Anda di halaman 1dari 52

Draft Akhir Desember :

PEDOMAN PELAKSANAAN
PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
ANAK

KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN


REPUBLIK INDONESIA

0
2007

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2

BAB I. PENDAHULUAN 2
I. 1. Latar Belakang 2
I. 2. Arti Penting Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak 3
I. 3. Landasan Hukum 7
I. 4. Pengertian 8

BAB II. ARAH KEBIJAKAN 10


II. 1. Visi dan Misi 10
II. 2. Tujuan 10
II. 3. Sasaran 11
II. 4. Prinsip 11
II. 5. Strategi 12
II. 6. Indikator 12

BAB III. SITUASI PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN


BAGI ANAK 13
III. 1. Nama dan Kewarganegaraan
III. 2. Mempertahankan Identitas 12
III. 3. Kebebasan Menyatakan Pendapat 16
III. 4. Kebebasan Berpikir, Berkesadaran dan Beragama 19
III. 5. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai 20
III. 6. Perlindungan Kehidupan Pribadi (Privasi) 20
III. 7. Akses Informasi Yang Layak 21
III. 8. Perlindungan Dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Yang Kerjam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat 23

BAB IV. PROGRAM PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN


BAGI ANAK 26
IV. 1. Studi dan Penelitian 27
IV. 2. Advokasi Kebijakan 27
IV. 3. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah 29
IV. 4. Pengembangan Akses Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan
bagi Anak 29
IV. 5. Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat 30
IV. 6. Pengembangan Partisipasi Anak 31
IV. 7. Pengembangan Mekanisme Organisasi 32

BAB V. PENGORGANISASIAN 33
V. 1. Tingkat Pusat 33
V. 2. Tingkat Provinsi 33
V. 3. Tingkat Kabupaten/Kota 34
V. 4. Lembaga Non Pemerintah 34

BAB VI. MONITORING DAN EVALUASI 35

BAB VII PENUTUP 37

2
KATA PENGANTAR

Penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penjaminan hak-hak


anak menjadi tanggungjawab bersama orangtua, keluarga, masyarakat dan
negara. Oleh karenanya semua pemangku kepentingan di bidang anak perlu
memahami hak-hak anak, termasuk hak sipil dan kebebasan anak.
Mengingat luasnya cakupan permasalahan yang terdapat dalam hak sipil dan
kebebasan anak serta masih rendahnya pemahaman semua pemangku
kepentingan terhadap hak tersebut maka dibutuhkan sebuah panduan agar
hak anak tersebut dapat lebih mudah terpenuhi.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, maka Deputi Bidang


Perlindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
menerbitkan Buku Panduan Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan Anak.

Buku Pedoman Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan Anak merupakan


dokumen yang disusun secara bersama-sama oleh pemerintah, perguruan
tinggi, dan organisasi masyarakat sipil/Lembaga Swadaya Masyarakat, yang
diharapkan dapat menjadi rujukan semua pemangku kepentingan di bidang
anak agar dapat lebih tanggap dalam upaya pemenuhan hak sipil dan
kebebasan anak.

Buku panduan ini dapat tersusun atas dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tinginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan buku ini hingga dapat diselesaikan sesuai dengan yang
diharapkan.

Jakarta, September 2008

Deputi Bidang Perlindungan Anak

Dr. Surjadi Soeparman, MPH

3
SAMBUTAN
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT


yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sekalian
sehingga kita dapat menghasilkan buku Pedoman Pemenuhan Hak Sipil dan
Kebebasan Anak sebagai bagian upaya berkelanjutan untuk mewujudkan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.

Buku Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan arah kebijakan


yang sistemik, holistik dan komprehensif, yang isinya mencakup visi dan
misi, tujuan dan sasaran kebijakan, prinsip umum yang dianut, strategi
untuk mencapainya serta indikator untuk mengukur pencapaiannya yang
dapat lebih menjamin terpenuhinya hak sipil dan kebebasan anak di
Indonesia.

Hak sipil dan kebebasan anak merupakan salah satu dari lima kategori
hak substantif anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), selain
lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dan
kesejahteraan dasar; pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya; serta
langkah-langkah perlindungan khusus (berkaitan dengan hak anak untuk
mendapatkan perlindungan khusus).

Mengacu pada KHA, hak sipil dan kebebasan bagi anak terbagi ke
dalam beberapa hak yang diatur dalam pasal-pasal terpisah, yakni :
1. Nama dan Kewarganegaraan (Pasal 7)
2. Mempertahankan Identitas (Pasal 8)
3. Kebebasan Berkespresi atau Menyampaikan Pendapat (Pasal 13)
4. Kebebasan Berpikir, Berhati Nurani dan Beragama (Deklarasi) (Pasal
14)
5. Kebebasan Berorganisasi (Pasal 15)
6. Perlindungan Terhadap Kehidupan Pribadi (Deklarasi) (Pasal 16)
7. Akses untuk Memperoleh Informasi (Deklarasi) (Pasal 17)
8. Perlindungan Dari Siksaan/Perlakuan Kejam (Pasal 37)

4
Upaya mewujudkan hak sipil dan kebebasan anak merupakan
serangkaian upaya berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
yang dilakukan secara integratif dan komprehensif. Pada pelaksanaannya
dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak antara pusat dan daerah secara lintas
sektoral serta masyarakat sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya kesamaan


pemahaman di bidang perlindungan anak bagi semua jajaran pelaksana
program/kegiatan baik di tingkat pusat maupun daerah, serta masyarakat.
Dengan adanya kesamaan pemahaman tersebut diharapkan akan lebih
mempermudah dalam melakukan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral.

Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan


kepada semua pihak yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan buku ini.
Saya berharap buku ini akan menjadi acuan dalam melakukan upaya
perlindungan anak di sektor kerja masing-masing. Semoga pelaksanaan
kewajiban dan tanggungjawab dalam pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak akan cepat terlaksana dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan
dan perlindungan anak.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan

Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono

5
6
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Anak adalah amanah dan sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-
hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Dari sisi
perkembangan fisik dan psikis manusia, anak merupakan pribadi yang lemah,
belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan. Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orantua berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam prakteknya di masyarakat kita melihat sejak dulu hingga kini
terdapat banyak pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam berbagai bentuknya,
dari yang sifatnya terbuka seperti penganiayaan dan pemerkosaan terhadap
anak, yang sifatnya tersembunyi seperti perdagangan anak, eksploitasi pekerja
anak di jermal, hingga yang tidak disadari dan sering diabaikan, seperti tidak
diberikannya akte kelahiran pada anak dan diabaikannya suara atau pandangan
anak oleh orang dewasa ketika membuat suatu keputusan yang berdampak
pada anak. Pelanggaran hak anak tersebut juga merupakan pelanggaran HAM,
karena hak anak merupakan bagian dari HAM.
Untuk mencoba mengatasi berbagai permasalahan di bidang anak
tersebut, sebetulnya telah disusun berbagai kebijakan atau peraturan peraturan
perundangan. Misalnya masalah tentang HAM sudah disinggung dalam
konstitusi negara kita, yakni UUD 1945 dan dituangkan dalam Bab X A Pasal 28,
serta dalam UU No. 39 / 1999 tentang HAM. Substansi tersebut secara
operasional dan lebih rinci tertuang dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan
Anak.
Penyusunan kebijakan atau peraturan perundangan di bidang HAM dan
hak anak tersebut tidak lepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat
internasional. Pada tahun 1989 PBB melalui resolusi 44/25 tertanggal 20
Nopember. telah menyepakati sebuah instrumen hukum internasional yakni
Konvensi Hak Anak (KHA). Dalam KHA ini, anak adalah pemegang hak-hak
dasar dan kebebasan sekaligus sebagai pihak yang menerima perlindungan
khusus. Selain itu, dan ini pertama kali dalam sejarah PBB, KHA mencakup
sekaligus hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya. Karena itulah,
konvensi ini paling komprehensif dibandingkan konvensi-konvensi lainnya.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA tersebut melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, dan sesuai ketentuan

7
pasal 49 (2) KHA, maka Konvensi tersebut dinyatakan berlaku di Indonesia sejak
5 Oktober 1990.
KHA pada dasarnya mengacu pada Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Sipil dan Politik tahun 1966, terutama pasal 23 dan 24, dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 1966, terutama
pasal 10. Kedua kovenan tersebut merupakan penjabaran dari Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, disingkat
DUHAM), yang ditetapkan Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM memuat pokok-pokok hak
asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan
umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya
pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal
dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun
di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.
Indonesia telah meratifikasi dua konvensi atau kovenan tersebut
sekaligus, yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob)
melalui UU No. 11 Tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan
Sipol) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dalam mukadimah dari kedua kovenan
tersebut, nampak sangat bersamaan yaitu menitikberatkan bahwa hak
bersumber dari martabat yang melekat pada manusia, dan oleh karenanya
kewajiban negara berdasarkan Piagam PBB untuk memajukan penghormatan
secara universal dan pentaatan terhadap hak asasi dan kebebasan manusia.
Substansi hak anak yang terdapat dalam KHA yang dimantapkan melalui
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga memuat ketentuan-
ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak anak. Selain itu UU tersebut juga
dengan jelas menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peranserta masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Keberadaan berbagai instrumen hukum tingkat internasional yang telah
diratifikasi pemerintah tersebut, jika dilihat secara utuh bukanlah merupakan
instrumen yang terpisah-pisah tetapi terintegrasi, karena pasal-pasal yang
memuat berbagai hak yang ada dalam masing-masing instrumen tersebut saling
berkaitan. Hal itu tidak lepas dari permasalahan hak yang ada di lapangan pun
juga tidak bisa dipisah-pisahkan. Misalnya, pendidikan dan informasi yang
memiliki hubungan filosofis yang sangat erat, masing-masing terdapat dalam
kovenan yang berbeda. Pendidikan berada dalam ranah hak ekonomi, sosial dan
budaya, sedangkan informasi berada dalam ranah hak sipil dan politik.
Demikian pula pasal-pasal atau hak-hak yang ada dalam KHA, meskipun
menggunakan istilah atau pengelompokan/kluster hak yang berbeda-beda,
namun secara substansif ada keterkaitan yang sangat erat antar kluster. Hal ini
perlu dikemukakan, mengingat dalam KHA terdapat beberapa kluster hak
substansif anak yang penamaan dan pengelompokannya berbeda dengan
Kovenan Hak Sipol dan dan Kovenan Hak Ekosob.

8
Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam 8 kluster oleh Komisi Hak Anak
PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta
dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Delapan (8) kluster isi
KHA tersebut adalah sebagai berikut :
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi tentang Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak Sipil dan Kebebasan
5. Lingkungan keluarga dan Pengasuhan Alternatif;
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar;
7. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya; dan
8. Upaya-upaya Perlindungan Khusus.

Salah satu kluster dalam KHA tersebut yang menjadi materi buku
Pedoman ini adalah Kluster Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak. Kluster ini
sangat penting karena berbagai permasalahan anak di Indonesia terjadi karena
masih rendahnya penghormatan, pemenuhan,dan perlindungan hak sipil dan
kebebasan anak ini. Selain itu kluster hak sipil dan kebebasan ini memiliki
berbagai arti penting seperti yang dijelaskan berikut.

I. 2. Arti Penting Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak


Hak sipil dan kebebasan anak terdiri dari beberapa hak yang diatur dalam
pasal-pasal terpisah, yakni :
9. Nama dan Kewarganegaraan
10. Mempertahankan Identitas
11. Kebebasan Berpendapat
12. Kebebasan Berpikir, Berkesadaran (Berhati Nurani) dan Beragama
13. Kebebasan Berserikat dan berkumpul secara damai
14. Perlindungan Terhadap Kehidupan Pribadi (Privasi)
15. Akses kepada Informasi yang Layak
16. Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Pengelompokan hak-hak dan kebebasan anak, tidaklah bersifat kaku dan


eksklusif karena ada keterkaitan substantif yang sangat erat, baik antar pasal
dalam satu kluster, antar pasal dalam kluster yang berbeda. Begitu juga dengan
keterkaitan substantif antar kovenan / konvensi / instrumen hukum internasional
yang berbeda. Misalnya pasal 7 dan pasal 8 dalam kluster hak sipil dan
kebebasan anak memiliki isu substansial yang bersinggungan, yakni
menyangkut isu identitas anak. Dalam dua kluster yang berbeda dari KHA, juga
ditemukan singgungan isu substansial, yakni isu yang disinggung dalam kluster 4
tentang Hak Sipil dan Kebebasan Anak dengan kluster 5 tentang Lingkungan
Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Begitu juga dalam Kovenan yang berbeda
juga terdapat contoh singgungan isu substansial yang sama. Misalnya dalam
KHA serta dalam Kovenan Ekosob, terdapat kewajiban untuk menyediakan

9
pendidikan dasar secara gratis dan hak anak untuk mendapatkan perlindungan
dari eksploitasi.
Berikut adalah uraian tentang penjabaran hak-hak beserta arti pentingnya
yang terdapat dalam kluster hak sipil dan kebebasan bagi anak, baik terhadap
negara/pemerintah, masyarakat maupun arti pentingnya bagi anak itu sendiri.
Hak Pertama adalah hak atas nama dan kewarganegaraan. Makna
penting dari hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak mendasar
dan pertama yang dimiliki oleh seorang anak. Nama dan kewarganegaraan
menunjukkan identitas yang dimiliki setiap orang dan statusnya sebagai warga
dari suatu negara yang akan menjamin pemenuhan hak-haknya. Dari sisi
negara, hak tersebut merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya dan
menjadi bukti pengakuan hukum dari negara terhadap warganya.
Hak Kedua adalah hak mempertahankan identitas. Seorang anak berhak
untuk mempertahankan identitasnya dan negara menghormati hak warganya
dalam mempertahankan identitasnya tersebut, termasuk kaitannya dengan
hubungan keluarga. Apabila ada pihak-pihak yang hendak melakukan
perampasan atau pemalsuan identitas seorang anak, maka negara akan
memberi bantuan dan perlindungan yang layak dengan tujuan menetapkan
kembali dengan cepat jati dirinya. Hal ini sebagai langkah awal bagi anak dalam
mengembangkan jati dirinya untuk tumbuh kembang secara wajar.
Implementasi dari kedua hak tersebut diwujudkan dalam bentuk
pemberian akte kelahiran dan pencatatan yang harus dilakukan untuk diregistrasi
oleh negara dalam catatan sipil kependudukan seorang anak sebagai salah satu
warga negaranya. Pencatatan kelahiran sendiri memiliki empat azas, yakni (1)
universal, (2) permanen, (3) wajib, dan (4) kontinyu. Azas universal berarti
pencatatan kelahiran harus diselenggarakan atau menjangkau seluruh wilayah
kedaulatan negara dan semua penduduk bagi semua peristiwa penting. Azas
permanen berarti pelaksanaan pencatatan kelahiran harus diselenggarakan
dengan sebuah sistem yang permanen. Institusi yang menyelenggarakan harus
bersifat permanen untuk menjamin kontinyuitas pelayanan. Azas wajib berarti
pemerintah wajib menyelenggarakan pencatatan kelahiran, dan penduduk atas
perintah hukum wajib melaporkan setiap peristiwa kelahiran pada jangka waktu
tertentu. Atas keterlambatan pelaporan tersebut dikenakan sanksi. Azas kontinyu
atau berkelanjutan berarti pencatatan kelahiran harus dilakukan tanpa jeda
waktu sejak sistem diberlakukan. Dari operasional sistem yang berkelanjutan ini
akan dihasilkan data peristiwa penting yang lengkap, akurat dan mutakhir.
Bagi negara atau pemerintah, arti penting dari kedua hak pertama tersebut
yang terdapat dalam akte kelahiran adalah sebagai berikut :
- Menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang yang
menjadi warganya
- Sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran
nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan
anak.
Arti penting bagi anak yang terdapat dalam kepemilikan akte kelahiran,
adalah sebagai berikut :

10
- merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang
dimiliki anak
- menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak waris
dari orangtuanya
- mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan
terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual
- anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan, kesehatan,
pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara

Sedangkan bagi masyarakat, arti penting hak anak yang terdapat dalam
kepemilikan akte kelahiran adalah sebagai berikut :
- alat pembuktian status perdata seseorang dan menunjukkan
hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya
- mempermudah dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administratif, seperti
syarat pendaftaran sekolah, mencari pekerjaan setelah dewasa, menikah
dan lain-lain
- terwujudnya tertib sosial yang menyangkut kejelasan identitas setiap warga
masyarakat

Hak ketiga adalah hak anak untuk menyatakan pendapat. Arti penting dari
hak tersebut bagi negara dan pemerintah adalah sebagai elemen penting bagi
terwujudnya negara dan pemerintahan yang demokratis, di mana setiap warga
negara termasuk anak memiliki hak yang sama untuk menyatakan pendapatnya.
Pemerintah juga bisa memperoleh gambaran permasalahan, kebutuhan dan
aspirasi yang murni dari kelompok anak itu sendiri, yang sebelumnya lebih sering
disuarakan oleh orang dewasa. Bagi anak sendiri, arti penting dari hak untuk
menyatakan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
- merupakan perwujudan dari hak anak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka
- meningkatkan harga diri dan percaya diri anak
- mengembangkan bakat dan ketrampilan
- memperbesar akses pada berbagai peluang
Bagi masyarakat arti penting dari hak anak untuk menyatakan
pendapatnya adalah pandangan dari orang dewasa tentang berbagai macam hal
termasuk masalah anak tidak selamanya benar. Pandangan anak dapat menjadi
pandangan alternatif untuk dipertimbangkan.
Hak keempat adalah kebebasan berpikir, berkesadaran (berhati nurani,
dan beragama. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah
adalah memudahkan terwujudnya sebuah negara atau pemerintahan yang maju
yang menghargai pluralitas warganya dan tidak diskriminatif. Bagi anak arti
penting dari hak tersebut adalah agar anak dapat mengembangkan kecerdasan
jamak (logika matematika, linguistik verbal, body kinestetik, visual spasial,
naturalis, interpersonal, intrapersonal, kecerdasan musikal dan kecerdasan
spiritual). Bagi masyarakat, arti penting dari hak tersebut bisa menciptakan
masyarakat yang kreatif, toleran dan saling menghargai terhadap berbagai

11
perbedaan yang dimiliki warganya, serta tidak ada dominasi satu kelompok
terhadap kelompok lainnya.

Hak kelima adalah kebebasan berorganisasi atau berserikat dan


berkumpul secara damai. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau
pemerintah serta masyarakat adalah terbukanya proses sosial yang demokratis
sejak dini bagi reproduksi kepemimpinan bangsa dan masyarakat, karena
kebebasan berorganisasi tersebut bisa melahirkan calon-calon pemimpin bangsa
yang mempunyai basis pengalaman berorganisasi yang baik dan bukan
berdasarkan pada basis keturunan. Bagi anak arti penting dari hak kelima ini
adalah untuk mengenal, memahami dan melatih bagaimana cara berorganisasi
sejak dini, melatih kepemimpinan anak dan melatih anak dalam bermasyarakat.
Hak keenam adalah perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi).
Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah adalah negara atau
pemerintah akan dipandang mampu melindungi warganya, khususnya kelompok
anak dari campur tangan pihak-pihak lain yang bisa merugikan kepentingan
anak. Arti penting bagi anak adalah terjaganya kehidupan pribadi atau privasinya
sehingga bisa terhindar dari segala bentuk pemaksaan dan diskriminasi yang
dalam jangka panjang bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak. Sedangkan
bagi masyarakat, arti pentingnya adalah adanya instrumen sosial dan hukum
yang membuat warganya merasa lebih tenteram dan bebas dari ancaman
terhadap kehidupan pribadinya.
Hak ketujuh adalah akses kepada informasi yang layak. Bagi negara atau
pemerintah, selain menjadi dasar bagi perlunya disusun instrumen peraturan
atau kelembagaan yang bisa menjamin akses informasi kepada warga negara
juga memberikan perlindungan khususnya kepada kelompok anak dari informasi-
informasi yang berdampak negatif pada anak. Arti penting bagi anak adalah
menambah pengetahuan umum, memperluas wawasan dan juga terhindar dari
dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari keterbukaan informasi. Sedangkan
bagi masyarakat, keterbukaan akses tersebut selain di satu sisi akan
mempercepat kemajuan suatu masyarakat tapi di sisi lain juga menumbuhkan
kekawatiran akan dampak negatif, sehingga mendorong ditumbuhkan dan
diperkuatnya kembali norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dapat
membendung dampak negatif keterbukaan informasi.
Hak kedelapan atau terakhir dari rumpun hak sipil dan kebebasan anak
adalah perlindungan dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Arti penting dari hak tersebut
bagi negara atau pemerintah adalah bisa mendorong peningkatan perhatian dan
kepekaan pemerintah terhadap hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum
sejak awal proses penangkapan anak sebagai tersangka pelaku tindak pidana
hingga selama anak menjalani proses hukuman. Hal tersebut perlu ditegaskan
karena selama ini terdapat pemahaman yang terbatas dari para aparat penegak
hukum tentang hak anak serta keterbatasan penyediaan fasilitas rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan membuka peluang terjadinya pelanggaran
terhadap hak anak pelaku tindak kriminal. Bagi anak arti pentingnya adalah
supaya anak tidak terhambat proses tumbuh kembangnya serta supaya hak-hak

12
dasar lainnya tetap terjamin meskipun anak dalam proses hukum. Bagi
masyarakat sendiri, pola-pola penghukuman terhadap anak yang melakukan
kesalahan yang terjadi di masyarakat, seperti yang terdapat dalam keluarga atau
sekolah bisa diarahkan pada hukuman-hukuman yang sifatnya mendidik dan
bukan menyiksa anak.
Melihat begitu luasnya lingkup permasalahan yang terkandung dalam hak
sipil dan kebebasan anak (HSDKA) serta arti pentingnya pemahaman akan isu
tersebut, maka dibutuhkan suatu pedoman pemenuhan umum hak sipil dan
kebebasan anak yang diperuntukkan bagi semua pemangku kepentingan di
bidang anak di Indonesia, terutama bagi instansi pemerintah di tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota, yang menjadi perwakilan dari negara yang memiliki
kewajiban utama dalam pemenuhan HSDKA. Pengertian pemenuhan dalam hal
ini bersifat integratif dan komprehensif, yang meliputi upaya penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak anak, khususnya hak
sipil dan kebebasan. Meskipun didasari oleh landasaran universal melalui
instrumen-instrumen hukum internasional, HSDKA sangat memperhatikan akar
budayanya, yakni budaya bangsa Indonesia.
Pedoman ini bertujuan agar semua pemangku kepentingan dapat
memahami permasalahan HSDKA yang mencakup prinsip-prinsip dan ketentuan
normatif, kebijakan nasional, situasi pemenuhan HSDKA, program dan peran
dari masing-masing pemangku kepentingan, sehingga mereka dapat memenuhi
kewajibannya dan terlibat dalam upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia.

I. 3. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 dan 29
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,
pasal 2
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan, pasal 6
dan 8
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, pasal
14 dan 18
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pasal 5,
24, 51, 60 dan 63
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Anti
Penyiksaan
8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
(HAM), pasal 1-5, 14, 17, 18, 23-25, 29, 34, 36, 52, 56, 58, 60, 66 dan 70
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, pasal 14 dan
16
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
pasal 1-6, 10, 13, 16-18, 20-24, 27, 28, 42, 43, 54-56, 59, 77-80 dan 86

13
11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 4, 5 dan 12
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, pasal 5-11, 13, 23-25
13. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya
14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak
Sipil dan Politik
15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, pasal
4 dan 21
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, pasal 27
17. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi
Hak Anak

I. 4. Pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara

Hak sipil dan kebebasan bagi anak adalah bagian dari hak anak yang
meliputi hak untuk memperoleh identitas nama dan kewarganegaraan,
mempertahankan identitas, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir,
beragama dan berhati nurani, kebebasan berorganisasi, perlindungan atas
kehidupan pribadi, memperoleh informasi yang memadai dan perlindungan
dari penyiksaan atau penghukuman yang tidak manusiawi

Pemangku kepentingan di bidang anak adalah semua pihak yang mempunyai


tanggungjawab dan atau kepentingan terhadap masalah anak, yang meliputi
pemerintah dan pemerintah daerah, lembaga legislatif, yudikatif dan lembaga
negara serta komisi negara lainnya, dunia usaha, organisasi profesi, lembaga
pendidikan, LSM, organisasi sosial, organisasi keagamaan, media massa,
perguruan tinggi, orangtua dan anak

Lembaga Non Pemerintah adalah lembaga-lembaga di luar pemerintah yang


memiliki tanggungjawab dan atau kepentingan terhadap masalah anak, yang
meliputi dunia usaha, organisasi profesi, lembaga pendidikan, LSM,
organisasi sosial, organisasi keagamaan, media massa, perguruan tinggi,
orangtua dan anak

Pengarusutamaan Hak Anak adalah strategi yang dibangun untuk


mengintgrasikan hak anak menjadi dimensi integral dari perencanaan,

14
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan

15
BAB II
ARAH KEBIJAKAN

Pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak merupakan bagian dari upaya
perlindungan anak Indonesia. Melihat arti penting dari hak sipil dan kebebasan
anak Indonesia serta berbagai produk hukum dan peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasannya, pemerintah mengembangkan kebijakan
yang bersifat sistemik, holistik dan komprehensif, yang isinya mencakup visi dan
misi, tujuan dan sasaran kebijakan, prinsip umum yang dianut, strategi untuk
mencapainya serta indikator untuk mengukur pencapaiannya.
Arah kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang terdapat
dalam Buku Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang memiliki
jangka waktu pencapaian hingga tahun 2015. Diharapkan dengan adanya
kejelasan arah kebijakan ini, bisa disusun program-program yang tepat dan
sesuai kebutuhan di bidang pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
Indonesia.

II. 1. Visi dan Misi

1. Visi
Anak Indonesia sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berakhlak
mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi

2. Misi

1. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif


terhadap kebutuhan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
2. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan
memberikan kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap
perkembangan anak

II. 2. Tujuan

1. Tujuan Umum
Seluruh anak Indonesia memperoleh jaminan pemenuhan hak sipil dan
kebebasan anak melalui komitmen dan kesadaran politik pada setiap
pemangku kepentingan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak anak di
Indonesia

2.Tujuan Khusus
Terpenuhinya hak anak atas nama dan kewarganegaraan
Terpenuhinya hak anak untuk mempertahankan identitas

16
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berpendapat
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berpikir, berkesadaran (berhati
nurani), dan beragama
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berserikat dan berkumpul secara
damai
Terpenuhinya hak anak atas perlindungan kehidupan pribadi (privasi)
Terpenuhinya hak anak atas akses kepada informasi yang layak
Terpenuhinya hak anak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia

II. 3. Sasaran
1. Lembaga pemerintah (eksekutif) yang mencakup semua sektor, baik
departemen maupun lembaga non departemen dalam program
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Indonesia dalam kaitan
implementasi Konvensi Hak Anak dan penerapan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
2. Lembaga legislatif
3. Lembaga-lembaga negara terkait
4. Lembaga yudikatif dan aparat penegak hukum
5. Komisi-komisi negara terkait (KPAI, KPI, Komnas HAM, dsb.)
6. Masyarakat yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM),
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik,
organisasi internasional, sektor swasta, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, organisasi profesi, partai politik, orangtua dan lain-lain dalam
kaitan implementasi Konvensi Hak Anak dan penerapan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7. Anak Indonesia

II. 4. Prinsip umum


Tanpa pembedaan (non discrimination), artinya semua hak yang diakui
dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip
universalitas HAM. Pesan yang ingin disampaikan adalah tentang
persamaan hak. Anak wanita diberikan kesempatan yang sama seperti
anak laki-laki. Anak-anak pengungsi, anak pribumi atau kelompok
minoritas harus mempunyai hak yang sama dengan yang lainnya. anak
cacat harus diberikan kesempatan yang sama untuk menempuh hidup
yang layak seperti yang lainnya

Yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), artinya bahwa
dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik
bagi anak haruslah menjadi pertimbangan utama. Kapanpun keputusan
resmi yang mempengaruhi anak diambil, kepentingan mereka harus

17
merupakan suatu hal yang penting. Kepentingan orang tua atau
pemerintah bukan pertimbangan segalanya.

Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (life survival and


development), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap
anak harus diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan
perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip
indivisibility HAM. Prinsip ini tidak hanya berisi hak agar anak terhindar
dari kematian, tetapi juga hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang.
Kata Tumbuh Kembang berhubungan dengan anak dan harus diartikan
secara luas tidak hanya menyangkut kesehatan fisik, tetapi juga
perkembangan mental, emosional, kognitif, sosial dan budaya

Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child),
maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap peng-
ambilan keputusan. Prinsip ini menjelaskan bahwa anak berhak untuk
menyatakan pendapat, dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya
itu, dalam segala hal atau prosedur yang menyangkut diri anak.

II. 5. Strategi
Membangun pengarusutamaan anak dengan memasukkan isu hak sipil dan
kebebasan anak ke dalam kebijakan dan program seluruh pemangku
kepentingan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi;
Memberdayakan seluruh pemangku kepentingan termasuk kelompok anak
dan keluarganya dalam meningkatkan pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak;
Merumuskan kerangka kerja kebijakan pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak dalam tiap tahapan pembangunan dan tingkatan administrasi
pemerintahan;
Membangun sistem informasi dan pendataan di bidang pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak sebagai dasar analisis kebijakan;

II. 6. Indikator
Adanya pengarusutamaan anak khususnya isu hak sipil dan kebebasan anak
ke dalam kebijakan, anggaran dan program pada setiap sektor
Adanya pemberdayaan terhadap seluruh pemangku kepentingan, termasuk
kelompok anak dan keluarganya dalam meningkatkan pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak;
Adanya kerangka kerja kebijakan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
dalam tiap tahapan pembangunan dan tingkatan administrasi pemerintahan
Adanya data dan informasi di bidang pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak

18
BAB III
SITUASI PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
ANAK DI INDONESIA

Dasar pemikiran dan signifikansi perlunya pemenuhan hak sipil dan


kebebasan anak di Indonesia sudah memiliki kejelasan. Landasan hukum yang
dipergunakan juga sudah cukup lengkap, demikian pula arah kebijakan yang
dikembangkan sudah cukup komprehensif. Kesemuanya itu diharapkan akan
lebih memudahkan dalam penyusunan program-program di bidang pemenuhan
hak dan kebebasan sipil. Namun demikian, agar program-program yang disusun
bisa lebih tepat dan berbasiskan pada permasalahan dan kebutuhan di lapangan
maka dipandang perlu untuk melihat situasi pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak yang ada di masyarakat.
Analisis situasi terhadap pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
Indonesia secara komprehensif untuk saat ini sebetulnya masih relatif sulit untuk
dilakukan, karena terbatasnya data dan informasi yang tersedia, baik yang
berupa laporan maupun hasil-hasil kajian. Yang dilakukan dalam hal ini lebih
pada penyebutan kembali pasal-pasal terkait dalam UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, maupun peraturan atau produk hukum lain yang terkait, yang
diikuti dengan penggambaran secara umum tentang situasi pemenuhan hak sipil
dan kebebasan bagi anak Indonesia, dengan menggunakan data-data yang bisa
diperoleh maupun hasil pengamatan secara umum. Kutipan selengkapnya bunyi
pasal-pasal terkait terdapat dalam Lampiran.

III. 1. Nama dan Kewarganegaraan


Hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak dasar yang
melekat pada setiap anak yang wajib diberikan negara. Identitas anak diberikan
segera setelah anak itu lahir secara gratis. Negara wajib memberikan identitas
anak karena negara memberikan bukti hukum bahwa seseorang itu ada dan
untuk mengenalinya diperlukan nama. Sementara kewarganegaraan merupakan
alat bukti hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan terkait
dengan status, perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang bersangkutan.
Hak ini dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
pasal 5, 27 dan 28; UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan pada
pasal 27 serta UU No. 12 / 2006 tentang Kewarganegaraan pasal 5.
Permasalahan yang masih muncul adalah masih adanya sejumlah
pemerintah daerah yang memasukkan biaya pengurusan akte kelahiran sebagai
pendapatan asli daerah (PAD). Kebijakan ini memiliki dasar hukum yang kuat
karena masih disebutkan dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. Masalah di tingkat pemda ini memerlukan solusi yang
komprehensif. Seperti diketahui hingga akhir tahun 2006 dari sejumlah 480

19
kabupaten dan kota di Indonesia baru tercatat 68 kabupaten dan kota yang
membebaskan akta kelahiran (Sumber : KPAI, 2007). Dari sejumlah 68 daerah
tersebut ternyata juga ditemui masalah koordinasi antar instansi terkait dalam
proses penerapan kebijakan tersebut, di mana meskipun akte kelahiran sudah
ditetapkan gratis namun tidak bisa segera dicatatkan dalam buku registrasi
penduduk karena tidak ada alokasi anggaran untuk pencatatan tersebut.
Dampaknya adalah data kependudukan yang berasal dari akte kelahiran
tersebut belum bisa dimasukkan sebagai data dasar bagi perencanaan
pembangunan daerah.
Atas berbagai masalah tersebut sudah dilaksanakan dan mulai
direalisasikan upaya untuk memberikan stimulan kepada pemerintah
kabupaten/kota selaku penyelenggara pencatatan kelahiran, dan disetujui secara
bertahap sejak 2006 hingga 2011. Melalui upaya ini diharapkan pemerintah
kabupaten/kota menghapuskan ketentuan retribusi bagi pembuatan akte
kelahiran di daerahnya.
Pembebasan biaya bagi pembuatan akte kelahiran sebetulnya sudah
diatur dalam Permendagri No. 28 Tahun 2005, yang berbunyi :
Pembebasan biaya bagi pembuatan akte kelahiran diberikan bagi kelahiran
yang pelaporannya tidak melebihi 60 hari sejak kelahiran.
Pembebasan biaya pembuatan akte kelahiran ini sangat penting dan bukan
merupakan beban bagi pemerintah tetapi menjadi suatu kebutuhan. Hal ini
mengingat pembebasan biaya tersebut selain menjadi bukti pemenuhan hak
anak oleh negara juga akan mempercepat proses pencatatan kelahiran
penduduk, sehingga juga akan mempercepat tersedianya data jumlah penduduk
yang akurat yang diperlukan bagi perencanaan pembangunan nasional dan
daerah. Sedangkan pembatasan waktu 60 hari harus dipahami sebagai sebuah
sistem yang merupakan upaya untuk mengoptimalkan fungsi pencatatan
kelahiran. Pembatasan tersebut bukan untuk memberatkan warga negara,
namun untuk mendorong mereka agar segera mengurus kepemilikan akte
kelahiran anaknya, baik anak yang baru lahir maupun anak belum sempat diurus
kepemilikan akte kelahirannya. Dengan disegerakannya pengurusan akte
kelahiran tersebut, penduduk akan makin cepat terlindungi hak-haknya dan
pemerintah makin cepat memperoleh data statistik vital. Tertib sosial yang
menyangkut kejelasan identitas setiap warga masyarakat pun bisa lebih mudah
terwujud.
Permasalahan lain yang tidak bisa segera diatasi adalah keterbatasan
anggaran pemerintah dalam mempermudah akses pelayanan akte kelahiran, di
mana di banyak daerah pelayanan kantor catatan sipil hanya dibuka di kota
kabupaten, dan belum sampai pada tingkat kecamatan atau kelurahan. Kondisi
semacam ini lebih terasa terutama di daerah-daerah pelosok yang belum
memiliki pelayanan transportasi yang memadai, sehingga lokasi kantor catatan
sipil yang jauh dari tempat tinggal dan biaya transportasi yang mahal
menghambat penduduk untuk mengurus akte kelahiran anaknya. Terlebih ketika
pengurusan akte tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu hari,
sehingga penduduk harus mendatangi kantor catatan sipil beberapa kali. Hal ini
membawa konsekuensi pada biaya transportasi dan hari kerja yang tersita.

20
Dari paparan di muka sebenarnya terlihat bahwa landasan yuridis bagi
pemenuhan hak atas nama, kewarganegaraan dan hak untuk mempertahankan
identitas sudah sangat kuat dan petunjuknya juga sangat jelas. Namun hal
tersebut tetap membutuhkan peraturan-peraturan yang lain yang bisa
mendukung maupun yang lebih bersifat operasional serta peningkatan sarana
dan prasarana kelembagaan yang bisa memperluas jangkauan pelayanan
pengurusan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan.
Dalam aspek identitas anak dalam bentuk nama, kewarganegaraan yang
tertuang dalam akta kelahiran di Indonesia, telah terdapat beberapa
perkembangan positif. Sebagai contoh, pada tahun 2006 telah dikeluarkan
undang-undang baru, yakni UU No. 12/ 2006 tentang Kewarganegaraan yang
menghapus UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan. UU No. 12/2006
tersebut membawa angin segar bagi anak yang lahir dari rahim ibu warga negara
Indonesia (WNI) tetapi bersuamikan warga negara asing (WNA), karena bisa
memiliki kewarganegaraan ganda, baik menjadi WNI maupun WNA. Dalam UU
yang lama, untuk kasus yang sama kewarganegaraan anak akan mengikuti
kewarganeraan dari pihak ayahnya atau WNA.
Perkembangan positif lainnya adalah dalam kaitan penyelerasan
pencatatan kelahiran. Agar sesuai dengan prinsip hak anak terutama non
diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak, telah ada upaya dari DPR
berupa review dan amandemen terhadap perundangan lain seperti UU
No.9/1992 tentang Keimigrasian.
Perkembangan positif lainnya adalah dalam rangka implementasi dari UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah juga telah membuat
kebijakan di tingkat nasional untuk menggratiskan biaya pengurusan akte
kelahiran. Kampanye mengenai hal tersebut juga sangat gencar dilakukan di
media televisi, yang melibatkan presiden dan ibu negara serta menteri dalam
negeri. Ibu Negara sendiri dalam kampanye ini ditetapkan sebagai Duta
Pencatatan Kelahiran oleh Unicef. Berbagai upaya yang dilakukan tersebut
diharapkan akan semakin memperjelas posisi anak dalam kaitan pencatatan
kelahiran dan akan meningkatkan secara signifikan angka cakupan kepemilikan
akta kelahiran, yang menurut survei terakhir baru mencapai angka sekitar 40%.
Prinsip universal, permanen, dan kontinyu sudah diaplikasikan di
Indonesia secara utuh. Namun prinsip wajib dikenakan kepada 2 (dua) pihak,
yakni pemerintah yang wajib menyediakan sistem pencatatan kelahiran, dan
penduduk yang wajib melaporkan peristiwa penting kelahiran. Jadi kewajiban
dikenakan pada kedua belah pihak.

III. 2. Hak Mempertahankan Identitas


Hak ini terdapat dalam pasal 40 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan
Anak; UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan serta UU No.
21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(UUPTPPO). Situasi tentang permasalahan pemenuhan hak anak untuk
mempertahankan identitas belum bisa dideskripsikan secara komprehensif
mengingat keterbatasan data yang tersedia. Namun perhatian terhadap

21
permasalahan ini menjadi semakin urgen jika mengingat beberapa
perkembangan terakhir sebagai berikut :
1. Adanya perubahan sosial yang begitu cepat yang menyebabkan
meningkatnya urbanisasi dan migrasi, yang sering memunculkan tindak
pidana pemalsuan identitas seseorang untuk berbagai tujuan, termasuk
tindak pidana perdagangan orang. Pemalsuan identitas dilakukan baik
dengan menaikkan usia anak dari usia yang sebenarnya maupun dengan
merubah nama anak untuk tujuan mempermudah dalam memperoleh
paspor untuk keperluan mendapatkan pekerjaan
2. Meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam dan sosial, termasuk
kerusuhan yang membawa resiko hilangnya tanda bukti identitas
seseorang sehingga rawan untuk terjadinya pemalsuan identitas
3. Masih ditemukannya praktek kebijakan negara yang diskriminatif seperti
yang terdapat dalam kasus perkawinan campuran atau perkawinan adat
yang tidak diakui negara, sehingga identitas anak hasil perkawinan
tersebut juga belum bisa diakui secara tuntas.

Perkembangan positif yang terjadi adalah telah disahkannya RUU


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) ke dalam UU No.
21/2007 tentang PTPPO, yang salah satu pasalnya memberikan sanksi pidana
yang cukup berat bagi pelaku pemberi keterangan palsu dalam dokumen negara
untuk tujuan perdagangan orang, di mana anak sering menjadi korbannya.
Selain itu perkembangan positif yang terdapat dalam UU Administrasi
Kependudukan adalah telah disinggungnya persyaratan dan tata cara
pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak, dan pengesahan anak.

III. 3. Kebebasan Menyatakan Pendapat


Hak ini tercantum dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
pasal 10 dan 56, serta dalam UUD 1945 pasal 28E dan Perpres No. 7/2005
(Lihat Lampiran 1). Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 disebutkan bahwa :
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Pasal tersebut berlaku secara umum, termasuk di dalamnya adalah kelompok
anak. Namun demikian, sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1992 tentang
Kependudukan, prinsip dasar berekspresi dan berorganisasi pada anak juga
perlu didekati dari 4 matra, yakni anak sebagai pribadi/personal, anak sebagai
penduduk, anak sebagai warga negara dan anak sebagai bagian dari komunitas
masyarakat. Dengan empat matra tersebut, kebebasan berekspresi dan
berorganisasi pada anak dapat diposisikan secara tepat dan tidak tanpa batas.
Dalam implementasinya di lapangan, melihat upaya-upaya yang dilakukan
oleh berbagai pihak, seperti pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dan media massa sejak era reformasi bergulir, terdapat perkembangan
positif dalam pemajuan hak-hak anak secara umum dan khususnya hak
partisipasi anak yang memberi peluang bagi anak untuk berekspresi dan

22
berorganisasi. Namun skalanya masih sangat terbatas dan implementasi lebih
lanjut masih menemui banyak kendala.
Dalam konteks menyatakan pendapat sebagai bentuk partisipasi anak
dalam pembangunan, pemerintah Indonesia, badan-badan PBB, LSM lokal dan
internasional telah bekerja secara sendiri-sendiri maupun bersama dalam upaya
pemajuan hak partisipasi bagi anak. Mereka telah berupaya menghadirkan
sarana bagi anak-anak untuk menyampaikan pendapat mereka kepada
pemerintah sebagai pengemban tugas (duty bearer). Beberapa contoh di
antaranya adalah Kongres Anak, Pemimpin Muda Indonesia, serta kelompok-
kelompok anak lain yang menjadi dampingan beberapa LSM. Semua forum
tersebut memfasilitasi anak untuk berdiskusi tentang masalah anak dan
menyampaikan hasilnya kepada pengemban tugas Pemerintah dan DPR.
Tidak seperti pada tingkat nasional, sarana di mana anak dapat menyalurkan
suaranya belum terbentuk di kebanyakan daerah.
Dalam ruang lingkup lebih kecil, seperti di lingkungan tempat tinggal,
sekolah dan keluarga, kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat
dan kebebasan berorganisasi masih sangat beragam. Namun demikian, budaya
paternalistik masih cukup dominan di dalam masyarakat, di mana paradigma
yang bersifat adult oriented membatasi hak anak untuk menyampaikan
pandangannya, sehingga budaya yang tumbuh adalah anak harus
mendengarkan dan menuruti apa kata orang dewasa dan pendapat anak
dianggap tidak begitu penting. Contoh yang mudah ditemui adalah ketika
orangtua menentukan pilihan sekolah anak atau jenis kursus yang harus diikuti
anak yang lebih didasarkan pada keinginan orangtua.
Kebanyakan sekolah hanya memfasilitasi keberadaan OSIS. Di sekolah,
OSIS sebagai organisasi siswa masih banyak yang belum aktif. Keberadaan
OSIS juga banyak yang masih cenderung berfungsi sebagai wadah aktivitas
siswa dan belum berperan efektif sebagai penyalur aspirasi siswa atau belum
secara optimal dalam memberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
Banyak kegiatan anak tersebut yangh sifatnya merupakan kewajiban dalam
sekolah, dan programnya ditentukan dari pihak sekolah atau para guru yang
notabenenya orang dewasa. Kenyataan lapangan lain anak belum mengetahui
dan memahami hak partisipasi mereka. Meskipun demikian, upaya-upaya baru
yang didasarkan pada penghargaan terhadap hak anak sudah mulai banyak
dilakukan, seperti perintisan atau uji coba program Sekolah Ramah Anak, Lomba
Penulisan Esai tentang Hak Anak, Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, di
mana para pemenangnya mempunyai tanggungjawab dalam mensosialisasikan
hak anak.
Kebijakan lain yang lebih implementatif juga sudah dibuat oleh
pemerintah, yakni dalam bentuk Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Dalam kebijakan tersebut, khususnya pada lampiran Perpres Bab 12 tentang
Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak. Pada Program Peningkatan Kesejahteraan dan
Perlindungan, salah satu kegiatan pokoknya adalah :

23
Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat
dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses
pembangunan.

Kendala yang muncul adalah implementasi lebih lanjut di tingkat daerah,


karena adanya otonomi daerah menyebabkan banyak kebijakan yang sudah
ditetapkan di tingkat pusat tidak bisa segera diterapkan di daerah, bahkan bisa
memperoleh penolakan di daerah. Begitu juga perhatian pemerintah daerah
terhadap masalah anak di berbagai daerah tidak sebesar pemerintah pusat, dan
perhatian tersebut sangat tergantung pada desakan dari para pemangku
kepentingan lain di daerah.

III. 4. Kebebasan Berpikir, Berkesadaran dan Beragama


Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang terkait dengan kebebasan
berpikirm berkesadaran dan beragama adalah pasal 6, 42, 43, 56 dan 86.
Sedangkan dalam UU Adminduk terlihat dalam pasal 105. Gambaran tentang
situasi implementasi di lapangan dalam hal kebebasan berpikir,
berkesadaran/berhati nurani dan beragama masih jauh dari harapan.
Permasalahan tentang hak-hak tersebut belum menjadi isu publik dan masih
terbatas pada wacana dan walaupun secara normatif hak-hak tersebut benar-
benar dijamin oleh negara.
Permasalahan lain yang terjadi adalah ketika negara atau masyarakat
tidak memfasilitasi pemenuhan hak beragama warganya, padahal pasal 28E
UUD 1945 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadah menurut agamanya dan dalam UU Sisdiknas juga telah
disebutkan hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang
dianut. Sebagai akibatnya dalam bidang pendidikan di mana anak tidak bisa
mendapatkan pendidikan sesuai dengan agama/kepercayaannya itu. Hal ini
terjadi ketika negara atau pemerintah serta lembaga pendidikan atau sekolah
belum mampu menyediakan guru agama yang sesuai dengan agama siswa yang
menjadi minoritas di suatu sekolah atau ketika sekolah yang berlatarbelakang
agama tertentu tidak menyediakan guru agama bagi siswa yang memiliki agama
berbeda dengan latar belakang keagamaan dari sekolah tersebut.

III. 5. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai


Pasal-pasal yang terkait dengan masalah kebebasan berserikat dan
berkumpul secara damai terlihat pada UUD 1945 pasal 28 E (3), UU
Perlindungan pasal 56, serta Perpres No. 7/2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Meskipun disebutkan
dalam UU Perlindungan Anak, namun dalam kenyataannya belum ada kebijakan
yang tertuang dalam peraturan-peraturan yang memfasilitasi pelaksanaannya.
Implementasi hak ini dalam kenyataannya tak bisa dilepaskan dari hak anak
untuk menyatakan pendapatnya, yang situasinya sudah banyak disinggung
sebelumnya.

24
Untuk hak ini, situasi di lapangan sendiri menunjukkan bahwa sejak lama
sudah terdapat berbagai organisasi yang beranggotakan anak-anak, meskipun
tidak menggunakan batasan usia anak seperti yang terdapat dalam UU
Perlindungan Anak. Beberapa contoh di antaranya adalah Ikatan Remaja
Muhammadiyah, Ikatan Pelajar NU, meskipun keduanya berada dalam payung
organisasi induknya yang lebih besar sudah mulai dirintis berdirinya forum-forum
anak. Sedangkan organisasi anak yang baru berdiri, seperti Forum Anak, Dewan
Anak atau nama yang lainnya sudah mulai banyak dirintis di beberapa daerah,
baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Mereka beranggotakan anak
dengan batasan usia di bawah 18 tahun dan berfungsi sebagai wadah
perwakilan anak dan penyalur aspirasi anak. Beberapa mereka sudah diakui
keberadaannya oleh pemerintah daerah setempat dan memiliki akses untuk
menyampaikan aspirasi mereka kepada gubernur. Yang masih perlu menjadi
perhatian adalah masih banyaknya OSIS yang tidak aktif, padahal potensi
manfaatnya sangat besar bagi pembentukan kepribadian dan kepemimpinan
anak di masa depan.

III. 6. Perlindungan Kehidupan Pribadi (Privasi)


Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang mendekati adalah pasal 64
ayat 3 (b). Dalam kenyataan di lapangan, kehidupan pribadi (privasi) anak tidak
pernah menjadi isu publik, sehingga sulit digali data atau informasi mengenai hal
itu. Kecuali jika gangguan atau serangan terhadap kehidupan pribadi anak
disamakan dengan kekerasan terhadap anak, maka masalah ini sudah menjadi
isu publik dan banyak data dan informasi mengenai hal itu.
Secara kultural, kehidupan pribadi anak bukan menjadi suatu norma atau
nilai di masyarakat. Oleh karenanya yang sering terjadi adalah campur tangan
orang dewasa dalam urusan anak dan sudah merupakan hal yang umum.
Dengan alasan untuk mencegah anak dari mengkonsumsi barang-barang
terlarang, seperti buku dan gambar atau narkoba, orangtua tanpa memberitahu
anak menggeledah tas atau telpon genggam anaknya, membaca surat anaknya.
Hal tersebut juga dilakukan oleh pihak sekolah yang bekerjasama dengan
kepolisian. Di berbagai daerah budaya untuk campur tangan dan mengekang
anak masih terus dijadikan alasan untuk mendisiplinkan anak dan mendidik
anak-anak tidak menjadi malas. Menurut pandangan mereka, anak-anak tidak
perlu dikasihani dan diberi kelonggaran.
Yang sering menjadi masalah adalah kasus-kasus yang melanda para
figur publik atau kaum selebritis yang sedang tersangkut suatu masalah, namun
anaknya ikut diekspose oleh media, sehingga anak dari para selebritis tersebut
menjadi terganggu privasinya. Begitu juga dengan kalangan artis anak yang
karena tuntutan profesinya, harus sering tampil di depan publik sehingga
kehidupan pribadinya pun ikut terganggu, karena apa pun yang dilakukan
menjadi sorotan kalangan media massa. Contoh lainnya adalah anak-anak dari
lapisan masyarakat bawah, yang dieksploitasi orangtuanya menjadi anak jalanan
atau pekerja anak, kehidupan pribadinya pun dikorbankan karena menuruti
paksaan orangtua.

25
III. 7. Akses Kepada Informasi Yang Layak
Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang terkait dengan masalah akses
informasi yang layak bagi anak adalah pasal 10. Terdapat dua pengertian dalam
perolehan informasi pada anak, yakni hak anak untuk memperoleh informasi
yang memadai dan hak anak untuk bebas dari dampak negatif yang ditimbulkan
dari perolehan informasi tersebut. Dalam pengertian yang pertama, seiring
dengan era globalisasi yang juga melanda Indonesia, anak-anak juga semakin
mudah mengakses informasi baik melalui media cetak maupun elektronik.
Perkembangan dunia pers Indonesia yang makin terbuka juga diikuti oleh
semakin banyaknya anak-anak yang aktif dalam kegiatan jurnalistik, baik di
lingkungan sekolah melalui majalah dinding, di lingkungan komunitas melalui
radio komunitas, atau terlibat dalam rubrik/lembar atau program khusus untuk
anak di media cetak dan elektronik.
Dalam pengertian yang kedua, perkembangan teknologi informasi melalui
internet yang menyediakan segala informasi serta hiburan secara terbuka, selain
sangat bermanfaat bagi anak dalam menambah ilmu pengetahuan, sebaliknya
juga bisa menjadi ancaman bagi anak. Situs-situs hiburan di internet yang
diperuntukkan bagi orang dewasa secara mudah juga bisa diakses oleh anak-
anak, sehingga bisa mengganggu aspek moralitas anak. Hal ini juga didukung
oleh tumbuhnya usaha warung internet (warnet) yang menjamur, terutama di
daerah perkotaan. Dalam konteks inilah maka hak anak untuk terbebas dari
dampak negatif keterbukaan informasi perlu dipertanyakan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kalangan pengusaha warnet untuk
membatasi akses tontonan orang dewasa pada kelompok anak-anak masih
sangat terbatas jumlahnya dan belum diatur secara ketat dalam bentuk kode etik
yang disepakati dan ditatai secara bersama. Upaya lain yang dilakukan oleh
sebagian kalangan LSM di bidang anak untuk menghindarkan anak dari bahaya
media adalah dengan memberikan pendidikan melek media (media literacy), di
mana anak-anak diajak berpikir kritis terhadap media, dan mandiri dalam memilih
media yang akan dikonsumsinya secara bertanggung jawab, sehingga orangtua
dan guru tidak menjadi khawatir. Namun upaya tersebut jangkauannya masih
sangat terbatas. Upaya di tingkat masyarakat lain yang banyak dilakukan adalah
mendirikan perpustakaan yang berbasis komunitas dan perpustakaan keliling
seperti yang dilakukan oleh YKAI, Yayasan Murti Bunanta, Solidaritas Isteri
Kabinet Republik Indonesia Bersatu bersama Universitas Negeri Jakarta, dan
banyak lembaga lainnya.
Upaya yang dilakukan pemerintah sendiri dalam masalah ini masih
bersifat umum, yakni ditujukan kepada masyarakat secara umum. Di tingkat
kebijakan, beberapa kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah, secara
kelembagaan telah membentuk beberapa lembaga seperti Badan Sensor Film
(BSF), Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan dalam
kebijakan pemerintah bersama DPR juga tengah menggodok RUU Anti
Pornografi dan Pornoaksi. Selain itu upaya-upaya yang dilakukan di tingkat
lapangan sendiri adalah berupa razia terhadap barang-barang cetakan dan VCD

26
yang mengandung unsur pornografi. Upaya lainnya yang bersifat membuka
akses informasi kepada masyarakat yang juga bisa dimanfaatkan oleh anak-
anak adalah yang dilakukan oleh Depdiknas dengan memfasililtasi masyarakat
dalam pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) mulai 2007 ini. Sementara itu
mengoperasikan perpustakaan apung yang beroperasi di daerah-daerah
terpencil yang tidak bisa dijangkau oleh transportasi darat.

III. 8. Perlindungan dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam,


tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Dalam UU Perlindungan Anak pasal-pasal yang terkait dengan hak
tersebut adalah pasal 4, 13, 16-18, 56 dan pasal 80. Di Indonesia permasalahan
hukuman yang tidak manusiawi terhadap anak-anak masih banyak terjadi.
Dalam permasalahan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, perlakuan
yang diberikan terhadap anak-anak tersebut masih banyak yang melanggar
peraturan yang telah dibuat serta Konvensi Hak Anak. Dalam memperkarakan
anak baik sebagai pelaku ataupun korban, walaupun sudah diakui dalam UU
2/2002 tentang Kepolisian, terkadang anak-anak masih diperlakukan oleh para
penegak hukum sebagai orang dewasa dan dikenai hukuman layaknya orang
dewasa. Sehingga penerapan diskresi dan diversi pada anak-anak masih amat
kurang dalam kasus-kasus yang melibatkan mereka.
Dalam proses selanjutnya, ketika anak sudah masuk dalam tahap
menjalani hukuman penjara, fasilitas dan perlakuan yang diberikan masih jauh
dari memadai. Jumlah lembaga pemasyarakatan (Lapas) anak yang hanya 26
buah di 17 propinsi tidak dapat mengimbangi jumlah kasus anak yang
berhadapan dengan hukum yang mencapai 160.000 anak setiap tahunnya.
Lapas hanya mampu menampung 4.000 anak setiap tahunnya. Hal ini tentunya
akan semakin memperbesar resiko terjadinya penghukuman yang tidak
manusiawi pada anak-anak Indonesia. Kondisi Lapas Anak sendiri juga terkesan
tidak ramah anak.
Dalam masyarakat juga masih banyak terjadi suatu bentuk hukuman lain
yang seharusnya tidak diterima anak tetapi akhirnya anak merasa menjalani
hukumannya juga secara sosial. Hal ini banyak dialami oleh anak dari para
pelaku tindak kriminal. Mereka harus menerima cemoohan atau pengucilan dari
lingkungan sosialnya akibat perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanya. Di
lingkungan sekolah juga terdapat penghukuman yang dinamakan corporal
punishment atau sanksi sepihak oleh lembaga sekolah atau guru-guru kepada
para siswanya dalam rangka pendisiplinan anak, yang masih sering terjadi.
Budaya ini masih terjadi hampir di semua wilayah, dan hal itu terbukti dari
penelitian Unicef (2007) di beberapa daerah. Di Jawa Tengah, 80% dari guru
yang diteliti mengaku pernah menghukum murid-muridnya dengan berteriak di
depan kelas. Sebanyak 55% guru mengaku pernah menyuruh murid mereka
berdiri di depan kelas. Sedangkan di Sulawesi Selatan, 90% guru mengaku
pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73% pernah berteriak kepada
murid, dan 54% pernah menyuruh murid untuk membersihkan toilet. Sementara

27
di Sumatera Utara, datanya menunjukkan 90% guru pernah menyuruh murid
berdiri di depan kelas, sedangkan80% guru pernah berteriak pada muridnya.
Selain itu juga akhir-akhir ini mulai diangkat masalah bullying atau tindak
kekerasan secara fisik maupun psikis yang dilakukan berdasarkan relasi kuasa
yang juga banyak terjadi di lingkungan sekolah. Di keluarga sendiri model
hukuman yang tidak manusiawi kadangkala masih sering terjadi dan dianggap
sebagai salah satu ritual dalam tumbuh kembang anak dalam kaitan proses
ritualnya.

28
BAB IV
PROGRAM PEMENUHAN HAK SIPIL
DAN KEBEBASAN ANAK

Program-program yang disusun dalam rangka pemenuhan hak sipil dan


kebebasan anak di Indonesia ini didasarkan pada dasar pemikiran akan arti
penting hak sipil dan kebebasan anak beserta landasan-landasan hukumnya
yang menjadi acuan dalam menyusun arah kebijakan. Namun untuk lebih
menyesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan di lapangan, maka
program yang disusun berikut ini juga akan menjadikan hasil analisis situasi
pemenuhan hak dan kebebasan sipil seperti yang diuraikan dalam bab III
sebagai masukan dan pertimbangan utama.
Program-program berikut diharapkan bisa menjadi rujukan bagi instansi
terkait, baik di tingkat pusat maupun di daerah, organisasi sosial, organisasi
massa, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, media massa dan dunia
usaha serta lembaga internasional. Program terbagi ke dalam 7 kelompok
program utama, yakni sebagai berikut :
1. Studi dan Penelitian
2. Advokasi Kebijakan
3. Peningkatan Sumberdaya Kelembagaan Pemerintah
4. Pengembangan Akses Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan Anak
5. Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat
6. Pengembangan Partisipasi Anak
7. Pengembangan Mekanisme Koordinasi Antar Pihak

Penyusunan program disajikan dalam bentuk tabel yang memuat masalah


(situasi saat ini), kegiatan, indikator output dan outcomes, pelaku, dan tingkat
implementasi program (pusat atau daerah) berikut. Pedoman ini berlaku untuk
periode 2007 2015.

Studi dan Penelitian

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)
Informasi Pemetaan Laporan Dijadikannya KPP (leading Nasional
tentang penelitian HSDKA Pemetaan laporan sektor) Propinsi
masalah yang sudah ada pemetaan Depdagri Kabupa-
pelaksanaan Melakukan Laporan dan peneli- Dephukham ten/ kota
hak sipil penelitian HSDKA Penelitian tian sebagai Depbudpar
masih kurang yang baru data dasar Depkominfo
Database hak Melakukan Diseminasi penyusunan Perg. Tinggi
sipil setiap diseminasi hasil informasi kebijakan LSM
departemen penelitian melalui Tersusunnya dan program KPAI

29
belum seminar dan indikator- Dicatatnya BPS
berhubungan Workshop indikator laporan Pusat Studi
satu sama lain Memasukkan data HSDKA dalam KDT Wanita di
kedalam website (Katalog Propinsi
Pe Dalam Pemprop
ngembangan Terbitan) Pemkab/
database Dimuatnya Pemkot
interdep laporan KPAID
Ca dalam Web-
pacity building site Anak
penyusunan Dijadikannya
database dengan indikator
menggunakan HSDKA
indicator yang sebagai
standar untuk indikator
sektor dan pemba-
stakeholders ngunan

Advokasi Kebijakan

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)
Harmonisasi Me Teridentifikasi- Terinformasi KPP (leading Nasional
antara UU review seluruh nya kannya hasil sektor) Propinsi
dengan kebijakan yang kebijakan- review ke Depdagri Kabupa-
PERDA yang berkaitan dengan kebijakan para Dephukham ten/ kota
berkaitan HSDKA yang berten- pembuat Depbudpar
dengan Me tangan kebijakan Depkominfo
HSDKA masukkan prinsip dengan Tersusunnya Perg. Tinggi
Masih belum KHA dalam semua HSDKA peraturan LSM
standarnya kebijakan yang Dijadikannya pelaksana KPAI
definisi anak berkaitan dengan prinsip KHA yang PSW
perlindungan anak sebagai responsif Pemprop
Mel bagian prinsip terhadap Pemkab/
akukan advo-kasi kebijakan KHA Pemkot
harmonisasi KPAID
perundang-
undangan
Me
njadikan definisi
anak dalam
KHA/UU
Perlindungan Anak
sebagai definisi
standar
Minimnya Mel Dipahaminya Diimplemen- KPP Nasional
program parpol akukan advokasi isu HSDKA tasikannya Depkominfo Propinsi
yang memper- HSDKA kepada oleh parpol program Depdiknas Kabupa-
hatikan anak papol dan dan parlemen HSDKA oleh Depbudpar ten/ kota
parlemen Dijadikannya parpol dan Depsos
Me HSDKA dalam parlemen KPAI
masukkan agenda LSM
Program HSDKA program KPU
ke dalam program parpol dan MUI
parpol dan parlemen
parlemen

30
Peningkatan Sumberdaya Kelembagaan Pemerintah

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)
Masih Mengadakan Laporan hasil Meningkat- KPP (leading Nasional
kurangnya sosialisasi dan sosialisasi nya pema- sektor) Propinsi
pemahaman advokasi bagi para dan advokasi haman Depdagri Kabupa-ten/
pengambil pengambil kebijakan HSDKA di Dephukham kota
kebijakan tentang HSDKA kalangan Depbudpar
mengenai pengambil Depkominfo
HSDKA kebijakan Perg. Tinggi
Minimnya Mengalokasikan Dialokasikan- Direalisasi- LSM
pengalokasi- anggaran khusus nya anggaran kannya KPAI
an anggaran bagi perlindungan khusus bagi anggaran PSW
pelaksanaan anak, baik di APBN perlindungan khusus per- Pemprop
perlindungan maupun APBD, mis: anak lindungan Pemkab/
anak alokasi penanganan anak Pemkot
kasus anak KPAID
Masih terbatas- Mengadakan Laporan hasil Meningkat- KPP Nasional
pemahaman pelatihan bagi pelatihan nya pema- MA Propinsi
tentang HSDKA penegak hukum haman ttg. Kepolisian Kabupa-
di kalangan tentang HSDKA HSDKA di Kejaksaan ten/ kota
aparat penegak kalangan Pemprop
hukum maupun penegak Pemkab/
aparat hukum Pemkot
pencatatan sipil KPAID
Mengadakan Adanya laporan Menin Pemprop Nasional
pelatihan tentang hasil pelatihan gkat-nya Pemkab/ Propinsi
HSDKA bagi kapasi-tas Pemkot Kabupa-
petugas pencatatan kelem- KPAID ten/ kota
sipil di daerah bagaan
Catatan Sipil
di daerah
Belum adanya Sosialisasi manfaat Dipahaminya Diterapkan- KPP Nasional
mekanisme penyederhanaan manfaat nya meka- Depdagri Propinsi
yang sederhana mekanisme penca- penyederha- nisme yang Pemprop Kabupa-
dalam proses tatan kelahiran bagi naan meka- sederhana Pemkab/ ten/ kota
pencatatan perencaan pemba- nisme penca- dalam Pemkot
kelahiran ngunan daerah dan tatan kelahiran pencatatan KPAID
nasional anak oleh kelahiran di Konsorsium
pemda daerah Catatan Sipil

Belum Mengembangkan Tersusunnya Terpenuhi- KPP Nasional


terpenuhinya dan mensosiali- konsep Lapas nya hak -hak Depsos Propinsi
hak-hak anak di sasikan konsep Ramah Anak anak yang Dephukham Kabupa-
LAPAS Anak Lapas Ramah Anak Tersosialisasi- berada Lapas Anak ten/ kota
(LRA) kannya konsep dalam Lapas LSM
Lapas Ramah serta terim-
Anak kepada plementasi-
pejabat dan kannya
petugas Lapas konsep LRA
Anak

31
Pengembangan Akses Pemenuhan HSDKA

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)
Sarana publik Pengembangan Tersedianya Akses KPP Nasional
untuk akses informasi informasi infomasi PGRI Propinsi
mengakses (mis: visual/ elek- HSDKA di HSDKA Departemen Kabupa-
informasi tronik) dengan sarana publik tersebar luas DpBudPar ten/ kota
masih departemen / Depsos
terbatas lembaga terkait. Depkominfo
Diintegrasi- Depdiknas
Memasukkan materi Masuknya kannya KPAI
HSDKA ke dalam materi materi Depdagri
kurikulum HSDKA dalam HSDKA ke KPAID
pendidikan kuriku-lum dalam mata
pendidikan pelajaran
terkait

Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)
Minimnya Mengembangkan Tersusunnya Dima KPP Nasional
pemahaman Materi Komunikasi, materi dan nfaat- Depdagri Propinsi
dan Informasi dan strategi KIE kannya Dephukham Kabupa-
kesadaran Edukasi (KIE) Laporan Hasil materi KIE Depbudpar ten/ kota
masyarakat tentang HSDKA Sosialisasi dan Depkominfo
tentang diterapkan- MUI
HSDKA Melakukan nya strategi LSM
Sosialisasi HSDKA KIE Media Massa
Dipahami- Biro Iklan
nya materi Ormas
tentang Pemprop
HSDKA Pemkab/
oleh publik Pemkot
KPAID
Melakukan Seminar Laporan hasil Dipahaminya KPP Nasional
dan Diskusi Publik seminar dan isu HSDKA Depdagri Propinsi
tentang HSDKA diskusi oleh publik Dephukham Kabupa-
Depbudpar ten/ kota
Depkominfo
LSM
Perguruan Tinggi
Media Massa
Pemprop
Pemkab/
Pemkot
KPAID
Sulitnya akses Mengembangkan Terlaksananya Berfungsinya KPP Nasional
informasi sistem informasi pengembangan sistem Dep. Hukham Propinsi
Online tentang online tentang sistem informasi Dep. Sosial Kabupa-

32
HSDKA HSDKA informasi online online Depbudpar ten/ kota
tentang HSDKA tentang Depkominfo
HSDKA Kepolisian
Kejaksaan
Pemda
LSM
Melakukan Seminar Laporan Hasil Dipahami-
dan Diskusi Publik Seminar dan nya isu
tentang HSDKA Diskusi Publik HSDKA
oleh publik
Mengembangkan Adanya sistem Dimanfaat- KPP Nasional
sistem informasi informasi online kannya Dep. Hukham Propinsi
online tentang tentang HSDKA akses Infor- Dep. Sosial Kabupa-
HSDKA masi Online Depbudpar ten/ kota
tentang Depkominfo
HSDKA oleh Kepolisian
masyarakat Kejaksaan
Pemda
LSM
Workshop dan Laporan hasil Meningkatnya KPP Nasional
Sosialisasi Panduan workshop dan kesadaran Depdagri Propinsi
Pencatatan sosialisasi masyarakat Dephukham Kabupa-
Kelahiran dan dalam Konsorsium ten/ kota
Manfaatnya bagi pencatatan Catatan Sipil
masyarakat kelahiran Media Massa
anaknya
Mengembangkan Adanya Dimanfaat- KPP Nasional
Child Helpline Fasilitas Telpon kannya TESA Dep. Hukham Propinsi
(Telpon Sahabat Sahabat Anak oleh Dep. Sosial Kabupa-
Anak) (TESA) masyarakat Depbudpar ten/ kota
Depkominfo
Kepolisian
Kejaksaan
Pemda
LSM

Pengembangan Partisipasi Anak


Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat
(situasi saat Output Outcomes
ini)
Belum Membentuk dan Terbentuknya Berfungsi- KPP Nasional
maksimalnya mengembangkan organisasi nya Depdiknas Propinsi
pengembang- wadah pengem- anak di tingkat Organisasi Depbudpar Kabupa-
an potensi bangan potensi kabupaten/ Anak Depkominfo ten/ kota
anak anak kota Sebagai Pemda
Memfasilitasi pem- Wadah LSM
bentukan Organi- Partisipasi Orsos
sasi Anak (Dewan Anak Ormas
Anak, Forum Anak, dengan Swasta
Parlemen Remaja baik Kelompok Anak
dll. ) di setiap
kabupaten/kota
Belum Sosialisasi HSDKA Laporan hasil Meningkat- Organisasi Nasional
maksimalnya bagi pengurus sosialisasi nya pema- pelajar (mis: Propinsi
pemahaman organisasi pelajar, HSDKA haman OSIS, Pramuka Kabupa-
tentang kemahasiswaan tentang dll) ten/ kota
HSDKA maupun kepemu- HSDKA Organisasi
dalam daan dalam kemahasiswaan

33
organisasi organisasi (mis: BEM, dll)
pelajar, pelajar, Organisasi
kemahasis- kemahasis- Kepemudaan
waan dan waan dan Lainnya (mis:
kepemudaan kepemudaan Karang Taruna)

Memfasilitasi Terbentuknya Berfungsinya KPP Nasional


Pembentukan Jaringan jaringan Pemda Propinsi
Jaringan Organisasi Organisasi organisasi Perguruan tinggi Kabupa-
Anak di tingkat Anak anak LSM ten/ kota
kabupaten/kota, Orsos
propinsi dan Ormas
nasional Swasta
Kelompok Anak
Mengadakan Terdaftarnya Adanya KPP Nasional
Pemilihan Pemimpin calon pemimpin kader PMI Pemda Propinsi
Muda Indonesia muda dari yang mampu Perguruan tinggi Kabupa-
(PMI) yang berbagai daerah mempromosi LSM ten/ kota
memahami HSDKA Terpilihnya kan HSDKA Orsos
kader generasi Ormas
muda sebagai Swasta
pemimpin yang Kelompok Anak
berperspektif
HSDKA
Mengadakan Laporan hasil Peningkatan KPP Nasional
pelatihan bagi pelatihan Kapasitas Pemda Propinsi
organisasi anak di Organisasi LSM Kabupa-
tingkat kabupaten/ Anak Swasta ten/ kota
kota Kelompok Anak
Peningkatan Semakin sering- Disebarluas- Depsos Nasional
pertemuan yang nya diadakan kannya hasil Kelompok Anak Propinsi
melibatkan pertemuan yang pertemuan ke LSM Kabupa-
partisipasi anak melibatkan kelompok- KPP ten/ kota
(mis: Kongres Anak partisipasi anak kelompok KPAI
dll) anak lainnya
Mengadakan Adanya laporan Terbentuknya KPP Nasional
pelatihan KHA bagi hasil pelatihan OSIS yang Depdiknas Propinsi
pengurus OSIS di berbasis hak Sekolah Kabupa-
SMP dan SMA di anak Kelompok Anak/ ten/ kota
Indonesia Siswa Sekolah

Pengembangan Mekanisme Koordinasi Antar Pihak

Masalah Kegiatan Indikator Pelaku Tingkat


(situasi saat Output Outcomes
ini)

34
Belum maksimal- Mengadakan rapat Laporan Adanya KPP Nasional
nya mekanisme koordinasi perenca- pertemuan pembagian Pemda Propinsi
koordinasi antar naan, pelaksanaan koordinasi peran antar Perguruan tinggi Kabupa-
para pemangku dan evaluasi Teridentifikasi- para pemang- LSM ten/ kota
kepentingan kegiatan nya para ku kepen- Orsos
pemangku tingan Ormas
kepentingan Tidak adanya Swasta
baik lembaga tumpang Kelompok Anak
maupun individu tindih
Agenda kegiatan
kegiatan Terjalinnya
kebersamaan
antar para
pemangku
kepentingan

Membuat Adanya MoU Adanya Departemen dan Nasional


kesepakatan antar pihak- komitmen lembaga terkait Propinsi
kerjasama antar pihak yang untuk Kabupa-
sektor dan lembaga terkait melaksana- ten/ kota
dalam bentuk MoU kan agenda
bersama

35
BAB V
PENGORGANISASIAN

Pengorganisasian pelaksanaan kebijakan dan program pemenuhan


kebijakan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia dilaksanakan di setiap
jenjang administrasi pemerintahan dengan memanfaatkan koordinasi yang telah
ada dalam program Perlindungan Anak di Indonesia dari semua sektor terkait.

V. 1. Nasional
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian kebijakan dan program
pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia, Deputy IV
Kementerian Pemberdayaan Perempuan melakukan koordinasi di tingkat
pusat baik dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan
secara terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program HSDKA di Indonesia akan dilaksanakan oleh
masing-masing sektor dan lembaga sesuai dengan bidang programnya
Deputy IV Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan melakukan
upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan sektor terkait, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia

V. 2. Propinsi
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian program pemenuhan hak
sipil dan kebebasan anak di tingkat propinsi, Biro Pemberdayaan
Perempuan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemda dalam koordinasi
program perlindungan anak dengan sektor terkait melakukan koordinasi
dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan secara
terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di
tingkat propinsi akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor dan
lembaga sesuai dengan bidang programnya
Biro Pemberdayaan Perempuan atau lembaga sejenis di tingkat propinsi
akan melakukan upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan sektor
terkait, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak di masing-masing propinsi

36
V. 3. Kabupaten/Kota
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian program pemenuhan hak
sipil dan kebebasan anak di tingkat kabupaten dan kota, Bagian
Pemberdayaan Perempuan atau instansi lain yang ditunjuk oleh
pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi dalam program
perlindungan anak di tingkat kabupaten dan kota akan melakukan
koordinasi dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan
secara terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di
tingkat kabupaten dan kota dilaksanakan oleh masing-masing kecamatan
dan mengakses ke kelurahan-kelurahan dan lembaga lain sesuai dengan
bidang programnya
Bagian Pemberdayaan Perempuan atau lembaga sejenis akan melakukan
upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan terkait, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia

V. 4.Lembaga Non Pemerintah :


Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Internasional, Organisasi Sosial,
Organisasi Kemasyarakatan, Dunia Usaha, Media Massa dan Perguruan Tinggi

Instansi non pemerintah baik lembaga swadaya masyarakat, lembaga


internasional, organsiasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,
media massa dan perguruan tinggi mendukung dan mengawasi
pelaksanaan program hak sipil dan kebebasan anak;
Menginformasikan dan memberikan masukan bermakna untuk
peningkatan pelaksanaan program hak sipil dan kebebasan anak yang
dilaksanakan masing-masing lembaga kepada Deputi Bidang
Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Mekanisme pelaksanaan pengorganisasian dilakukan dalam pertemuan-


pertemuan periodik.

37
BAB VI
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian yang tak


terpisahkan dari pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan
bagi Anak Indonesia. Monitoring merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
untuk mengawasi atau memantau proses dan perkembangan pelaksanaan
program atau kegiatan sebagai penjabaran dari kebijakan. Fokus monitoring
adalah untuk mendapatkan informasi mengenai proses pelaksanaan program
dan kegiatan, bukan pada hasilnya. Monitoring dilakukan untuk tujuan supervisi,
yaitu untuk mengetahui apakah program atau kegiatan berjalan sebagaimana
yang direncanakan, apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi
masalah tersebut. Hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk
penyempurnaan pelaksanaan program dan kegiatan.
Evaluasi merupakan suatu proses sistematis dalam mengumpulkan,
menganalisis, dan menginterpretasikan informasi untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pelaksanaan program dengan kriteria tertentu untuk keperluan
pembuatan keputusan. Informasi hasil evaluasi dibandingkan dengan sasaran
yang telah ditetapkan pada program. Apabila hasilnya sesuai dengan sasaran
yang ditetapkan, berarti program tersebut efektif. Jika sebaliknya, maka
program tersebut dianggap tidak efektif (gagal). Evaluasi bertujuan untuk
mengetahui apakah program mencapai sasaran yang diharapkan. Evaluasi
menekankan pada aspek hasil (output). Konsekuensinya, evaluasi baru dapat
dilakukan jika program sudah berjalan dalam satu periode, sesuai dengan
tahapan yang dirancang. Misalnya untuk enam bulan atau satu tahun program.
Hasil monitoring dan evaluasi tertuang dalam laporan sebagai bahan
masukan untuk pengambilan keputusan, sehingga informasi/datanya harus
dapat dipertanggungjawabkan (valid dan reliable), karena akan digunakan untuk
mengambil keputusan tentang apa yang perlu dilakukan untuk membantu agar
program berhasil seperti yang diharapkan. Informasi dan simpulan hasil evaluasi
diharapkan untuk mengambil keputusan tentang program secara utuh, mulai dari
kesesuaian dengan kebutuhan dan hak anak dan tuntutan masa depan
(konteks), input, proses, output yang ditargetkan maupun outcome yang
diharapkan, dan juga untuk program-program periode berikutnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemenuhan hak sipil dan
kebebasan anak perlu memperhatikan ukuran-ukuran keberhasilan sebagai
berikut:
Adanya pengarusutamaan anak dalam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya melalui
pemahaman dan pemenuhan serta perlindungan hak sipil dan kebebasan
anak
Adanya partisipasi seluruh komponen pelaku dalam rangka pemahaman
dan pemenuhan serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak

38
Adanya kerangka kerja kebijakan dalam pemahaman dan pemenuhan
serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak
Adanya pendayagunaan sumber daya dalam pemahaman dan
pemenuhan serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak
Adanya data dan informasi di bidang
Adanya sosialisasi

Pelaksana kegiatan monitoring dan evaluasi adalah pejabat struktural


maupun fungsional yang ditunjuk (ditugaskan); dan atasan langsung pelaksana
kegiatan. Langkah-langkah pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah:
1. Menyusun kerangka acuan kegiatan
2. Menyiapkan dan menggandakan instrumen-instrumen;
3. Menyebarkan/ mendistribusikan instrumen-instrumen untuk diisi;
4. Pengumpulan instrumen yang telah diisi;
5. Pengolahan dan analisa hasil monitoring dan evaluasi;
6. Membuat kesimpulan dan rekomendasi; dan
7. Membuat laporan dan menyampaikan kepada pihak terkait

Kegiatan monitoring dan evaluasi juga dapat dilakukan oleh pihak lain
yang memiliki kompetensi dan kepentingan dalam rangka perlindungan anak.
Model monitoring dan evaluasi yang lain juga bisa diterapkan, terutama model-
model yang partisipatif yang melibatkan anak dalam pelaksanaannya, karena
hasilnya bisa memberi gambaran yang lebih lengkap.
Pada dasarnya monev dan pelaporan ini berbasis pada pedoman
pelaporan pelaksanaan KHA (CRC Guidelines), yang merupakan kewajiban
pemerintah Indonesia secara berkala kepada Komite Hak Anak PBB. Referensi
yang berupa pasal-pasal tentang Hak Sipil dan Kebebasan Anak beserta
pertanyaan sebagai instrumen pelaporan, terlampir.

39
BAB VII
PENUTUP

Upaya mewujudkan hak sipil dan kebebasan anak (HSDKA) merupakan


serangkaian upaya berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang
dilakukan secara integratif dan komprehensif. Pada pelaksanannya dibutuhkan
keterlibatan berbagai pihak baik di tingkat nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota secara lintas sektoral serta masyarakat sesuai dengan tugas,
fungsi dan kewenangan masing-masing. Perlu ditegaskan bahwa pemenuhan
HSDKA bukanlah beban bagi pemerintah namun merupakan suatu kewajiban
dan juga merupakan bentuk investasi bagi pembangunan suatu negara untuk
mendapatkan generasi yang lebih maju dan administrasi negara yang lebih
tertib. Di sisi lain, pemenuhan HSDKA bagi masyarakat dan keluarga merupakan
legitimasi atau pengakuan sebagai warga negara dan kejelasan silsilah, hak
waris, dan hak untuk mendapatkan pelayanan sosial dasar serta perlindungan
anak dari pelanggaran HSDKA
Pada kerangka tersebut maka perlu adanya kesamaan pemahaman di
bidang perlindungan anak bagi semua jajaran pelaksana program/kegiatan baik
baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, serta masyarakat. Dengan
adanya kesamaan pemahaman tersebut diharapkan akan lebih mempermudah
dalam melakukan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral dalam rangka
mengefektifkan pelaksanaan kebijakan hak sipil dan kebebasan anak. Upaya
untuk mewujudkan kesamaan pemahaman tersebut, salah satunya dilakukan
dengan menyusun Buku Pedoman Pemenuhan Hak Sipil dan Kebebasan Anak
Indonesia ini.
Buku Pedoman ini merupakan dokumen yang disusun secara bersama-
sama oleh pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil/LSM.
Semua pihak yang menerima ini diharapkan dapat menggunakannya sebagai
acuan dalam melakukan upaya perlindungan anak di sektor kerja masing-
masing. Pedoman pelaksanaan ini diharapkan juga bisa melahirkan petunjuk
pelaksanaan program di daerah yang mendapat pengesahan dari pemerintah
daerah
Keberhasilan pelaksanaan pedoman pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak ini sangat tergantung pada komitmen dan peranserta semua pihak dalam
rangka pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Untuk menjamin keberhasilan
harus dilakukan monitoring dan evaluasi secara bersama-sama agar apa yang
menjadi tujuan program perlindungan anak Indonesia bisa tercapai dengan baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Bappenas, Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, Buku I :


Ringkasan Eksekutif, 2004
2. Bappenas, Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, Buku III :
Uraian Progrm Per Bidang, 2004
3. Budi Rahardjo dkk. (ed.) Partisipasi Anak : Bukan Sekedar Ikut Bekerja,
Jakarta 2006
4. Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
5. Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan World Vision Indonesia, Negara
Wajib Memberikan Akte Kelahiran Anak, Bagaimana Kenyataannya? 2006
6. Unicef, Child Protection. Final Report to the Australian National Commite for
Unicef, Jakarta 2007
7. Unicef, Dunia yang Layak bagi Anak-anak, tanpa tahun

41
Lampiran I :
Pasal dalam KHA menurut Jenis Hak-hak Anak dalam Kluster Hak Sipil dan
Kebebasan

1. Nama dan Kewarganegaraan

Pasal dalam KHA

Pada pasal 7 KHA disebutkan bahwa:


(1) Anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas nama,
hak untuk memperoleh suatu ke-bangsaan dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui
dan diasuh oleh orangtuanya
(2) Negara-negara peserta akan menjamin pelak-sanaan dari hak-hak ini sesuai dengan
hukum nasional mereka dan kewajiban-kewajiban me-reka berdasarkan in-strumen-
instrumen inter-nasional yang relevan dalam bidang ini, khu-susnya di mana anak akan
tidak bernegara bila tidak demikian adanya.

2. Hak Memperoleh Identitas

Pasal dalam KHA

Pasal 8 disebutkan bahwa :


(1) Negara-negara peserta berusaha untuk menghor-mati hak anak untuk memiliki jati dirinya, ter-
masuk kewarganegaraan, nama dan hubungan kelu-arganya sebagaimana diakui oleh
undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah.
(2) Di mana anak secara tidak sah dirampas sebagian atau seluruh unsur dari jati dirinya, negara-
negara pe-serta akan memberi bantuan dan perlindungan yang layak dengan tujuan
menetapkan kembali dengan cepat jati dirinya.

3. Kebebasan Berpendapat

Pasal dalam KHA

Pasal 13 yang berbunyi :


(1) Anak mempunyai hak untuk secara bebas menyatakan pendapat; hak ini akan mencakup
kebebasan yang terlepas dari pembatasan untuk meminta, menerima dan memberi informasi
dan gagasan dalam segala jenis, baik secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk seni,
atau melalui media lain menurut pilihan anak yang bersangkutan
(2) Penggunaan hak ini dapat disertai pembatasan-pem-batasan tertentu, tetapi pemba-tasan ini
hanya dapat yang ditetapkan oleh undang-undang dan yang diperlukan :
(a) untuk mengormati hak-hak atau reputasi orang lain; atau
(b) untuk melindungi kea-manan nasional atau ketertiban umum, kesehatan umum dan moral

42
4. Kekebasan Berfikir, Berkesadaran, dan Beragama

Pasal dalam KHA

Pasal 14 yang berbunyi:


(1) Negara-negara peserta akan menghormati hak anak atas kemerdekaan berpikir,
berkesadaran dan beragama
(2) Negara-negara peserta akan menghormati hak dan kewajiban kedua orangtua dan, apabila
sesuai, hak dan kewajiban wali yang sah, untuk memberi pengarahan kepada anak dalam
mene-rapkan haknya dengan cara yang sesuai dengan per-kembangan kemampuan anak
(3) Kebebasan untuk meman-ifestasikan agama atau kepercayaan seseorang hanya tunduk
pada pemba-tasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kese-hatan umum dan moral, atau hak-hak asasi dan
kebebasan orang lain

5. Kekebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai

Pasal dalam KHA

Pasal 15 KHA, yang menye-butkan bahwa :


(1) Negara-negara peserta mengaku hak anak atas kebebasan berserikat dan kebebasan
berkumpul secara damai
(2) Tak ada pembatasan yang dikenakan atas pelaksanaan hak-hak ini selain pemba-tasan-
pembatasan yang ditetapkan undang-undang dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat
yang demokratis demi kepen-tingan keamanan nasional dan keselamatan umum, ketertiban
umum, perlin-dungan kesehatan atau moral masyarakat atau perlindungan hak dan
kebebasan orang lain

6. Perlindungan Privasi

Pasal dalam KHA

Pasal 16 yang berbunyi :


(1) Tidak seorang anak pun akan mengalami gangguan tanpa alasan dan secara tidak sah
terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyurat, ataupun serangan tidak
sah terhadap harga diri dan reputasinya
(2) Anak mempunyai hak akan perlindungan hukum terhadap gangguan atau serangan semacam
itu

7. Akses Terhadap Informasi

Pasal dalam KHA

Pasal 17 yang berbunyi :


Negara-negara peserta mengakui pentingnya fungsi yang dilakukan oleh media massa dan
akan menjamin bahwa anak akan bisa memperoleh informasi dan bahan-bahan dari beraneka

43
ragam sumber nasional dan internasional yang berbeda-beda, terutama sumber-sumber yang
dimaksudkan untuk me-ningkatkan kesejahteraan sosial, jiwa dan moralnya serta kesehatan
fisik dan mentalnya. Untuk ini negara-negara peserta akan :
(a) Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan-bahan yang
bermanfaat dari segi sosial dan budaya bagi anak dan sesuai dengan semangat pasal 29
(b) Mendorong kerjasama inter-nasional dalam pembuatan, pertukaran dan penyebar-luasan
informasi dan bahan-bahan seperti itu dari beraneka ragam sumber kebudayaan, nasional
dan internasional;
(c) Mendorong pembuatan dan penyeba-rluasan buku-buku untuk anak;
(d) Mendorong media massa untuk secara khusus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
linguistik anak yang termasuk di dalam kelompok minoritas dan yang pribumi;
(e) Mendorong pengembangan garis-garis pedoman yang tepat untuk melindungi anak dari
informasi dan bahan-bahan yang merugikan bagi kesejahteraan anak dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dari pasal 13 dan 18

8. Hak Untuk Tidak Mengalami Penyiksaan Dan Perlakuan Atau


Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan
Martabat Manusia

Pasal dalam KHA

Pasal 37 yang berbunyi :


Negara-negara peserta akan menjamin bahwa :
(f) Tak seorang anak pun akan menjalani siksaan atau kekejaman-kekejaman lain-nya,
perlakuan atau hukum-an yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Baik hukuman
mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibe-baskan tidak akan dikenakan
untuk kejahatan yang dila-kukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun
(g) Tidak seorang anak pun akan kehilangan kebebas-annya secara tidak sah dan sewenang-
wenang. Penang-kapan, penahanan atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan
undang-undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang
paling singkat dan layak;
(h) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diper-lakukan secara manusiawi dan dengan
menghormati martabat seorang manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada
kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas
kebebasannya akan dipi-sahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melaku-kannya
dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan anak akan
mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluar-ganya melalui surat
menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa
(i) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempu-nyai hak untuk segera mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan-bantuan lain yang layak dan mempunyai hak untuk menantang
keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang
berwenang, bebas dan tidak memihak, dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai
tindakan tersebut

Pasal 39 :
Pihak negara akan mengambili langkah-langkah tepat untuk meningkatkan penyembuhan
psikologis dan fisik serta reintegrasi sosial seorang anak yang merupakan korban dari, segala
bentuk kesewenang-wenangan, penyiksaan, eks-ploitasi atau penyiksaan; penganiayaan atau
bentuk kekejaman lainnya; perlakuan tidak manusiawi atau peng-hinaan atau penghukuman; atau
konflik senjata. Penyembuhan dan reintegrasi tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan
yang mendukung kesehatan, penghargaan diri dan martabat anak

44
Lampiran II : Pasal-pasal terkait yang terdapat Peraturan Perundang-
undangan Nasional menurut Kluster dalam KHA

1. Nama dan Kewarganegaraan

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 5 berbunyi : UU No. 23/2006 tentang Administrasi


Setiap anak berhak atas nama sebagai Kependudukan
identitas diri dan status kewarganegaraan Pasal 27 yang berbunyi :
(1) Setiap kelahiran yang wajib dilaporkan oleh
Pasal 27 berbunyi : penduduk kepada instansi pelaksana di
(2) Identitas diri setiap anak harus diberikan tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling
sejak kelahirannya lambat 60 hari sejak kelahiran
(3) Identitas sebagaimana yang dimaksud (2) Berdasarkan laporan sebagaimana
pada ayat (1) dituangkan dalam akta dimaksud pada ayat 1, pejabat pencatatan
kelahiran sipil mencatat pada register akta kelahir-an
(4) Pembuatan akta kelahiran didasarkan dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
pada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/ atau membantu UU N0o. 12/2006 tentang Kewarganegaraan
proses kelahiran
(5) Dalam hal anak yang proses Pasal 5 berbunyi :
kelahirannya tidak diketahui, dan (1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di
orangtua-nya tidak diketahui luar perkawinan yang sah, belum berusia
keberadaannya, pembu-atan akta 18 (dela-pan belas) tahun dan belum kawin
kelahiran untuk anak tersebut diakui secara sah oleh ayahnya yang
didasarkan pada keterangan orang berkewarganega-raan asing tetap diakui
yang menemukannya sebagai Warga Negara Indonesia
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum
Pasal 28 berbunyi : berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi sebagai warga negara asing berdasarkan
tanggungjawab pemerintah yang dalam pene-tapan pengadilan tetap diakui sebagai
pelaksanaannya diseleng-garakan Warga Negara Indonesia
serendah-rendah-nya pada tingkat
kelurahan /desa
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal diajukannya
permohonan
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
-dikenakan biaya
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan
syarat-syarat pembuatan akta kelahiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur dengan peraturan perundang-
undangan

Pasal 29 berbunyi :
(1) Jika terjadi perkawinan campuran
antara warga negara Republik
Indonesia dan warga negara asing,
anak yang dilahirkan dari perkawinan

45
tersebut ber-hak memperoleh kewarga-
negaraan dari ayah atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(2) ...
(3) Dalam hal terjadi per-ceraian
sebagaimana di-maksud pada ayat (2),
sedangkan anak belum mampu
menentukan pilih-an dan ibunya berke-
warganegaraan Republik Indonesia,
demi kepen-tingan terbaik anak atau
atas permohonan ibunya, pemerintah
berkewajiban mengurus status
kewarga-negaraan Republik Indo-nesia
bagi anak tersebut

2. Hak untuk Mempertahankan Identitas

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 40 : UU No. 23/2006 tentang Administrasi


(1) Orangtua angkat wajib memberi- Kependudukan
tahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal-usul dan orangtua Pasal 28 :
kandungnya (1) pencatatan kelahiran da-lam register akte
(2) Pemberitahuan asal-usul dan kelahiran dan penerbitan kutipan akte kelahiran
orangtua kandungnya sebagaimana terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan
dengan memperhatikan kesiapan orangtuanya, didasarkan pada laporan orang
anak yang bersangkutan yang menemukan dilengkapi berita acara
pemeriksaan dari kepolisian.
(2) Kutipan akte kelahiran sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diterbitkan oleh pejabat pencatatan
sipil dan disimpan oleh instansi pelaksana.

UU No. 21/ 2007 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Perdagangan Orang

Pasal 19 :
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan
keterangan palsu pada dokumen negara atau
dokumen lain atau memalsukan dokumen negara
atau dokumen lain, untuk mempermudah terja-
dinya tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta
rupiah).

46
3. Hak Untuk Menyampaikan Pendapat

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 10 berbunyi : UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi :


Setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan Setiap orang berhak atas kebebasan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat berserikat, ber-kumpul, dan mengeluarkan
kecerdasan dan usianya demi pengembangan pendapat
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka
Pasal 56 berbunyi : Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
(3) Pemerintah dalam menyelenggarakan Dalam kebijakan tersebut, khususnya pada
pemeliharaan dan perawatan mengupa- lampiran Perpres Bab 12 tentang Pening-
yakan dan membantu anak, agar anak katan Kualitas Kehidupan dan Peran Perem-
dapat : puan serta Kesejahteraan dan Perlindungan
(a) .... Anak, pada Program Peningkatan Kese-
jahteraan dan Perlindungan, salah satu
(b) bebas menyatakan pendapat dan
kegiatan pokoknya adalah
berpikir sesuai dengan hati nurani dan
agamanya
Pembentukan wadah-wadah guna mende-
(c) ..... dst. ngarkan dan menyuarakan pendapat dan
(4) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat harapan anak sebagai bentuk partisipasi
(1) dikembangkan dan disesuaikan anak dalam proses pembangunan.
dengan usia, tingkat kemampuan anak,
dan lingkungannya agar tidak mengham-
bat dan mengganggu perkembangan
anak

4. Kekebasan Berfikir, Berkesadaran, dan Beragama

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 6 berbunyi : UU Adminduk pasal 105 berbunyi :


Setiap anak berhak untuk beribadah menurut
Dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
sejak diundangkannya Undang-Undang ini,
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
Pemerintah wajib rnenerbitkan Peraturan
bimbingan orangtua
Pemerintah yang mengatur tentang
penetapan persyaratan dan tata cara
Pasal 42 berbunyi :
perkawinan bagi para penghayat
(1) Setiap anak mendapatkan perlindungan
kepercayaan sebagai dasar diperolehnya
untuk ber-ibadah menurut agamanya
kutipan akta perkawinan dan pelayanan pen-
(2) Sebelum anak dapat menentukan
catatan peristiwa penting.
pilihannya, agama yang dipeluk anak
mengikuti agama orang-tuanya

Pasal 43 berbunyi :
(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
orangtua, wali dan lembaga sosial
menjamin perlindungan anak dalam

47
memeluk agamanya
(2) Perlindungan anak dalam memeluk
agamanya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pembinaan,
pembimbingan, dan pengamalan ajaran
agama bagi anak

Pasal 56 berbunyi :
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemeliharaan dan perawatan wajib
mengupayakan dan membantu anak, agar
anak dapat :
(a) ...
(b) bebas menyatakan pendapat dan
berpikir sesuai dengan hati nurani dan
agamanya
(c) ...dst.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikembangkan dan disesuaikan dengan
usia, tingkat kemampuan anak, dan
lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan anak

Pasal 86 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebo-
hongan, atau membujuk anak untuk memilih
agama lain bukan atas kemauannya sendiri,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak
tersebut belum berakal dan belum
bertanggungjawab sesuai dengan agama yang
dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

5. Kekebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 56 yang berbunyi : UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi :
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemeliharaan dan perawatan wajib Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
mengupayakan dan membantu anak, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
agar anak dapat :
(a) ..... Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang
(d) bebas berserikat dan berkumpul Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(e) ....dst. Nasional (RPJMN) 2004-2009.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada Dalam kebijakan tersebut, khususnya pada
ayat (1) dikembangkan dan dise- lampiran Perpres Bab 12 tentang Peningkatan
suaikan dengan usia, tingkat Kualitas Kehi-dupan dan Peran Perempuan serta
kemampuan anak, dan lingkungannya Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, pada
agar tidak menghambat dan meng- Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlin-

48
ganggu perkembangan anak dungan, salah satu kegiatan pokoknya adalah

Pembentukan wadah-wadah guna mende-


ngarkan dan menyuarakan pendapat dan
harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak
dalam proses pembangunan.

6. Akses Terhadap Informasi

Pasal dalam UU Perlindungan Anak

Pasal 10 yang berbunyi :


Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan

7. Hak Untuk Tidak Mengalami Penyiksaan Dan Perlakuan Atau


Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan
Martabat Manusia

Pasal dalam UU Perlindungan Anak Pasal dalam Produk Hukum Lain

Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : UU No. 5 Tahun 1998 tentang


Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan
berkem-bang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai .
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Pasal 13 berbunyi :
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang-
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertang-gungjawab atas peng-asuhan berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik eko-nomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekerjaman, kekeras-an dan penganiayaan
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lain-nya.

(2) Dalam hal orangtua, wali, atau pengasuh anak


melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman

Pasal 16 berbunyi :

49
(2) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiaya-an, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
(3) Setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum
(4) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir

Pasal 17 berbunyi :
(1) Setiap anak yang diram-pas kebebasannya
berhak untuk:
a. mendapatkan perla-kuan secara ma-nusiawi
dan penem-patannya dipisahkan dari orang
dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan
lainnya secara efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di
depan pengadilan anak yang obyektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
keke-rasan seksual atau yang berhadapan
dengan hu-kum berhak dirahasiakan

Pasal 18 berbunyi
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya.

Pasal 80 berbunyi :
(1) Setiap orang yang mela-kukan kekejaman,
keke-rasan atau ancaman kekerasan, atau
pengani-ayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (Tujuh puluh dua juta rupiah)
(2) Dalam hal anak seba-gaimana dimaksud pada
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(3) Dalam hal anak seba-gaimana dimaksud pada
ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah)
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagai-mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orangtuanya

Pasal 64 ayat 3 (b) yang berbunyi :

50
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui :
(a) ....
(b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi
(c) ... dst

51

Anda mungkin juga menyukai