PEDOMAN PELAKSANAAN
PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
ANAK
0
2007
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
BAB I. PENDAHULUAN 2
I. 1. Latar Belakang 2
I. 2. Arti Penting Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak 3
I. 3. Landasan Hukum 7
I. 4. Pengertian 8
BAB V. PENGORGANISASIAN 33
V. 1. Tingkat Pusat 33
V. 2. Tingkat Provinsi 33
V. 3. Tingkat Kabupaten/Kota 34
V. 4. Lembaga Non Pemerintah 34
2
KATA PENGANTAR
Buku panduan ini dapat tersusun atas dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tinginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan buku ini hingga dapat diselesaikan sesuai dengan yang
diharapkan.
3
SAMBUTAN
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Hak sipil dan kebebasan anak merupakan salah satu dari lima kategori
hak substantif anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), selain
lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dan
kesejahteraan dasar; pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya; serta
langkah-langkah perlindungan khusus (berkaitan dengan hak anak untuk
mendapatkan perlindungan khusus).
Mengacu pada KHA, hak sipil dan kebebasan bagi anak terbagi ke
dalam beberapa hak yang diatur dalam pasal-pasal terpisah, yakni :
1. Nama dan Kewarganegaraan (Pasal 7)
2. Mempertahankan Identitas (Pasal 8)
3. Kebebasan Berkespresi atau Menyampaikan Pendapat (Pasal 13)
4. Kebebasan Berpikir, Berhati Nurani dan Beragama (Deklarasi) (Pasal
14)
5. Kebebasan Berorganisasi (Pasal 15)
6. Perlindungan Terhadap Kehidupan Pribadi (Deklarasi) (Pasal 16)
7. Akses untuk Memperoleh Informasi (Deklarasi) (Pasal 17)
8. Perlindungan Dari Siksaan/Perlakuan Kejam (Pasal 37)
4
Upaya mewujudkan hak sipil dan kebebasan anak merupakan
serangkaian upaya berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
yang dilakukan secara integratif dan komprehensif. Pada pelaksanaannya
dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak antara pusat dan daerah secara lintas
sektoral serta masyarakat sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing.
Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan
5
6
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Anak adalah amanah dan sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-
hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Dari sisi
perkembangan fisik dan psikis manusia, anak merupakan pribadi yang lemah,
belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan. Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orantua berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam prakteknya di masyarakat kita melihat sejak dulu hingga kini
terdapat banyak pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam berbagai bentuknya,
dari yang sifatnya terbuka seperti penganiayaan dan pemerkosaan terhadap
anak, yang sifatnya tersembunyi seperti perdagangan anak, eksploitasi pekerja
anak di jermal, hingga yang tidak disadari dan sering diabaikan, seperti tidak
diberikannya akte kelahiran pada anak dan diabaikannya suara atau pandangan
anak oleh orang dewasa ketika membuat suatu keputusan yang berdampak
pada anak. Pelanggaran hak anak tersebut juga merupakan pelanggaran HAM,
karena hak anak merupakan bagian dari HAM.
Untuk mencoba mengatasi berbagai permasalahan di bidang anak
tersebut, sebetulnya telah disusun berbagai kebijakan atau peraturan peraturan
perundangan. Misalnya masalah tentang HAM sudah disinggung dalam
konstitusi negara kita, yakni UUD 1945 dan dituangkan dalam Bab X A Pasal 28,
serta dalam UU No. 39 / 1999 tentang HAM. Substansi tersebut secara
operasional dan lebih rinci tertuang dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan
Anak.
Penyusunan kebijakan atau peraturan perundangan di bidang HAM dan
hak anak tersebut tidak lepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat
internasional. Pada tahun 1989 PBB melalui resolusi 44/25 tertanggal 20
Nopember. telah menyepakati sebuah instrumen hukum internasional yakni
Konvensi Hak Anak (KHA). Dalam KHA ini, anak adalah pemegang hak-hak
dasar dan kebebasan sekaligus sebagai pihak yang menerima perlindungan
khusus. Selain itu, dan ini pertama kali dalam sejarah PBB, KHA mencakup
sekaligus hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya. Karena itulah,
konvensi ini paling komprehensif dibandingkan konvensi-konvensi lainnya.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA tersebut melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, dan sesuai ketentuan
7
pasal 49 (2) KHA, maka Konvensi tersebut dinyatakan berlaku di Indonesia sejak
5 Oktober 1990.
KHA pada dasarnya mengacu pada Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Sipil dan Politik tahun 1966, terutama pasal 23 dan 24, dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 1966, terutama
pasal 10. Kedua kovenan tersebut merupakan penjabaran dari Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, disingkat
DUHAM), yang ditetapkan Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM memuat pokok-pokok hak
asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan
umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya
pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal
dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun
di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.
Indonesia telah meratifikasi dua konvensi atau kovenan tersebut
sekaligus, yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob)
melalui UU No. 11 Tahun 2005 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan
Sipol) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dalam mukadimah dari kedua kovenan
tersebut, nampak sangat bersamaan yaitu menitikberatkan bahwa hak
bersumber dari martabat yang melekat pada manusia, dan oleh karenanya
kewajiban negara berdasarkan Piagam PBB untuk memajukan penghormatan
secara universal dan pentaatan terhadap hak asasi dan kebebasan manusia.
Substansi hak anak yang terdapat dalam KHA yang dimantapkan melalui
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga memuat ketentuan-
ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak anak. Selain itu UU tersebut juga
dengan jelas menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peranserta masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Keberadaan berbagai instrumen hukum tingkat internasional yang telah
diratifikasi pemerintah tersebut, jika dilihat secara utuh bukanlah merupakan
instrumen yang terpisah-pisah tetapi terintegrasi, karena pasal-pasal yang
memuat berbagai hak yang ada dalam masing-masing instrumen tersebut saling
berkaitan. Hal itu tidak lepas dari permasalahan hak yang ada di lapangan pun
juga tidak bisa dipisah-pisahkan. Misalnya, pendidikan dan informasi yang
memiliki hubungan filosofis yang sangat erat, masing-masing terdapat dalam
kovenan yang berbeda. Pendidikan berada dalam ranah hak ekonomi, sosial dan
budaya, sedangkan informasi berada dalam ranah hak sipil dan politik.
Demikian pula pasal-pasal atau hak-hak yang ada dalam KHA, meskipun
menggunakan istilah atau pengelompokan/kluster hak yang berbeda-beda,
namun secara substansif ada keterkaitan yang sangat erat antar kluster. Hal ini
perlu dikemukakan, mengingat dalam KHA terdapat beberapa kluster hak
substansif anak yang penamaan dan pengelompokannya berbeda dengan
Kovenan Hak Sipol dan dan Kovenan Hak Ekosob.
8
Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam 8 kluster oleh Komisi Hak Anak
PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta
dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Delapan (8) kluster isi
KHA tersebut adalah sebagai berikut :
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi tentang Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak Sipil dan Kebebasan
5. Lingkungan keluarga dan Pengasuhan Alternatif;
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar;
7. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya; dan
8. Upaya-upaya Perlindungan Khusus.
Salah satu kluster dalam KHA tersebut yang menjadi materi buku
Pedoman ini adalah Kluster Hak Sipil dan Kebebasan bagi Anak. Kluster ini
sangat penting karena berbagai permasalahan anak di Indonesia terjadi karena
masih rendahnya penghormatan, pemenuhan,dan perlindungan hak sipil dan
kebebasan anak ini. Selain itu kluster hak sipil dan kebebasan ini memiliki
berbagai arti penting seperti yang dijelaskan berikut.
9
pendidikan dasar secara gratis dan hak anak untuk mendapatkan perlindungan
dari eksploitasi.
Berikut adalah uraian tentang penjabaran hak-hak beserta arti pentingnya
yang terdapat dalam kluster hak sipil dan kebebasan bagi anak, baik terhadap
negara/pemerintah, masyarakat maupun arti pentingnya bagi anak itu sendiri.
Hak Pertama adalah hak atas nama dan kewarganegaraan. Makna
penting dari hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak mendasar
dan pertama yang dimiliki oleh seorang anak. Nama dan kewarganegaraan
menunjukkan identitas yang dimiliki setiap orang dan statusnya sebagai warga
dari suatu negara yang akan menjamin pemenuhan hak-haknya. Dari sisi
negara, hak tersebut merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya dan
menjadi bukti pengakuan hukum dari negara terhadap warganya.
Hak Kedua adalah hak mempertahankan identitas. Seorang anak berhak
untuk mempertahankan identitasnya dan negara menghormati hak warganya
dalam mempertahankan identitasnya tersebut, termasuk kaitannya dengan
hubungan keluarga. Apabila ada pihak-pihak yang hendak melakukan
perampasan atau pemalsuan identitas seorang anak, maka negara akan
memberi bantuan dan perlindungan yang layak dengan tujuan menetapkan
kembali dengan cepat jati dirinya. Hal ini sebagai langkah awal bagi anak dalam
mengembangkan jati dirinya untuk tumbuh kembang secara wajar.
Implementasi dari kedua hak tersebut diwujudkan dalam bentuk
pemberian akte kelahiran dan pencatatan yang harus dilakukan untuk diregistrasi
oleh negara dalam catatan sipil kependudukan seorang anak sebagai salah satu
warga negaranya. Pencatatan kelahiran sendiri memiliki empat azas, yakni (1)
universal, (2) permanen, (3) wajib, dan (4) kontinyu. Azas universal berarti
pencatatan kelahiran harus diselenggarakan atau menjangkau seluruh wilayah
kedaulatan negara dan semua penduduk bagi semua peristiwa penting. Azas
permanen berarti pelaksanaan pencatatan kelahiran harus diselenggarakan
dengan sebuah sistem yang permanen. Institusi yang menyelenggarakan harus
bersifat permanen untuk menjamin kontinyuitas pelayanan. Azas wajib berarti
pemerintah wajib menyelenggarakan pencatatan kelahiran, dan penduduk atas
perintah hukum wajib melaporkan setiap peristiwa kelahiran pada jangka waktu
tertentu. Atas keterlambatan pelaporan tersebut dikenakan sanksi. Azas kontinyu
atau berkelanjutan berarti pencatatan kelahiran harus dilakukan tanpa jeda
waktu sejak sistem diberlakukan. Dari operasional sistem yang berkelanjutan ini
akan dihasilkan data peristiwa penting yang lengkap, akurat dan mutakhir.
Bagi negara atau pemerintah, arti penting dari kedua hak pertama tersebut
yang terdapat dalam akte kelahiran adalah sebagai berikut :
- Menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang yang
menjadi warganya
- Sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran
nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan
anak.
Arti penting bagi anak yang terdapat dalam kepemilikan akte kelahiran,
adalah sebagai berikut :
10
- merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang
dimiliki anak
- menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak waris
dari orangtuanya
- mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan
terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual
- anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan, kesehatan,
pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara
Sedangkan bagi masyarakat, arti penting hak anak yang terdapat dalam
kepemilikan akte kelahiran adalah sebagai berikut :
- alat pembuktian status perdata seseorang dan menunjukkan
hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya
- mempermudah dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administratif, seperti
syarat pendaftaran sekolah, mencari pekerjaan setelah dewasa, menikah
dan lain-lain
- terwujudnya tertib sosial yang menyangkut kejelasan identitas setiap warga
masyarakat
Hak ketiga adalah hak anak untuk menyatakan pendapat. Arti penting dari
hak tersebut bagi negara dan pemerintah adalah sebagai elemen penting bagi
terwujudnya negara dan pemerintahan yang demokratis, di mana setiap warga
negara termasuk anak memiliki hak yang sama untuk menyatakan pendapatnya.
Pemerintah juga bisa memperoleh gambaran permasalahan, kebutuhan dan
aspirasi yang murni dari kelompok anak itu sendiri, yang sebelumnya lebih sering
disuarakan oleh orang dewasa. Bagi anak sendiri, arti penting dari hak untuk
menyatakan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
- merupakan perwujudan dari hak anak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka
- meningkatkan harga diri dan percaya diri anak
- mengembangkan bakat dan ketrampilan
- memperbesar akses pada berbagai peluang
Bagi masyarakat arti penting dari hak anak untuk menyatakan
pendapatnya adalah pandangan dari orang dewasa tentang berbagai macam hal
termasuk masalah anak tidak selamanya benar. Pandangan anak dapat menjadi
pandangan alternatif untuk dipertimbangkan.
Hak keempat adalah kebebasan berpikir, berkesadaran (berhati nurani,
dan beragama. Arti penting dari hak tersebut bagi negara atau pemerintah
adalah memudahkan terwujudnya sebuah negara atau pemerintahan yang maju
yang menghargai pluralitas warganya dan tidak diskriminatif. Bagi anak arti
penting dari hak tersebut adalah agar anak dapat mengembangkan kecerdasan
jamak (logika matematika, linguistik verbal, body kinestetik, visual spasial,
naturalis, interpersonal, intrapersonal, kecerdasan musikal dan kecerdasan
spiritual). Bagi masyarakat, arti penting dari hak tersebut bisa menciptakan
masyarakat yang kreatif, toleran dan saling menghargai terhadap berbagai
11
perbedaan yang dimiliki warganya, serta tidak ada dominasi satu kelompok
terhadap kelompok lainnya.
12
dasar lainnya tetap terjamin meskipun anak dalam proses hukum. Bagi
masyarakat sendiri, pola-pola penghukuman terhadap anak yang melakukan
kesalahan yang terjadi di masyarakat, seperti yang terdapat dalam keluarga atau
sekolah bisa diarahkan pada hukuman-hukuman yang sifatnya mendidik dan
bukan menyiksa anak.
Melihat begitu luasnya lingkup permasalahan yang terkandung dalam hak
sipil dan kebebasan anak (HSDKA) serta arti pentingnya pemahaman akan isu
tersebut, maka dibutuhkan suatu pedoman pemenuhan umum hak sipil dan
kebebasan anak yang diperuntukkan bagi semua pemangku kepentingan di
bidang anak di Indonesia, terutama bagi instansi pemerintah di tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota, yang menjadi perwakilan dari negara yang memiliki
kewajiban utama dalam pemenuhan HSDKA. Pengertian pemenuhan dalam hal
ini bersifat integratif dan komprehensif, yang meliputi upaya penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak anak, khususnya hak
sipil dan kebebasan. Meskipun didasari oleh landasaran universal melalui
instrumen-instrumen hukum internasional, HSDKA sangat memperhatikan akar
budayanya, yakni budaya bangsa Indonesia.
Pedoman ini bertujuan agar semua pemangku kepentingan dapat
memahami permasalahan HSDKA yang mencakup prinsip-prinsip dan ketentuan
normatif, kebijakan nasional, situasi pemenuhan HSDKA, program dan peran
dari masing-masing pemangku kepentingan, sehingga mereka dapat memenuhi
kewajibannya dan terlibat dalam upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia.
I. 3. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 dan 29
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,
pasal 2
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan, pasal 6
dan 8
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, pasal
14 dan 18
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pasal 5,
24, 51, 60 dan 63
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Anti
Penyiksaan
8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
(HAM), pasal 1-5, 14, 17, 18, 23-25, 29, 34, 36, 52, 56, 58, 60, 66 dan 70
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, pasal 14 dan
16
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
pasal 1-6, 10, 13, 16-18, 20-24, 27, 28, 42, 43, 54-56, 59, 77-80 dan 86
13
11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 4, 5 dan 12
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, pasal 5-11, 13, 23-25
13. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya
14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak
Sipil dan Politik
15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, pasal
4 dan 21
16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, pasal 27
17. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi
Hak Anak
I. 4. Pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara
Hak sipil dan kebebasan bagi anak adalah bagian dari hak anak yang
meliputi hak untuk memperoleh identitas nama dan kewarganegaraan,
mempertahankan identitas, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir,
beragama dan berhati nurani, kebebasan berorganisasi, perlindungan atas
kehidupan pribadi, memperoleh informasi yang memadai dan perlindungan
dari penyiksaan atau penghukuman yang tidak manusiawi
14
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan
15
BAB II
ARAH KEBIJAKAN
Pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak merupakan bagian dari upaya
perlindungan anak Indonesia. Melihat arti penting dari hak sipil dan kebebasan
anak Indonesia serta berbagai produk hukum dan peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasannya, pemerintah mengembangkan kebijakan
yang bersifat sistemik, holistik dan komprehensif, yang isinya mencakup visi dan
misi, tujuan dan sasaran kebijakan, prinsip umum yang dianut, strategi untuk
mencapainya serta indikator untuk mengukur pencapaiannya.
Arah kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang terdapat
dalam Buku Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang memiliki
jangka waktu pencapaian hingga tahun 2015. Diharapkan dengan adanya
kejelasan arah kebijakan ini, bisa disusun program-program yang tepat dan
sesuai kebutuhan di bidang pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
Indonesia.
1. Visi
Anak Indonesia sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berakhlak
mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi
2. Misi
II. 2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Seluruh anak Indonesia memperoleh jaminan pemenuhan hak sipil dan
kebebasan anak melalui komitmen dan kesadaran politik pada setiap
pemangku kepentingan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak anak di
Indonesia
2.Tujuan Khusus
Terpenuhinya hak anak atas nama dan kewarganegaraan
Terpenuhinya hak anak untuk mempertahankan identitas
16
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berpendapat
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berpikir, berkesadaran (berhati
nurani), dan beragama
Terpenuhinya kebebasan anak untuk berserikat dan berkumpul secara
damai
Terpenuhinya hak anak atas perlindungan kehidupan pribadi (privasi)
Terpenuhinya hak anak atas akses kepada informasi yang layak
Terpenuhinya hak anak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia
II. 3. Sasaran
1. Lembaga pemerintah (eksekutif) yang mencakup semua sektor, baik
departemen maupun lembaga non departemen dalam program
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Indonesia dalam kaitan
implementasi Konvensi Hak Anak dan penerapan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
2. Lembaga legislatif
3. Lembaga-lembaga negara terkait
4. Lembaga yudikatif dan aparat penegak hukum
5. Komisi-komisi negara terkait (KPAI, KPI, Komnas HAM, dsb.)
6. Masyarakat yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM),
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik,
organisasi internasional, sektor swasta, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, organisasi profesi, partai politik, orangtua dan lain-lain dalam
kaitan implementasi Konvensi Hak Anak dan penerapan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7. Anak Indonesia
Yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), artinya bahwa
dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik
bagi anak haruslah menjadi pertimbangan utama. Kapanpun keputusan
resmi yang mempengaruhi anak diambil, kepentingan mereka harus
17
merupakan suatu hal yang penting. Kepentingan orang tua atau
pemerintah bukan pertimbangan segalanya.
Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child),
maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap peng-
ambilan keputusan. Prinsip ini menjelaskan bahwa anak berhak untuk
menyatakan pendapat, dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya
itu, dalam segala hal atau prosedur yang menyangkut diri anak.
II. 5. Strategi
Membangun pengarusutamaan anak dengan memasukkan isu hak sipil dan
kebebasan anak ke dalam kebijakan dan program seluruh pemangku
kepentingan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi;
Memberdayakan seluruh pemangku kepentingan termasuk kelompok anak
dan keluarganya dalam meningkatkan pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak;
Merumuskan kerangka kerja kebijakan pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak dalam tiap tahapan pembangunan dan tingkatan administrasi
pemerintahan;
Membangun sistem informasi dan pendataan di bidang pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak sebagai dasar analisis kebijakan;
II. 6. Indikator
Adanya pengarusutamaan anak khususnya isu hak sipil dan kebebasan anak
ke dalam kebijakan, anggaran dan program pada setiap sektor
Adanya pemberdayaan terhadap seluruh pemangku kepentingan, termasuk
kelompok anak dan keluarganya dalam meningkatkan pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak;
Adanya kerangka kerja kebijakan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak
dalam tiap tahapan pembangunan dan tingkatan administrasi pemerintahan
Adanya data dan informasi di bidang pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak
18
BAB III
SITUASI PEMENUHAN HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
ANAK DI INDONESIA
19
kabupaten dan kota di Indonesia baru tercatat 68 kabupaten dan kota yang
membebaskan akta kelahiran (Sumber : KPAI, 2007). Dari sejumlah 68 daerah
tersebut ternyata juga ditemui masalah koordinasi antar instansi terkait dalam
proses penerapan kebijakan tersebut, di mana meskipun akte kelahiran sudah
ditetapkan gratis namun tidak bisa segera dicatatkan dalam buku registrasi
penduduk karena tidak ada alokasi anggaran untuk pencatatan tersebut.
Dampaknya adalah data kependudukan yang berasal dari akte kelahiran
tersebut belum bisa dimasukkan sebagai data dasar bagi perencanaan
pembangunan daerah.
Atas berbagai masalah tersebut sudah dilaksanakan dan mulai
direalisasikan upaya untuk memberikan stimulan kepada pemerintah
kabupaten/kota selaku penyelenggara pencatatan kelahiran, dan disetujui secara
bertahap sejak 2006 hingga 2011. Melalui upaya ini diharapkan pemerintah
kabupaten/kota menghapuskan ketentuan retribusi bagi pembuatan akte
kelahiran di daerahnya.
Pembebasan biaya bagi pembuatan akte kelahiran sebetulnya sudah
diatur dalam Permendagri No. 28 Tahun 2005, yang berbunyi :
Pembebasan biaya bagi pembuatan akte kelahiran diberikan bagi kelahiran
yang pelaporannya tidak melebihi 60 hari sejak kelahiran.
Pembebasan biaya pembuatan akte kelahiran ini sangat penting dan bukan
merupakan beban bagi pemerintah tetapi menjadi suatu kebutuhan. Hal ini
mengingat pembebasan biaya tersebut selain menjadi bukti pemenuhan hak
anak oleh negara juga akan mempercepat proses pencatatan kelahiran
penduduk, sehingga juga akan mempercepat tersedianya data jumlah penduduk
yang akurat yang diperlukan bagi perencanaan pembangunan nasional dan
daerah. Sedangkan pembatasan waktu 60 hari harus dipahami sebagai sebuah
sistem yang merupakan upaya untuk mengoptimalkan fungsi pencatatan
kelahiran. Pembatasan tersebut bukan untuk memberatkan warga negara,
namun untuk mendorong mereka agar segera mengurus kepemilikan akte
kelahiran anaknya, baik anak yang baru lahir maupun anak belum sempat diurus
kepemilikan akte kelahirannya. Dengan disegerakannya pengurusan akte
kelahiran tersebut, penduduk akan makin cepat terlindungi hak-haknya dan
pemerintah makin cepat memperoleh data statistik vital. Tertib sosial yang
menyangkut kejelasan identitas setiap warga masyarakat pun bisa lebih mudah
terwujud.
Permasalahan lain yang tidak bisa segera diatasi adalah keterbatasan
anggaran pemerintah dalam mempermudah akses pelayanan akte kelahiran, di
mana di banyak daerah pelayanan kantor catatan sipil hanya dibuka di kota
kabupaten, dan belum sampai pada tingkat kecamatan atau kelurahan. Kondisi
semacam ini lebih terasa terutama di daerah-daerah pelosok yang belum
memiliki pelayanan transportasi yang memadai, sehingga lokasi kantor catatan
sipil yang jauh dari tempat tinggal dan biaya transportasi yang mahal
menghambat penduduk untuk mengurus akte kelahiran anaknya. Terlebih ketika
pengurusan akte tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu hari,
sehingga penduduk harus mendatangi kantor catatan sipil beberapa kali. Hal ini
membawa konsekuensi pada biaya transportasi dan hari kerja yang tersita.
20
Dari paparan di muka sebenarnya terlihat bahwa landasan yuridis bagi
pemenuhan hak atas nama, kewarganegaraan dan hak untuk mempertahankan
identitas sudah sangat kuat dan petunjuknya juga sangat jelas. Namun hal
tersebut tetap membutuhkan peraturan-peraturan yang lain yang bisa
mendukung maupun yang lebih bersifat operasional serta peningkatan sarana
dan prasarana kelembagaan yang bisa memperluas jangkauan pelayanan
pengurusan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan.
Dalam aspek identitas anak dalam bentuk nama, kewarganegaraan yang
tertuang dalam akta kelahiran di Indonesia, telah terdapat beberapa
perkembangan positif. Sebagai contoh, pada tahun 2006 telah dikeluarkan
undang-undang baru, yakni UU No. 12/ 2006 tentang Kewarganegaraan yang
menghapus UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan. UU No. 12/2006
tersebut membawa angin segar bagi anak yang lahir dari rahim ibu warga negara
Indonesia (WNI) tetapi bersuamikan warga negara asing (WNA), karena bisa
memiliki kewarganegaraan ganda, baik menjadi WNI maupun WNA. Dalam UU
yang lama, untuk kasus yang sama kewarganegaraan anak akan mengikuti
kewarganeraan dari pihak ayahnya atau WNA.
Perkembangan positif lainnya adalah dalam kaitan penyelerasan
pencatatan kelahiran. Agar sesuai dengan prinsip hak anak terutama non
diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak, telah ada upaya dari DPR
berupa review dan amandemen terhadap perundangan lain seperti UU
No.9/1992 tentang Keimigrasian.
Perkembangan positif lainnya adalah dalam rangka implementasi dari UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah juga telah membuat
kebijakan di tingkat nasional untuk menggratiskan biaya pengurusan akte
kelahiran. Kampanye mengenai hal tersebut juga sangat gencar dilakukan di
media televisi, yang melibatkan presiden dan ibu negara serta menteri dalam
negeri. Ibu Negara sendiri dalam kampanye ini ditetapkan sebagai Duta
Pencatatan Kelahiran oleh Unicef. Berbagai upaya yang dilakukan tersebut
diharapkan akan semakin memperjelas posisi anak dalam kaitan pencatatan
kelahiran dan akan meningkatkan secara signifikan angka cakupan kepemilikan
akta kelahiran, yang menurut survei terakhir baru mencapai angka sekitar 40%.
Prinsip universal, permanen, dan kontinyu sudah diaplikasikan di
Indonesia secara utuh. Namun prinsip wajib dikenakan kepada 2 (dua) pihak,
yakni pemerintah yang wajib menyediakan sistem pencatatan kelahiran, dan
penduduk yang wajib melaporkan peristiwa penting kelahiran. Jadi kewajiban
dikenakan pada kedua belah pihak.
21
permasalahan ini menjadi semakin urgen jika mengingat beberapa
perkembangan terakhir sebagai berikut :
1. Adanya perubahan sosial yang begitu cepat yang menyebabkan
meningkatnya urbanisasi dan migrasi, yang sering memunculkan tindak
pidana pemalsuan identitas seseorang untuk berbagai tujuan, termasuk
tindak pidana perdagangan orang. Pemalsuan identitas dilakukan baik
dengan menaikkan usia anak dari usia yang sebenarnya maupun dengan
merubah nama anak untuk tujuan mempermudah dalam memperoleh
paspor untuk keperluan mendapatkan pekerjaan
2. Meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam dan sosial, termasuk
kerusuhan yang membawa resiko hilangnya tanda bukti identitas
seseorang sehingga rawan untuk terjadinya pemalsuan identitas
3. Masih ditemukannya praktek kebijakan negara yang diskriminatif seperti
yang terdapat dalam kasus perkawinan campuran atau perkawinan adat
yang tidak diakui negara, sehingga identitas anak hasil perkawinan
tersebut juga belum bisa diakui secara tuntas.
22
berorganisasi. Namun skalanya masih sangat terbatas dan implementasi lebih
lanjut masih menemui banyak kendala.
Dalam konteks menyatakan pendapat sebagai bentuk partisipasi anak
dalam pembangunan, pemerintah Indonesia, badan-badan PBB, LSM lokal dan
internasional telah bekerja secara sendiri-sendiri maupun bersama dalam upaya
pemajuan hak partisipasi bagi anak. Mereka telah berupaya menghadirkan
sarana bagi anak-anak untuk menyampaikan pendapat mereka kepada
pemerintah sebagai pengemban tugas (duty bearer). Beberapa contoh di
antaranya adalah Kongres Anak, Pemimpin Muda Indonesia, serta kelompok-
kelompok anak lain yang menjadi dampingan beberapa LSM. Semua forum
tersebut memfasilitasi anak untuk berdiskusi tentang masalah anak dan
menyampaikan hasilnya kepada pengemban tugas Pemerintah dan DPR.
Tidak seperti pada tingkat nasional, sarana di mana anak dapat menyalurkan
suaranya belum terbentuk di kebanyakan daerah.
Dalam ruang lingkup lebih kecil, seperti di lingkungan tempat tinggal,
sekolah dan keluarga, kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat
dan kebebasan berorganisasi masih sangat beragam. Namun demikian, budaya
paternalistik masih cukup dominan di dalam masyarakat, di mana paradigma
yang bersifat adult oriented membatasi hak anak untuk menyampaikan
pandangannya, sehingga budaya yang tumbuh adalah anak harus
mendengarkan dan menuruti apa kata orang dewasa dan pendapat anak
dianggap tidak begitu penting. Contoh yang mudah ditemui adalah ketika
orangtua menentukan pilihan sekolah anak atau jenis kursus yang harus diikuti
anak yang lebih didasarkan pada keinginan orangtua.
Kebanyakan sekolah hanya memfasilitasi keberadaan OSIS. Di sekolah,
OSIS sebagai organisasi siswa masih banyak yang belum aktif. Keberadaan
OSIS juga banyak yang masih cenderung berfungsi sebagai wadah aktivitas
siswa dan belum berperan efektif sebagai penyalur aspirasi siswa atau belum
secara optimal dalam memberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
Banyak kegiatan anak tersebut yangh sifatnya merupakan kewajiban dalam
sekolah, dan programnya ditentukan dari pihak sekolah atau para guru yang
notabenenya orang dewasa. Kenyataan lapangan lain anak belum mengetahui
dan memahami hak partisipasi mereka. Meskipun demikian, upaya-upaya baru
yang didasarkan pada penghargaan terhadap hak anak sudah mulai banyak
dilakukan, seperti perintisan atau uji coba program Sekolah Ramah Anak, Lomba
Penulisan Esai tentang Hak Anak, Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, di
mana para pemenangnya mempunyai tanggungjawab dalam mensosialisasikan
hak anak.
Kebijakan lain yang lebih implementatif juga sudah dibuat oleh
pemerintah, yakni dalam bentuk Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Dalam kebijakan tersebut, khususnya pada lampiran Perpres Bab 12 tentang
Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak. Pada Program Peningkatan Kesejahteraan dan
Perlindungan, salah satu kegiatan pokoknya adalah :
23
Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat
dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses
pembangunan.
24
Untuk hak ini, situasi di lapangan sendiri menunjukkan bahwa sejak lama
sudah terdapat berbagai organisasi yang beranggotakan anak-anak, meskipun
tidak menggunakan batasan usia anak seperti yang terdapat dalam UU
Perlindungan Anak. Beberapa contoh di antaranya adalah Ikatan Remaja
Muhammadiyah, Ikatan Pelajar NU, meskipun keduanya berada dalam payung
organisasi induknya yang lebih besar sudah mulai dirintis berdirinya forum-forum
anak. Sedangkan organisasi anak yang baru berdiri, seperti Forum Anak, Dewan
Anak atau nama yang lainnya sudah mulai banyak dirintis di beberapa daerah,
baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Mereka beranggotakan anak
dengan batasan usia di bawah 18 tahun dan berfungsi sebagai wadah
perwakilan anak dan penyalur aspirasi anak. Beberapa mereka sudah diakui
keberadaannya oleh pemerintah daerah setempat dan memiliki akses untuk
menyampaikan aspirasi mereka kepada gubernur. Yang masih perlu menjadi
perhatian adalah masih banyaknya OSIS yang tidak aktif, padahal potensi
manfaatnya sangat besar bagi pembentukan kepribadian dan kepemimpinan
anak di masa depan.
25
III. 7. Akses Kepada Informasi Yang Layak
Dalam UU Perlindungan Anak, pasal yang terkait dengan masalah akses
informasi yang layak bagi anak adalah pasal 10. Terdapat dua pengertian dalam
perolehan informasi pada anak, yakni hak anak untuk memperoleh informasi
yang memadai dan hak anak untuk bebas dari dampak negatif yang ditimbulkan
dari perolehan informasi tersebut. Dalam pengertian yang pertama, seiring
dengan era globalisasi yang juga melanda Indonesia, anak-anak juga semakin
mudah mengakses informasi baik melalui media cetak maupun elektronik.
Perkembangan dunia pers Indonesia yang makin terbuka juga diikuti oleh
semakin banyaknya anak-anak yang aktif dalam kegiatan jurnalistik, baik di
lingkungan sekolah melalui majalah dinding, di lingkungan komunitas melalui
radio komunitas, atau terlibat dalam rubrik/lembar atau program khusus untuk
anak di media cetak dan elektronik.
Dalam pengertian yang kedua, perkembangan teknologi informasi melalui
internet yang menyediakan segala informasi serta hiburan secara terbuka, selain
sangat bermanfaat bagi anak dalam menambah ilmu pengetahuan, sebaliknya
juga bisa menjadi ancaman bagi anak. Situs-situs hiburan di internet yang
diperuntukkan bagi orang dewasa secara mudah juga bisa diakses oleh anak-
anak, sehingga bisa mengganggu aspek moralitas anak. Hal ini juga didukung
oleh tumbuhnya usaha warung internet (warnet) yang menjamur, terutama di
daerah perkotaan. Dalam konteks inilah maka hak anak untuk terbebas dari
dampak negatif keterbukaan informasi perlu dipertanyakan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kalangan pengusaha warnet untuk
membatasi akses tontonan orang dewasa pada kelompok anak-anak masih
sangat terbatas jumlahnya dan belum diatur secara ketat dalam bentuk kode etik
yang disepakati dan ditatai secara bersama. Upaya lain yang dilakukan oleh
sebagian kalangan LSM di bidang anak untuk menghindarkan anak dari bahaya
media adalah dengan memberikan pendidikan melek media (media literacy), di
mana anak-anak diajak berpikir kritis terhadap media, dan mandiri dalam memilih
media yang akan dikonsumsinya secara bertanggung jawab, sehingga orangtua
dan guru tidak menjadi khawatir. Namun upaya tersebut jangkauannya masih
sangat terbatas. Upaya di tingkat masyarakat lain yang banyak dilakukan adalah
mendirikan perpustakaan yang berbasis komunitas dan perpustakaan keliling
seperti yang dilakukan oleh YKAI, Yayasan Murti Bunanta, Solidaritas Isteri
Kabinet Republik Indonesia Bersatu bersama Universitas Negeri Jakarta, dan
banyak lembaga lainnya.
Upaya yang dilakukan pemerintah sendiri dalam masalah ini masih
bersifat umum, yakni ditujukan kepada masyarakat secara umum. Di tingkat
kebijakan, beberapa kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah, secara
kelembagaan telah membentuk beberapa lembaga seperti Badan Sensor Film
(BSF), Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan dalam
kebijakan pemerintah bersama DPR juga tengah menggodok RUU Anti
Pornografi dan Pornoaksi. Selain itu upaya-upaya yang dilakukan di tingkat
lapangan sendiri adalah berupa razia terhadap barang-barang cetakan dan VCD
26
yang mengandung unsur pornografi. Upaya lainnya yang bersifat membuka
akses informasi kepada masyarakat yang juga bisa dimanfaatkan oleh anak-
anak adalah yang dilakukan oleh Depdiknas dengan memfasililtasi masyarakat
dalam pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) mulai 2007 ini. Sementara itu
mengoperasikan perpustakaan apung yang beroperasi di daerah-daerah
terpencil yang tidak bisa dijangkau oleh transportasi darat.
27
di Sumatera Utara, datanya menunjukkan 90% guru pernah menyuruh murid
berdiri di depan kelas, sedangkan80% guru pernah berteriak pada muridnya.
Selain itu juga akhir-akhir ini mulai diangkat masalah bullying atau tindak
kekerasan secara fisik maupun psikis yang dilakukan berdasarkan relasi kuasa
yang juga banyak terjadi di lingkungan sekolah. Di keluarga sendiri model
hukuman yang tidak manusiawi kadangkala masih sering terjadi dan dianggap
sebagai salah satu ritual dalam tumbuh kembang anak dalam kaitan proses
ritualnya.
28
BAB IV
PROGRAM PEMENUHAN HAK SIPIL
DAN KEBEBASAN ANAK
29
belum seminar dan indikator- Dicatatnya BPS
berhubungan Workshop indikator laporan Pusat Studi
satu sama lain Memasukkan data HSDKA dalam KDT Wanita di
kedalam website (Katalog Propinsi
Pe Dalam Pemprop
ngembangan Terbitan) Pemkab/
database Dimuatnya Pemkot
interdep laporan KPAID
Ca dalam Web-
pacity building site Anak
penyusunan Dijadikannya
database dengan indikator
menggunakan HSDKA
indicator yang sebagai
standar untuk indikator
sektor dan pemba-
stakeholders ngunan
Advokasi Kebijakan
30
Peningkatan Sumberdaya Kelembagaan Pemerintah
31
Pengembangan Akses Pemenuhan HSDKA
32
HSDKA HSDKA informasi online online Depbudpar ten/ kota
tentang HSDKA tentang Depkominfo
HSDKA Kepolisian
Kejaksaan
Pemda
LSM
Melakukan Seminar Laporan Hasil Dipahami-
dan Diskusi Publik Seminar dan nya isu
tentang HSDKA Diskusi Publik HSDKA
oleh publik
Mengembangkan Adanya sistem Dimanfaat- KPP Nasional
sistem informasi informasi online kannya Dep. Hukham Propinsi
online tentang tentang HSDKA akses Infor- Dep. Sosial Kabupa-
HSDKA masi Online Depbudpar ten/ kota
tentang Depkominfo
HSDKA oleh Kepolisian
masyarakat Kejaksaan
Pemda
LSM
Workshop dan Laporan hasil Meningkatnya KPP Nasional
Sosialisasi Panduan workshop dan kesadaran Depdagri Propinsi
Pencatatan sosialisasi masyarakat Dephukham Kabupa-
Kelahiran dan dalam Konsorsium ten/ kota
Manfaatnya bagi pencatatan Catatan Sipil
masyarakat kelahiran Media Massa
anaknya
Mengembangkan Adanya Dimanfaat- KPP Nasional
Child Helpline Fasilitas Telpon kannya TESA Dep. Hukham Propinsi
(Telpon Sahabat Sahabat Anak oleh Dep. Sosial Kabupa-
Anak) (TESA) masyarakat Depbudpar ten/ kota
Depkominfo
Kepolisian
Kejaksaan
Pemda
LSM
33
organisasi organisasi (mis: BEM, dll)
pelajar, pelajar, Organisasi
kemahasis- kemahasis- Kepemudaan
waan dan waan dan Lainnya (mis:
kepemudaan kepemudaan Karang Taruna)
34
Belum maksimal- Mengadakan rapat Laporan Adanya KPP Nasional
nya mekanisme koordinasi perenca- pertemuan pembagian Pemda Propinsi
koordinasi antar naan, pelaksanaan koordinasi peran antar Perguruan tinggi Kabupa-
para pemangku dan evaluasi Teridentifikasi- para pemang- LSM ten/ kota
kepentingan kegiatan nya para ku kepen- Orsos
pemangku tingan Ormas
kepentingan Tidak adanya Swasta
baik lembaga tumpang Kelompok Anak
maupun individu tindih
Agenda kegiatan
kegiatan Terjalinnya
kebersamaan
antar para
pemangku
kepentingan
35
BAB V
PENGORGANISASIAN
V. 1. Nasional
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian kebijakan dan program
pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di Indonesia, Deputy IV
Kementerian Pemberdayaan Perempuan melakukan koordinasi di tingkat
pusat baik dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan
secara terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program HSDKA di Indonesia akan dilaksanakan oleh
masing-masing sektor dan lembaga sesuai dengan bidang programnya
Deputy IV Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan melakukan
upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan sektor terkait, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia
V. 2. Propinsi
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian program pemenuhan hak
sipil dan kebebasan anak di tingkat propinsi, Biro Pemberdayaan
Perempuan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemda dalam koordinasi
program perlindungan anak dengan sektor terkait melakukan koordinasi
dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan secara
terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di
tingkat propinsi akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor dan
lembaga sesuai dengan bidang programnya
Biro Pemberdayaan Perempuan atau lembaga sejenis di tingkat propinsi
akan melakukan upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan sektor
terkait, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil
dan kebebasan anak di masing-masing propinsi
36
V. 3. Kabupaten/Kota
Dalam upaya koordinasi dan pengorganisasian program pemenuhan hak
sipil dan kebebasan anak di tingkat kabupaten dan kota, Bagian
Pemberdayaan Perempuan atau instansi lain yang ditunjuk oleh
pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi dalam program
perlindungan anak di tingkat kabupaten dan kota akan melakukan
koordinasi dengan sektor terkait maupun lembaga swadaya masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dilaksanakan
secara terpadu dan terintegrasi
Pelaksanaan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak di
tingkat kabupaten dan kota dilaksanakan oleh masing-masing kecamatan
dan mengakses ke kelurahan-kelurahan dan lembaga lain sesuai dengan
bidang programnya
Bagian Pemberdayaan Perempuan atau lembaga sejenis akan melakukan
upaya-upaya pengumpulan laporan dan kegiatan terkait, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dalam kaitan program pemenuhan hak sipil dan kebebasan
anak di Indonesia
37
BAB VI
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
38
Adanya kerangka kerja kebijakan dalam pemahaman dan pemenuhan
serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak
Adanya pendayagunaan sumber daya dalam pemahaman dan
pemenuhan serta perlindungan hak sipil dan kebebasan anak
Adanya data dan informasi di bidang
Adanya sosialisasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi juga dapat dilakukan oleh pihak lain
yang memiliki kompetensi dan kepentingan dalam rangka perlindungan anak.
Model monitoring dan evaluasi yang lain juga bisa diterapkan, terutama model-
model yang partisipatif yang melibatkan anak dalam pelaksanaannya, karena
hasilnya bisa memberi gambaran yang lebih lengkap.
Pada dasarnya monev dan pelaporan ini berbasis pada pedoman
pelaporan pelaksanaan KHA (CRC Guidelines), yang merupakan kewajiban
pemerintah Indonesia secara berkala kepada Komite Hak Anak PBB. Referensi
yang berupa pasal-pasal tentang Hak Sipil dan Kebebasan Anak beserta
pertanyaan sebagai instrumen pelaporan, terlampir.
39
BAB VII
PENUTUP
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Lampiran I :
Pasal dalam KHA menurut Jenis Hak-hak Anak dalam Kluster Hak Sipil dan
Kebebasan
3. Kebebasan Berpendapat
42
4. Kekebasan Berfikir, Berkesadaran, dan Beragama
6. Perlindungan Privasi
43
ragam sumber nasional dan internasional yang berbeda-beda, terutama sumber-sumber yang
dimaksudkan untuk me-ningkatkan kesejahteraan sosial, jiwa dan moralnya serta kesehatan
fisik dan mentalnya. Untuk ini negara-negara peserta akan :
(a) Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan-bahan yang
bermanfaat dari segi sosial dan budaya bagi anak dan sesuai dengan semangat pasal 29
(b) Mendorong kerjasama inter-nasional dalam pembuatan, pertukaran dan penyebar-luasan
informasi dan bahan-bahan seperti itu dari beraneka ragam sumber kebudayaan, nasional
dan internasional;
(c) Mendorong pembuatan dan penyeba-rluasan buku-buku untuk anak;
(d) Mendorong media massa untuk secara khusus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
linguistik anak yang termasuk di dalam kelompok minoritas dan yang pribumi;
(e) Mendorong pengembangan garis-garis pedoman yang tepat untuk melindungi anak dari
informasi dan bahan-bahan yang merugikan bagi kesejahteraan anak dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dari pasal 13 dan 18
Pasal 39 :
Pihak negara akan mengambili langkah-langkah tepat untuk meningkatkan penyembuhan
psikologis dan fisik serta reintegrasi sosial seorang anak yang merupakan korban dari, segala
bentuk kesewenang-wenangan, penyiksaan, eks-ploitasi atau penyiksaan; penganiayaan atau
bentuk kekejaman lainnya; perlakuan tidak manusiawi atau peng-hinaan atau penghukuman; atau
konflik senjata. Penyembuhan dan reintegrasi tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan
yang mendukung kesehatan, penghargaan diri dan martabat anak
44
Lampiran II : Pasal-pasal terkait yang terdapat Peraturan Perundang-
undangan Nasional menurut Kluster dalam KHA
Pasal 29 berbunyi :
(1) Jika terjadi perkawinan campuran
antara warga negara Republik
Indonesia dan warga negara asing,
anak yang dilahirkan dari perkawinan
45
tersebut ber-hak memperoleh kewarga-
negaraan dari ayah atau ibunya sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(2) ...
(3) Dalam hal terjadi per-ceraian
sebagaimana di-maksud pada ayat (2),
sedangkan anak belum mampu
menentukan pilih-an dan ibunya berke-
warganegaraan Republik Indonesia,
demi kepen-tingan terbaik anak atau
atas permohonan ibunya, pemerintah
berkewajiban mengurus status
kewarga-negaraan Republik Indo-nesia
bagi anak tersebut
Pasal 19 :
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan
keterangan palsu pada dokumen negara atau
dokumen lain atau memalsukan dokumen negara
atau dokumen lain, untuk mempermudah terja-
dinya tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta
rupiah).
46
3. Hak Untuk Menyampaikan Pendapat
Pasal 43 berbunyi :
(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
orangtua, wali dan lembaga sosial
menjamin perlindungan anak dalam
47
memeluk agamanya
(2) Perlindungan anak dalam memeluk
agamanya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pembinaan,
pembimbingan, dan pengamalan ajaran
agama bagi anak
Pasal 56 berbunyi :
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemeliharaan dan perawatan wajib
mengupayakan dan membantu anak, agar
anak dapat :
(a) ...
(b) bebas menyatakan pendapat dan
berpikir sesuai dengan hati nurani dan
agamanya
(c) ...dst.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikembangkan dan disesuaikan dengan
usia, tingkat kemampuan anak, dan
lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan anak
Pasal 86 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebo-
hongan, atau membujuk anak untuk memilih
agama lain bukan atas kemauannya sendiri,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak
tersebut belum berakal dan belum
bertanggungjawab sesuai dengan agama yang
dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 56 yang berbunyi : UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi :
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemeliharaan dan perawatan wajib Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
mengupayakan dan membantu anak, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
agar anak dapat :
(a) ..... Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang
(d) bebas berserikat dan berkumpul Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(e) ....dst. Nasional (RPJMN) 2004-2009.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada Dalam kebijakan tersebut, khususnya pada
ayat (1) dikembangkan dan dise- lampiran Perpres Bab 12 tentang Peningkatan
suaikan dengan usia, tingkat Kualitas Kehi-dupan dan Peran Perempuan serta
kemampuan anak, dan lingkungannya Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, pada
agar tidak menghambat dan meng- Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlin-
48
ganggu perkembangan anak dungan, salah satu kegiatan pokoknya adalah
Pasal 13 berbunyi :
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang-
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertang-gungjawab atas peng-asuhan berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik eko-nomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekerjaman, kekeras-an dan penganiayaan
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lain-nya.
Pasal 16 berbunyi :
49
(2) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiaya-an, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
(3) Setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum
(4) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir
Pasal 17 berbunyi :
(1) Setiap anak yang diram-pas kebebasannya
berhak untuk:
a. mendapatkan perla-kuan secara ma-nusiawi
dan penem-patannya dipisahkan dari orang
dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan
lainnya secara efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di
depan pengadilan anak yang obyektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
keke-rasan seksual atau yang berhadapan
dengan hu-kum berhak dirahasiakan
Pasal 18 berbunyi
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya.
Pasal 80 berbunyi :
(1) Setiap orang yang mela-kukan kekejaman,
keke-rasan atau ancaman kekerasan, atau
pengani-ayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (Tujuh puluh dua juta rupiah)
(2) Dalam hal anak seba-gaimana dimaksud pada
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(3) Dalam hal anak seba-gaimana dimaksud pada
ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah)
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagai-mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orangtuanya
50
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui :
(a) ....
(b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi
(c) ... dst
51