secara partisipatif.
Akuntabilitas kinerja pemerintahan daerah, setidaknya dari sisi
administratif sudah menunjukkan perbaikan yang ditandai dengan pelaksanaan
program pembangunan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Meskipun
ditinjau dari sisi pencapaian target masih belum optimal, karena masih ada target
pembangunan yang belum dapat dicapai, antara lain terkait target penanganan
pengangguran, kemiskinan, dan peningkatan daya beli masyarakat yang
berdampak pada peningkatan capaian IPM yang tidak banyak beranjak dari
kondisi sebelumnya.
Dari sisi politik, penilaian terhadap akuntabilitas kinerja pemerintahan
pasangan Danny Setiawan dan Nu’man Abdul Hakim tampaknya telah terjawab
dengan pilihan mayoritas masyarakat Jawa Barat untuk memilih pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur baru, yakni Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf
pada pemilihan gubernur, 13 April 2008 lalu. Pilihan ini menegaskan
ketidakpuasan masyarakat Jawa Barat terhadap kinerja pemerintahan dan
pembangunan selama periode 2003-2008, meskipun perhitungan secara kuantitatif
yang termuat dalam buku Statistik Pembangunan Jawa Barat 2008 menunjukkan
peningkatan angka-angka, namun secara riil peningkatan ini belum dirasakan oleh
masyarakat.
90
dibukanya peluang partisipasi masyarakat dalam perumusan rencana
pembangunan, baik dalam jangka panjang, menengah, maupun tahunan.
Sekalipun telah dilaksanakan sejak tahun 2005, peraturan pelaksanaan yang
mengatur mekanisme partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
belum dibuat di tingkat provinsi. Baru beberapa daerah kabupaten/kota di Jawa
Barat yang telah membuat Perda Partisipasi, antara lain Kabupaten Bandung, Kota
Cimahi, dan Kota Bandung.
Musrenbang tingkat Provinsi melibatkan para kepala daerah, ketua DPRD,
dan kepala Bappeda dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, para pejabat di
lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat, para akademisi,
dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat. Selain para pejabat dan kelompok
masyarakat di daerah, Musrenbang juga dihadiri para pejabat dari Pemerintah
Pusat yang akan memantau penyelenggaraan Musrenbang.
Musrenbang seharusnya memainkan peran penting sebagai wahana untuk
menghubungkan antara masyarakat dengan pemerintah dan para teknokrat. Ia
menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan rencana-rencana pembangunan
yang disusun pemerintah bersama teknokrat, sekaligus mengklarifikasi
sejauhmana rencana tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat. Idealnya, untuk
menghasilkan klarifikasi yang valid dan obyektif, diperlukan kehadiran seluruh
warga masyarakat bukan hanya diwakili oleh organisasi masyarakat, LSM, atau
segelintir pelaku usaha. Dalam penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah
Daerah Provinsi Jawa Barat 2008-2013, misalnya, untuk Kelompok Sosial dan
Budaya yang membahas naskah RPJMD Bidang Sosial dan Budaya, dihadiri oleh
52 orang peserta yang berasal dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Delegasi Kabupaten/Kota, sebanyak 15 orang.
2. Delegasi SKPD/Forum Gabungan SKPD, sebanyak 10 orang.
3. Instansi vertikal sebanyak 2 orang.
4. Perguruan Tinggi sebanyak 1 orang.
5. Wakil dari pelaku pembangunan lainnya sebanyak 16 orang.
Kondisi sejenis juga terjadi pada Musrenbang RPJMD Provinsi Jawa Barat
Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan tanggal 14
Agustus 2008. Musrenbang yang mengambil bentuk diskusi kelompok dihadiri
91
sekitar 87 orang dari unsur: Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi
terkait Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Bakorwil,
Kabupaten/Kota, Asosiasi Masyarakat, serta unsur LSM.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pembangunan, khususnya yang dilakukan melalui forum-
forum resmi masih bersifat terbatas baik dari sisi jumlah maupun lingkup
pelibatannya. Kehadiran akademisi, ormas atau LSM sebagai representasi
masyarakat dalam forum-forum tersebut lebih bersifat perwakilan dari sisi isu dan
belum sepenuhnya mewakili kriteria-kriteria lain dalam masyarakat, seperti
kriteria gender, marginalitas, kelompok adat, dll.
Partisipasi masyarakat tidak hanya dilihat dari keikutsertaan masyarakat
dalam pelaksanaan Musrenbang tapi juga dari penyampaian aspirasi masyarakat
kepada DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat. Penyampaian aspirasi
masyarakat kepada DPRD, antara lain ditandai jumlah unjuk rasa yang
disampaikan kepada lembaga DPRD, di mana pada perkembangan setiap
tahunnya mengalami penurunan yaitu rata-rata mencapai 10% sampai dengan
15% (LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur, 2008). Aspirasi yang masuk ke DPRD
selama periode 2003-2007 sebanyak 761 aspirasi, dengan rincian:
1. Tahun 2003, sebanyak 139 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah politik, peraturan perundang-undangan, dan ketenagakerjaan.
2. Tahun 2004, sebanyak 83 aspirasi dengan substansi aspirasi pada masalah
politik, peraturan perundang-undangan, dan ketenagakerjaan.
3. Tahun 2005, sebanyak 138 aspirasi, dengan substansi aspirasi pada
masalah perekonomian, ketenagakerjaan, hukum/korupsi, kolusi, dan
nepotisme, pemerintahan, dan pertanahan.
4. Tahun 2006, sebanyak 201 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah pemerintahan, ketenagakerjaan, dan penegakan hukum.
5. Tahun 2007, sebanyak 104 aspirasi dengan substansi aspirasi pada
masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme, masalah hukum, pendidikan, dan
pemerintahan.
Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas aspirasi masyarakat yang
disampaikan pada para wakil rakyat terkait dengan isu ketenagakerjaan dan isu
92
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau terkait dengan penegakan hukum. Kedua isu
ini tampaknya masih menjadi permasalahan strategis yang perlu menjadi perhatian
bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya dan Pemerintah Pusat umumnya.
Terkait dengan isu ketenagakerjaan, sejumlah unjuk rasa seringkali dilakukan
untuk memprotes kebijakan ketenagakerjaan, mulai dari pemberlakuan UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hingga pemberlakuan SKB 4 Menteri soal
upah buruh. Sebagai kawasan industri, banyak organisasi buruh atau serikat
pekerja dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung yang berunjuk
rasa ke kantor DPRD Provinsi Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi soal isu-
isu ketenagakerjaan.
93
52,86% pemilih. Tingginya jumlah masyarakat yang tidak memberikan suara
(golput) juga tampak pada Pilkada Kota Bogor yang berjumlah 35,99% dari
keseluruhan jumlah pemilih yang terdaftar. Demikian pula jumlah golput dalam
Pemilihan Bupati Cianjur tahun 2006 cukup tinggi.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan berpartisipasi politik
dengan memberikan suara dalam pemilu, pilpres, maupun pilkada di Jawa Barat
rata-rata berada pada level 50% sampai dengan 70%. Artinya, tingkat partisipasi
politik ini relatif sedang, meskipun angka golput dalam beberapa pilkada
menunjukkan kecenderungan meningkat. Pemilih yang tak menggunakan hak
pilih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2008 relatif tinggi.
Dari 27,9 juta pemilih yang terdaftar, jumlah golput mencapai 9,13 juta orang.
Jumlah golput ini mengungguli pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade)
yang memenangkan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Pasangan Hade hanya
memperoleh suara 7,28 juta (40,03%) suara dari pemilih yang menggunakan hak
pilihnya. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 17,9 juta
orang. Pasangan Hade mengungguli pasangan Agum Gumelar-Nu’man
Abdulhakim (Aman) yang memperoleh 6,21 juta suara atau 34,55%. Sedangkan
pasangan Danny Setiawan-Iwan R Sulanjana (Aman) memperoleh 4,4 juta suara
atau 24,95%.
Dari pemilih yang menggunakan hak suaranya ini, sebanyak 806.560 suara
dinyatakan tidak sah. Kendati angka golput sangat tinggi, namun dari sisi
partisipasi dianggap cukup bagus. Angka partisipasi dalam Pemilihan Gubernur
ini 67,31%. Angka partisipasi ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka partisipasi
pilkada di provinsi lainnya.
Tingginya golput disebabkan oleh banyak hal, termasuk adanya pemilih
yang tidak menggunakan hak pilih karena sedang bekerja di luar negeri. Selain
itu, kecenderungan golput juga menjadi pilihan dari kalangan pemilih yang
bersikap kritis. Pemilih kritis ini menganggap ketiga cagub-cawagub tidak sesuai
dengan aspirasi politik yang dikehendaki. Banyaknya golput bukan berarti
Pemilihan Gubernur Jawa Barat gagal, karena di negara lain yang demokrasinya
sudah bagus, angka golput bisa mencapai 60%.
94
Kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi, baik yang berwujud pemilu,
pilpres, maupun pilkada tidak hanya dilihat dari angka partisipasi dan angka
golput, tapi yang lebih penting adalah dari kesadaran politik masyarakat untuk
berpartisipasi dalam beragam pemilihan tersebut. Melihat kecenderungan budaya
politik di Jawa Barat, tampaknya tingginya angka golput cenderung disebabkan
oleh faktor teknis bukan karena penyebab politis atau ideologis. Banyak
masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya karena lebih memilih untuk
bekerja, terutama mereka yang bekerja untuk memperoleh upah harian, seperti
buruh tani, buruh pabrik, dll. Artinya, untuk meningkatkan partisipasi politik
sesungguhnya tidak hanya diperlukan pendidikan politik tapi juga peningkatan
kesejahteraan sehingga masyarakat dapat memberikan suaranya dengan kesadaran
politik yang otonom.
95
7. DP VII meliputi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta.
8. DP VIII meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten
Indramayu.
9. DP IX meliputi Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten
Majalengka.
10. DP X meliputi Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Kuningan.
11. DP XI meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, dan
Kabupaten Garut.
Perubahan wilayah pada daerah-daerah pemilihan ini hanya terjadi pada DP II
yang ditambah dengan Kabupaten Bandung Barat sebagai kabupaten baru hasil
pemekaran Kabupaten Bandung.
Ditinjau dari jumlah organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM), mengalami peningkatan sejak tahun 2003, sebagaimana
ditunjukkan pada data berikut ini.
Gambar 3.9 Jumlah LSM dan Anggota LSM di Jawa Barat Tahun 2003-2006
4466
4500
4000
3500
3000
2500 LSM
2000
1129 Anggota
1500
1000 377 543
500 57 62 211 127
0
2003 2004 2005 2006
96
mengenai jumlah riil LSM dan anggota-anggotanya belum tersedia, termasuk
profil LSM yang ada di Jawa Barat, sehingga sulit dipetakan karakteristik dan
keaktifan LSM tersebut sebagai institusi mediasi yang berperan dalam
pemberdayaan masyarakat.
97
BAB IV
AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
98
besar tetap diakibatkan faktor urbanisasi diperkirakan menjadi salah satu
penyebab kenapa jumlah penduduk miskin di perkotaan menurun lebih lambat
dibandingkan di perdesaan.
99
Tabel 4.1. Gini Ratio dan 40% Kelompok Penduduk dengan pendapatan
Terkecil Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota, 2004-2006
100
bentuk beras kepada rumah tangga miskin. Di Jawa Barat pada tahun 2007 akan
disalurkan beras bersubsidi kepada 2.491.055 RTM yang tergolong sangat miskin
dan miskin menurut data BPS sebanyak 10 kg/RTM/bulan selama 12 bulan
dengan harga Rp1.000,00/kg.
Selama kurun waktu Maret 2007 – Maret 2008 garis kemiskinan naik
sebesar 6,32 persen, yaitu dari Rp.165.734,- per kapita per bulan pada Maret 2007
menjadi Rp.176.216,- pada Maret 2008. Apabila kita memperhatikan komponen
Garis Kemiskinan (GK), yang disusun dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan sangat dominan dibandingkan peranan komoditi bukan
makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sebagai cerminan
bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah didominasi oleh
pengeluaran untuk kebutuhan makanan.
101
atas, Pemprov Jabar berupaya pula meningkatkan peran pemkab/pemkot dalam
percepatan pencapaian IPM antara lain melalui Program Pendanaan Kompetisi
akselerasi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM).
Peningkatan IPM sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui tiga pilar utama, yang terdiri dari kesejahteraan
pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat. Jika masyarakat memiliki
pendidikan yang memadai, tingkat kesehatan yang baik serta pendapatan atau
tingkat daya beli yang tinggi, menggambarkan sebuah kehidupan masyarakat yang
sejahtera
102
Sedangkan paritas daya beli (purchasing power parity) menunjukkan angka
Rp 623.526,00 pada tahun 2007.
103
desa/kelurahan berjumlah 7.167 orang dari kebutuhan 5.873 orang. Namun
demikian berdasarkan standar pendidikan bidan yang dapat melayani pelayanan
kesehatan minimal Diploma III (D3) dan saat ini baru berjumlah 2.215 orang,
sedangkan bidan lainnya berjumlah 4.952 orang baru memiliki tingkat pendidikan
Diploma I (D1).
104
IV.1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan PDRB
Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Barat Tahun 2004-
2007
TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) (%) 4,77 5,62 6,01*) 6,40**)
105
Tabel 4.4 Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat Tahun 2004-2007
TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
PDRB adh berlaku 304.458.450,69 389.268.649,47 473.556.757,60 542.272.108,70*)
(juta Rp)
Pada triwulan II ini, jika dilihat secara qtq ada sektor-sektor yang
mengalami pertumbuhan positif diantaranya, sektor keuangan, persewaan dan jasa
mampu tumbuh sebesar 8,03 persen, sektor industry pengolahan sebesar 6,41
persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,28 persen, sector
bangunan sebesar 1,20 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
0,73 persen. Sedangkan empat sektor lainnya mengalami pertumbuhan yang
106
negatif. Sektor-sektor tersebut adalah sector pertanian sebesar minus 14,64 persen,
sector pertambangan dan penggalian sebesar minus 4,18 persen, listrik, gas dan air
bersih sebesar minus 2,58 persen dan sektor jasa-jasa sebesar minus 0,18 persen.
107
Tahun 2004 yaitu sebesar Rp 49,749 trilyun, terjadi kenaikan kurang lebih sebesar
75%.
Tabel 4.6 Pembentukan Modal Tetap Bruto Jawa Barat Tahun 2004-2007
TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
Pembentukan Modal
Tetap Broto (PMTB)
a.d.h.Berlaku (juta 49.749.372,82 63.646.174,39 75.641.574,78*) 87.137.142,96**)
Rp.)
108
Gambar 4.1 Perkembangan Ekspor Jawa Barat 2006-2007
Disisi lain, Kinerja impor Jawa Barat diperkirakan tumbuh 2,20% (yoy),
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan peridoe sebelumnya yang sebesar 9,31%
(yoy) (Grafik 1.20.). Perlambatan kinerja impor ini antara lain dipengaruhi oleh
peningkatan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah yang terjadi selama semester
kedua tahun 2007. Volatilitas nilai tukar yang semakin besar mendorong importir
untuk cenderung menahan impor dari negara lain. Nilai impor pada triwulan ini
(Oktober- November 2007) terkoreksi cukup tajam sebesar 21,52% (yoy).
Komoditas impor yang mengalami penurunan terbesar antara lain adalah produk
mesin listrik dan alat-alatnya, serta produk telekomunikasi.
109
Perkembangan selanjutnya, nilai ekspor non migas Jawa Barat atas dasar
harga berlaku naik dari Rp. 60,83 triliun pada triwulan I menjadi Rp.63,26 triliun
pada triwulan II tahun 2008. Kontribusi nilai ekspor terhadap PDRB atas dasar
harga berlaku pada triwulan II tahun 2008 sebesar 41,71 persen lebih rendah jika
dibanding dengan triwulan I yang sebesar 42,87 persen dan lebih rendah jika
dibanding dengan triwulan II tahun 2007 sebesar 43,11 persen. Nilai ekspor pada
triwulan II tahun 2008 berdasarkan harga konstan 2000 turun sebesar 5,62 persen
dibanding triwulan I, yaitu dari Rp. 31,18 triliun menjadi Rp. 29,43 triliun.
Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2007, nilai ekspor
atas dasar konstan 2000 triwulan II tahun 2008 turun sebesar 10,53 persen
Berbeda dengan kondisi triwulan II-2008 yang mengalami kontraksi,
kinerja ekspor Jawa Barat triwulan III-2008 diperkirakan mengalami ekspansi
dengan pertumbuhan sebesar 4,45% (yoy). Peningkatan kinerja ekspor Jawa Barat
tercermin dari pertumbuhan nilai ekspor selama periode Juli 2008 hingga Agustus
2008 yang tumbuh 15,71% (yoy) dengan nilai kurang lebih USD 3,62 miliar,
sedangkan volume ekspor tumbuh 5,28% (yoy) mencapai 1,4 ribu ton. Kontribusi
ekspor terbesar disumbangkan oleh produk TPT, dengan nilai mencapai USD971
juta atau tumbuh 8,85% (yoy). Sementara itu, ekspor kendaraan bermotor Jawa
Barat mencapai USD159 juta, atau tumbuh 22,60% (yoy).
Data terakhir menunjukkan pula bahwa Impor Jawa Barat tumbuh sejalan
dengan meningkatnya permintaan dalam negeri nasional, khususnya untuk
pemenuhan kebutuhan investasi. Nilai impor Jawa Barat triwulan III-2008 (Juli-
Agustus 2008) mencapai USD1,58 miliar, atau tumbuh sebesar 4,84% (yoy).
Impor Jawa Barat ini didominasi oleh impor barang modal dengan nilai mencapai
USD589 juta.
110
Gambar 4.3 Perkembangan Ekspor dan Impor 2006-2008
111
Tabel 4.7 Realisasi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam
Negeri Jawa Barat Tahun 2004-2007
TAHUN
URAIAN
2004 2005 2006 2007
Realisasi PMA dan PMDN :
112
PMDN sebagai dampak membaiknya iklim investasi. Iklim investasi di Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang terus membaik. Posisi Jawa Barat yang
strategis menempatkan Jawa Barat menjadi tujuan utama untuk investasi, baik
Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Namun demikian, pertumbuhan investasi belum mampu meningkatkan
keterkaitan dengan usaha ekonomi lokal dan kesempatan kerja. Hal ini ditengarai
akibat belum efisien dan efektifnya birokrasi perizinan, belum adanya kepastian
hukum dan kepastian berusaha dalam bidang penanaman modal, masih rendahnya
infrastruktur pendukung adalah merupakan kendala dalam upaya peningkatan
investasi di Jawa Barat.
113
tumbuh sejalan dengan meningkatnya permintaan produk mesin dan alat angkut
untuk pasar dalam negeri. Total penjualan mobil di Jawa Barat mencapai 47.379
unit, atau tumbuh 17,30% (yoy). Selain itu, penggunaan kapasitas produksi
subsektor tersebut pada triwulan IV-2007 (60%) lebih tinggi dibandingkan
periode yang sama tahun 2007 (10%).
Kinerja subsektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki diperkirakan
mengalami penurunan. Program peremajaan mesin TPT yang dilaksanakan pada
akhir tahun 2007, belum berdampak signifikan terhadap peningkatan produksi
TPT. Indikator kinerja ekspor TPT Jawa Barat mengindikasikan bahwa produksi
subsektor TPT relatif stagnan. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit bank
umum ke sektor industri pengolahan tumbuh 23,99% (yoy). Nilai kredit ke sektor
industri pengolahan mencapai Rp13,81 triliun, lebih tinggi dibandingkan periode
yang sama tahun lalu sebesar Rp11,14 triliun ( Grafik 1.22.). Penyaluran kredit
sektor industri pengolahan didominasi oleh penyaluran kredit ke industri tekstil,
sandang, dan kulit, yaitu mencapai sekitar 70% dari total kredit yang disalurkan
ke sektor industri pengolahan.
Sektor industri pengolahan triwulan III-2008 diperkirakan tumbuh 9,15%
(yoy), sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan II-2008, namun lebih
tinggi dibandingkan triwulan III-2007. Tingginya pertumbuhan sektor industri
pengolahan terutama ditopang oleh subsektor industri alat angkut dan mesin dan
subsektor industri tekstil barang kulit dan alas kaki. Berbagai perusahaan
kendaraan bermotor yang memiliki pabrik di Jawa Barat (antara lain Honda dan
Toyota di Cikarang dan Karawang, Daihatsu di Cikampek) mencatat peningkatan
produksi yang cukup tinggi pada tahun 2008 ini, baik untuk memenuhi
permintaan domestik maupun luar negeri. Bahkan permintaan luar negeri
mengalami peningkatan signifikan untuk produk-produk tertentu. Nilai ekspor
kendaraan bermotor pada Juli dan Agustus 2008 tumbuh 22,60% (yoy) dan
volumenya tumbuh 12,20% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun
2007 (Grafik 1.22). Nilai ekspor produk TPT Jawa Barat selama Juli dan Agustus
2008 masih tumbuh sekitar 9% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama
tahun 2007, namun hal ini mungkin akibat order asing/luar negeri yang masih
tersisa dari tahun 2007, karena ke depan dikhawatirkan nilai akan turun seiring
114
penurunan pertumbuhan ekonomi internasional terlebih dengan adanya krisis
listrik yang menghantam dunia industry manufaktur khususnya di Jawa Barat.
Sektor perdagangan di Jawa Barat pengembangannya difokuskan pada
sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar, baik pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri. Pengembangan sistem distribusi diarahkan untuk
memperlancar arus barang, memperkecil disparitas antar daerah, mengurangi
fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang yang terjangkau oleh
masyarakat. Sedangkan peningkatan akses pasar, baik dalam negeri maupun luar
negeri dilakukan melalui promosi produk Jawa Barat.
Provinsi Jawa Barat memiliki potensi pariwisata yang sangat beragam baik
dari sisi produk wisata maupun pasar wisatawan. Keragaman alam dan budaya
yang dimiliki tersebut merupakan modal dasar dalam pengembangan daya tarik
wisata. Berdasarkan data kunjungan wisatawan, secara nasional Jawa Barat
menduduki peringkat ke tiga setelah DKI Jakarta dan Bali. Untuk pengembangan
sektor pariwisata, kendala yang dihadapi adalah belum tertatanya objek wisata dan
masih rendahnya kualitas infrastruktur pendukung.
115
merupakan kendala yang masih dihadapi sektor pertanian.
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV-2007 mengalami perkembangan
yang positif dan diperkirakan tumbuh 7,79% (yoy). Perbaikan kinerja tersebut
terutama didorong oleh pertumbuhan subsektor tanaman pangan. Produksi sektor
pertanian pada triwulan ini lebih baik dibandingkan produksi pada periode yang
sama tahun lalu kecuali pada komoditas kedelai.
116
produktivitas sebesar 3,03% yaitu dari 54,20 kuintal per hektar pada tahun 2007
menjadi 55,84 kuintal per hektar pada tahun 2008 meskipun luas panen terjadi
penurunan sebesar 18.878 hektar atau turun sebesar 1,03% jika dibandingkan
dengan tahun 2007.
Dalam triwulan III tahun 2008 ini juga ditunjukkan adanya peningkatan
kesejahteraan petani dengan berdasarkan hasil pemantauan BPS Jawa Barat
terhadap perkembangan harga-harga di perdesaan di 16 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat, Nilai Tukar petani NTP pada bulan September 2008 sebesar
96,85, meningkat 1,07% dibandingkan angka NTP pada bulan Juni 2008 yang
sebesar 95,82. Hal ini memang terasa belum maksimal karena tetap saja indeks
harga yang dibayar petani tetap rendah dibandingkan indeks harga yang
dibayarkan, namun setidaknya ini merupakan indicator yang peingkatannya
positif.
Jawa Barat memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan terutama dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir
selatan, usaha budidaya laut, bioteknologi kelautan, serta berbagai macam jasa
lingkungan kelautan. Namun kondisi dan potensi sumber daya perikanan dan
kelautan yang besar ini belum diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha
perikanan dan kelautan yang baik. Tingkat investasi sarana dan prasarana
pendukung bisnis kelautan serta produksi sumber daya perikanan dan kelautan
masih jauh dari potensi yang ada. Dilain pihak, lemahnya kondisi pembudidaya
dan nelayan sebagai produsen menyebabkan kurang berkembangnya kegiatan dan
pengelolaan industri pengolahan hasil perikanan dan kelautan.
Peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dan koperasi dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi masih perlu ditumbuhkembangkan. Hal
tersebut disebabkan kurangnya efektifitas fungsi dan peranan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah dalam pembangunan serta rentannya UMKM terhadap perubahan
harga bahan bakar. Masih tingginya kredit konsumsi dibandingkan dengan kredit
investasi juga menghambat kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi
117
sehingga kurang menopang aktivitas sektor riil. Selain itu, dibutuhkan
pengembangan UMKM dan koperasi yang mampu mengembangkan agroindustri
dan bisnis kelautan guna menunjang daya beli dan ketahanan pangan.
3
Berita dari Bappeda Jabar, www.bappeda-jabar.go.id
118
UMKM disalurkan dalam bentuk kredit mikro, yang mencapai jumlah Rp 23,21
triliun, sedangkan untuk kredit kecil dan menengah masing-masing sebesar Rp
14,05 triliun dan Rp 12,92 triliun.
119
Tabel 4.9 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2006 (Rp Juta dan persen)
120
Tabel 4.10 Penyaluran Kredit dan Kredit Macet UMKM per
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Juni 2007 (Rp Juta dan persen)
121
MKM disalurkan dalam bentuk kredit mikro, sedangkan untuk kredit kecil dan
menengah dengan pangsa 31,62% dan 27,20%
122
Barat pada triwulan III-2008 mengalami peningkatan sebesar 1,50%. Peningkatan
tenaga kerja ini terutama terjadi di sektor industri pengolahan dan PHR.
123
besar bekerja sebagai karyawan/buruh (32%), dan melakukan usaha sendiri
(24%).
Sementara itu, di sisi lain, jumlah penduduk yang menganggur di Jawa
Barat menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Berdasarkan data BPS,
angka pengangguran pada Agustus 2007 turun 7% dibandingkan angka pada
Agustus 2006, yaitu dari 2,56 juta orang menjadi 2,38 juta jiwa. Sementara itu,
apabila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja, maka persentase
pengangguran di Jawa Barat mengalami penurunan dari 14,58% menjadi 13,05%.
Berdasarkan status daerah, pengangguran di Jawa Barat lebih banyak terdapat di
wilayah perkotaan, yaitu berjumlah 1,48 juta jiwa (62,18%), sedangkan sisanya
berada di pedesaan (37,82%).
Jabar, dalam rangka pengembangan ketenagakerjaan, sekarang telah
memperketat pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jabar. dalam rangka memperketat
pengawasan ketenagakerjaan sekarang telah melatih masyarakat untuk dididik
menjadi tenaga pengawas. Adanya kegiatan tersebut, sekarang tercatat tenaga
pengawas ketenagakerjaan di Jabar telah mencapai 119 orang dengan jumlah
perusahaan yang beroperasi sebanyak 24.519 orang. Para pengawas
ketenagakerjaan tersebut, secara penuh bertugas mengawasi aktivitas perusahaan
dan tidak mengawasi pelaksanaan proyek-proyek di perusahaan yang
bersangkutan. Jabar, melalui pengawasan ketenagakerjaan juga telah dapat
melakukan evaluasi atas kepatuhan perusahaan atas kewajiban yang harus
dipenuhinya, yang salah satunya keikutsertaan dalam Jamsostek. Hasil evaluasi
saat ini, dari 24.519 perusahaan yang beroperasi di Jabar, sebanyak 15.098
perusahaan baru mengikuti Jamsostek. pejabat pengantar kerja, pengawas
ketenagakerjaan dan perantara hubungan industrial, mempunyai peran strategis.
Keseluruhan pejabat fungsional tersebut, memegang peranan kuat dalam
meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat (tenaga kerja), mengingat
tugas, wewenang dan tanggung jawabnya erat kaitannya dengan pengembangan
SDM tenaga kerja. Pejabat fungsional ketenagakerjaan dalam menghadapi
Masalah ketenagakerjaan diharapkan dapat melakukan pemetaan masalah disertai
data dasar yang kuat, untuk menentukan skala prioritas penanganan masalah,
124
upaya preventif yang edukatif, pemberdayaan dan kerjasama dengan para
pemangku kepentingan.
Di sisi lain, Pejabat fungsional ketenagakerjaan diharapkan dapat memacu
diri untuk terus meningkatkan pengetahuan, kemampyan, ketrampilan dan
integritas dalam mengiringi perkembangan masyarakat untuk memenuhi standar
pelayanan yang prima.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertans) Provinsi Jawa Barat
memerlukan sedikitnya sekitar 600 tenaga pengawas untuk mengoptimalkan
pengawasan ketenagakerjaan di wilayahnya. jumlah PNS pengawas tenaga kerja
di Jawa Barat saat ini hanya sekitar 70 orang, atau hanya sekitar 10% dari
kebutuhan ideal. Selain minim pengawas tenaga kerja, Jabar juga masih
kekurangan tenaga pengantar tenaga kerja dan penghubung industrial. Perangkat
pengawas, penghubung dan pengantar tenaga kerja merupakan instrumen utama di
lingkungan Disnakertrans.
Dari hasil survei yang dilakukan Disnakertrans Jawa Barat 2007, ada
sebelas hambatan masuknya investasi ke Indonesia termasuk ke Jawa Barat.
Urutan pertama hambatan tersebut yakni birokrasi pemerintahan. Hambatan kedua
ada pada persoalan infrastruktur yang tidak memadai yakni sebesar 19%. Hal ini
menyangkut persoalan kerusakan jalan, transportasi, sarana, dan prasarana
pendukung. Sedangkan urutan ketiga hambatan yaitu masalah peraturan
perpajakan, yakni hambatannya 15%. Hambatan lainnya yakni masalah korupsi
(11%), kualitas sumber daya manusia (9), kebijakan pemerintah yang berubah-
ubah sehingga mengakibatkan instabilitas kebijakan (7%), dan kemudian
hambatan persoalan komponen biaya buruh (9%). Persoalan buruh berada pada
posisi ketujuh dari sebelas hambatan masuknya investasi, menurut survey ini.
Sangat disayangkan bahwa data masalah ketenagakerjaan seperti jumlah
demonstrasi dan pemogokan hingga penyelesaian masalah hubungan
industrialisasi antar buruh dan pengusaha data tidak terekam terlalu baik.
Sedangkan hambatan lainnya yakni persoalan komponen biaya bahan
bakar minyak (BBM), biaya listrik, adanya pungutan liar serta pungutan yang
dilakukan daerah. Menurut Sukarto, sekiranya dilakukan kajian secara ilmiah dan
objektif, hambatan masuknya investasi atau keengganan investor semata-mata
125
bukan disebabkan persoalan buruh atau tenaga kerja. Karena, persoalan ini ada
pada posisi ketujuh. Sedangkan hambatan utama terletak pada masalah birokrasi
pemerintahan, infrastruktur, peraturan perpajakan, korupsi serta kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah yang berubah-ubah.
Besaran upah minimum propinsi juga menunjukkan peningkatan
yang sesuai dan layak dengan adanya peningkatan laju inflasi, kebutuhan hidup
layak dan pertimbangan produktifitas yang cukup terwakili. Pada tahun 2004,
UMP Jawa Barat adalah sebesar Rp. 366.500, pada tahun 2005 meningkat
menjadi Rp. 408.260, kemudian meningkat lagi menjadi Rp. 447.654 pada tahun
2006 dan akhirnya pada tahun 2007 naik menjadi Rp. 516.840. Pada tahun 2008
UMP Propinsi Jawa Barat ditetapkan lebih tinggi lagi menjadi Rp. 568.000.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UMP Propinsi Jawa Barat meningkat
dengan laju 41% dari tahun 2004 ke tahun 2007. Walaupun mendapat tentangan
dari pihak buruh, namun setidaknya penetapan UMP ini dapat dijadikan jarring
pengaman bagi upaya penanggulangan kemiskinan, karena pada faktanya data
upah minimum yang digunakan diserahkan pada pemerintah kabupaten dan kota,
dimana pada tahun 2008 UMK tertinggi ada di Kota bekasi sebesar Rp. 990.000,
sedangkan UMK terendah ada di Kota Banjar yakni sebesar Rp 570.000.
126
2. Meningkatnya fasilitasi pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan, antara lain dalam
wujud :
Tabel 4.12 Bantuan Rehabilitasi Kantor Desa dan Kelurahan serta Sarana
Olahraga di Jawa Barat Tahun 2005 – 2007
127
telah terjadi pemekaran sebanyak 70 desa, dengan perincian : pada 2004
terjadi pemekaran jumlah desa sebanyak 23 desa, tahun 2005 sebanyak
10 desa, tahun 2006 sebanyak 12 desa, tahun 2007 sebanyak 25 desa.
Adapun kabupaten yang telah melaksanakan pemekaran meliputi
Kabupaten Bogor sebanyak 2 desa, Kabupaten Sukabumi sebanyak 17
desa, Kabupaten Cianjur sebanyak 7 desa, Kabupaten Bandung
sebanyak 3 desa, Kabupaten Garut sebanyak 14 desa, Kabupaten
Tasikmalaya sebanyak 3 desa, Kabupaten Ciamis sebanyak 2 desa,
Kabupaten Kuningan sebanyak 3 desa, Kabupaten Majalengka sebanyak
3 desa, Kabupaten Sumedang sebanyak 8 desa, Kabupaten Indramayu
sebanyak 3 desa, Kabupaten Subang sebanyak 1 desa dan Kota Banjar
sebanyak 2 desa, sedangkan pemekaran kelurahan sejak tahun 2004
sampai dengan tahun 2007 terdapat 18 kelurahan dengan rincian di
Kabupaten Karawang 2 kelurahan, Kota Bandung 12 kelurahan dan
Kota Bekasi 4 kelurahan. Perubahan status desa menjadi kelurahan pada
tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 sebanyak 70 desa terdapat di
Kabupaten Bogor 2, Kabupaten Bandung 1, Kabupaten Garut 5, Kota
Tasikmalaya 54 dan Kota Banjar 8.
6000
5249 5199 5212 5231
5000
4000
DESA
3000
KELURAHAN
2000
0
2004 2005 2006 2007
128
d. Terwujudnya kemanunggalan TNI dan Masyarakat yang dilaksanakan
sebanyak 10 kemanunggalan dengan cakupan terlaksananya
pembangunan pada desa terpencil, terisolir dan tertinggal sebanyak 275
desa yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat;
e. Terselenggaranya program Raksa Desa yang telah menyerap anggaran
pemerintah daerah mencapai Rp.505.583.340.000,00, dengan capaian
kinerjanya berupa :
f. Infrastruktur yang terbangun di desa sebanyak 10.866 Kegiatan fisik;
g. Meningkatnya jumlah KK yang mendapat pinjaman bergulir sebanyak
332.163 KK;
h. Terhimpunnya swadaya masyarakat dalam pembangunan infrastruktur
perdesaan sebesar Rp. 115.384.204.920,- (77,96%) dari jumlah bantuan
infrastruktur sebesar Rp.148.000.000.000,00 dengan jumlah desa
sebanyak 3.700 desa.
120000
100000 108.200
80000 89.295
60000 66.317 68.351
40000
20000
0
2003 2004 2005 2006
129
Gambar 4.7 Jumlah Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan Pada Program Raksa Desa Tahun 2003-2007
60 milyar Rp.48.215.720.203
50 milyar
40 milyar Rp.36.373.953.934
30 milyar
Rp.18.573.096.133
20 milyar Rp.12.221.434.650
10 milyar
0
2003 2004 2005 2006
130
yang kurang memberi ruang partisipasi; elit politik yang tidak responsif; dan tata
pemerintahan yang otokratis.
131
Tabel 4.13 Indikator Mutu Pendidikan Di Jawa Barat (%) Tahun 2005/2006
SMP/M SMA/S
No. Indikator SD/MI
Ts MK/MA
1. Angka Mengulang 0,23 0,15 0,25
2. Angka Putus Sekolah 0,42 0,81 0,77
3. Angka Lulusan 93,49 91,06 96,89
4. Angka Kelayakan Mengajar :
a. Layak 74,94 76,45 64,37
b. Semi Layak 14,51 11,60 24,43
c. Tidak Layak 10,55 11,95 11,20
5. Kesesuaian Guru Mengajar :
a. PPKn - 99,27 102,93
b. Pend. Agama - 93,25 92,56
c. Bhs. Indonensia - 101,21 98,98
d. Bhs. Inggeris - 103,61 100,80
e. Sejarah & Sejarah Budaya - - 100,57
f. Pend. Jasmani - 100,22 101,15
g. Matematika - 101,21 101,02
h. IPA - 101,43 -
h.1. Fisika - - 100,98
h.2. Biologi - - 99,95
h.3. Kimia - - 99,92
i. IPS - 104,38 -
i.1. Ekonomi - - 98,36
i.2. Sosiologi - - 106,98
i.3. Geografi - - 102,08
j. Seni dan Kerajinan - 114,05 -
k. Muatan Lokal - 42,16 -
l. Tata Negara - - 106,91
m. Antropologi - - 108,24
n. Pendidikan Seni - - 98,54
o. Bahasa Asing - - 94,94
p. B dan P - 60,55 -
q. Lain-lain - - -
6. Kondisi Ruang Kelas :
a. Baik 44,35 75,44 86,34
132
SMP/M SMA/S
No. Indikator SD/MI
Ts MK/MA
b. Rusak Ringan 27,84 16,09 9,41
c. Rusak Berat 27,81 8,47 4,24
7. Fasilitas Sekolah :
a. Perpustakaan 17,92 46,81 57,75
b. Lapangan OR 12,38 45,47 47,95
c. UKS 11,67 24,93 36,51
d. Laboratorium - 59,50 102,93
e. Keterampilan - - 22,39
f. Bimbingan & Penyuluhan - - 47,24
g. Serba Guna - - 17,16
h. Bengkel - - 52,53
i. Ruang Praktek - - 81,10
Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2006. (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat)
133
Tabel 4.14. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005
Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.13, dapat diketahui bahwa
pada tahun 2005 sebagian besar penduduk Jawa Barat baru bisa menyelesaikan
pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu 37, 78%, tingkat
SLTP 15,97%, tingkat SLTA 15,50%, dan hanya sebagian kecil dari penduduk
Jawa Barat yang bisa menamatkan pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan
tingkat tinggi (4,06%).
Data tersebut di atas relevan dan memiliki hubungan yang signifikan
dengan angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk Provinsi Jawa Barat yang
134
baru mencapai angka 7,38 tahun. Kondisi seperti inilah yang perlu dikaji dan
dianalisis secara lebih mendalam, dengan cara mencari faktor-faktor penyebabnya
agar dapat dicari solusinya yang paling mungkin untuk dapat direalisasikan.
135
bantuan beasiswa bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Dalam
dokumen Bapeda Propinsi Jabar, ditetapkan target pencapaian RLS hingga tahun
2010.
136
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan sasaran utama lainnya
pada periode ini, dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana serta tenaga
pendidik PAUD terutama di daerah perdesaan dan daerah terpencil. Selain itu
pengembangan PKBM masih tetap diprioritaskan, dengan target dapat
menampung seluruh masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal.
137
Tabel 4.16 Data Role Sharing Rehabilitasi Ruang Kelas Dan Pembangunan
RKB , Tahun 2006-2008
PUSAT KAB/KOTA
SD MI SMP MTS SMP MTS SD MI SMP MTS SMP MTS SD MI SMP MTS SMP MTS
1 KAB. BANDUNG 2,37 438 386 217 301 6 1,42 263 231 131 181 3 949 175 155 86 121 4
2 KAB. BEKASI 53 288 83 148 197 161 272 173 50 89 119 97 182 115 34 59 79 65
3 KAB. BOGOR 1,60 443 250 135 215 87 960 267 151 82 130 52 640 177 100 54 85 35
4 KAB. CIAMIS 1,72 317 166 77 155 20 1,03 191 100 47 94 13 689 127 66 30 62 7
5 KAB. CIANJUR 1,48 151 378 55 229 188 892 91 228 33 138 113 596 60 151 23 92 75
9 KAB. KARAWANG 894 257 129 168 116 20 536 155 78 102 69 12 358 102 52 67 48 8
16 KAB. TASIKMALAYA 1,04 166 205 15 139 16 625 100 124 9 83 9 416 67 81 4 56 7
17 KOTA BANDUNG 675 55 190 31 259 13 405 33 114 18 156 7 271 23 77 14 104 6
18 KOTA BANJAR 41 23 11 11 8 2 25 13 6 6 4 2 15 8 3 4 3 1
22 KOTA CIREBON 88 12 48 7 18 3 53 6 28 3 10 2 33 4 20 2 7 1
JUMLAH LOKAL 21,2 3,262 3,38 1,35 2,8 851 12,7 1,9 2,03 819 1,68 512 8,49 1,30 1,35 545 1,12 343
138
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dilakukan pemerintah melalui
berbagai upaya dan program. Di antaranya adalah dengan memberikan
penyuluhan kesehatan agar tercipta perilaku hidup sehat, menyediakan berbagai
fasilitas kesehatan umum seperti puskesmas, posyandu, pondok bersalin desa serta
mengupayakan tersedianya fasilitas air bersih. Juga program dana kesehatan untuk
masyarakat miskin merupakan usaha agar pelayanan kesehatan terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan derajat kesehatan
masyarakat akan meningkat. Salah satu indikator yang digunakan untuk
menentukan derajat kesehatan penduduk adalah angka kesakitan (morbidity rate).
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di Jawa Barat adalah pada ahun 2006, pemerintah
meningkatkan sarana dan prasarana pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
berikut jaringannya, meningkatkan sumberdaya tenaga kesehatan baik kuantitas
maupun kualitas, memenuhi kebutuhan obat serta meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan.
139
Tabel 4.17. Data Umum Kesehatan
No JENIS DATA 2004 2005 2006 2007
966 994 1001 1007
1 Puskesmas (842 NonDTP; (857 Non DTP; (860 Non DTP; (867 Non DTP;
(Non DTP+DTP) 144 DTP) 137 DTP) 141 DTP) 40TP)
2 Puskesmas Poned 65 85 94 94
3 Puskesmas Pembantu 1438 1.465 1.475 1.475
4 Puskesmas Keliling 475 527 612 613
34 37 37 38
5 Rumah Sakit Pemerintah (27 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 7 RS (30 RSUD; 8 RS
Khusus D) Khusus D) Khusus D) Khusus D)
6 Rumah Sakit Penek 5 9 12 12
Rumah Sakit Umum
7 BUMN 6 7 7 7
8 Rumah Sakit TNI/POLRI 11 11 16 16
83(58 Umum; 25 119 (74 Umum; 45 138(89 Umum; 49 138 (89 Umum;
9 Rumah Sakit Swasta Khusus) Khusus) Khusus) 49 Khusus)
10 Posyandu 41.951 45.105 45.415 45.903
11 Polindes 1290 1085 1.721 3263
12 Klinik KB (RB/KIA) 218 218 210 210
13 Klinik Swasta (BP) 1.815 3140 2.917 2.917
Dokter Umum di
14 Puskesmas 1.393 1.622 1.631 1600
15 Dokter Spesialis di RSUD 505 523 575 592
16 Dokter gigi di Puskesmas 623 856 884 864
6.231 bidan 6.951 bidan 7.150 bidan
Bidan/Bidan tinggal di 4.424 bidan di 4.808 bidan di
17 desa 5867 3.919 bidan di desa desa desa
18 Perawat 6562 7.851 8.522 7.657
Gambar 4.8. Sarana Rumah Sakit di Jawa Barat tahun 2004 - 2006
140
Gambar 4.9 Rasio Tempat Tidur Di Seluruh Rumah Sakit
TerhadapPenduduk Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 - 2007
Penolong kelahiran terakhir balita yang dilakukan oleh tenaga medis pada
tahun 2006 sebesar 56,64 persen naik menjadi 61,22 persen pada tahun 2007. Dari
3,8 juta balita di Jawa Barat pada tahun 2007, sekitar 11,31 persen kelahirannya
ditolong oleh dokter, 49,40 persen oleh bidan, dan 0,51 persen oleh tenaga medis
lainnya. Sedangkan yang ditolong oleh tenaga non medis seperti dukun sekitar
38,24 persen dan 0,53 persen ditolong oleh famili/lainnya. Dibandingkan dengan
tahun 2006, persentase balita yang kelahirannya ditolong oleh dukun mengalami
penurunan sebesar 3,6 poin, sementara yang ditolong oleh tenaga paramedis naik
sebesar 4,58 poin.
141
Perhatian masyarakat terhadap kesehatan balita merupakan indikasi bahwa
masyarakat telah memahami pentingnya hal ini. Salah satu indikator yang bias
merefleksikan hal ini adalah lama menyusui. Semakin lama balita mendapat ASI
sesuai waktu yang ditentukan (24 bulan) akan berpengaruh terhadap kesehatan
balita. Air susu ibu (ASI) sangat penting bagi perkembangan dan kesehatan balita.
ASI merupakan zat yang sempurna untuk pertumbuhan bayi dan mempercepat
perkembangan berat badan. Dari seluruh balita di Jawa Barat pada tahun 2007,
sebanyak 3,617 juta balita atau 94,40 persen pernah diberi ASI. Persentase balita
yang disusui oleh ibunya selama 2 tahun atau lebih mengalami peningkatan dari
33,98 persen pada tahun 2006 menjadi 36,46 persen pada tahun 2007. Sedangkan
yang disusui selama satu sampai kurang dari dua tahun sebesar 37,20 persen, dan
sisanya yaitu balita yang disusui kurang dari satu tahun naik dari 25,50 persen
pada tahun 2006 menjadi 26,33 persen di tahun 2007 ini. Fenomena peningkatan
persentase balita yang disusui lebih dari satu tahun ini menunjukkan bahwa
semakin banyak kaum ibu yang menyadari pentingnya ASI bagi kesehatan bayi.
2007
142
Tabel 4.19. Data Derajat Kesehatan
Kematian
Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) merupakan
indikator yang sangat sensitif terhadap ketersediaan kualitas dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan terutama yang berhubungan dengan Perinatal. AKB juga
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu
dan gizi keluarga. Sehingga AKB dapat dipakai sebagai tolok ukur pembangunan
sosial ekonomi masyarakat menyeluruh
AKB dihitung sebagai jumlah kematian bayi dibawah usia 1 tahun pada
setiap 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Provinsi Jawa Barat dari
143
45,69 per 1000 kelahiran hidup tahun 2000, di tahun 2005 menjadi 43,40 per 1000
kelahiran hidup. Sedangkan jumlah kematian bayi di Jawa Barat tahun 2006
sebanyak 3.580 dari 818.338 kelahiran hidup.
Kab. Bekasi
AKB JAWA BARAT: 40.87
Kota Bekasi (45,43)
(31,95) Kab. Karawang
(48,29)
Kota Depok Kab. Subang Kab. Indramayu
(28,07) (40,67) (51,33)
Kab.Bogor Kota Cirebon
(42,42) Kota Bogor Kab. Purwakarta Kab. Cirebon (31,67)
(26,32) (41,50) (52.24)
Angka Kematian Balita adalah jumlah kematian anak umur 0 – 4 tahun per
1000 kelahiran hidup. Estimasi Angka Kematian Balita di Indonesia dihitung oleh
Badan Pusat Statistik. Sementara itu di Provinsi Jawa Barat estimasi AKABA dari
tahun ke tahun menunjukan penurunan tetapi masih berada diatas angka nasional
yaitu 132 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986, 105 per 1000 kelahiran
144
hidup pada tahun 1992 dan 101 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1993.
Berdasarkan laporan dari sarana pelayanan kesehatan tahun 2006, jumlah balita
mati di Jawa Barat adalah 306 orang.
Tabel 4.20. Angka Kematian Balita per 1.000 kelahiran hidup di Provinsi
Jawa Barat dibandingkan dengan angka Nasional tahun 1986, 1992, 1993
dan 2000
145
Kematian akibat diare dapat disebabkan oleh karena rujukan ke rumah
sakit terlambat dilakukan, disamping itu disebabkan pula oleh masih rendahnya
pengetahuan akan penggunaan Oralit atau Larutan Gula Garam (LGG) dalam
menaggulangi dehidrasi akibat diare.
Tahun 2006
No Jenis Penyakit % No Jenis Penyakit %
Pneumonia &
1 Bronchopneumonia 13,64 11 Asma 2,09
2 Diare & Gastroenteritis 10,75 12 Anemia Lainnya 1,93
Penyakit Infeksi dan Parasit
3 Kejang YTT 9,79 13 lainnya 1,61
Encephalitis &
4 Meningoencephalitis 9,63 14 Gizi buruk 1,44
Bronkhitis & Bronkhiolitis
5 Meningitis 8,03 15 Akut 1,12
Ileus paralitik & obstruksi
6 Demam Berdarah Dengue 5,14 16 usus tanpa hernia 1,12
Peny. Radang susunan
7 syaraf 3,85 17 Combusio cerebri 0,96
8 Septisemia 2,73 18 Malnutrisi 0,80
Demam Typhoid dan
9 paratyphoid 2,25 19 Morbili 0,80
10 Tetanus 2,25 20 Penyakit Jantung 0,80
21 Penyakit Lainnya 19,26
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2006
Angka Kematian Maternal atau Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal
Mortality Rate (MMR) menunjukan jumlah kematian ibu karena kehamilan,
persalinan dan masa nifas pada setiap 1000 kelahiran hidup dalam satu wilayah
pada kurun waktu tertentu.
146
kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan
dan masa nifas.
Hasil Survei BPS tahun 2003 menunjukan bahwa umumnya kematian ibu
terjadi pada saat melahirkan (60,87%), waktu nifas (30,43%) dan waktu hamil
(8,70%). Hal ini sejalan dengan data mengenai jumlah kematian ibu maternal dari
laporan sarana pelayanan kesehatan.
1000
800
600 311
228 256
400 148 67
47 96
43 39
200
282 287 253
0
2003 2004 2005
Perdarahan Infeksi Eklampsia Lain-lain
147
Kematian Kasar
Menurut BPS Provinsi Jawa Barat, perkiraan tingkat kematian tahun 2000-
2005 untuk perempuan berkisar sebesar 20,59 dan laki-laki 20,19. Pola penyakit
penyebab kematian untuk kelompok Lansia dan Pralansia tahun 2006 adalah
karena penyakit kardiovaskuler, TBC dan penyakit degeneratif lainnya merupakan
penyebab kematian terbesar untuk kelompok usia tersebut.
67.00 66.50
66.20 67.14
67.01
65.80 66.74 66.87
66.00 66.60
66.47
Sumber
64.90 : Badan Pusat Statistik
66.07 Provinsi Jawa Barat
64.63 65.68
65.00
65.29
64.80
64.00
64.00
63.00
62.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PROYEKSI TARGET
148
Status Gizi
Pemberian vitamin A untuk anak balita 1-4 tahun dan ibu nifas, pemberian
tablet Fe pada ibu hamil, distribusi kapsul yodium untuk penduduk sasaran
(WUS) pada daerah rawan GAKY. Kecenderungan berat badan lebih berkaitan
dengan gaya hidup mencakup pola makan dan kebiasaan berolahraga. Obesitas
perlu diwaspadai mengingat keadaan tersebut merupakan faktor predisposisi. Gizi
buruk pada balita perlu diwaspadai karena akan berdampak pada lemahnya
sumber daya manusia di masa mendatang (lost generation).
Kurang Vitamin A
149
Tabel 4.22. Status Gizi Balita Tahun 1999-2001 dan 2004-2007
25
23,42
20
20,42 20,98
18,95
15
10
0
2003 2004 2005 2006
150
menyusui dapat diberikan pendidikan gizi di posyandu tentang pentingnya
mengkonsumsi makanan sumber vitamin A.
Anemia Gizi
Hasil penelitian pada tahun 2003 mengenai masalah Ibu hamil kurang
energi kronis dan anemia gizi besi di 24 Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
tercantum pada grafik berikut ini.
Gambar 4.13. Prevalensi Anemia Gizi Ibu Hamil di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2003
90
76 77,3 77
80
65,5
70
57,5 56,4
60 51,4 52 52,9 54,1 52,2 51,4 51,7
47,7 48,7 45,7
42,6 44,8 42,5 41,8 43,5 44
50 41,4
38,1 36,5
40
30
20
10
0
n
am n
at
C u
a g
a
B ung
ng
K wa n
C g
m a
a
ed g
C ur
or
. T m or
an a
uk mi
K jale i
K De i
. B ok
a asi
a is
um
a rut
ah
K Ka as
o
In ebo
ay
uk an
a
y
ay
an
. C rt
. B gk
um n
ar
J a ia m
nj
og
ab asik og
du
ot ireb
as ala
. S bu
ab p
P ing
S ba
ab ka
K Ga
im
ek
ek
a aw
al
ab
B
n
ia
B
B
ir
an
u
un
B
C
S
r
dr
a ab.
w
ik
ur
K
ot
a
a
S
ot
a
M
K
ab
K
ot
T
ab
K
ot
K
K
ot
K
Sumber : P3Gizi dan Makanan Depkes dan DinKes Jabar, tahun 2003
151
Berdasarkan data mengenai prevalensi anemia pada ibu hamil di provinsi
Jawa Barat tahun 2003, kasus tinggi > 55 % terdapat di daerah pesisir Kabupaten
Karawang, Kabupaten. Indramayu, Kabupaten Cianjur dan Wilayah timur Jawa
Barat yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Ciamis. Tingginya prevalensi
anemia pada ibu hamil maupun remaja putri perlu mendapat perhatian khusus,
utamanya didalam rangka penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi.
Dari bidang kesehatan, upaya dan energi pemerintah daerah dalam kurun
waktu tahun 2003 hingga tahun 2006 banyak tersita untuk penanggulangan
wabah-wabah penyakit menular, mulai dari demam berdarah, malaria, polio,
hingga wabah flu burung, demikian juga penanganan kasus-kasus gizi buruk pada
balita. Namun memasuki tahun 2007, seiring dengan telah tertanggulanginya
berbagai wabah penyakit menular tersebut, fokus upaya kesehatan mulai bergeser
dari kegiatan-kegiatan kuratif ke kegiatan-kegiatan preventif dan promotif. Hal ini
ditandai dengan kembali bergairahnya pelaksanaan program-program
Desa/Kelurahan Siaga hingga Kabupaten/Kota Siaga, Gerakan Sayang Ibu, dan
berbagai program pembudayaan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Namun
demikian perhatian terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin tetap mendapat perhatian yang seksama, yakni melalui
penyuksesan pemberian jaminan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin
(Askeskin) dan juga pengalokasian dana tambahan dari APBD Provinsi untuk
program Askeskin. Penempatan dokter-dokter residen (yang sedang
menyelesaikan pendidikan spesialis) dilaksanakan di wilayah Jawa Barat Selatan
untuk mengembangkan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan pada Puskesmas-
Puskesmas.
152
IV.10. Peningkatan Perlindungan Dan Kesejahteraan Sosial
Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain akibat
menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung lingkungan
serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi. Selain itu
kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun 2003 s/d 2007
jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar
74 % menjadi 46 %. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada
daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih
belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182 %
menjadi 190 %.
Masalah lainnya adalah anak terlantar, orang jompo, anak nakal, korban
penyalahgunaan narkotik (Narkoba), penyandang cacat, gelandangan atau
pengemis, tuna susila, fakir miskin, wanita rawan sosial ekonomi, anak jalan dan
lain-lain.
Tabel 4.23. Jumlah Kerugian Akibat Bencana Alam Menurut Jenis di Jawa
Barat
Kerusakan Rumah
Korban Ringan Berat Hancur Terancam Terendam
Tahun Jiwa
Meninggal
153
Tabel 4.24. Jumlah Permasalahan Sosial Menurut Jenis di Jawa Barat
154
Berbagai program pembangunan bertujuan untuk menjamin standar hidup
yang memadai bagi semua anggota masyarakat. Pada periode tahun 2004 – 2006,
tercatat bahwa jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
menunjukkan peningkatan. Tetapi, di sisi lain peran masyarakat dalam upaya
peningkatan kesejahteraan sosial dirasakan meningkat, terlihat dari meningkatnya
jumlah panti sosial yang diselenggarakan oleh swasta, serta jumlah pekerja sosial
masyarakat.
Kependudukan
Sex Ratio tahun 2006 menunjukkan angka 1,02, artinya bahwa setiap 100
orang perempuan, terdapat 102 orang laki-laki dan sex ratio pada tahun 2007
sebesar 101,7 yang berarti setiap 1.000 perempuan berbanding dengan 1.017 laki-
laki. Perubahan komposisi penduduk berdasarkan Kelompok Usia dimana terdapat
peningkatan kelompok usia muda menjadi kelompok usia produktif.
155
Gambar 4.14. Jumlah Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000 – 2006
156
Gambar 4.15. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Selama
Kurun Waktu 2002-2007
Selama periode 2000 – 2006, tren Fertilitas di Jawa Barat terus mengalami
penurunan. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan setiap perempuan (Total
Fertility Rate) di tahun 2000 masih menunjukan angka 2,61 terus menurun
menjadi 2,39 di tahun 2006. Demikian juga Angka Kelahiran Kasar yang terus
menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.
157
Tabel 4.27. Angka Kelahiran Kasar (CBR) dan Angka Kesuburan Total
(TFR) di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000 – 2006
Perkawinan
Semakin muda usia perkawinan pertama, semakin besar risiko yang dihadapi bagi
keselamatan kesehatan ibu maupun bayi, secara mental perempuan muda yang
cepat menikah umumnya sangat rentan perceraian karena emosi yang belum stabil
dan belum siap untuk menjalankan rumah tangga serta belum siap menerima
pengetahuan tentang kehamilan dan persalinan.
Tabel 4.28. Penduduk Wanita berusia 10 tahun ke atas yang pernah menikah
Menurut usia perkawinan pertama di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 –
2006
Usia Perkawinan
2002 2003 2004 2005 2006
Pertama
1. < 15 tahun 18,02 16,50 16,50 16,28 18,83
2. 16 Tahun 13,31 12,84 12,84 12,57 12,26
3. 17 - 18 tahun 29,70 29,37 29,37 29,34 28,28
4. 19 – 24 tahun 33,36 35,62 35,62 36,11 34,41
5. > 25 tahun 5,61 5,67 5,67 5,71 6,21
Jumlah 100 100 100 100 100
Sumber : Suseda tahun 2002 – 2006
158
Gambar 4.16. Cakupan Peserta KB Baru di Provinsi Jawa Barat Tahun
2001s/d 2006
Keluarga Berencana
Pada tahun 2006 alat yang paling diminati adalah pil sebanyak 564.159
akseptor, Pil 309.005 orang dan IUD sebanyak 105.513 akseptor.
Program KB dipengaruhi juga oleh kondisi perekonomian, di mana berdasarkan
hasil pendataan keluarga yang dilaksanakan oleh BKKBN Provinsi Jawa Barat,
159
pada tahun 2006 masih terdapat 17,48% dari total 10,4 juta keluarga yang berada
dalam tahapan Keluarga Pra Sejahtera, menunjukkan peningkatan dibandingkan
proporsi pada tahun 2005 sebesar 13,38%.
160
Pemuda dan Olah Raga
Beberapa hal yang telah dicapai pada olahraga prestasi dalam kurun waktu
2003-2007 antara lain menduduki urutan ke 3 (tiga) pada Pekan Olahraga
Nasional (PON) tahun 2004 di Palembang, menduduki urutan ke 2 (dua) Pekan
Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) di Medan, menjadi juara umum pada
kejurnas beberapa cabang olahraga sebagai kualifikasi PON ke di Kalimantan
Timur. Selain itu Jawa Barat juga menjadi juara umum berturut-turut pada Pekan
Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren (POSPENAS) tahun 2003 dan 2005.
161
(angka sangat sementara), meningkat sebesar 0,71 poin dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu sebesar 70,05. Dalam rentang 2003–2007, IPM Jawa Barat
meningkat sebesar 2,89 dari angka 67,87 pada tahun 2003 menjadi 70,76 pada
tahun 2007.
Kekuatan
Kelemahan
a) Upaya peningkatan kualitas dan produktivitas SDM Jawa Barat belum optimal
b) Kurang kesadaran masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbudaya.
c) Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Jawa Barat masih rendah, terutama
perempuan
d) Tingginya kesenjangan status kesehatan (angka-angka yang menjadi indikator
dalam menilai derajat kesehatan)
e) Masih terdapatnya permasalahan dalam kesetaraan dan keadilan jender dalam
pelaksanaan pembangunan
f) Masih tingginya tingkat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
g) Tingginya AKI dan AKB
h) Tingginya morbiditas penyakit menular dan tidak menular
i) Terdapat wilayah yang rawan bencana
162
Peluang
Tantangan
a) Semakin derasnya arus informasi dan akulturasi budaya asing melalui media
massa
b) Tingginya penyakit menular (TBC, HIV-AIDS, DBD, Diare, AI) dan
penyakit-penyakit tidak menular seperti jantung, penyakit jiwa dan pembuluh
darah.
c) Perubahan lingkungan yang merugikan kesehatan masyarakat sebagai dampak
perubahan iklim global, akan memperberat upaya peningkatan status
kesehatan dan gizi masyarakat.
d) Masyarakat dengan tingkat kesejahteraan sosial rendah pada wilayah urban
akan menimbulkan permukiman yang kumuh serta kerawanan sosial dan
kriminalitas.
e) Exploitasi terhadap potensi dan peranan perempuan Indonesia untuk tujuan
dan kepentingan illegal dan komersial (pornografi, pornoaksi, perdagangan
perempuan, pelecehan seksual)
f) Masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang mempengaruhi pendidikan
masyarakat
g) Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk usia produktif yang mencari pekerjaan
h) Penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah Jawa Barat
163
i) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta diharapkan pengembangan dapat merata di
seluruh wilayah Jawa Barat
j) Untuk mengurangi bencana alam diharapkan masyarakat dapat berperilaku
ramah terhadap lingkungan
164
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2004-2009 menekankan kepada perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup yang diarahkan untuk dapat memperbaiki
sistem pengelolaan sumber daya alam agar memiliki kemampuan memberikan
manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam jangka panjang dengan
tetap menjamin kelestariannya. Sasaran yang ingin dicapai dari RPJM Tahun
2004-2009 dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup itu
sendiri adalah membaiknya fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumber
daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan prinsip pembangunan
berkelanjutan di seluruh sektor pembangunan. Penjabaran RPJMN tahun 2006,
2007 dan 2008 dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada masing-
masing tahun yang antara lain memuat prioritas pembangunan, rancangan serta
program pembangunan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan serta
instrumen kebijakan.
Salah satu kerangka RKP Provinsi Jawa Barat adalah mengaktualisasikan
strategi untuk mewujudkan struktural dan pola pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dan disesuaikan dengan visi dan misi Provinsi Jawa Barat. Kondisi
struktur ruang diuraikan dalam kondisi sistem kota-kota, infrastruktur wilayah,
dan kawasan andalan. Sementara kondisi pola ruang diuraikan dalam kondisi
kawasan budidaya sawah dan kawasan lindung. Seperti tertuang dalam RPJMN
Daerah Jawa Barat 2008-2013, strategi tersebut adalah rencana struktur ruang
wilayah Jawa Barat ditetapkan kedalam 3 (tiga) Pusat Kegiatan Nasional (PKN)
dan 7 (tujuh) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). PKN tersebut meliputi:
Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi (Bodebek), Metropolitan Bandung, dan
Metropolitan Cirebon. Sedangkan PKW meliputi Sukabumi, Cikampek-Cikopo,
Pelabuhanratu, Indramayu, Kadipaten, Tasikmalaya, dan Pangandaran.
Keterkaitan antar PKN, antar PKW, dan antara PKN-PKW diwujudkan melalui
pengembangan infrastruktur wilayah.
Seluruh rencana dari implementasi pengembangan PKN yang ditetapkan
tersebut dituangkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010, yang masih belum
memperlihatkan kondisi fungsi dan peran secara optimal. Hal tersebut dilihat dari
skala kegiatan ekonomi, pelayanan infrastruktur, serta daya dukung dan daya
165
tampung ruangnya. Secara umum hampir seluruh sistem kota mengalami masalah
dalam penyediaan sistem sarana prasarana, meskipun PKN Bodebek memiliki
keberadaan prasarana dan sarana yang lebih optimal dibandingkan PKN
Metropolitan Bandung dan PKN Cirebon.
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Metropolitan Bodebek dan Metropolitan
Bandung memiliki keterkaitan yang tinggi, dan dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan antar wilayah, terutama antara wilayah Jawa
Barat bagian utara dengan bagian selatan serta antara bagian barat, tengah dan
timur. Seperti juga kondisi PKN, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) secara umum
masih memerlukan perbaikan dan dukungan dalam peningkatan kinerja,
diantaranya kawasan andalan yang ditetapkan (Bodebek dan Bopunjur, Cekungan
Bandung, Priatim-Pangandaran, Ciayumajakuning, Purwasuka, dan Sukabumi)
memperlihatkan kondisi perkembangan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan
PKW lainnya karena didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana wilayah
kawasan yang mendukung perkembangan sektor unggulan di kawasan tersebut.
Pada aspek lingkungan, pencapaian kebijakan tata ruang dapat dilihat dari
rencanan kawasan lindung (KL) yang ingin dicapai sebesar 45% pada tahun 2010,
dan berdasarkan kesesuaian tutupan lahan 2005 dengan kawasan lindung yang
ditetapkan RTRW Provinsi Jawa Barat, pencapaian kawasan lindung hingga tahun
2007/2008 yang dapat dicapai serta sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
adalah sebesar 27,5% (KL dalam kawasan hutan 11,3 % dan KL diluar kawasan
hutan 16,2 %), sedangkan yang kurang sesuai sebesar 14,8% dan yang tidak
sesuai sebesar 6,6%. Permasalahan yang teridentifikasi dari penyelesaian tata
ruang kawasan lindung tersebut adalah terjadinya penyimpangan pemanfaatan
ruang berupa alih fungsi lahan produktif yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi,
perkembangan penduduk maupun kondisi sosial budaya. Pada umumnya alih
fungsi lahan yang terjadi karena mengabaikan rencana tata ruang yang telah
direncanakan sebelumnya. Perbaikan dari kondisi pengalihfungsian lahan tersebut
terlihat dari data alih fungsi lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya
(lahan terbangun) pada kurun waktu 1994-2005 sebesar 242.922,26 Ha (28,48%)
dan sawah sebesar 253.281,71 Ha (27,13%). Upaya pengelolaan lingkungan
ditinjau dari kebijakan adalah telah ditetapkannya regulasi dalam bidang penataan
166
ruang, yaitu UU Nomor 26 Tahun 2007 yang dapat dipergunakan sebagai acuan
yang lebih tegas dengan penerapan sanksi pidana maupun perdata bagi pelaku
penyimpangan tata ruang. Undang-undang tersebut memberi peluang Pemerintah
Provinsi antara lain memiliki kewenangan dalam pengaturan, pembinaan,
pengawasan dan pelaksanaan penataan ruang serta pengembangan kawasan
strategis provinsi sesuai dengan kewenangan di tingkat provinsi.
Upaya pengelolaan lingkungan di wilayah Provinsi Jawa Barat dari aspek
sumber energi adalah terlihat dari pengembangan potensi berbagai jenis
sumberdaya alam yang terbaharukan. Potensi sumberdaya terbaharukan yang
dikembangkan diantaranya adalah potensi panas bumi sekitar 6.101 MW atau
(21,7%) dari total potensi panas bumi Indonesia. Sampai dengan tahun 2007,
sekitar 92,81% energi nasional yang dihasilkan dari panas bumi dipasok oleh
pembangkit panas bumi yang berada di Jawa Barat. Sementara untuk pasokan
energi nasional yang berusumber dari PLTA, Jawa Barat memberikan kontribusi
sebesar 46,21%.
Perbaikan pengelolaan sumber-sumber potensi penyebab bencana alam di
Jawa Barat dilakukan dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan sumber
penyebab bencana, diantaranya 7 (tujuh) gunung api aktif, 5 (lima) sesar aktif
serta aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa Barat. Sumber penyebab bencana
gerakan tanah antara lain di wilayah jawa Barat bagian selatan, serta banjir di
wilayah pantai utara, Cekungan Bandung, Bogor, serta depok. Sekaligus untuk
mewujudkan fungsi 45% Kawasan Lindung Jawa Barat dalam kurun waktu lima
tahun terakhir dilaksanakan melalui kegiatan rehabiliasi lahan kritis serta
penandaan batas kawasan lindung. Rehabilitasi lahan kritis antara lain dilakukan
melalui GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis). Sisa lahan kritis sampai tahun
2007 mencapai 202.130,05 ha. Sementara untuk kegiatan penandaan batas telah
dilaksanakan sepanjang 1.040 m selama tiga tahun dan dapat diselesaikan tahun
2007. Perwujudan 45% kawasan lindung tersebut melibatkan insitusi di tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota serta partisipasi dunia usaha dan masyarakat.
Dalam pelaksanaanya, pencapaian kawasan lindung 45% dihadapkan pada
permasalahan semakin meningkatnya tekanan sosial-ekonomi terhadap sumber
hutan, serta sinergitas lintas instansi.
167
Sampai dengan tahun 2007 berbagai upaya perbaikan pengelolaan sumber
daya alam, khususnya sumber daya air telah dilakukan melalui mengendalian
tingkat pencemaran air sungai di Jawa Barat. Upaya tersebut antara lain melalui
pemantauan kualitas air sungai secara periodik di 7 sungai utama dan penguatan
kapasitas kelembagaan melalui program Environmental Pollution Control
Management (EPCM), serta penegakkan hukum lingkungan. Penguatan kapasitas
kelembagaan melalui program tersebut telah dapat membangun komitmen industri
di dalam mewujudkan pemulihan kualitas air sungai. Dari aspek penegakkan
hukum lingkungan telah dilakukan penanganan terhadap industri pencemar,
meskipun upaya-upaya pengendalian tingkat pencemaran air yang telah dilakukan
terhadap kualitas air sungai di 7 sungai utama, masih belum dapat memberikan
efek signifikan terhadap pergeseran status mutu air ke tingkat yang lebih baik.
Terkait dengan perbaikan pengelolaan perkembangan kondisi air tanah di
Jawa Barat yang semakin menurun dari tahun ke tahun dengan laju penurunan
sekitar 2-5 m setiap tahunnya. Langkah-langkah konservasi dan pengendalian
pemanfaatan air bawah tanah telah dilakukan dalam lima tahun terakhir yaitu
meliputi pemantauan kondisi air tanah, pengendalian pemanfaatan pengambilan
air tanah melalui perijinan dan mekanisme disinsentif, pengawasan dan penertiban
pengambilan air tanah secara ilegal, serta pembuatan percontohan sumur resapan
dalam di kawasan tapak industri. Upaya perbaikan pengelolaan masa datang
adalah dengan memulihkan kondisi air tanah di cekungan kritis dengan penguatan
dan peningkatan efektivitas dari pola langkah-langkah sebagaimana telah
ditempuh, serta mendorong partisipasi sector industri di dalam mengembangkan
sumur resapan dalam di kawasan tapak industri. Dalam jangka panjang,
perkembangan ekonomi wilayah perlu diarahkan pada aktivitas ekonomi yang
berkarakter hemat konsumsi air tanah untuk menekan laju pemanfaatan air tanah.
Peningkatan perbaikan pengelolaan dari aspek kualitas udara dari aktivitas
konsumsi bahan bakar yang cukup tinggi di daerah perkotaan yang telah
mengakibatkan polusi udara yang cukup memprihatinkan.
Kontribusi gas buang kendaraan bermotor terhadap polusi udara telah
mencapai 60-70%. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada saat ini
semakin banyak industri yang mulai menggunakan batu bara sebagai sumber
168
energi yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara. Meskipun upaya
diterapkannya kebijakan konversi bahan bakar dari minyak tanah ke gas pada
tahun 2007 telah memunculkan berbagai permasalahan di tingkat masyarakat dan
dunia usaha, di Jawa Barat implementasi kebijakan tersebut dihadapkan pada
ketidaksiapan adaptasi sistem institusi dan teknologi. Pemilihan jenis-jenis energi
alternatif belum dapat dipilih akibat tingkat biaya ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Persoalan lingkungan pesisir yang dihadapi di Jawa Barat adalah belum
tertanganinya kerusakan kawasan pesisir berupa kerusakan kawasan seperti
ditandai oleh menyusutnya hutan bakau, abarasi pantai, serta pendangkalan muara
sungai serta indeks pencemar air laut yang menunjukan kondisi rata-rata tercemar
berat. Upaya yang telah dilakukan oleh BPLHD Propinsi Jawa Barat adalah
mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikan kerusakan pesisir pantai di Jawa
Barat melalui beberapa program pengelolaan dan pengendalian kerusakan pesisir
dan laut yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya. Dimana perbaikan ekosistem kawasan pesisir dan laut diarahkan
pelaksanaannya secara terpadu dan sinergis yang melibatkan pelbagai kelompok
masyarakat pesisir dan pelaku pembangunan lainnya diantaranya:
Rehabilitasi/Reboisasi Mangrove; Rehabilitasi/reboisasi mangrove
terutama ditujukan untuk kawasan-kawasan perlindungan dan budidaya perikanan
baik di pesisir utara maupun selatan Jawa Barat. Hal ini sesui dengan fungsi dari
mangrove itu sendiri. Jenis mangrove yang ditanam disesuaiakan dengan kondisi
alam wilayahnya.
Penyusunan Tata Ruang Wilayah Pesisir secara terpadu; Dalam hal ini
ditentukan dan ditetapkan zonasi-zonasi tertentu di wilayah pesisir sebagaimana
fungsi wilayahnya, antara lain zona preservasi, zona konservasi dan zona
pemanfaatan intensif
Pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir Jawa Barat;
Program ini bertujuan untuk mengantisipasi, mencegah serta mengendalikan
potensi pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut. Perkembangan
industri, perikanan, perdagangan dan pemukiman di pantai utara serta
169
pertumbuhan wisata dan perikanan di selatan berpotensi menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir utara pada umumnya terjadi akibat
perubahan peruntukan lahan di kawasan tersebut dimana hanya sedikit kawasan
pesisir utara yang stabil yaitu 13 % di daerah Bekasi dan 22 % di daerah Cirebon.
Oleh sebab itu penanganan abrasi di pesisir utara lebih diarahkan kepada
pengendalian perubahan fungsi lahan. Sedangkan akresi umumnya terjadi di
sekitar muara sungai akibat pasokan sedimen dari darat dan diendapkan
disepanjang pantai. Untuk itu konsep pengelolaan melalui pendekatan DAS harus
ditingkatkan. Sedangkan di wilayah pesisir selatan Jawa Barat, permasalahan
abrasi lebih disebabkan oleh aktivitas pertambangan sehingga sangat penting
untuk diterapkan kegitan pertambangan berwawasan lingkungan.
Penataan dan pengendalian kegiatan pertambangan di wilayah pesisir;
Kegiatan pertambangan yang marak di era otonomi daerah untuk meningkatkan
pendapatan daerah telah menyebabkan terjadinya potensi permasalahan
lingkungan hidup yang semakin meningkat. Pertambangan pasir besi di wilayah
pesisir selatan Jawa Barat yang membentang dari Sukabumi hingga Ciamis telah
mengakibatkan permasalahan lingkungan sekitarnya seperti rusaknya jalan
menuju pantai wisata di Ciamis Selatan. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan
upaya pengendalian pertambangan di pesisir selatan Jawa Barat sehingga kegiatan
pertambangan yang dilaksanakan tetap memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan
hidup berkelanjutan.
Penataan dan perlindungan daerah tangkapan ikan nelayan lokal; Program
ini dimaksudkan agar tangkapan dari para nelayan berupa ikan atau biota laut
dapat meningkat dan berkesinambungan sehingga taraf hidup dan kesejahteraan
nelayan meningkat.
Beberapa Pengembangan pendidikan lingkungan berbasis masyarakat dan
penguatan peran kelembagaan lokal dalam meningkatkan kemampuan partisipasi
masyarakat. Penguatan instrumen penegakan hukum sebagai upaya legal
pengelolaan pesisir dan laut
170
Permasalahan, Hambatan, Tantangan, Potensi, Peluang yang strategis dalam
mempengaruhi Pembangunan di Daerah Jawa Barat
Kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah
kegiatan pembangunan yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam tanpa
menghilangkan peluang generasi mendatang untuk menikmati berbagai manfaat
dari kekayaan alam yang tersedia secara adil. Tunutan kondisi lingkungan harus
terjaga dan lestari diyakini sebagai bentuk keberlanjutan ekologis dari
keberlanjutan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Berkenaan dengan
kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut, maka evaluasi atas kinerja
pembangunan yang terkait dengan permasalahan lingkungan merupakan bagian
dari strategi pengelolaan lingkungan sesuai dengan kebijakan nasional dan
kepedulian wilayah (provinsi) setempat. Adapun evaluasi kinerja pembangunan
lingkungan yang dilakukan difokuskan kepada permasalahan isu-isu lingkungan
yang menonjol, dan pada dokumen evaluasi ini adalah kinerja selama tiga tahun
yaitu dari tahun 2006 – 2008.
Persoalan lingkungan yang menonjol dibahas dalam laporan ini tidak
selalu menggambarkan persoalan yang terjadi di seluruh wilayah kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Barat, namun juga pada sejumlah kecil wilayah kabupaten/kota
yang dianggap memiliki potensial persoalan yang bila tidak diantisipasi sejak dini
dapat menimbulkan dampak serius di kemudian waktu.
Kajian dilakukan secara cepat (rapid assessment) di antaranya dengan
teknik diskusi kelompok yang melibatkan berbagai sektor pemerintah di tingkat
provinsi. Penekanan pada isu-isu lingkungan menonjol yang teridentifikasi pada
tiga tahun terakhir, baik yang memperlihatkan perbedaan secara berarti atau masih
relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didasarkan kepada bahwa
dari banyak permasalahan yang teridentifikasi pada evaluasi kinerja sebelumnya,
diperlukan waktu yang relatif panjang untuk dapat mengatasinya, sehingga
penanganannya masih berlangsung dan belum dapat diselesaikan. Hal lain yang
juga perlu mendapat perhatian adalah data-data yang dapat mendukung kinerja
evaluasi ini seperti dokumen status lingkungan hidup 2008 belum tersedia,
sehingga akan dapat ditemukan penggunaan data dari dua tahun sebelumnya.
171
Degradasi Sumberdaya Alam dan Inkonsistensi Rencana Tata Ruang
Degradasi sumber daya alam yang mencakup air dan lahan, berupa
meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin
meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan
pegunungan maupun hutan pantai (mangrove).
172
Kondisi tersebut berkenaan dengan kaitannya terhadap kerusakan lahan/DAS di
Jawa Barat. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh West Java
Environmental Management Project (2004) melaporkan bahwa hingga tahun
2004, dari sekitar 40 Daerah Aliran Sungai/DAS di Jawa Barat, 20 DAS di
antaranya dalam kondisi sangat kritis (50%). Sementara itu, menurut Harian
Umum Pikiran Rakyat (22 September 2005), 25 DAS ada dalam kondisi kritis,
terutama DAS Cimanuk, Citarum, Ciliwung, dan Citanduy.
Sebagaimana dilaporkan dalam laporan evaluasi tahun 2006, data
pemantauan memperlihatkan bahwa luas lahan kritis, misalnya di Kabupaten
Bandung berjumlah 36.698 ha, di Kabupaten Cianjur 44.084 ha, dan Kabupaten
Garut 33.945 ha. Sementara itu, di DAS Citarum Hulu (150.000 ha), DAS
Cimanuk Hulu (24.000 ha), DAS Citanduy (64.000 ha) dan DAS Ciliwung Hulu
(9000 ha). Data yang menunjukkan adanya perubahan tidak diperoleh pada tahun
2007/2008. Adapun pencanangan penanaman satu juta pohon oleh Presiden RI
pada awal tahun 2008, belum dapat menunjukkan hasilnya, mengingat program
tersebut belum satu tahun. Sedangkan data/informasi dari keberhasilan program
UPSA (upaya pengelolaan sumber daya air) yang telah dicanangkan sejak tahun
2001, tidak terinformasikan secara lengkap. Berkaitan dengan luasan lahan kritis
ini, alih fungsi lahan telah menyebabkan berubahnya fungsi kawasan hutan
lindung sekitar 106.851 ha (24%), hutan produksi sekitar 130.589 ha (31 %) dan
persawahan sekitar 165.903 ha (17%) berubah menjadi lahan bukan persawahan
(Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007).
Dampak yang diperkirakan terjadi akibat degradasi lahan/DAS tersebut
adalah perubahan tata guna tanah yang cukup besar berupa berkurangnya hutan
primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak belukar 17% yang kemudian
menyumbangkan sekitar 32.931.061 ton per tahun beban erosi di wilayah Jawa
Barat. Sedangkan hal lain yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan di
DAS Ciliwung berupa peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun
1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000) diindikasi menjadi penyebab peningkatan
volume banjir periodik 25 tahunan dari 330 m3/detik (tahun 1973) menjadi 740
m3/detik (tahun 2000).
173
Hambatan.
Tantangan.
174
kegiatan reboisasi (penanaman dalam kawasan hutan oleh Perum Perhutani).
Namun, penyelenggaraan GRLK yang telah dilakukan sejak Tahun 2004, masih
belum optimal. Di tahun 2005 dilakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem
dan regulasi, diantaranya telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005
tentang Pengendalian dan Rehabilitasi Lahan Kritis, tentang pengaturan
rehabilitasi lahan kritis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
penegakan hukum, dan peranserta masyarakat, dengan fokus utama pada
penanganan lahan kritis dalam kawasan lindung. Dan sebagai tindak lanjut dari
Perda tersebut, pada tahun 2006 telah disusun Rencana Induk Rehabilitasi Lahan
Kritis, sebagai dokumen acuan operasional rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat.
175
2. Meningkatkan pemantauan/pengawasan terhadap perijinan yang telah
diterbitkan serta meningkatkan penertiban perijinan pemanfaatan lahan.
Perijinan harus dijadikan sebagai mekanisme pengendalian pemanfaatan lahan
dan/atau pengelolaan sumberdaya alam.
3. Perlu adanya kegiatan konservasi tanah yang dilaksanakan melalui program
rehabilitasi lahan kritis. Kegiatan ini khususnya diprioritaskan di DAS kritis
yang mengacu pada tingkat kekritisan DAS yang ditetapkan oleh
Departemen/Dinas Kehutanan.
4. Strategi pengelolaan tata ruang dan tata guna lahan yang dikembangkan
adalah:
• Memasukan pertimbangan lingkungan pada setiap tahap penataan ruang,
mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang
• Mensyaratkan rencana tata ruang wilayah dan kawasan sebagai acuan
dalam pembahasan program dan proyek sektoral dan daerah
• Menetapkan proses penyusunan tata ruang yang partisipatif, adaptif dan
transparan/ akuntabel.
Potensi dan peluang lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat adalah pada tahun 2006, pengembangan Infrastruktur Data Spasial Daerah
(IDSD) Jawa Barat mendapatkan bantuan technical assistance dan perangkat
lunak Sistem Informasi Geografis dari pihak Integraph Amerika Serikat.
Infrastruktur ini juga telah diterima oleh 8 Kabupaten/Kota, yang secara intensif
bersama-sama Provinsi mengembangkan Sistem Informasi Geografisnya. Melalui
bantuan tersebut diharapkan mampu mendorong upaya mewujudkan integrasi data
dan informasi spasial antar sektor dan antar tingkat pemerintahan, sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Keputusan
Gubernur Nomor 33 Tahun 2005 tentang IDSD.
Potensi dan peluang dari pencanangan gerakan rehabilitasi lahan kritis
tahun 2003, telah memberikan dampak positif untuk meningkatkan kepedulian
masyarakat Jawa Barat, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga GRLK
merupakan gerakan massal rakyat Jawa Barat. Keberhasilan ini juga mendapat
apresiasi dari pemerintah dan secara Nasional Provinsi Jawa Barat mendapat
176
penghargaan tertinggi dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL).
Kehutanan
Permasalahan.
Luas lahan hutan di Propinsi Jawa Barat hingga akhir tahun 2005
menunjukkan telah terjadi penyusutan/penurunan luas lahan hutan, hal ini terlihat
dari hanya tersisanya sekitar 22% (791.519 ha) dari total areal lahan di Jawa
Barat. Dan dari luas lahan hutan yang tersisa tersebut diketahui bahwa sekitar
14,7% diantaranya berupa hutan alam seperti hutan konservasi (116.110 ha) dan
sisanya terdiri dari hutan yang dapat dimanfaatkan seperti hutan produksi
(472.303 ha) dan hutan lindung (203.106 ha). Kondisi ini semakin besar
permasalahannya akibat belum adanya kesepakatan mengenai besarnya luas lahan
hutan menurut instansi pemerintah yang berkepentingan seperti Perum Perhutani
yang menjelaskan areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung 271.972
ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha, atau dengan total areal hutan sekitar
917.904 ha; menurut Bagian Kehutanan, areal hutan produksi sekitar 465.907,
hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi 108.074 ha; dan menurut Badan
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Barat, total areal hutan
negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih kecil dari total areal hutan menurut
BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha.
Meskipun tidak dapat menjelaskan hubungan secara langsung antara data
statistik yang menunjukkan bahwa industri-industri kayu di Jawa Barat
memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun untuk bahan bakunya dengan
kemampuan produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya berkisar antara
300.000-500.000 m3 per tahun, namun perbedaan rasio dan ketidak-seimbangan
antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan-penebangan liar
menjadi lebih tampak karena diperkirakan terdapat sekitar satu juta m3 kayu per
tahun dicurigai berasal dari penebangan liar baik di dalam dan di luar Jawa Barat.
Hal tersebut didukung oleh data tahun 2007 dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat bahwa telah terjadi perambahan hutan hingga 491 Ha, perusakan hutan 25
177
Ha, penggembalaan di kawasan hutan 50 ha dan kebakaran hutan mencapai 8.509
Ha hanya untuk wilayah Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten.
Penurunan hutan yang terjadi di Propinsi Jawa Barat tidak hanya terjadi di
bagian tengah dan hilir sungai, namun juga telah mencakup sebagian besar bagian
hulu daerah aliran sungai (DAS) akibatnya potensi banjir dalam periode musim
hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat setiap
tahunnya. Dampak yang timbul akibat penyusutan/penurunan luas lahan adalah
meningkatnya sedimentasi sungai dan waduk/bendungan yang mengakibatkan
berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya
secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Nilai indeks
sedimentasi dipergunakan sebagai data untuk melihat hubungan antara laju
pertambahan erosi tanah di daerah-daerah tangkapan air yang pada beberapa kasus
sebanding dengan laju penurunan luas hutan pada DAS tersebut. Hal ini terlihat
dari sekitar 40 sub-DAS yang dikenal, 15 sub-DAS (38%) ditemukan dalam
kondisi super kritis, dan karenanya perlu diberikan prioritas tinggi untuk
perbaikannya.
Hambatan.
Permasalahan penyusutan/penurunan hutan yang terjadi di Propinsi Jawa Barat
dikategorikan sangat rawan, karena percepatan dari penyusutan/penurunan hutan
yang terjadi sudah cukup tinggi (15%-20%) dengan dampak yang ditimbulkan
tidak hanya terjadi pada kawasan hutan itu sendiri namun juga pada kawasan lain
yang berada dalam DAS yang sama dari hulu hingga hilir. Tersisanya sekitar 22%
hutan di Jawa Barat pada akhir tahun 2005, membuktikan bahwa
penyusutan/penurunan hutan sudah tidak dapat ditolerir karena telah dan akan
menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati, menurunan perekonomian
yang mengandalkan hutan sebagai fungsi ekonomi dan ekologi.
Ditinjau dari hambatan yang akan dihadapi dalam upaya peningkatan perbaikan
kualitas hutan adalah faktor penyebab penurunan hutan di Jawa Barat tidak dapat
secara mudah ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat akumulasi dari
berbagai kegiatan yang menyebabkan penurunan hutan. Beberapa faktor
diantaranya adalah perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi,
178
tingginya kebutuhan lahan pertanian, persoalan kelembagaan dalam pengelolaan
sumber daya hutan, serta tidak sesuainya perencanaan tata ruang dengan
implementasi yang disebabkan oleh diantaranya lemahnya penegakan hukum.
Tantangan.
Pengelolaan hutan agar dapat memberikan manfaat langsung dan tidak
langsung merupakan salah satu sasaran pembangunan di bidang lingkungan hidup
dalam RPJMN 2004-2009. Tantangan yang dihadapi adalah segera ditetapkan
sistem pengelolaan hutan yang didukung oleh berbagai kebijakan prioritas
pembangunan kehutanan seperti: (1) pemberantasan penebangan liar (illegal
logging); (2) penanggulangan kebakaran hutan; (3) restrukturisasi sektor
kehutanan; (4) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan; serta (5) penguatan
desentralisasi kehutanan.
Kebijakan prioritas tersebut dimaksudkan untuk mengurangi laju
kerusakan sumberdaya hutan, mempercepat pemulihannya, dan memberikan peran
dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Sehingga tindak lanjut yang dilakukan adalah melibatkan masyarakat dalam
kegiatan pengamanan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk turut
berpatisipasi melalui penyadaran dan motivasi pengamanan hutan, keterlibatan
rehabilitasi hutan seperti di CA Gunung Tilu, CA Kamojang, CA Papandayan,
maupun di tanah masyarakat secara perseorangan.
179
Jawa Barat. Melalui GRLK, gerakan massal rakyat Jawa Barat dapat diarahkan
kepada pola pemanfaatan hutan rakyat yang menguntungkan seluruh pihak.
180
limbah domestik yang terjadi pad asumur-sumur dangkal. Sedangkan pada daerah
perdesaan kontaminasi disebabkan oleh penggunaan bahan beracun
pestisida/pupuk untuk sistem pertanian yang masuk ke dalam badan air mengalir
maupun diam (danau/situ), termasuk pula dari industri-industri yang masuk ke
dalam sungai-sungai seperti yang terinformasikan dari hasil penelitian bahwa dari
tujuh parameter yang diperiksa hanya parameter Arsen, Tembaga, Krom dan
Kadmium yang tidak terdeteksi, sedangkan tiga parameter lainnya terdeteksi
walaupun persentasenya kecil di bendungan Saguling dan Cirata. Kondisi ini
menandakan bahwa kandungan logam berat yang terdapat di dalam waduk
terakumulasi juga di dalam tubuh ikan yang nanti akan di konsumsi oleh manusia.
Tantangan.
Keterkaitan permasalahan pencemaran limbah cair di Jawa Barat dengan
RPJMN adalah semakin meningkatnya badan air berupa sungai, selokan dan
danau yang mengalami pencemaran dan terkontaminasi sehingga menyebabkan
ketersediaan sumberdaya air semakin menurun. Permasalahan limbah cari dan
kontaminasi juga telah menyebabkan menurunnya kehati perairan darat dari hulu
hingga hilir bahkan pesisir muara.
Tingkat keparahan dari pencemaran limbah cair dapat dikatakan sangat
parah, khususnya pada sungai-sungai besar di Jawa Barat yang disebabkan oleh
pelanggaran sistem IPAL industri dan PLT dari domestik. Hal ini dapat terlihat
dari sedikitnya sungai yang memenuhi kriteria baku mutu peruntukkan golongan
A dan B, dan menurunnya kehati serta potensi sumberdaya perikanan darat.
Waktu yang diperlukan untuk tindak lanjut dari upaya pengembalian
kualitas lingkungan sungai dan danau serta badan air lainnya membutuhkan waktu
yang lama (jangka panjang), karena pengembalian kondisi ekosisitem yang telah
mengalami kerusakan perlu dilakukan secara sinergis dari beberapa aspek, seperti
rehabilitasi ekosistem hulu dan hilir, penataan sistem pembuangan limbah cair
dari industri dan domestik serta melibatkan masyarakat dalam kontrol penggunaan
bahan kimia pertanian.
181
Hambatan.
Rendahnya pengelolaan lingkungan oleh industri, pertanian dan
domestik/rumah tangga merupakan faktor penyebab utama dari pencemaran air di
Jawa Barat. Lemahnya kontrol pemerintah dan masyarakat serta lemahnya
penegakan hukum atas pelanggar hukum merupakan faktor yang kemudian
mendukung dari lemahnya sistem pengelolaan lingkungan yang ada.
182
tersebut yang terus dilakukan adalah Produksi Bersih dan Environmental
Pollution Control Management (EPCM) bagi industri, Ecoschool atau Sekolah
Berbudaya Lingkungan, dan Pesantren Ramah Lingkungan, serta pendidikan
lingkungan bagi aparat, masyarakat, dan guru. Program–program tersebut sudah
mulai diarahkan tidak hanya kepada upaya penanganan secara fisik, namun mulai
ditekankan pada upaya perubahan perilaku dan budaya yang lebih ramah
lingkungan.
Pencemaran Udara
Permasalahan.
Seperti telah dilaporkan pada evaluasi kinerja pembangunan tahun 2006,
polusi udara di Jawa Barat, khususnya di kawasan Cekungan Bandung masih
menunjukkan tingkat kekritisan yang perlu segera diatasi hingga tahun 2008 ini.
Indikasi terjadinya hujan asam di kota Bandung yang telah terjadi sejak 1998 di
beberapa titik pengamatan masih terjadi di tempat-tempat tertentu di Cekungan
Bandung, terutama dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dalam
periode 2 tahun terakhir yang mencapai sekitar 4.5% pertahunnya.
Seperti di kutip dari data yang dilaporkan Soedomo (2001),
Wangsaatmadja, dkk. (2006) bahwa penyumbang terbesar polusi udara adalah
emisi kendaraan bermotor. Sekitar 97% emisi karbonmonoksida, 80% emisi
hidrokarbon, dan lebih 50% emisi nitrogen oksida (NOx) dihasilkan dari
kendaraan bermotor. Sekitar 60% emisi SO2 dihasilkan dari industri. Dari hasil
pemantauan emisi kendaraan bermotor yang dilakukan oleh BPLH Kodya
Bandung (2004) menunjukan bahwa terdapat lebih dari 40% kendaraan bermotor
dengan bahan bakar bensin dan diesel yang tidak memenuhi persyaratan Baku
Mutu Emisi Sumber Bergerak (Kepmen LH 13/1995), yang sekaligus dapat
dijadikan tolok ukur dari kontribusi sektor transportasi terhadap menurunnya
kualitas udara (meningkatnya gejala hujan asam) di Cekungan Bandung.
Meningkatnya persoalan pencemaran udara, juga ditandai dengan
meningkatnya kasus masyarakat yang menderita penyakit ISPA, khususnya di
kota-kota besar seperti Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Bogor, dan Kota
Cirebon antara tahun 2000-2003 (BPLHD 2005). Sementara itu, berdasarkan
183
penelitian di Kota Bandung, diketahui bahwa lebih dari setengah anak sekolah
yang diambil contoh darahnya, mempunyai kadar Pb lebih besar dari standard
yang diperbolehkan (BPLHD 2006).
Tantangan.
Telah ditetapkannya program perbaikan kualitas udara, khususnya di 10
kota besar di Indonesia. Satu di antaranya adalah Kota Bandung. Gejala
pencemaran udara/hujan asam mulai menunjukkan tingkat kekritisan yang perlu
segera diatasi/diantisipasi agar tidak terjadi dampak yang merugikan pada waktu
yang akan datang, khususnya berkaitan dengan gangguan kesehatan masyarakat.
Hambatan.
Pencemaran udara yang terjadi di Jawa Barat, khususnya di Cekungan
Bandung, diakibatkan oleh sumber-sumber tidak bergerak (point sources) seperti
pabrik/industri yang tidak melakukan upaya untuk mengurangi emisi bahan
bahan/gas yang berbahaya dan oleh sumber-sumber bergerak (non-point sources)
seperti kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin banyak yang memberikan
kontribusi sebanyak 60-70% terhadap pencemaran udara. Meskipun untuk sektor
transportasi telah ada kebijakan penggunaan bensin bebas timbal yang mulai
efektif berlaku sejak akhir 2006/ 2007.
Aspek pengalihan sumber energi fosil minyak menjadi batu bara untuk
industri pada tahun 2005/2006 dan masih terbatasnya penggunaan bensin bebas
timbal untuk Jawa Barat merupakan hambatan yang perlu segera di tanggulangi
oleh pihak pemerintah. Dari hasil pemantauan kualitas udara menunjukkan bahwa
perbaikan (menurunnya kadar timbal di udara) belum tercapai bahkan dirasakan
semakin memburuk. Selain kegiatan/aspek yang langsung menyebabkan
terjadinya pencemaran udara yang kemudian menyebabkan hujan asam, seperti
dilaporkan pada tahun 2006, kebijakan pemerintah daerah dalam memberikan
peluang kepada investor kegiatan usaha potensial menimbulkan pencemaran udara
menjadi penyebab secara tidak langsung terhadap terjadinya pencemaran
udara/hujan asam. Kondisi tersebut juga diperparah oleh inkosistensinya
perencanaan tata ruang dan lemahnya penegakan aturan yang berkaitan dengan
184
upaya pencegahan terjadinya pencemaran udara. Pemantauan yang dilakukan pada
tahun 2007 tidak menemukan indikasi adanya upaya yang signifikan untuk
mengembangkan sistem investasi yang ramah lingkungan walaupun gagasan
tentang perlunya relokasi kawasan industri sempat menjadi wacana di kalangan
pemerintah, swasta dan masyarakat luas.
Hambatan yang akan dihadapi saat ini adalah upaya mengatasi
permasalahan pencemaran udara memerlukan kebijakan-kebijakan dan program
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pencemar (non-point dan
point sources) di tingkat kota/kabupaten, diantaranya: 1) kebijakan relokasi
kegiatan industri, 2) kebijakan pengendalian jumlah dan atau kelayakan kendaraan
dan kebijakan tentang penyediaan bahan bakar bensin bebas timbal, 3) penetapan
dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan
prasarana pemantauan udara yang mencukupi dan 4) penetapan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan hutan kota dan penghijauan di lahan masyarakat,
yang berfungsi sebagai filter udara, serta 5) penetapan kebijakan yang
memberikan prioritas pada kegiatan investasi yang ramah lingkungan.
Potensi dan Peluang.
Berkaitan dengan permasalahan pencemaran udara, pemerintah provinsi
Jawa Barat telah membuat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Pencemaran udara. Selain ini, juga sedang disusun rancangan
peraturan Gubernur yang berkaitan dengan upaya mengatasi pencemaran udara.
Pelaksanaan pemantauan kualitas udara yang berkelanjutan, upaya perbaikan
lingkungan, dan pengaturan/pengelolaan lebih lanjut atas sumber-sumber
pencemar bergerak (non-point sources) dan tidak bergerak (point sources) serta
penetapan kebijakan yang memberikan prioritas pada kegiatan investasi yang
ramah lingkungan. Berkaitan dengan ini, diperlukan pula peningkatan SDM untuk
mengatasi keterbatasan tenaga ahli bidang kualitas udara dan upaya penambahan
dana untuk mengatasi keterbatasan dana yang selama ini dialami.
Seperti juga pencemaran limbah cair, potensi dan peluang di masa
mendatang adalah sejak tahun 2006 pelaksanaan program pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan difasilitasi melalui berbagai program
peningkatan kapasitas pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,
185
dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha untuk turut melestarikan
fungsi lingkungan. Program kemitraan tersebut yang terus dilakukan adalah
Produksi Bersih dan Environmental Pollution Control Management (EPCM) bagi
industri, Ecoschool atau Sekolah Berbudaya Lingkungan, dan Pesantren Ramah
Lingkungan, serta pendidikan lingkungan bagi aparat, masyarakat, dan guru.
Program–program tersebut sudah mulai diarahkan tidak hanya kepada upaya
penanganan secara fisik, namun mulai ditekankan pada upaya perubahan perilaku
dan budaya yang lebih ramah lingkungan.
186
kota-kota lain di Jawa Barat yang masih mengandalkan TPA dengan sistem open
dumping, sanitary lanfill, atau controled landfill.
Tantangan.
Rencana pengembangan sistem pengolahan sampah (bukan pembuangan), seperti
rencana pengolahan sampah sebagai sumberdaya bagi pembangkit listri
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah/PLTSa) mendapatkan reaksi penolakan yang
besar dari penduduk di sekitar lokasi rencana PLTSa dan juga dari kalangan
pengamat lingkungan dan akademisi yang meragukan efektivitas dan efisiensi
PLTSa, karena sampah yang dihasilkan mayoritas adalah sampah basah (organik).
Kasus yang terjadi di Kota Bandung ini merupakan tantangan bagi pemerintah
untuk mencari solusi bentuk pengelolaan (pengolahan) sampah tanpa penolakan
masyarakat. Rencana pemecahan pengelolaan sampah perkotaan ini merupakan
salah satu sasaran pembangunan di bidang lingkungan hidup dalam RPJMN 2004-
2009.
Hambatan.
Konsep pengelolaan sampah hingga tahun 2007 yang masih mengandalkan sistem
open dumping/sanitary lanfill sangat potensial menimbulkan masalah manakala
TPA-TPA yang ada tidak mampu lagi menampung timbulan sampah, termasuk
penolakan oleh masyarakat pada setiap rencana relokasi pengelolaan sampah.
Kondisi tersebut disebabkan sistem pengelolaan sampah yang masih
mengandalkan cara-cara konvensional (open dumping dan atau sanitary landfill),
serta belum adanya implementasi kebijakan pengelolaan sampah terintegrasi antar
beberapa daerah kota dan kabupaten akan memerlukan biaya besar untuk suatu
kota. Nota kesepahaman (MOU) di antara lima pemerintah kota dan kabupaten
tentang pengelolaan sampah yang telah ada belum dapat dijalankan dan bahkan
terjadi inkonsistensi dalam menjalankan kesepahaman tersebut. Dan masih
rendahnya pemahaman dan kemauan masyarakat untuk memperlakukan limbah
rumah tangga dengan cara yang baik, masih merupakan persoalan yang
memperburuk permasalah sampah.
187
Potensi dan Peluang.
Adanya nota kesepakatan untuk membangun sistem pengolahan sampah terpadu
dan terintegrasi seperti yang telah dikemukakan pada laporan tahun 2006 dan
tindak lanjut penetapan sistem pengelolaan sampah dan pengembangan tempat-
tempat pengolahan sampah yang ramah lingkungan merupakan potensi yang
masih dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan. Pengembangan tempat-tempat
pengolahan sampah yang ramah lingkungan dengan melibatkan partisipasi
masyarakat merupakan peluang dari desiminasi masyarakat di sekitar lokasi yang
direncanakan. Termasuk peluang menginternalisasikan pemahaman agar warga
masyarakat mau “mengurangi” produksi sampahnya, terutama sampah jenis
anorganik yang sulit didaur-ulang.
Peluang tersebut tidak dapat terselesaikan dalam waktu yang singkat,
mengingat konsep-konsep reduce, reuse, dan recycle dan pengolahan sampah
secara kolektif oleh masyarakat adalah merubah perilaku yang membutuhkan
waktu yang panjang namun mungkin untuk dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan
program pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah
difasilitasi melalui berbagai program peningkatan kapasitas pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan, dengan melibatkan peran masyarakat dan
dunia usaha untuk turut melestarikan fungsi lingkungan. Termasuk didalamnya
program kemitraan melalui Produksi Bersih dan Environmental Pollution Control
Management (EPCM) bagi industri, Ecoschool atau Sekolah Berbudaya
Lingkungan, dan Pesantren Ramah Lingkungan, serta pendidikan lingkungan bagi
aparat, masyarakat, dan guru. Dimana seluruh program tersebut tidak hanya
diarahkan kepada upaya penanganan secara fisik, namun mulai ditekankan pada
upaya perubahan perilaku dan budaya yang lebih ramah lingkungan.
Kebencanaan
Permasalahan.
Beberapa wilayah di Jawa Barat menyimpan potensi timbulan bencana
seperti banjir, angin ribut, tanah longsor, gempa bumi (tektonik dan vulkanik)
serta kekeringan yang disebabkan oleh faktor alami dan akibat/dampak dari
kegiatan manusia pada lingkungan.
188
Bencana yang disebabkan olej faktor alam merupakan bencana yang tidak
dapat dikendalikan manusia namun dapat diprediksi oleh manusia, sedangkan
bencana yang disebabkan oleh dampak/akibat merupakan suatu bentuk bencana
karena kelalaian yang harus diperbaiki. Namun demikian dari dua faktor tersebut
terdapat faktor lain yaitu bencana yang ditimbulkan oleh alam tetapi karena
pengelolaan lingkungan yang tidak mempertimbangkan persoalan lingkungan
maka bencana tersebut menjadi semakin parah. Terkait dengan permasalahan
sebelumnya seperti kerusakan lahan/DAS, kerusakan hutan/kawasan lindung
maka permasalahan kebencanaan tidak saja dari faktor alam, misalnya meskipun
curah hujan yang tinggi namun apabila kondisi ekosistem yang masih baik maka
daya dukung lingkungan akan mampu menekan terjadi bencana atau sebaliknya.
Di Jawa Barat terdapat wilayah yang berbakat dan mudah terancam
bencana, tidak kurang hasil 15 lokasi rawan bencana dari inventigasi pemerintah
yang diprediksi dan tidak bisa dikendalikan, sehingga memerlukan pengaruh
sosial-ekonomi-budaya masyarakat untuk memindahkan infrastruktur yang telah
dibangunnya. Potensi bencana di wilayah pantai utara Jawa juga terjadi akibat
naiknya pasang air laut seperti yang telah terjadi saat ini, diprediksi oleh PPGL
(2004) bahwa kenaikan pasang air laut di pantura Jawa Barat akan terjadi
kenaikan antara 2 hingga 6 meter dan diperkirakan akan mencapai ketinggian
lebih pada beberapa tahun kedepan. Kondisi ini disebabkan oleh faktor alami dari
kenaikan muka air laut dan sifat gelombang laut utara Jawa namun juga
diperparah oleh kondisi eksositem pesisir pantai dan laut yang semakin
rusak/hilang sehingga tidak mampu menahan laju gelombang dan kenaikan air
laut yang menyebabkan banjir dan abrasi pantai.
Beberapa kasus yang berhasil dicatat selama dua tahun terakhir adalah
terjadinya sekurang-kurangnya 60% kejadian bencana alam geologi berupa
gerakan tanah longsor terjadi di Jawa Barat seperti data tahun 2006 yaitu kejadian
tanah longsor 98 kali, banjir awal tahun terjadi pada bulan Januari sampai Maret
di 5 kabupaten dengan luas 106.404 Ha, gempa bumi 16 kali, kebakaran 262 kali,
angin topan sebanyak 84 kali, yang menimbulkan korban meninggal sebanyak
600 jiwa, korban menderita akibat bencana sebanyak 23.664 Kepala Keluarga.
189
Tantangan.
Hasil mitigasi dan penanganan bencana alam pada tahun 2006,
menunjukkan masih belum siapnnya setiap lapisan dan jajaran dalam menghadapi
bencana alam. Padahal meningkatnya frekuensi dan jenis bencana yang melanda
Jawa Barat, seperti gempa, longsor, banjir, kekeringan, tsunami, merebaknya
penyakit flu burung, dan DBD masih menimbulkan kepanikan dan ketidaksiapan
baik pada tahapan mitigasi, tahapan tanggap darurat,dan juga pada tahapan pasca
bencana.
Beberapa upaya yang telah ditempuh dalam rangka mengantisipasi resiko
yang ditimbulkannya tersebut adalah penyediaan anggaran pos dana tak tersangka,
juga telah dilaksanakan langkah-langkah guna meningkatkan kesiapan masyarakat
didalam menghadapi bencana alam. Meningkatkan faktor kesiapan masyarakat
dan aparat dalam mengantisipasi serta menanggulangi bencana alam menjadi
penting dan untuk terus ditingkatkan.
Hambatan.
Beberapa penyebab dari masalah kebencanaan saat ini adalah: (1) faktor
alami (fenoma alam) yang perkiraan/prediksi kejadiannya tidak dapat di
perkirakan serta rendahnya kemampuan untuk mengantisipasi fenoma alam
tersebut. Faktor kedua adalah gangguan lingkungan/eksositem yang ditimbulkan
akibat dampak kegiatan manusia saat memanfaatkan dan menggunakan
sumberdaya alam yang telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan.
Faktor lain yang juga penting dari kebencanaan adalah rendahnya penegakan
hukum atas gangguan/kerusakan lingkungan yang telah dilakukan oleh manusia
secara sengaja.
Hambatan yang umumnya ditemukan dari permasalahan kebencanaan
adalah sulitnya melakukan relokasi masyarakat/penduduk dari daerah bencana.
Hal ini tidak lain dari pesoalan sosial-ekonomi-budaya masyarakat atas lahan,
akses sumber daya, pendidikan dan kekerabatan. Hambatan lainnya yang juga
ditemukan adalah minimnya kemampuan aparat pemerintah untuk melakukan
suatu standar operasional prosedur atau SOP kebencanaan, karena berbagai faktor
termasuk faktor sumber daya manusia.
190
Masih minimnya sistem informasi kebencanaan dan mitigasinya
merupakan faktor penting juga yang segera perlu di selesaikan, hingga saat ini
baru beberapa sistem informasi terpadu mitigasi bencana tsunami yang telah
dikembangkan pada beberapa pantai yang rawan akan bencana tersebut, namun
untuk mitigasi kebencanaan lainnya masih belum tersedia.
191
intrusi air laut ke wilayah daratan. Panjang garis pantai Jawa Barat sepanjang 365
km di sebelah utara dan 355 km di sebelah selatan telah mengalami abrasi sejauh
400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang
dan sejauh 1 km untuk wilayah Ciamis dan 22 km di wilayah Tasikmalaya.
Permasalahan tanah timbul atau akresi juga terjad pada wilayah utara Jawa
Barat yaitu sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di
Subang dan 300 m di Karawang. Konversi lahan yang telah terjadi di pantai
selatan berupa kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100
ha di Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan
pasir laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur. Sedangkan
kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100 ha di
Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan pasir
laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur. Proses terjadinya
konversi lahan di ekosistem pesisir telah menyebabkan hilangnya luas hutan
bakau di Indramayu sepanjang 1 km, hilangnya 6000 tumbuhan di eksositem
pesisir di Subang, hilangnya sekitar 1000 ha eksositem pesisir di Karawang, dan
hilangnya sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Dan di wilayah pantai
Subang, terjadinya pengendapan (sedimentasi) yang menyebabkan menutupnya
sekitar 6000 ha daratan. Abrasi di pantai utara dan selatan Jawa Barat semakin
juga memperhatinkan (lihat tabel) dimana peingkatan terus terjadi, meskipun data
tahun 2007/2008 tidak tersedia, namun diindikasikan peningkatan abrasi semakin
besar.
Pada bidang kelautan berdasarkan data citra landsat dan Coremap (2003)
diketahui bahwa telah terjadi penurunan distribusi dan luas terumbu karang di
pantai selatan Jawa Barat, khususnya wilayah Ujung Genteng (sukabumi),
Cilauteureun (Garut) dan Pangandaran (Ciamis) untuk wilayah selatan dan di
Tempuran dan Cilamaya (Karawang), pantai Bobos, Majakarta, pulau Rakit, pulau
Gosong, pulau Biawak dan pulau Cantikan (Indramayu) yang mencapai tingkat
kerusakan lebih dari 75%, dan kerusakan sekitar 50% untuk terumbu karang
dengan kedalaman 3m. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh pemanfaatan
(pengambilan) langsung oleh nelayan ikan karang dan penambang kapur karang.
192
Menurunnya kualitas laut yang disebabkan oleh tingkat pencemaran limbah padat
dan limbah cair akibat kegiatan industri dan pertambangan.
Tantangan.
Pengelolaan lingkungan pada ekosistem pesisir dan laut dapat mengancam
kelestarian sumber daya alam dan hayati. Kerusakan terumbu karang saat ini telah
mencapai 40%, yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan
dengan cara merusak dan eksploitatif, timbulan sedimentasi dan pencemaran air.
Apabila membandingkan terhadap RPJMN 2004-2009 mengenai upaya
pengelolaan kawasan pesisir dan laut sebagai langkah untuk mempertahankan
fungsi ekosistem, keanekaragaman hayati dan potensi sumberdaya alam,
permasalahan konversi ekosistem pesisir dan laut di Provinsi Jawa Barat dapat
dikategorikan belum terselesaikan.
Tantangannya adalah masih ditemukan lebih dari 50% panjang pesisir
pantai utara dan lebih dari 30% pantai selatan yang memiliki potensi sumberdaya
hayati dan sumberdaya alam serta ekosistem telah mengalami perubahan yang
mengarah kepada hilangnya ekosistem pesisir. Termasuk kondisi laut di pesisir
Jawa Barat bagian selatan seperti Cilacap dan bagian utara di wilayah Kerawang,
Subang, Indramayu dan Cirebon yang seluruh muara sungainya dipengaruhi oleh
kegiatan industri.
Wilayah Luasan Abrasi (Ha/thn)
1995 ‐2001 2001 – 2003
Pantai Selatan 30,05 35,35
Pantai Utara 392,32 370,3
Sumber: BPLH, Propinsi Jawa Barat, diolah kembali
Hambatan.
Beberapa faktor penyebab yang diindikasikan sangat kuat hubungannya
dengan perubahan ekosistem pesisir adalah konversi ekosistem pesisir menjadi
bentukan lahan lain seperti daratan, permukiman, pertanian dan industri.
Kerusakan hutan pada ekosistem pesisir erat dipengaruhi oleh konversi lahan dan
193
perambahan hutan untuk dimanfaatkan biomassanya dan kegiatan pertambangan
galian C. Faktor lain yang juga memberikan peran atas kerusakan ekosistem
pesisir dan laut adalah masih lemahnya penegakan hukum dan peralatan/teknologi
untuk membantu pelaksanaan tugas penegakan hukum.
Hambatan dalam penyelenggaraan rehabilitasi lahan termasuk kawasan
pesisir adalah penyempurnaan sistem dan regulasi, yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pengendalian dan Rehabilitasi
Lahan Kritis. Khususnya mengenai tentang pengaturan rehabilitasi lahan kritis
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penegakan hukum, dan
peranserta masyarakat, dengan fokus utama pada penanganan lahan kritis dalam
kawasan lindung.
Tidak seluruh program rehabilitasi kawasan pesisir dapat tercapai dengan
baik, hambatan yang ditemui adalah meskipun kepedulian masyarakat Jawa Barat
tinggi untuk melakukannya namun konsep membangun pesisir berbasis
masyarakat perlu terus disempurnakan agar seluruh pihak diuntungkan
194
insentif kepada upaya pengelolaan sumber daya alam seperti yang diamanatkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Keputusan Gubernur Nomor 33
Tahun 2005 tentang IDSD.
Peluang lainnya adalah perwujudan kawasan lindung di Jawa Barat,
melalui penataan batas kawasan hutan konservasi secara bertahap guna menjamin
kepastian hukum terhadap lokasi dan status kawasan. Batas kawasan lindung di
luar kawasan hutan di Jawa Barat tersebut mencapai panjang trayek 8.243 Km
atau setara dengan 1.062 titik patok. Dan pada tahun 2005 telah dilaksanakan
penandaan batas sebanyak 200 titik patok, sedangkan pada tahun 2006 sebanyak
500 titik patok dan sisa dilaksanakan pada tahun 2007 agar tercapai secara 1.062
titik patok.
Rehabilitasi kerusakan lingkungan dan pencemaran, dilakukan pemerintah
daerah melalui pemulihan kualitas lingkungan dan mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Salah satunya adlaah pemulihan terhadap
lahan kritis di Jawa Barat seluas 580.397 Ha, melalui kegiatan terpadu Gerakan
Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GNRHL/GERHAN), maupun kegiatan reboisasi (penanaman dalam
kawasan hutan oleh Perum Perhutani).
195
Bidang infrastruktur transportasi terdiri dari transportasi darat, udara dan
laut. Pada aspek transportasi darat, salah satu indikator tingkat keberhasilan
penanganan infrastruktur jalan adalah meningkatnya tingkat kemantapan dan
kondisi jalan. Pada kurun waktu tahun 2004 - 2007, tingkat kemantapan jaringan
jalan provinsi sepanjang 2.199,18 km telah meningkat menjadi 87,31%, angka
yang masih rendah namun disadari lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan tingkat kemantapan sebesar 87,31% tersebut, 64,36% dari panjang
jaringan jalan provinsi berada pada kondisi sedang. Hal ini disebabkan karena
sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan provinsi
sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan
jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam (terutama banjir,
longsor) serta beban lalu lintas yang sering melebihi standar muatan sumbu
terberat (MST). Selain itu, masih kurangnya jaringan jalan tol, serta belum
terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan baik termasuk dengan
sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan
infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat.
Kondisi infrastruktur transportasi darat yang lain seperti kurangnya
ketersediaan perlengkapan jalan dan fasilitas lalu lintas seperti rambu, marka,
pengaman jalan, terminal, dan jembatan timbang, serta belum optimalnya kondisi
dan penataan sistem hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda,
menyebabkan kurangnya kelancaran, ketertiban, keamanan serta pengawasan
pergerakan lalu lintas. Demikian pula halnya dengan pelayanan angkutan massal
seperti kereta api dan bis, masih belum optimal mengingat infrastruktur
transportasi darat yang tersedia belum mampu mengakomodir jumlah pergerakan
yang terjadi khususnya pergerakan di wilayah tengah Jawa Barat.
Pada transportasi udara, keberadaan bandar udara utama di Jawa Barat
masih belum memadai untuk menampung permintaan pasar yang ada. Bandara
Husein Sastranegara sebagai bandara terbesar dan tersibuk yang dimiliki Provinsi
Jawa Barat saat ini serta beberapa bandara perintis lainnya belum dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk menampung kebutuhan penumpang dan
kargo baik jalur domestik terlebih untuk jalur internasional. Oleh karena itu,
dalam beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai persiapan
196
pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka, rehabilitasi dan
perbaikan pada Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung, serta memfungsikan
keberadaan Bandara Cakrabhuwana di Kabupaten Cirebon dan Bandara Nusawiru
di Kabupaten Ciamis.
Pada transportasi laut, keberadaan pelabuhan laut di Jawa Barat masih
belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pelabuhan Laut Cirebon
sebagai pelabuhan terbesar yang dimiliki Provinsi Jawa Barat saat ini hanya
difungsikan sebagai pelabuhan niaga saja akibat kondisi fisik pelabuhan dan
fasilitas yang kurang memadai serta adanya keterbatasan pengembangan karena
kondisi alam yang tidak mendukung. Selain itu beberapa pelabuhan laut lain yang
ada di Jawa Barat hanya berfungsi sebagai pelabuhan transit dan pelabuhan ikan
saja karena kapasitas pelabuhan yang tidak memadai. Oleh karena itu, dalam
beberapa tahun terakhir, telah dilakukan berbagai upaya persiapan pembangunan
Pelabuhan Utama Cilamaya di Kabupaten Karawang, persiapan pengembangan
fungsi Pelabuhan laut Cirebon, serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas pada
pelabuhan-pelabuhan pengumpan yang ada di Jawa Barat.
Pada aspek infrastruktur sumber daya air dan irigasi, kondisi infrastruktur
yang mendukung upaya konservasi, pendayagunaan sumber daya air,
pengendalian daya rusak air, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya air dan sistem informasi sumber daya air dirasakan masih belum memadai.
Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar belum dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri, dan kebutuhan
domestik. Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain
akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung
lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi.
Selain itu, kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun
2004 - 2007 jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang
dari sekitar 74% menjadi 46% seperti diklaim oleh Dinas Pekerjaan Umum
Propinsi Jawa Barat. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada
daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih
belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182%
menjadi 190%.
197
Pada aspek infrastruktur listrik dan energi, tingkat keberhasilan
penanganan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi desa dan rumah tangga.
Sampai dengan pertengahan tahun 2008, telah terjadi peningkatan rasio
elektrifikasi rumah tangga dari 57,73% pada tahun 2006 menjadi sekitar 62%
pada pertengahan tahun 2008, yang artinya dari 11.011.044 rumah tangga baru,
sekitar 6.826.847 rumah tangga telah memperoleh akses aliran listrik yang
bersumber dari PLN (murni dipasok PLN ataupun non PLN). Sedangkan untuk
listrik perdesaan, cakupan desa yang sudah mendapatkan tenaga listrik pada
pertengahan tahun 2008 hampir mencapai 100%, dimana hanya tinggal 6 desa
yang belum memiliki infrastruktur listrik yaitu sebanyak 2 desa di Kabupaten
Garut Selatan dan 4 desa di Kabupaten Cianjur Selatan. Peningkatan rasio
elektrifikasi perdesaan masih terus diupayakan untuk mewujudkan “Jabar Caang”
pada tahun 2010, sedangkan peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga terus
diupayakan baik melalui pembangunan jaringan listrik yang bersumber dari PLN,
maupun penyediaan sumber-sumber energi alternatif seperti Pembangkit Listrik
Tenaga (PLT) mikro hidro, surya, gas bumi dan angin, bahkan sampah seperti
yang diwacanakan di Kota bandung.
198
pesawat telepon tetap seluler di daerah pedesaan tidak sepenuhnya memenuhi
kewajiban mereka.
Kondisi sarana dan prasarana permukiman hingga akhir tahun 2007 masih
belum memadai. Pada tahun 2007 rumah tangga yang menggunakan sumber air
minum yang berasal dari air kemasan/ledeng/pompa sebesar 45,32% (Suseda,
2007). Rendahnya cakupan pelayanan air minum disebabkan oleh masih tingginya
angka kebocoran air (rata-rata 38%), terbatasnya sumber air baku khususnya di
wilayah perkotaan, tarif/retribusi air yang belum berorientasi pada cost recovery,
masih rendahnya partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan sarana
dan prasarana air minum, serta terbatasnya sumber dana yang dimiliki oleh
pemerintah. Selama periode 2004-2007, peningkatan cakupan pelayanan air
minum difokuskan pada masyarakat miskin di wilayah Pantura dan perdesaan
melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Strategi
penyediaan air minum berbasis masyarakat ini dirasakan oleh pemerintah propinsi
telah cukup mampu mendorong peningkatan cakupan pelayanan dan
keberlanjutan sarana dan prasarana air minum yang telah dibangun.
Untuk aspek persampahan, tingkat pelayanan persampahan di Jawa Barat
terutama di daerah perkotaan dan daerah kabupaten satelitnya secara umum masih
sangat rendah. Cakupan pelayanan persampahan hingga akhir tahun 2007 hanya
sebesar 53%. Terlebih lagi sekitar 90% pengolahan sampah di TPA masih
dilakukan secara open dumping (untuk detailnya dapat kembali dibaca pada
bahasan sub-bab sebelumnya tentang perbaikan pengelolaan SDA dan pelestarian
mutu lingkungan hidup).
Tingkat pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007
masih sangat rendah. Sesuai dengan data Suseda 2007, terdapat 49,01% rumah
tangga yang menggunakan tangki/septik tank sebagai tempat pembuangan tinja
dan sisanya menggunakan kolam/sawah/kebun/sungai/lubang tanah/lainnya.
Kondisi prasarana pengelolaan limbah domestik sampai dengan saat ini
menunjukkan bahwa dari 17 unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
hanya 11 unit yang beroperasi dengan baik dan baru 4 kabupaten/kota yang
memiliki sistem penyaluran air limbah domestik perkotaan yaitu Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, Bogor, dan Cirebon.
199
Untuk aspek perumahan, backlog rumah pada tahun 2007 sebesar 980.000
unit dan diperkirakan akan mencapai 1,164 juta unit pada tahun 2013. Selain itu,
terdapat pula 1.035 kawasan kumuh dengan luas sekitar 25.875 ha yang umumnya
terdapat di wilayah perkotaan dan permukiman nelayan. Tingginya backlog rumah
dan kawasan kumuh di perkotaan disebabkan oleh terbatasnya sumber
pembiayaan yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan belum
seimbangnya pembangunan di perkotaan dan perdesaan sehingga sulit untuk
mengendalikan migrasi penduduk khususnya ke kota-kota besar. Selama kurun
waktu 2003 - 2007, penanganan perumahan difokuskan pada upaya untuk
mendorong pembangunan rumah susun di kota-kota metropolitan, pengembangan
kasiba/lisiba serta penataan kawasan kumuh di perkotaan dan permukiman
nelayan melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Upaya ini
dirasakan telah cukup mampu untuk mendorong penyediaan rumah yang layak
huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peningkatan kualitas lingkungan
perumahan oleh masyarakat, serta pengembangan kawasan permukiman baru
yang lebih tertata. Namun demikian, percepatan pembangunan rumah layak huni
bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu segera dilakukan dan pelibatan
masyarakat serta dunia usaha dalam pengembangan perumahan di Jawa Barat
perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, implementasi pengembangan
kasiba/lisiba di daerah masih cukup rendah sehingga upaya-upaya untuk
mendorong percepatan pengembangan kasiba/lisiba sangat diperlukan.
200
BAB V
201
stabilitas serta tuntutan perubahan dan dinamika perkembangan
masyarakat yang begitu cepat seiring dengan perubahan sosial politik
yang membawa implikasi pada segala bidangkehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
3. Meningkatnya potensi konflik kepentingan dan pengaruh negatif arus
globalisasi yang penuh keterbukaan, sehingga mengurangi wawasan
kebangsaan dan kesadaran bela negara.
202
V.4. Bidang Politik dan Pemerintahan
203
Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana, misalnya, di Jawa Barat
belum berhasil dibentuk karena Badan Nasional Penanggulangan
Bencana yang seharusnya membentuk BDPB ternyata belum dibentuk.
Akibatnya, pembentukan BDPB menjadi tertunda padahal kasus
bencana alam banyak terjadi di Jawa Barat. Pembentukan BDPB yang
tidak satu paket dengan pembentukan organisasi perangkat daerah
lainnya juga menambah panjang prosedur birokratis dan politis,
sehingga menjadi tidak efektif dan efisien.
204
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang dilakukan suatu organisasi
perangkat daerah bukan berdasarkan kesamaan nomenklatur.
2. Penataan manajemen sumber daya manusia aparat birokrasi daerah.
Jumlah aparat birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih
cukup banyak, sementara jumlah aparat fungsional masih sangat sedikit
dibandingkan jumlah keseluruhan aparat birokrasi di Pemerintah Provinsi
Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan kinerja pemerintahan menjadi tidak
optimal karena banyak fungsi yang belum dapat dilaksanakan dengan
memadai, termasuk dalam hal peningkatan capaian IPM Jawa Barat. Demikian
pula bila dikaitkan dengan kondisi Jawa Barat yang masih didominasi oleh
kawasan perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian,
ketersediaan aparat fungsional untuk mengembangkan sektor ini menjadi
sangat penting. Tapi, kenyataannya sekarang belum banyak aparat birokrasi
yang bersedia menjadi aparat fungsional karena ketidakjelasan skema insentif
bagi mereka, baik dalam hal jaminan kepastian karir maupun besaran
tunjangan. Karena itu, dalam kerangka reformasi birokrasi, Pemerintah Pusat
seyogianya mulai mengembangkan dan menerapkan upaya-upaya untuk
mendorong pergeseran aparat non fungsional menjadi aparat fungsional. Hal
ini harus dilakukan mulai dari pembenahan sistem rekrutmen, pembenahan
sistem dan kurikulum pendidikan kedinasan dan diklat aparatur, serta
penerapan tunjangan kinerja yang proporsional bagi aparat fungsional. Dengan
demikian, proporsi dan kompetensi aparat fungsional dapat semakin
ditingkatkan untuk menunjang pencapaian IPM dan kesejahteraan daerah.
3. Pembenahan ketatalaksanaan dalam penyediaan pelayanan publik yang
berkualitas.
Nilai strategis dari isu ini terletak pada komitmen Pemerintah Pusat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari upaya untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam kondisi
krisis, peran pemerintah sangat diperlukan untuk memulihkan stabilitas bukan
dengan mengandalkan kekuatan tetapi dengan kepemimpinan dan kapasitas
yang kuat untuk membuat regulasi yang menjamin penyediaan dan distribusi
barang-barang publik yang mudah diakses oleh masyarakat. Sebagai provinsi
205
yang cukup besar dan letaknya berdekatan dengan ibukota negara, Provinsi
Jawa Barat masih menghadapi masalah yang pelik terkait dengan tingginya
angka putus sekolah, rendahnya tingkat kesehatan, dan lemahnya daya beli
masyarakat. Padahal, Jawa Barat kaya dengan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Namun, sebagian besar dari
potensi ini justru dinikmati oleh orang-orang di luar Jawa Barat. Karena itu,
Pemerintah Pusat perlu memberikan dukungan dalam bentuk regulasi yang
dapat mendorong inovasi pelayanan publik di Jawa Barat. Kepastian regulasi
yang menjadi landasan hukum bagi pelayanan investasi dan kerjasama
antardaerah menjadi penting agar potensi Jawa Barat dapat dikembangkan
dengan lebih optimal untuk mengatasi masalah-masalah rendahnya daya beli.
4. Penataan daerah otonom baru
Tuntutan masyarakat kabupaten/kota untuk membentuk daerah otonom baru
atau lazim disebut pemekaran menunjukkan kecenderungan untuk makin
meningkat selama periode 2003-2008. Sekalipun Pemerintah Provinsi Jawa
Barat telah melakukan kajian pada tahun 1990-an yang hasilnya
merekomendasikan pemekaran kabupaten/kota di Jawa Barat dari 24
kabupaten/kota menjadi 42 kabupaten/kota, namun kenyataannya hingga
tahun 2007 baru terbentuk 1 daerah otonom baru hasil pemekaran yakni
Kabupaten Bandung Barat. Sementara Kota Cimahi yang terbentuk pada tahun
2001 merupakan daerah otonom baru yang terbentuk melalui mekanisme
peningkatan status dari Kota Administratif (Kotif) menjadi Kota, seperti juga
Kota Banjar yang sebelumnya merupakan Kotif dalam wilayah Kabupaten
Ciamis. Setelah Kabupaten Bandung Barat terbentuk, semangat berbagai
kelompok masyarakat mulai bertambah untuk mengajukan usul pemekaran
daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Garut. Tuntutan ini
hendaknya dipahami bukan semata sebagai bentuk emosi masyarakat atau juga
politisasi yang dilakukan para elit, tapi juga sebagai bentuk peringatan akan
penyelenggaraan pembangunan kewilayahan yang selama ini belum merata,
antara wilayah Jawa Barat bagian utara, tengah, dan selatan.
206
Selain itu, maraknya tuntutan pembentukan daerah otonom baru di Jawa Barat
sesungguhnya merupakan bentuk protes terhadap pola hubungan keuangan
pusat dan daerah yang selama ini dirasakan tidak adil bagi Provinsi Jawa
Barat. Dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, Provinsi Jawa Barat
memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang besar, kondisi geografis
yang sangat beragam, dan potensi masalah sosial yang tinggi, antara lain
ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Jawa Barat.
Seluruh permasalahan ini seharusnya menyebabkan Jawa Barat memperoleh
Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi dibanding kondisi sekarang,
namun kenyataannya, DAU Jawa Barat masih lebih sedikit dibanding Provinsi
Jawa Timur yang jumlah penduduknya lebih sedikit dibanding Jawa Barat.
Ketidakadilan dalam pola perimbangan keuangan inilah yang mendorong
makin maraknya tuntutan pembentukan daerah otonom baru sebagai upaya
untuk menarik lebih banyak DAU untuk kabupaten/kota di Jawa Barat. Karena
itu, di masa mendatang, Pemerintah Pusat tidak bisa semata-mata menyatakan
moratorium pembentukan daerah otonom baru atau ‘mempersulitnya’ melalui
perhitungan hasil kajian sebagaimana sekarang terjadi dengan PP No. 78
Tahun 2007, tetapi untuk meredam tuntutan pemekaran ini Pemerintah Pusat
perlu merumuskan formula baru yang lebih adil dalam hal perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
pusat-pusat kegiatan ekonomi baru juga harus terus menjadi prioritas yang
memerlukan fasilitasi dari Pemerintah Pusat, terutama dalam memfasilitasi
pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah terpencil sehingga kesan
‘ditinggalkan’ dalam pencapaian kesejahteraan yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat yang menuntut pemekaran dapat diatasi.
5. Peningkatan kapasitas pemerintahan dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan.
Provinsi Jawa Barat rentan dengan terjadinya bencana alam dan bencana
sosial, khususnya yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang tidak
berpihak pada kepentingan masyarakat banyak. Untuk meminimalkan
kerentanan akan potensi bencana sosial dan bencana kebijakan ini, diperlukan
peningkatan kapasitas pemerintahan untuk menyelenggarakan pembangunan
207
secara berkelanjutan. Peningkatan kapasitas pemerintahan ini dapat dicapai,
antara lain melalui jaminan kesinambungan kapasitas fiskal yang memadai,
kepemimpinan politik yang kuat, kinerja birokrasi yang profesional, dan
keberanian dari Gubernur untuk melakukan lobby dengan Pemerintah Pusat
demi melaksanakan program-program prioritas yang pro-poor, pro-job, pro-
gender, dan pro-environment. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
seyogianya didukung oleh ketegasan dalam alokasi hak anggaran dan sumber
daya personalia untuk melakukan terobosan-terobosan yang diperlukan
daerahnya. Selama ini, posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat
belum secara optimal dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat untuk
melakukan bargaining politics dengan Pemerintah Pusat maupun dengan
pihak-pihak lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
Jawa Barat, misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur di kawasan Jawa
Barat bagian selatan yang sejak tahun 1980-an belum juga terealisasi secara
menyeluruh. Padahal program pembangunan trans Jawa Selatan sebagai
sarana transportasi sudah menjadi program Pemerintah Pusat, yang sangat
diperlukan untuk membuka akses ke wilayah Jawa Barat bagian selatan yang
saat ini masih terisolir. Demikian pula, dalam hal menuntut perimbangan
keuangan yang lebih adil dari hasil Dana Perimbangan yang berasal dari
sumber daya alam dan dari potensi pajak, bargaining politics dengan
departemen terkait perlu didukung dengan ketersediaan basis data yang aktual
dan valid tentang potensi obyek dan subyek dana perimbangan tersebut,
sehingga dapat menambah pendapatan daerah.
208
dan perdesaan, penanganan masalah perkotaan dan kerjasama antar daerah
belum terwujud;
10. Rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, yang disebabkan oleh rendahnya
keterampilan dan keahlian, serta tingginya migrasi masuk dari luar Jawa
Barat;
V.6. Bidang Pendidikan, Kesehatan, Gender dan Kekerasan pada anak dan
wanita
209
4. Penanganan kemiskinan, pengangguran dan ketenagakerjaan.
1. Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan
deplesi sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun
kualitasnya), semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan
produktifitas lahan, semakin meluasnya kerusakan hutan (terutama karena
perambahan) baik hutan pegunungan maupun hutan pantai (mangrove).
2. Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang
penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga
dengan segala jenis limbahnya, terutama sampah.
3. Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah
dan
selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk
daerah yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah
lainnya di Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga
kegiatan pertambangan.
4. Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting
penggunaan lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.
5. Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove,
abrasi dan akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi
air laut, dan pencemaran air laut.
6. Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi,
munculnya permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jawa Barat,
pedagang kaki lima - PKL dan kesemrawutan lalu lintas.
210
7. Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik
dari interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.
211
BAB VI
PENUTUP
Seperti telah diuraikan pada awal laporan kajian ini bahwa buku ini tidak
dimaksudkan untuk menilai keberhasilan kinerja pemerintahan daerah propinsi
Jawa Barat dalam perencanaan dan implementasi pembangunannya tetapi
dimaksudkan untuk menginspirasi pemerintah pusat dalam hal ini Bappenas dan
Departemen, Badan dan Lembaga tinggi Negara lainnya untuk selalu menyusun
perencanaan pembangunan serta implementasinya dengan berdasarkan pada
fenomena, keunikan, serta kebutuhan daerah berdasarkan kacamata akademisi dari
perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan untuk penyusunan RPJMN
kedepan, warna agenda pembangunan yang akan disusun benar-benar
mencerminkan agregasi preference dari seluruh daerah propinsi di Indonesia.
Oleh karena itu, diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi dasar
pengembangan pola pikir perencanaan dan implementasi pembangunan di
pemerintahan tingkat pusat yang lebih mumpuni serta dapat menyumbangkan
masukan berharga dari kacamata yang sedikitnya lebih obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
212
DAFTAR PUSTAKA
Bapeda Jawa Barat, Draft Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jawa Barat 2025
Bapeda Jawa Barat, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Jawa Barat
2005-2025
Bapeda Jawa Barat, Survey Ekonomi Daerah (SUSEDA), berbagai tahun terbitan
BPS Propinsi Jawa Barat, Basis Data Analisis IPM Jabar, 2007
BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 22/07/32/Th. X, 1 Juli 2008
BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 26/08/32/Th. X, 14 Agustus
2008
BPS Propinsi Jawa Barat, Berita Resmi Statistik, No. 06/02/32/Th. X, 15 Februari
2008
Bapeda Jawa Barat, Profil Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007
Kantor Bank Indonesia Bandung, Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Barat,
berbagai terbitan
213
LAMPIRAN: MATRIKS KELUARAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BEBERAPA AGENDA
1. Menurunnya ketegangan dan ancaman Konflik horizontal antara Penciptaan kondisi Minimnya Konflik antar Dibuatnya
konflik antar kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat berdasar aman dan kondusif konflik antar kelompok mekanisme terarah
antar golongan di daerah-daerah rawan sub budaya etnik, agama dll. lewat pendekatan dialog masyarakat masyrakat masih dalam bentuk forum
konflik budaya dan agama. dalam aspek merupakan antar kelompok
2. Terpeliharanya situasi aman dan dapai agama maupun bahaya laten masyarakat serta
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat Pengakuan terhadap budaya. terutama di perangkat-perangkat
dalam proses pengambilan keputusan bahasa daerah non daerah pinggiran aturan daerahnya
kebikjakan public dan penyelesaian sunda seperti cirebon dan pedesaan
persoalan social masyarakat
Akomodasi
keterwakilan aspirasi di
tingkat DPRD Propinsi
215
penyelesaian kasus-kasus hukum Logging di lingkungan
jabar selatan keluarga
makin
mengkhawatir Konsistensi
kan Penegakan
Hukum
Untuk mendukung pembenahan system dan Peraturan substansi hokum Evaluasi terhadap 4 buah raperda Kompetensi In House Training
politik hokum, sasaran yang akan dilakukan - Jumlah peraturan daerah raperda, pajak dan retribusi anggota yang lebih
dalam tahun 2004-2009 adalah terciptanya yang disusun retribusi daerah daerah Legislatif dalam frekuentif dan
system hokum nasional yang adil, konsekuwen - Jumlah regulasi yang dapat dibatalkan hal budgeting terstruktur
dan tidak diskriminatif (termasuk tidak memperbaiki efektivitas In-House training pusat dan legal
diskriminatif terhadap perempuan atau bias pemerintahan tentang legal drafting drafting Keterlibatan dalam
gender) terjaminnya konsistensi seluruh - Jumlah regulasi yang dapat rutin Inisiatif DPRD asosiasi
paraturan perundang undangan pada tingkat memperbaiki kualitas yang Tingkat internasional
pusat dan daerah, serta tidak bertentangan pelayanan meningkat Pengangguran legislative
dengan peraturan dan perundanganyang lebih - Jumlah regulasi yang dapat
tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak menurunkan praktik korupsi Integrasi Screening/
hokum yang berwibawa, bersih, professional aparat Kualifikasi anggota
dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan LINMAS calon dewan
hokum masyarakat secara keseluruhan.
1. Terlaksananya peraturan perundang- Tersedianya produk hukum yang
undangan yang tidak mengandung perlakuan mengakomodasi nilai-nilai Tingkat Perlu dilakukan
diskriminasi baik kepada setiap warga agama, kearifan local, dan Terwujudnya Angka kesadaran sosialisasi/pembinaa
Negara, lembaga/instansi pemerintah, nilainilai keserasian produk pelanggaran hukum masih n hokum terhadap
maupun lembaga swasta/dunia usaha secara hidup lainnya yang hokum dengan HAM sangat rendah masyarakat
konsisten dan transparan berkeadilan perundang-undangan kecil tercatat
2. Terkoordinasinya dan terharmonisasinya - produk hukum yang lebih tinggi resmi hanya 2 Kurangnya
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yangmengakomodasi nilai- sosialisasi
yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu nilai agama, kearifan local, produk hukum
sehinghga dapat mengurangi perlakuan dan nilai-nilai hidup lainnya
diskriminatif terhadap warga Negara; yang berkeadilan
Terciptanga aparat dan system pelayanan - Tingkat kesadaran hokum dan
public yang adil dan dapat diterima oleh penaatan hokum masyarakat
setiam warga Negara. serta penegakan hukum dan
HAM
1. Terlaksananya berbagai langkah-langkah Terwujudnya harmonisasi
rencana aksi yang terkait dengan produk Penegakan disiplin dan Peningkatan Masih lambatnya Perlu dilakukan
pengarmatan, pemenuhan dan penegakan hukum provinsi dengan bersikap jujur kasus korupsi penaganan oleh keseragaman dalam
terhadap hukum dan hak azasi manusia pemerintah pusat dan yang dapat kejati penyelesaian kasus
216
antara lain rencana aksi hak asasi Manusia kabupaten/kota Profesionalisme aparat diselesaikan (sama)
2004-2009 - Jumlah produk hukumyang pemerintahan daerah meningkat Sidak langsung
2. Rencana aksi pemberantasan korupsi tidak saling bertentangan dari atasan Penguatan kualitas
3. Rencana Aksi Nasional Penghapusan - Pemberantasan korupsi Akselerasi pengawas keuangan
Eksploitasi seksual Komersial anak penerapan Sosialisasi dan dan bidang
4. Rencana aksi Nasional Penghapusan pengelolaan Pelatihan monitoring dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk keuangan pengeloalaan evaluasi
anak; dan daerah sesuai keuangan daerah
5. Program Nasional Bagi Anak Indonesia aturan
(PNBA) 2015 perundang2an
1. Terjaminnya keadilan gender dalam Pemberdayaan gender
berbagai perundangan, program - Perempuan di parlemen Peningkatan peran Indeks Tingkat Peningkatan tingkat
pembangunan dan kebijakan public - Perempuan pekerja professional Perempuan dalam Pemberdayaan pendidikan pendidikan
2. Menurunnya kesenjangan pencapaian - Perempuan dalam angkatan kerja berbagai aspek Gender Jawa wanita yang perempuan
pembangunan antara perempuan dan laki- - Perempuan upah pekerja non kehidupan terutama Barat rendah
laki yang diukur oleh angka GDI dan GEM pertanian (rasio) dalam pendidikan, mencapai 54,4 Peningkatan kualitas
3. Menurunnya tindak kekerasan terhadap - indeks Pembangunan gender dan lapangan kerja dan (dibawah Kualitas hidup hidup perempuan
perempuan dan anak Indeks Pemberdayaan gender politik capaian perempuan yang secara menyeluruh
4. Meningkatnya kesejahteraan dan - Jumlah kekerasan baik terhadap nasional) rendah
perlindungan anak perempuan maupun anak Mengurangi jumlah Sosialisasi pada
kekerasan dalam rumah Indeks Kesadaran stakeholders daerah.
tangga terhadap Pembangunan Lingkungan
perempuan dan anak Gender 60,8 masyarakat dan Implementasi Perda
(dibawah nilai di tentang penanganan
capaian masyarakat perdagangan orang
nasional) masih apatis dengan lebih baik.
Diskriminasi
yang masih
jelas terhadap
kaum
perempuan
Angka
kekerasan dan
perdagangan
anak masih
tinggi 3800
kasus (2007)
217
Jabar telah
memiliki perda
tentang
pencegahan
dan
penanganan
perdagangan
orang,
termasuk di
dalamnya
perlindungan
terhadap anak-
anak.
1. Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi • Jumlah Rancangan perda Perda No. 7 Tahun Berkurangnya Masih dirasakan Membangun,
peraturan perundang-undangan pusat dan • Jumlah Raperda yang 2007 tentang Perubahan perda yang kurangnya menegakkan, dan
daerah, termasuk yang mengatur tentang disahkan menjadi Perda Ketiga atas Perda No. dibatalkan kompetensi mengembangkan
otonomi khusus • Jumlah Pergub 10 Tahun 2004 tentang oleh anggota pemberian reward
2. Meningkatnya kerjasama antara antar • Jumlah Kepgub Kedudukan Protokoler pemerintah legislative and punishment
pemerintah daerah • Jumlah aspirasi pemekaran dan Keuangan pusat secara tegas dan adil
3. Terbentuknya kelembagaan pemerintah wilayah Pimpinan dan Anggota Masih kurangnya serta meningkatkan
yang efektif, efisien dan akuntabel • Jumlah aspirasi pemekaran DPRD Provinsi Jawa Jumlah produk korespondensi koordinasi dengan
4. Terbentuknya sumber dana dan pembiayaan yang disetujui Gubernur Barat hukum daerah, produk hokum aparat penegak
pembangunan secara transparan, akuntabel dalam bentuk terhadap hokum
• Wilayah efektif yang dapat
dan professional Pembahasan 6 (enam) Perda, Pergub, kebutuhan
dimanfaatkan: Wilayah
5. Tertatanya daerah otonom baru yang dapat dimanfaatkan raperda tentang Kepgub, dan bersama Membangun
penyertaan modal lain-lain masyarakat networking dalam
untuk kawasan budi daya
daerah Pemerintah sepanjang penyusunan
di luar kawasan lindung;
Provinsi Jawa Barat tahun 2004- Masih sporadic- peraturan
• P er sen t as e r u ma h
pada 6 (enam) Badan 2008 mencapai nya kegiatan perundang-
tangga yang
Usaha Milik Daerah 4.175 buah, evaluasi produk undangan antar
me mp un ya i kendaraan
dengan hokum susunan
bermotor atau perahu atau
perincian: pemerintahan serta
perahu motor atau kapal
Perda 65 bh, Kesenjangan meningkatkan
motor;
Pergub 350 bh, pembangunan kerjasama dengan
• Persentase pekerja yang
Kepgub 3.756 akibat pemusatan perguruan tinggi
berpendidikan minimal
bh pertumbuhan dalam penyusunan
SLTA terhadap penduduk
Instruksi ekonomi di naskah akademik.
usia 18 tahun ke atas;
Gubernur 4 bh sejumlah
• Persentase pekerja yang kawasan Mengembangkan
218
berpendidikan minimal S-1 Membentuk menimbulkan konsultasi publik
terhadap penduduk usia 25 perda dan persoalan- yang menempatkan
tahun ke atas; petunjuk persoalan masyarakat sebagai
• Balai Pertemuan: Tempat pelaksanaan kesejahteraan, subyek hukum yang
(gedung) yang digunakan mengenai seperti berhak
untuk pertemuan penyusunan kemiskinan, menyampaikan
masyarakat melakukan perda yang di pengangguran, pendapat sebagai
berbagai kegiatan interaksi dalamnya dll. wahana public
sosial; mengatur sphere dalam
• Personil Aparat Pertahanan program menjaring aspirasi
• Personil Aparat Keamanan legislasi masyarakat.
• Karakteristik Wilayah daerah serta
penguatan
peran Panitia
Legislasi
DPRD
1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di • Jumlah Produk kebijakan ditetapkan Keputusan Tersusunnya Masih belum Terwujudnya
birokrasi dan dimulai dari tatanan pejabat Gubernur Jawa Barat 11 (sebelas) padunya perampingan
yang paling atas • Jumlah kersama antar daerah No. 21 Tahun 2004 kebijakan koordinasi antar struktur
2. Terciptanya system kelembagaan dan tentang Pedoman SPM untuk daerah kelembagaan
ketatalaksanaan pemerintah yang • Jumlah kerjasama antar Kerjasama Daerah kabupaten/kota kabupaten/kota Pemerintah Provinsi
bersih,efisien, transparan dan akuntabel propinsi dengan Pihak Luar di Jawa Barat Jawa Barat menjadi
3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek Negeri dan Keputusan dan 5 (lima) Masih belum terdiri dari 3 Asisten
yang bersifat diskriminatif terhadap warga • Jumlah kerjasama dengan Gubernur Jawa Barat dasar inline-nya (11 Biro), 1
Negara, kelompok atau gangguan masyarakat luar negeri No. 28 Tahun 2005 kebijakan perencanaan Sekretariat DPRD, 1
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam tentang Pedoman SPM untuk antar Kantor Perwakilan,
pengambilan kebijakan Kerjasama Daerah Pemerintah kabupaten/kota 14 Dinas, dan 10
5. Terjaminnya konsistensi seluruh paraturan dengan Pihak Ketiga Provinsi, yang dengan provinsi Lembaga Teknis,
pusat dan daerah dan tidak bertentangan meliputi secara vertical
peraturan dan perundangan di atasnya bidang maupun Pengajuan
kesehatan, horizontal rancangan desain
pendidikan, organisasi
tenaga kerja Masih tidak Pemerintah Provinsi
dan efisien dan Jawa Barat
transmigrasi, efektifnya
koperasi dan penyelenggaraan Distribusi pegawai
usaha kecil tata pemda
dan menengah kepemerintahan
serta Sosialisasi Jabatan
penanaman Masih banyak fungsional
219
modal. jabatan
Terselenggara fungsional yang Mutasi terstruktur
nya kerjasama jumlahnya
antardaerah sedikit padahal Rekruitmen pegawai
sebanyak 43 fungsinya sangat berdasarkan
buah, penting kebutuhan
kerjasama
dengan pihak Komposisi PNS Perencanaan daya
ketiga di Provinsi Jawa tampung
sebanyak 35 Barat mayoritas kabupaten/kota di
buah, dan berada pada propinsi Jawa Barat
kerjasama Golongan III 25 tahun ke depan
dengan pihak atau berpangkat sebanyak 42
luar negeri pada kategori wilayah
sebanyak 24 piñata yang
buah seimbang
Aspirasi
pemekaran
wilayah yang
tidak
memperhatikan
kapasitas nyata
dari daerah calon
220
- Mengunrang tingkat korupsi
1. Terlaksananya peran dan fungsi lembaga • Jumlah perkara kasus Meningkatnya Tingkat Tingkat Golput Sosialisasi
penyelenggara Negara dan lembaga korupsi kesadaran masyarakat perkara kasus yang meningkat pentingnya aspirasi
kemasyarakatan sesuai konstitusi dan • Akuntabilitas kinerja dalam berpolitik korupsi bukan hanya politik bagi
peraturan perundangan yang berlaku pemerintahan menurun karena sifat kepentingan
2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam • Tingkat kehadiran peserta Menurunnya tingkat politis namun masyarakat
proses pengambilan keputusan kebijakan musrenbang untuk berbagai unjuk rasa masyarakat Meningkatnya juga teknis
public produk kebijakan jumlah seperti jam kerja, Memperketat syarat
3. Terlaksananya pemilihan umum yang pemerintah daerah menurunkan jumlah kehadirdan waktu kerja dan kualifikasi dan
demokratis jujur dan adil pada tahun 2008 • Jumlah unjuk rasa kepada kasus korupsi peserta kebutuhan real aturan calon
lembaga DPRD musrenbang keluarga legislative dan calon
• Tingkat partisipasi pemilih Menurunya tingkat kepala daerah
dalam Pemilu unjuk rasa kepada Tingkat Rasional
DPR/DPD/DPRD DPRD partisipasi Political Meningkatkan mutu
• Tingkat partisipasi pemilih Meningkatkan tingkat pemilih participation infrastruktur daerah
dalam sejumlah pemilihan partisipasi pemilih mengalami yang menurun guna kemudahan
kepala daerah penurunan aspirasi masyarakat
Meningkatkan aspirasi menjadi 75,2% Riskannya aksi pinggiran
• Jumlah partai politik, LSM
dan NGO masyarakat yang dan sebanyak aspirasi melalui
disampaikan melalui 24,8% tidak unjuk rasa pada Peningkatan
system menggunakan persepsi dunia pendidikan politik
hak pilihnya usaha terutama terstruktur dengan
investor luar bantuan pihak
Tingkat Jawa Barat institusi pendidikan
partisipasi
politik berada
pada tingkat
sedang.
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
1. Menurunnya presentase penduduk yang Program Wajib Belajar
berada dibawah garis kemiskinan menjadi Pendidikan dasar Penyuluhan Sistem Sosialisasi
8,2 % pada tahun 2009. Pendidikan 37,25 penganggaran pentingnya wajib
2. Terpenuhinya kecukupan pangan yang • Prosentase APK Mendorong produksi 96,65 dan birokrasi belajar
bermutu dan terjangkau • Prosentase APM pertanian 88,90
3. Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang • Prosentase APK 79,00 Situasi ekonomi Reformasi
bermutu • Prosentase APM Mendorong aktivitas 80,00 dunia yang Kelembagaan
4. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar • Prosentase angka UMKM melemah (Institutional
yang bermutu dan merata 1,35 Reform) baik
221
5. Terbukanya kesempatan kerja dan melanjutkan Mendorong swadaya Kecenderungan kelembagaan
berusaha masyarakat 60,00 naiknya angka pemerintah maupun
6. Terpenuhinya kebutuhan dan sanitasi yang • Rasio rungbel ruang kelas tingkat kelembagaan
layak dan sehat Keterlibatan sector 70 % pengangguran ekonomi.
7. Terpenuhinya kebutuhan air bersih dan • Prosentase sarana memadai swasta
Manajemen
aman bagi masyarakat miskin Berkurangnya
perencanaan,
8. Terbukanya akses masyarakat miskin • Prosentase penerima kecepatan
pelaksanaan dan
dalam pemanfaatan SDA dan terjaganya beasiswa Mengundang investor realisasi
pengendalian
kualitas lingkungan hidup asing 6.4% penyerapan
peningkatan daya
9. Terjamin dan terlindunginya hak • LPE 5.1% APBD
beli perlu di
perorangan dan hak komunitas atas tanah • Inflasi Membenahi procedural Rp 87,137
integrasikan di
10. Terjaminnya rasa aman dari tindak • PMTB perizinan usaha trilyun Tidak stabilnya
dalam satu pusat
kekerasan; dan cuaca perubahan
kewenangan dan
11. Meningkatnya partisipasi masyarakat Mengurangi praktek 42.2% iklim
• Kontribusi sektor industri pertanggungjawaban
miskin dalam pengambilan keputusan pungli
manufaktur (%) .
22.31%
• Kontribusi sektor
perdagangan, hotel dan
restoran (%) Pemberdayaan
12.45%
• Kontribusi sektor pertanian manusia pelaku
(%) usaha
(swasta/pengusaha)
terutama pelaku
usaha kecil,
menengah dan
koperasi.
Semua hambatan
terhadap peluang
ekonomi dan politik
dihapuskan sehingga
semua orang dapat
berpartisipasi dan
mendapatkan
keuntungan dari
peluang yang
tersedia
Keberpihakan
pemerintah untuk
melindungi
222
kelompok
masyarakat dari
persaingan pasar
yang tidak adil dan
tidak seimbang.
Tersedianya data
pokok untuk dapat
mengukur keadaan
dan perkembangan
daya beli tidak
hanya di tingkat
propinsi tetapi juga
di setiap
kabupaten/kota
partisipasi angkatan
kerja terutama
wanita
penciptaan lapangan
kerja (job creation)
223
perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Jawa Barat per tahun industry yang ekspor
Dalam 3(tiga) tahun pertama diharapkan - Persentase Tingkat Mengurangi aturan- 80 % cenderung sulit
setengahnya telah dicapai. penggunaan produk dalam aturan daerah yang turun Jaminan pemda
5. Meningkatnya investasi secara bertahap negeri tidak ramah terhadap 70 % secara sektorral
sehingga peranannya terhadap Produk - Persentase penyediaan sarana investor Kurangnya yang mendukung
Nasional Bruto meningkat dari 20,5 persen dan prasarana perdagangan 15 Kali inisiatif dan eksistensi dari
pada tahun 2004 menjadi 27,4 persen pada yang memadai Standardisasi komoditi kreatifitas dari investasi komoditas
tahun 2009 dengan penyebaran yang makin - Tingkat pengawasan barang 5 kali para pengusaha ekspor
banyak pada kawasan-kawasan di luar Jawa, beredar per tahun local
terutama Kawasan Timut Indonesia. - Tingkat Advokasi 20 % Pemenuhan standard
6. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara perlindungan konsumen per Kondisi nilai komoditas ekspor
bettahap dari sekitar 5,2 persen pada tahun tahun -UTTP : tukar
2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun - Persentase Tingkat 1.901.600 rupiah/dollar Skema terstruktur
2009 dengan komposisi produk yang lebih Penyelesaian sengketa buah yang tidak stabil dan saling
beragam dan kandungan teknologi yang konsumen -BDKT : 1.105 menguntungkan
semakin tinggi - Jumlah peneraan UTTP dan 53.179 TDP Koordinasi antar untuk peremajaan
7. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas BDKT per tahun dan kab/kota dalam alat-alat produksi
system distribusi nasional, tertib niaga dan 19.820 SIUP upaya komoditas pertanian
kepastian berusaha untuk menwujudkan mendorong
perdagangan dalam negeri yang kondusif ekspor
dan dinamis
8. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam
perolehan devisa menjadi sekitar USD 10 - Jumlah pelaku usaha yang 200
miliar pada tahun 2009, sehingga sector dibina di Jawa Barat perusahaan
pariwisata diharapkan mampu menjadi salah - Presentase ketepatan waktu 90%
satu penghasilan devisa besar. pelayanan
9. Meningkatnya kontribusi kiriman dari - Perizinan Prosentase kepatian 90 %
tenaga kerja Indonesia yang berada di luar & ketepatan biayapelayanan
negeri dari perkiraan sekarang yang berkisar perizinan
sekitar USD 1 miliar - Jumlah sarana promosi 12 event
investasi (event, skala,
bentuk) Pengembangan
Promosi
PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI
MANUFAKTUR
1. Sektor industry manufaktur (non-migas) - Jumlah wirausaha industry Mendorong produksi 195.878 unit Produktifitas Meningkatkan
ditargetkan tumbuh dengan laju rata-rata kecil menengah dan peningkatan pekerja yang kinerja subsektor
8,56 persen per tahun. Dengan tingkat - Jumlah Penyerapan tenaga kapasitas produksi 1.958.780 rendah alat angkutan,
operasi rata-rata hanya sekitar 60 persen kerja industri kecil menengah Orang mesin, dan
pada tahun 2003, target peningkatan - Persentase Tingkat pelayanan Kerjasama dengan 40 Kurangnya peralatannya sebagai
224
kapasitas utilisasi khususnya sub-sektor usaha IKM institusi pendidikan kualitas calon upaya diversifikasi
yang masih berdaya saing akan meningkat - Persentase Tingkat koordinasi 70 % pekerja dari sisi
ke titik optimum yaitu sekitar 80 % dalam dan konsolidasi industry Penerapan standarisasi keahlian dan Menyelesaikan
dua sampai tiga tahun pertama, terutama - Jumlah Keterlibatan dan upaya sosialisasi 80 Perusahaan skill krisis kelistrikan
untuk industry yang dinilai memiliki perusahaan dalam sertifikasi industry
keunggulan komparatif dan kompetitif. pengembangan klaster 1.500 Kurang Pengembangan
2. Target penyerapan tenaga kerja dalam lima industry Perusahaan ramahnya system distribusi
tahun terakhir mendatang adalah sekitar - Jumlah Penerapan lingkungan dan sarana prasarana
500 per tahun (termasuk pengadaan standarisasi dan sertifikasi 3.965.134 masyarakat infrastruktur
migas). industry Orang terhadap para
3. Terciptanya iklim usaha yang lebih - Jumlah penyerapan tenaga pengusaha dan Mengoptimalkan
kondusif baik bagi industry yang sudah ada kerja oleh industry besar pemilik modal modal dasar
maupun investasi baru dalam bentuk perekonomian Jawa
tersedianya layanan umum yang baik dan Hambatan Barat dari industry
bersih dari KKN, sumber-sumber procedural pariwisata
pendanaan yang terjangkau dan kebijakan perizinan usaha
fiscal yang menunjang. Pemetaan potensi
4. Peningkatan pangsa sector industry Masih tingginya industry dan tindak
manufaktur di pasar domestic, baik untuk import contain lanjut pembenahan
bahan baku maupun produk akhir, sebagai pada berbagai aspek
cermin daya saing sector ini dalam Persaingan penunjang.
menghadapi produk-produk impor. global dan
5. Meningkatnya vlume ekspor produk melemahnya
manufaktur dalam total ekspor nasional daya beli
6. Meningkatnya proses alih teknologi dari masyarakat
forign direct investment (FDI)pasar yang
dicerminkan dari meningkatnya Lambatnya
pemasokan bahan antar dari bahan local braindrain dan
7. Meningkatnya penerapan standarisasi proses alih
produk industry manufaktu sebagai factor teknologi
ke luar pulau jawa, terutama industry
pengolahan hasil sumber daya alam. Daya saing
industri tersebut
masih rendah
Tingginya
ketergantungan
pada bahan baku
impor
rendahnya
225
kemampuan
dalam
pengembangan
teknologi
Rendahnya
kemampuan dan
keterampilan
sumber daya
industry
Tingginya
pencemaran
limbah industry
REVITALISASI PERTANIAN
1. Meningkatnya kemampuan petani untuk Gerakan Multi Jawa Barat Skala efisiensi Perkembangan dan
dapat menghasilkan komoditas yang Tingkat kontribusi sector Aktivitas Agribisnis sebagai yang rendah diversifikasi produk
berdaya saing tinggi pertanian (GEMAR) produsen pertanian
2. Terjaganya tingkat produksi beras dalam terbesar Belum tergalinya
negeri dengan tingkat ketersediaan Pelatihan dan nasional untuk potensi subsector Pengembangan
minimal 90 % dari dari kebutuhan penyuluhan 40 komoditi pertanian yang sumber daya
domestic, untuk pengamanan kemandirian agribisnis lain seperti perikanan dan
pangan Distribusi pupuk dan khususnya perikanan dan kelautan
3. Diversifikasi produksi, ketersediaan dan permodalan UMKM padi kelautan
konsumsi pangan untuk menurunkan Mendorong
ketergantungan pada beras. Tingkat penyerapan TK dari 29,65% Lemahnya penerapan teknologi
4. Meningkatnya ketersediaan pangan ternak sector pertanian pembudidaya pertanian berbasis
dan ikan dari dalam negeri dan kualifikasi agroindustri
5. Meningkatnya konsumsi masyarakat Pertumbuhan sector pertanian 7.79% nelayan
terhadap protein hewani yang berasal dari Pemetaan visi misi
ternak dan ikan Pertumbuhan produksi padi 9.5% Belum adanya kabupaten kota
6. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah upaya dalam rangka
produk pertanian dan perikanan Peningkatan kesejahteraan 96.85% diversifikasi mengarahkan
7. Meningkatnya produksi dan ekspor hasil petani (Nilai Tukar Petani) produk pertanian pengembangan
pertanian dan perikanan agrowisata,
8. Meningkatnya kemampuan petani dan Distribusi pupuk agroindustri, dll
nelayan dalam mengelola sumber daya yang terhambat
alam secara lestari dan bertanggung jawab Mengoptimalkan
9. Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil Cuaca dan iklim aturan penetaan dan
226
hutan kayu yang tidak peruntukan lahan
10. Meningkatnya hasil hutan non kayu 30 % menentu
dari produksi tahun 2004
11. Bertambahnya hutan tanaman minimal
seluas 5 juta ha. Dan penyelesaian
penetapan kesatuan pemangkuan hutan
sebagai acuan pengelolaan hutan produksi
227
- Keuangan Non Perbankan 211 milyar
228