Anda di halaman 1dari 4

Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Mesir

            Mesir berada di bawah kekuasaan Ustmani yang di mulai oleh Sultan Salim tahun 1517. Tetapi
setelah bertambah lemahnya kekuasaan Sultan. Sultan di abad ke-17, Mesir mulai melepaskan diri
dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.

            Sultan-sultan Ustmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Cairo untuk bertindak sebagai
wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak ditangan
kaum Mamluk, kedudukannya di Cairo tidak lebih dari kedudukan seorang Duta Besar.

            Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli kaukasus, suatu daerah pergunungan
yang terletak didaerah perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke Cairo
untuk diberi didikan militer, dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka meningkat dan
diantaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi.

            Setelah jatuhnya prestise Sultan-sultan Ustmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada
Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan secara kekerasan dari
rakyat Mesir ke Istambul. Kepala Mereka disebut Syaikh Al- Balad dan Syaikh inilah yang sebenarnya
menjadi raja di Mesir pada  waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu
bahasa Turki dan tidak pandai berbahasa Arab, hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu
baik.[1]

            Kekuasaan orang-orang Mamluk terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1769.
Saat itu Ali Bei seorang Mamluk kelahiran Caucasus mampu mengusir Pasya Ustmani dari Mesir dan
memaklumkan dirinya bebas dari kekuasaan Ustmani. Selanjutnya Ali Bei mendapat gelar Sultan
Mesir dan penguasa dua laut (laut tegah dan laut merah).[2]

            Dengan dalih menghukum penguasa-penguasa Mamluk yang sudah berlaku sewenang-


wenang, Napoloeon Bonaparte mendarat di Alexandria pada tangga 2 juni 1798 dan keesokan
harinya kota pelabuhan ini jatuh. Sembilan hari kemudian kota Rasyid, sebelah timur Alexandria,
jatuh pula pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di bawah pyramid didekat Cairo.
Pertempuran terjadi di daerah itu dan kaum mamluk lari ke Cairo, tetapi mereka tidak mendapat
simpati dan sokongan rakyat sehingga terpaksa lari ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22
juli Napoleon telah dapat menguasai Mesir.

            Pada tanggal 18 Agustus 1799 ia meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang
di bawahnya ditinggalkan di bawah pimpinan jenderal kleber. Dalam pertempuran melawan Inggris
tahun 1801 kekuatan Prancis di Mesir semakin melemah dan akhirnya mengalami kekalahan
sehingga pada tanggal 31 Agustus 1801 ekspedisi ini berakhir dan Napoleon meninggalkan Mesir.

            Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan
ilmiah. Institut d’egypte yang dibentuk Bonaparte mempunyai empat bagian : Bagian ilmu pasti,
bagian ilmu alam, bagian ekonomi politik dan bagian sastra seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga
ini bernama la Decade Egyptiene. Disamping itu terdapat majalah La Courrier D’Egypte yang
diterbitkan oleh Mart Auriel seorang pengusaha yang ikut dalam Ekspedisi Napoleon. Sebelum
kedatangan ekspedisi Perancis ini Mesir tidak mengenal percetakan, majalah maupun surat kabar.

            Ekspedisi Napoleon ke Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu:

1)      Sistem pemerintahan yang didalamnya kepala Negara dipilih untuk  waktu tertentu, tunduk
kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen.
2)      Ide persamaan (Egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam
pemerintahan.

3)      Ide kebangsaan umat islam waktu itu adalah seluruh umat islam, yaitu bahwa tiap orang islam
adalah saudara, mereka tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.

            Inilah beberapa dari ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir ide-ide yang pada waku
itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat islam di Mesir tetapi dalam perkembangan
kontak dengan barat di abad ke 19 ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima dan dipraktekan.
[3]

Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di India

            Pada abad ke 18 terjadi pertemuan panjang antara Inggris dan perancis karena berebut
daerah jajahan di Asia. Hasilnya Inggris mengalahkan Perancis. Kemenangan inilah yang kemudian
membelokkan tujuan Inggris di India yang semula berdagang berubah ingin menguasai. Saat itu
kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan mudah menundukkan satu persatu
wilayah Mughal.

            Kelemahan Mughal menjadi sebab makin leluasanya Inggris memperluas wilayah jajahan pada
masa pemerintahan Akbar II terjadi konsesi antara Mughal dan EIC. Inggris bebas mengembangkan
usahanya dan sebagi imbalannya Inggris memberikan jaminan kehidupan Raja dan keluarga istana.
Sejak itu kedudukan Raja tak ubahnya seorang pensiunan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika
kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke rangan (1858).
[4]

            Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada tiga kelompok yang
berbeda strategi dalam merespon imperiaslime Inggris. Pertama, kelompok yang non-kooperatif
yang dipelopori oleh ulama’ tradisional deoband. Kedua, bekerja sama dengan Inggris diwakili oleh
Sayyid Ahmad Khan dan ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang motori oleh gerakan Aligarh yang
merupakan pengikut Ahmad Khan.[5]

            Pada 1885 orang India bergabung dengan partai politik All Indian National Conggres,
tujuannya adalah untuk mendapatkan kemerdekaan, baik kelompok Islam maupun non muslim
dalam satu wadah. Namun, tokoh-tokoh muslim mulai berfikir kembali bahwa umat Islam India
harus memiliki Negara sendiri maka, terbentuklah partai liga muslim pada 1906 di Dhaka atas
prakasa Nawab Vikarul Mulk dan Sir Salimullah. Pada saat itu Muhammad Ali jinnah masih menjadi
anggota inti di konggres.

            Akhirnya, pada 1913 Jinnah masuk liga muslim dan sekaligus sebagai ketua partai. Pada 1930
Iqbal menegaskan sebagai berikut. Saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan Utara, Sind dan
Balikhistan bergabung menjadi satu Negara. Pada 1940, diadakan konfrensi (rapat tahunan liga
muslim) di Lahore. Dalam, konfrensi itu disepakati untuk mendirikan Negara Islam yang terpisah dari
Negara India. Ide tersebut dikemukakan oleh Sher-e- bangle A.K.M. Fazlul Haq. Akhirnya, pada 14
Agustus 1947 Pakistan memperoleh kemerdekaan dan beberapa menit kemudian kemerdekaan
India diumumkan (15 Agustus 1947) pada pukul 00.01 dini hari, ketika Inggris menyerahkan
kedaulatannya di India kepada dua dewan Konstitusi, satu untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari
Pakistan dan Bangladesh sekarang) dan Lainnya untuk India. Pada saat yang sama Muhammad Ali
Jinnah ditunjuk sebagai kepala Negara Pakistan dengan dasar Negara adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Pakistan memiliki dua wilayah yaitu, Pakistan Barat yang terletak dibagian Timur India )sebelum
akhirnya merdeka menjadi Negara Bangladesh)[6]

Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Indonesia

            Nasionalisme dalam pengertian politik baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan


tampak pimpinan SDI pada bulan Mei 1991 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan
sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor besar yang
merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, Ideologi
bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideologi mereka
adalah persatuan dan anti-kolonialisme.

            Banyak kalangan pergerakan yang kecewa terhadap perpecahan itu. Mereka lebih kecewa
lagi, karena perpecahan itu bukan saja menunjukkan perbedaan taktik, Tetapi lebih dari itu masing-
masing golongan semakin ideology islamnya. Nasionalisme yang dikembangkannya adalah
nasionalisme yang berdasarkan ajaran-ajaran islam.

            Kekecewaan itu beralasan karena untuk mencapai tujuan (kemerdekaan), persatuan sangat
dibutuhkan. Akan tetapi, reaksi yang muncul bukan usaha mempersatukan dua kekuatan yang
bertikai. Orang-orang yang kecewa itu kemudian mendirikan kekuatan politik baru yang bebas dari
komunisme dan islam, diantarnya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, Partai Indonesia
(Partindo) tahun 1931, dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) juga pada tahun 1931. Dengan
demikian, pihak-pihak yang bertikai secara ideology bertambah satu kubu lagi. Mereka ini seiring
disebut dengan nasionalis “sekuler” atau nasionalis “netral agama”.[7]

            Hanya disumatra barat masyarakat islam mampu memadukan antara islam dan nasionalisme
yaitu melalui persatuan muslimin Indonesia (Permi), dipimpin oleh Mucthar Lutfhi yang baru
menyelesaikan studinya di Kairo, Mesir. Permi adalah organisasi yang berdasarkan islam dan
kebangsaan, suatu asas yang oleh beberapa pimpinan islam waktu itu dianggap tidak benar seakan-
akan islam merupakan ajaran yang tidak sempurna sehingga harus dibubuhi dengan nasionalisme.[8]

            Namun demikian kondisi di atas mereka setelah di bentuk panitia sembilan yang terdiri dari
Soekarno, Muhammat Hatta, Ahmad Soebarjo, A.A. Maranis dan Muhammad Yamin yang mewakili
umat islam adalah Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Abi Kusna Tjokrosujoso, dan Abdul wahid
Hasysim. Pada tanggal 22 juni, kesembilan wakil itu menyepakati satu program yang kita kenal
dengan Piagam akarta.

            Perjuangan para wakil umat islam terhadap darat Negara belum tuntas. Pada tanggal 11 juli
1945, beberapa anggota BPUPKI yang beragama Kristen mengexpresikan keberatan mereka akan
tujuh kata itu walaupun wakil mereka di dalam panitia sembilan tidak menyanggahnya.

            Akhirnya, pada taggal 16 juli 1945 The Jakarta Charter, yang belum dirubah, itu
ditandatangani oleh kesembilan wakil itu dengan mengorbankan keberatan dari pemeluk Kristiani.
Kondisi ini tidak berubah sampai Negara bangsa Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka
baru oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. namun demikian, kondisi itu tidak bertahan
lama karena akhirnya ketujuh kota itu harus dihapus dalam dasar Negara.
            Pada tanggal 18 Agustus 1945, Muhammad Hatta mengusulkan untuk menghapus kutujuh
kota itu. Para wakil umat Islam setuju untuk menghapus  ketujuh kata itu dengan syarat harus ada
penggatinya. Akhirnya ketujuh kata itu diganti dengan yang Maha Esa. Perubahan itu mempunyai
arti yang sangat penting bagi para wakil umat islam.[9]

            Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksaan tersebut,


beberapa  kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-
forum berkenaan dengan aspirasi politik islam. Bahkan dengan kebijaksaan  yang dimaksudkan
sebagai upaya modernisasi politik bangsa itu, umat islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri
dari ikatan primodialismenya, pindah dari dunianya yang sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak
pemikir islam yang beranggapan dengan ditariknya islam dari level politik, perjuangan cultural dalam
pengertian luas menjadi sangat relavan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[10]

Anda mungkin juga menyukai