Anda di halaman 1dari 29

TEORI AKUNTANSI

AKUNTANSI BIAYA
Dosen Pengampu: Dr. Mustakim Muchlis, S.E., M.Si.,

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
AKUNTANSI A

Gusti Rahyuni 90400120003


Ainul Karima Aras 90400120014
Nurul Annisa 90400120021
Yulia Rahmah 90400120025
Rindi Antika Sari 90400120026

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023/2024
A. PENGERTIAN BIAYA
Pengertian biaya tidak dapat dipisahkan dengan pengertian kos dan aset dan
juga rugi (loss). Biaya (cost) adalah nilai kas atau ekuivalen kas yang digunakan
untuk barang atau jasa yang diperkirakan untuk membawa manfaat di masa sekarang
atau masa depan pada organisasi (Kriekhoff & Riupassa, 2017). Hubungan antara kos,
aset, biaya, dan rugi tetapi biaya dan rugi sendiri belum didefinisi secara formal.
Pembahasan tersebut hanya menyebutkan bahwa bila kos tidak memenuhi definisi
aset (dapat ditang- guhkan pembebanannya terhadap pendapatan), kos tersebut dapat
masuk sebagai biaya atau rugi. Dalam SFAC No. 6, FASB mendefinisi biaya
(expenses) dan rugi (lasses) sebagai berikut:
1. Pengeluaran adalah arus keluar atau penggunaan aset lainnya atau timbulnya
kewajiban (atau kombinasi keduanya) dari penyerahan atau produksi barang,
pemberian jasa, atau pelaksanaan aktivitas lain yang merupakan operasi utama
atau sentral entitas yang sedang berlangsung.
2. Kerugian adalah penurunan ekuitas (aset bersih) dari transaksi periferal atau
insidental suatu entitas dan dari semua transaksi lain serta peristiwa dan
keadaan lain yang memengaruhi entitas kecuali yang dihasilkan dari
pengeluaran atau distribusi kepada pemilik.
APB selanjutnya menjelaskan bahwa seperti pendapatan, biaya timbul hanya
dalam kaitannya dengan kegiatan penciptaan laba yang mengakibatkan perubah- an
ekuitas. Pengiriman barang (direpresentasi dengan kos barang terjual) dalam transaksi
penjualan merupakan biaya karena hasil bersih (net result) penjualan tersebut adalah
perubahan ekuitas. Di lain pihak, timbulnya kewajiban untuk pembelian aset bukan
merupakan biaya karena ekuitas tidak dapat berubah pada saat pembelian tersebut.
Dengan makna yang hampir sama, IAI (IASC) mendefinisi biaya dalam Standar
Akuntansi Keuangan (2002) sebagai berikut:
“Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu perioda akuntansi
dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang
mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada
penanam modal”
Anthony, Hawkins, dan Merchant (1999) memberi pengertian cost dan bebera-
pa istilah yang berkaitan dengan terjadinya cost sebagai berikut :
” Biaya adalah ukuran moneter dari jumlah sumber daya yang digunakan
untuk beberapa tujuan. Pengeluaran adalah penurunan aset (biasanya uang tunai) atau
peningkatan kewajiban (biasanya hutang dagang) yang terkait dengan timbulnya
biaya. Pengeluaran dalam suatu periode akuntansi sama dengan biaya semua barang
dan jasa yang diperoleh pada periode itu. Pengeluaran adalah item biaya yang berlaku
untuk periode akuntansi saat ini. Biaya mewakili sumber daya yang dikonsumsi oleh
aktivitas produktif entitas selama periode berjalan. Ketika pengeluaran dilakukan,
biaya terkait adalah aset atau beban. Jika biaya menguntungkan periode mendatang,
itu adalah aktiva. Jika tidak, merupakan beban-pengurangan laba ditahan periode
berjalan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran, tetapi begitu juga setiap pembayaran
tunai, seperti membayar hutang dagang, membayar kembali pinjaman, atau membayar
dividen tunai kepada pemegang saham.
Dari berbagai sumber di atas dan sebagai lawan dari pendapatan, terdapat dua
karakteristik penting yang melekat pada makna biaya yaitu:
a. Aliran keluar atau penurunan aset (arus keluar aset, penurunan bruto aset,
penurunan manfaat ekonomi, penggunaan aset, konsumsi aset, penggunaan
jasa ekonomi, biaya kadaluwarsa, biaya berlaku untuk periode berjalan).
b. Akibat kegiatan yang membentuk operasi utama yang terus menerus (operasi
besar yang berkelanjutan, kegiatan yang diarahkan pada laba, untuk tujuan
menghasilkan pendapatan, penciptaan pendapatan, aktivitas produktif).

B. PENGAKUAN BIAYA
Pengakuan biaya tidak dibedakan dengan pengakuan rugi. Pengakuan menyangkut
masalah kriteria pengakuan (recognition criteria) yaitu apa yang harus dipenuhi agar
penurunan nilai aset yang memenuhi definisi biaya atau rugi dapat diakui dan masalah
saat pengakuan (recognition rules atau timing) yaitu peristiwa atau kejadian apa yang
menandai bahwa kriteria pengakuan telah dipenuhi (Wardoyo, Regina Perdana, &
Mulyani, 2021). Tidak seperti pendapatan atau untung, biaya dan rugi tidak
mengalami mnasalah pembentukan dan realisasi.oleh karena itu, kriteria pengakuan
tidak dibedakan dengan kadiah pengakuan sehingga masalah pengakuan biaya (rugi)
adalah kapan penurunan nilai aset dapat dikatakan telah terjadi atau kapan biaya (rugi)
telah timbul sehingga jumlah rupiah biaya (rugi) dapat diakui.
1. Kriteria pengakuan
Biaya atau rugi pada umumnya diakui bilamana salah satu dari dua kriteria berikut
dipenuhi (SFAC No. 5, prg. 85):
a. Konsumsi manfaat (consumption of benefits)
Biaya atau rugi diakui bilamana manfaat ekonomik yang dikuasai suatu entitas
telah dimanfaatkan atau dikonsumsi dalam pengiriman atau pembuatan
barang, penyerahan atau pelaksanaan jasa, atau kegiatan lain yang
mempresentasi operasi utama atau sentral entitas tersebut.
b. Lenyapnya atau berkurangnya manfaat masa datang (loss or lack of future
benefits)
Biaya atau rugi diakui bilamana aset yang telah diakui sebelumnya
diperkirakan telah berkurang manfaat ekonomiknya atau tidak lagi mempunyai
manfaat ekonomik.
2. Kaidah atau saat pengakuan
Kejadian (event) apa yang menandai bahwa salah satu dari kriteria di atas telah
dipenuhi? Dengan kata lain, kapan dan bagaimana jumlah rupiah biaya yang
diperkirakan telah menghasilkan pendapatan diakui? Sebagai pedoman bagi
penyusun standar atau manajemen (kebijakan akuntansi perusahaan), perlu
dirumuskan pedoman umum saat pengakuan di tingkat rerangka konseptual.
FASB memberikan pedoman umum di bawah ini.
a. Konsumsi manfaat
Konsumsi manfaat ekonomik suatu perioda dapat diakui langsung pada
saat terjadinya atau diakui bersamaan dengan pengakuan pendapatan yang
berkaitan. Berbagai jenis atau pos biaya menghendaki cara pengakuan yang
berbeda yaitu (SFAC No. 5, prg. 86)
1) Beberapa pos biaya, seperti kos barang terjual, ditandingkan (matched
with) dengan pendapatan yang terkait. Mereka diakui pada saat atau
perioda yang sama dengan pengakuan pendapatan yang dihasilkan
langsung atau bersama (directly or jointly) dari transaksi atau kejadian lain
yang sama dengan yang menimbulkan biaya.
2) Banyak pos biaya, sepertu gaji staf penjualan dan administratif, diakui
selama perioda pada saat kas dibayarkan atau kewajiban terjadi untuk
barang dan jasa yang dimanfaatkan atau dikonsumsi bersamaan dengan
pemerolehan atau segera setelah itu.
3) Beberapa pos biaya, seperti depresiasi dan asuransi, dialokasi (diakui)
dengan prosedur sistematik dan rasional untuk perioda-perioda yang
menikmati manfaat aset bersangkutan.
b. Lenyapnya atau berkurangnya manfaat masa datang
Biaya atau rugi diakui bila telah menjadi nyata atau jelas bahwa
manfaat ekonomik masa datang suatu aset yang diakui sebelumnya telah
berkurang atau lenyap atau bahwa kewajiban timbul atau bertambah tanpa
adanya manfaat.
3. Kaidah pengakuan APB
Kaidah pengakuan di atas sebenarnya dilandasi oleh basis asosiasi yang oleh
APB disebut sebagai prinsip pengakuan biaya pervasif atau luas (pervasive
expense recognition principles). Hal ini dinyatakan oleh APB sebagai berikut
(APB Statement No. 4, prg. 157-160):
a. Mengasosiasi sebab dan akibat (associating cause and effect). Beberapa pos
diakui sebagai biaya atas dasar asosiasi langsung dengan pendapatan tertentu.
b. Alikasi sistematik dan rasional (systematic and rational allocation). Bila tidak
ada cara langsung untuk mengasosiasi sebab dan akibat, beberapa kos
diasosiasi dengan perioda sebagai biaya atas dasar usaha (attempt) untuk
mengalokasikan kos secara sistematik dan rasional ke beberapa perioda yang
diperkirakan menikmati manfaat.
c. Pengakuan segera (immediate recognition). Beberapa kos diasosiasi dengan
perioda berjalan sebagai biaya karena:
1) Kos yang terjadi dalam perioda berjalan tidak memberi manfaat masa
datang yang cukup nyata (discernible)
2) Kos yang dicatat sebagai aset dalam perioda-perioda sebelumnya tidak lagi
mempunyai manfaat ekonomik yang cukup nyata
3) Mengalokasikan berbagai kos baik atas dasar asosiasi dengan pendapatan
atau dasar perioda akuntansi dipandang tidak mempunyai manfaat yang
berarti.
Kaidah konsumat a FASB sejalan dengan kaidah pengakuan a oleh
APB, Kaidah b dan e oleh FASB sejalan dengan kaidah b oleh APD
Sementara itu, kaidah kelenyapan oleh FASH sesuai dengan kaidah e oleh
APB Pembahasan argumen yang melandaal kaidah ini dan berbagai
masalah yang berkaitan diuraikan setelah subbahasan berikut ini.
4. Hubungan Kos dan Blaya
Beberapa sumber mendefinisi biaya dalam kaltannya dengan pengertian kos
karena memang biaya tidak dapat dipisahkan dengan kos. Perlu ditegaskan
kembali bahwa kos adalah pengukur biaya atau biaya direpresentasi dengan kos
sehingga secara teknis dan praktis biaya sering disebut kos saja (sebagaimana
digunakan oleh APB di atasi. Memang biaya selalu dapat disebut kos karena kos
melekat di dalamnya (konsep dasar kos melekat). Akan tetapi, kos tidak selalu
dapat disebut. biaya karena kos dapat juga merepresentasi aset. Walaupun
demikian untuk pem- bahasan selanjutnya, biaya sering disebut dengan kos."
Dengan kos sebagai pengukur, kriteria konsumsi manfaat dan kelenyapan
manfaat dapat dinyatakan dalam bentuk keterhabisan kos (cost expiration).
Kriteria konsumsi lebih berkaitan dengan pengakuan biaya sehingga kriteria ini
oleh Paton dan Littleton (1970) disebut keterhabisan kos penciptaan pendapatan
(reve nue-producing cost expiration) sedangkan kriteria kelenyapan lebih
berkaitan de- ngan rugi sehingga kriteria ini dapat disebut keterhabisan kos
nonpenciptaan pendapatan (non-revenue-producing cost expiration).
5. Proses dan Konsep Penandingan
Laba akan mempunyai makna kalau laba merupakan selisih pendapatan dan
biaya yang mempunyai hubungan tertentu yang bermakna (bukan acak). Dua
tahap kritis perlakuan kos adalah pengakuan (aliran masuk sebagai aset) dan
pembebanan (aliran keluar sebagai biaya). Tahap pengakuan tidak mengalami
masalah pelik karena pengakuan lebih banyak menyangkut bukti objektif yang
umumnya tersedia pada saat transaksi. Di lain pihak, tahap pembebanan lebih
banyak menyangkut pertimbangan (judgment), pendapat (opinion), atau
interpretasi (interpretation) terhadap situasi yang melingkupi. Dengan kata lain,
tahap pembe- banan banyak melibatkan unsur kesubjektifan (subjektivitas).
Untuk menentukan laba yang bermakna (meaningful), perlu dipahami dua
pengertian penting yaitu proses penandingan (matching process) dan konsep atau
prinsip penandingan (matching concept or principle). Proses penandingan adalah
proses penentuan laba dengan cara mengukur atau menakar dahulu pendapatan
untuk suatu perioda dan barulah kemudian menentukan biaya yang berkaitan
dengan pendapatan tersebut. Konsep atau prinsip penandingan adalah dasar
pemikiran untuk menghubungkan pendapatan dan biaya sehingga laba yang &
hasilkan bermakna. Prinsip penandingan menjadi suatu kebutuhan (necessity)
dalam akuntansi karena alasan berikut:
a. Pengakuan pendapatan tidak langsung dikaitkan dengan pengakuan biaya
karena teknik pembukuan tidak memungkinkan hal tersebut. Dengan kata lain,
proses penandingan tidak dilakukan pada saat transaksi pendapatan terjadi
tetapi pada umumnya dilakukan pada akhir tahun.
b. Transaksi terjadinya pendapatan pada umumnya tidak berkaitan lang- sung
dengan transaksi terjadinya biaya. Sebagai contoh, pemerolehan dan
pembayaran barang dan jasa untuk menghasilkan produk tidak selalu
bersamaan (tidak terjadi dalam perioda yang sama) dengan penjualan dan
pengumpulan kas.
Prinsip penandingan akan menghasilkan basis asosiasi atau dasar penandingan
antara pendapatan dan biaya. Basis asosiasi diperlukan agar pemecahan kos
menjadi bagian yang tetap merepresentasi aset dan bagian yang merepresentasi
biaya mempunyai landasan yang kuat dan objektif. Atas dasar konsep upaya dan
capaian, konsep penandingan menyatakan bahwa untuk mendapatkan laba
periodik yang bermakna maka pendapatan yang diakui untuk suatu perioda harus
ditandingkan (diasosiasi) dengan biaya yang dianggap telah menciptakan
pendapatan tersebut Penandingan yang tepat akan terjadi kalau terdapat asosiasi
yang masuk akal (layak) antara pendapatan dan biaya. Asosiasi yang layak berarti
bahwa pendapatan dan biaya berkorelasi positif; artinya makin besar pendapatan,
makin besar pula biaya. Prinsip penandingan ini dikemukakan oleh Concepts and
Standards Research Study Committee, American Accounting Association sebagai
berikut.
… costs (defined as product and service factors gum up) should be related to
re- enues realized within a specific period on the basis of some discernible positif
correlation of such costs with the recognized revenues.
Karena pendapatan suatu perioda ditentukan lebih dahulu, prinsip penan
dingan akhirnya juga menentukan saat pengakuan biaya. Kaidah atau saat peng
akuan FASB dan APB yang dibahas sebelum ini dikembangkan atas dasar konsep
penandingan ini untuk menentukan laba periodik secara tepat. Bila dianalisis, tiap
ketentuan selalu didasarkan atas pertimbangan berikut:
1) Hubungan atau asosiasi dengan pendapatan.
2) Biaya diakui/dilaporkan dalam perioda yang sama dilaporkannya pendapatan.
6. Kelayakan Ekonomik
Masalah penandingan terletak pada penentuan dasar atau basin yang
memuaskan untuk menyatukan pendapatan dan biaya Penandingan yang tepat
harus didasar kan pada kelayakan ekonomik dan bukan fisis. Memang
penandingan menuntut identifikasi konsumsi manfaat aset atau jasa secara fisis
tetapi nilai aset atau jasa yang dikonsumsi juga harus ditentukan secara tepat
dengan memperhatikan kon disi yang melingkupinya. Oleh karena itu, dasar
penandingan yang paling utama adalah kelayakan ekonomik (economic
reasonableness) bukannya dasar aliran finis semata-mata.
Dalam industri sepatu misalnya, nilai atau kos kulit yang dibebankan ke
produksi adalah semua kos lembar kulit yang masuk proses walaupun secara finis
banyak bagian dari kulit yang tidak menjadi sepatu tetapi menjadi potongan-
potongan sisa kulit sebagai bahan buangan. Demikian juga, kos solar yang
dibeban kan terhadap pendapatan suatu perioda tidak harus merupakan kos solar
yang telah dibakar dalam perioda tersebut. Kos solar yang dibakar sebenarnya
dikon- sumsi oleh kegiatan-kegiatan yang menikmatinya dan kos yang akan
dibebankan terhadap pendapatan perioda berjalan bergantung pada ada tidaknya
kos solar yang terikat dalam harang dalam proses dan dengan demikian berkaitan
dengan kegiatan perioda berikutnya. Jadi, kos suatu faktor jasa yang digunakan
dalam operasi hanya akan dibebankan ke pendapatan sebanding dengan produk
yang dianggap telah menghasilkan pendapatan.
7. Menandingkan Bukan Mengkompensasi
Ada kalanya biaya komisi penjualan, biaya angkut pengiriman barang
(ekspedisi), dan biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan transaksi penjualan
dikurangkan langsung terhadap hasil penjualan dan hanya jumlah rupiah netonya
dicatat dalam akun Penjualan dan penjualan dilaporkan sebesar jumlah netonys.
Per lakuan semacam ini secara teoretis tidak layak. Karena karakteristik yang
berbeda, upaya harus dipisahkan dengan hasil Semua kos yang merepresentasi
upaya harus tetap dicatat sebagai kos (atau biaya kalau langsung dibebankan).
Sebalik nya, seluruh hasil penjualan produk harus dicatat seluruhnya secara utuh
sebagai pendapatan. Alasannya adalah aliran pendapatan dan kos berbeda dan
keduanya mencerminkan dua faktor yang berbeda (upaya dan hasil) sehingga tiap
faktor harus ditunjukkan secara utuh sesuai dengan fungsinya. Pos yang satu tidak
selayaknya dikompensasi dengan pos yang lain. Penyimpangan terhadap prinsip
ini jelas akan mengaburkan faktor-faktor penting dalam penentuan laba walaupun
besarnya laba tidak terpengaruh.

C. BASIS ASOSIASI
Dalam rangka menghubungkan biaya dan biaya,perlu dipertimbangkan basis
asosiasi yang menggambarkan penandingan yang secara ekonomik layak. Berbagai
basis asosiasi dibahas berikut ini.
1. Asosiasi Sebab dan Akibat
konsep upaya dan capaian menyatakan bahwa biaya merupakan upaya dalam
rangka mendapatkan capaian berupa pendapatan. Ini berarti ada hubungan sebab
akibat antara biaya dan pendapatan. Oleh karena itu, basis penandingan yang paling
masuk akal adalah sebab-akibat walaupun basis ini lebih merupakan asumsi daripada
kenyataan karena dalam banyak hal sulit untuk dibuktikan secara meyakinkan bahwa
biaya menyebabkan pendapatan. Hubungan biaya dan pendapatan tidak selalu bersifat
fisis atau hubungan satu lawan satu (pos lawan pos). Hubungan biaya dan pendapatan
merupakan bubungan agregat antara berbagai falktor biaya sebagai kesatuan dan
berbagai faktor pendapatan sebagai ke- satuan yanig lain. Jadi, hubungan biaya dan
pendapatan bersifat ekonomik bukannya fisis.
Walaupun demikian, hubungan sebab-akibat mempunyai validitas karena
pengamatan terhadap operasi perusahaan pada umumnya menunjukkan bahwa
pendapatan tidak akan terjadi tanpa penyerahan barang atau jasa. Jadi, tidak ada hasil
tanpa upaya; tidak ada biaya, tidak ada pendapatan. Inilah yang oleh Mill disebut
konsep penyebaban (causation).'' Sebagai contoh, komisi penjualan, gaji dan upah,
dan kos barang terjual perioda tertentu dapat dianggap menjadi upaya dalam
menimbulkan pendapatan perioda tersebut karena biaya-biaya tersebut secara mudah
dan intuitif dapat dikaitkan langsung dengan pendapatan.
Dalam hal perusahaan jasa, pada umumnya tidak ada suatu objek fisis yang dapat
dijadikan dasar (takaran) untuk menghubungkan pendapatan dengan biaya. Oleh
karena itu, takaran penghubungnya adalah perioda. Kos yang ditandingkan adalah kos
yang terjadi dalam perioda terjadinya pendapatan karena kos yang telah terjadi dalam
perioda tersebut dianggap telah menyebabkan (menciptakan) pendapatan tersebut.
Misalnya, gaji sopir tahun tertentu dalam perusahaan angkutan dapat ditandingkan
langsung dengan pendapatan angkutan tahun tersebut karena dengan takaran perioda,
gaji sopir tersebut dapat dikaitkan langsung dengan pendapatan (hubungan sebab-
akibat). Untuk perusabaan pemanufakturan, penandingan semacam ini nantinya
disebut dengan penandingan perioda (period matching).
Dalam hal perusabaan pemanufakturan, produk fisis dapat digunakan se-
bagai.sarana atau takaran hubungan sebab-akibat. Bila penyerahan 800 unit produk
(dengan kos Rp10.800) mendatangkan pendapatan Rp15.000, dapat dikatakan
penyerahan produk tersebut menyebabkan pendapatan. Dalam hal ini, kos yang harus
ditandingkan dengan pendapatan (yang menjadi biaya) adalah seluruh kos potensi jasa
yang melekat pada produk yang telab terjual yang mendatangkan pendapatan (sales
revenues). Secara umum dapat dikatakan bahwa semua kos produksi yang wajar dan
perlu harus dilekatkan pada unit produk dan baru diakui sebagai biaya saat produk
tersebut terjual. Penandingan sebab-akibat semacam ini disebut penendingan langsung
( direct matching) dan untuk perusahaan pemanufakturan penandingan langsung
seperti itu disebut dengan penandingan poduk (product matching). Peton dan Littleon
(1970) menyatakan dasar ini adalah yang paling ideal karena paling
merepresentasikan konsep upaya dan hasil. Tentu saja penendingan yang ideal ini
menuntut bahwa semua potensi jasa (termasuk kos administrative dan penjualan )
terggabung menjadi sau dan meletak pada produk (menjadi kos poduk). Bila dikaikan
dengan klasifikasi kos secara fungsional, penandingan prrroduk yan ideal dapat
dilakukan dalam Gambar 9.1 di bawah ini.
Kos bahan baku dan kos tenaga kerja langsung sering disebut kos produksi
langsung dan biasanya bersifat variabel. Kos overhead disebut pula dengan kos
produksi taklangsung dan biasanya bersifat tetap per perioda. Penandingan langsung
seperti di atas dapat merepresentasi hubungan sebab-akibat dengan jelas. Tidak dapat
diragukan bahwa penyerahan produk sebanyak 800 unit dengan kos Rp10.800
menyebabkan penjualan Rp15.000. Tanpa penyerahan produk, tidak ada pendapatan
(penjualan) sebesar Rp15.000. Walaupun demikian, penandinga lansung menghadapi
beberapa masalah teknis. Beberapa masalah dibberikut ini
2. Identifikasi Kos Produh
Karena produk terjual merupakan takaran penandingan, kos produk akan dipecah
menjadi dua komponen yaitu kos produk yang telah terjual dan kos produk yang yang
belum terjual dan masih menjadi aset perusahaan. Kos yang melekat pada produk
terjual akan langsung dibebankan sebagai biaya. Kos sediaan baru dibebankan sebagai
biaya kalau produk telah terjual. Masalah teknis yang timbul adalah idak semua kos
potensi jasa dapat dengan mudah dikaitkan dengan unit produk. Demikian juga, tidak
semua unsur kos produksi dapat secara langsung dikaitkan dengan unit fisis produk
atau dengan suatu angkatan produksi.

Secara teoretis dan praktis, kalau hubungan sebab-akibat harus dipertahankan,


hanya kos variabellah yang sebenarnya dapat dengan mudah diidentifikasi dengan
produk karena besarnya kos variabel sangat ditentukan oleh volume produksi. Kos
variabel meliputi kos produksi dan nonproduksi. Dengan demikian, kos manakah
yang dapat ditandingkan langsung dengan pendapatan dari hasil penjualan? Apakah
hanya kos variabel? Kalau hanya kos variabel, apaka kos produksi saja atau termasuk
kosnonproduksi variabel?
Dengan mempertahankan hubungan sebab-akibat secara penuh, salah sau
alternatif pemecahan masalah penandingan yang tepat adalah sediaan barang dan kos
barang terjual hanya memuat kos variabel. Sementara itu, kos tetap (produksi dan
nonproduksi) dipecah secara proporsional sesuai dengan perbandingan sediaan dan
kos barang terjual. Masalah teoretis yang timbul adalah apakah produksi tetap bersifat
tersediaankan (inventoriable)?
Dapat juga, semua kos tetap dianggap tidak tersediaankan dan diperlakukan
sebagai biaya periode. Pendekatan semacam ini disebut dengan pengkosongan
langsung/variabel (direct/uariable costing) sebagai pasangan dari pengkosan penuh
(full costing). Dengan pendekatan ini, kos operasi total yang dapat ditandingkan
dengan pendapatan adalah kos produksi variabel yang melekat pada unit produk
terjual plus semua kos tetap. Dengan demikian kos sediaan hanya memuat kos
produksi variabel saja dan penandingan semacam ini sebenarnya tidak secara penuh
merupakan penandingan langsung atau sebab-akibat. Untuk tujuan pelaporan
keuangan, pendekatan ini mempunyai kelemahan karena kos sediaan tidak
merepresentasi secara penuh kos potensi jasa yang melekat pada sediaan.
Dalam hal penjualan angsuran, yang mengakui pendapatan dalam suatu periode
hanya sebesar kas yang telah diterima, penandingan langsung atas dasar sebab-akibat
mengalami kesulitan Teknik untuk menentukan kos yang dianggap telah
menghasilkan penerimaan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada dasar yang cukup
teliti untuk memecahkan kos kedalam bagian yang telah menjadi sebab. Dalam hal
tertentu pemecahan tersebut menjadi sangat arbitrer sehingga penandingan langsung
tidak mudah diterapkan untuk penjualan angsuran.
3. Produk Usang atau Musiman
Masalah lain yang berkaitan dengan penandingan atas dasar sebab-akibat adalah
adanya produk musiman yang tidak laku dijual. Persoalannya adalah apakah produk
musiman yang tidak terjual merupakan sebab (sebagai biaya) atau bukan (sebagai
rugi).
Paton dan Littleton menegaskan bahwa penandingan harus didasarkan pada kelayakan
ekonomik. Dalam keadaan yang khusus sebagian kos sediaan aan yang terjual dalam
suatu perioda secara logis dapat dijadikan komponen kosbarang terjual. Sebagai
contoh, suatu toko pakaian musiman harus menyediakan berbagai ukuran dan warna
yang cukup banyak untuk memenuhi selera konsumer dengan konsekuensi yang tidak
terhindarkan dan cukup pasti bahwa sebagian dari sediaan pakaian jadi tersebut tidak
akan laku terjual pada akhir musim tertentu. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya
dapat dianggap bahwa Sebagian atau seluruh kos sediaan pakaian yang tidak terjual
tersebut (yang terpaksa harus dikorbankan pada akhir musim, misalnya dengan dijual
secara obral) merupakan bagian dari kos pakaian yang telah terjual. Tentu saja dalam
hal ini harus diasumsi bahwa voluma penjualan yang terjadi tidak mungkin akan
dicapai tanpa mengadakan sediaan dengan variasi yang cukup banyak. Dengan kata
lain, sediaan akhir yang tidak terjual sebenarnya merupakan upaya (biaya) atau sebab
untuk mendatangkan penjualan yang dicapai pada musim tertentu. Dengan demikian,
tidak selayaknyalah kos sediaan yang tidak terjual diperlakukan sebagai rugi.
4. Barang Rusak
Persoalan yang sama dengan barang musiman dapat diterapkan untuk produk
rusak. Apakah kos produk rusak dapat dianggap sebagai upaya atau sebab untuk
menimbulkan pendapatan?

kelayakan ekonomik menuntut pertimbangan dengan memperhatikan kondisi yan


melingkupi suatu masalah. Bila kerusakan produk merupakan normal atau bahkan
merupakan prasyarat untuk menghasilkan barang dengan kualitas baik, kos barang
yang rusak dapat dianggap sebagai upaya menghasilkan pendapatan.
5. Ideniikasi Kos Nonproduk
Kalau penandingan atas dasar sebab-akibat akan dipertahankan maka secara logis
tidak seluruh kos nonproduksi akan dibebankan sebagai biaya. Dalam contoh di
Gambar 9.1, kalau produk yang terjual hanya 800 unit maka kos nonproduksi yang
harus diakui sebagai biaya hanyalah Rp4.800 [80% x (Rp4.500 + Rp1.500)].
Perlakuan seperti ini didasarkan atas argumen bahwa kalau suatu potensi jasa yang
telah dikonsumsi (used up) belum memberi manfaat dalam periodesekang tetapi juga
tidak merupakan rugi maka kos tersebut tentunya akan memberi manfaat di masa
mendatang. Oleh karena itu, perlu diadakan alokasi agar dapat dicapai penandingan
yang tepat antara biaya dan pendapatan yang dibasilkan.

Jadi, dalam kaitannya dengan penandingan sebab-akibat, kos nonproduksi tidak harus
ditunda pembebananya untuk dikaitkan dengan pendapatan masa dating kalau tidak
ada kepastian tentang pendapatan masa datang yang dapat dikaitkan dengan kos
nonproduksi tersebut. Demikian juga, tidak pendapatan dalam perioda berjalan atau
adanya kemungkinan rugi tahun berjalan tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda
pembebanan kos nonproduksi. Dengan kata lain, bila pendapatan masa datang yang
dapat dikaitkan dengan kos nonproduksi tidak dapat diantisipasi dengan jelas,
semacam itu sangat tidak pasti, kos nonproduksi harus diakui sebagai biaya pada
perioda berjalan meskipun hal tersebut dapat mengakibatkan rugi. Ini berarti asosiasi
produk diganti dengan asosiasi prroduk.
6. Biaya Antisipasian
Biaya antisipasian (anticipated expenses) adalah biaya yang dianggap
menyebabkan timbulnya pendapatan tetapi baru terjadi setelah pendapatan diakui.
contoh adalah kos yang berkaitan dengan kegiatan purna-jual (ofter-sale costs) seperti
jaminan penjualan, jaminan reparasi gratis, dan pengumpulan piutang.
Bila penandingan sebab-akibat dipertabankan, kos semacam itu harus diantisipasi
dan diakui pada perjoda terjadinya penjualan meskipun kos belum terjadi.
Bahwajumlah rupiah pos antisipasian tidak pasti tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda pengakuan. Selama probabilitas terjadinya dan jumlab rupiahnya dapat
ditaksir dengan cukup tepat, kos antisipasian dapat diakui sebagai biaya perioda
terjadinya penjualan.
7. Alokasi Sistematik dan Rasional
Alokasi sistematik dan rasional merupakan proses penandingan dengan periode
sebagai penakar pendapatan dan biaya. Proses ini sering disebut penandingan perioda
(period matching). Dalam pengakuan biaya, diasumsi bahwa yang menerima manfaat
dari potensi jasa adalah perioda bukannya produk. Dasar penandingan ini sebenarnya
merupakan alternatif dasar sebab-akibat karena tidak selalu mudah mengidentifikasi
hubungan sebab-akibat antara pendapatan dengan biaya. Basis ini menghubungkan
biaya dengan pendapatan secara tidak langsung melalui perioda tejadinya pendapatan
sehingga tia sering disebut penandingan taklangsung (indirect matching), Walaupun
demikian, dalam banyak hal penandingan ini mendekati penandingan sebab-akibat.
Dasar ini cukup beralasan untuk beberapa jenis kos yang memang sangat erat
kaitannya dengan waktu seperti depresiasi, bunga, sewa, asuransi, dan semacamnya.
Keberatan terhadap terhadap penandingan ini adalah bahwa proses alokasi
menimbulkan banyak metoda alokasi. Karena kesulitan penentuan pola gunaan atau
konsumsi manfaat ekonomik yang sebenarnya, metoda alokasi yang dipilih sering
tidak sejalan dengan pola penyerapan tersebut. Sebenarnya, adanya berbagai metoda
alokasi menunjukkan bahwa akuntansi berusaha untuk menyelaraskan pola
penyerapan kos yang kira-kira mendekati pola pemanfaatan potensi sehingga konsep
penandingan yang tepat dapat dicapai. Depresiasi aset merupakan contoh masalah ini.
Alasan lain yang mendukung dasar penandingan ini adalah:
1) Banyak jenis biaya perioda yang berkaitan secara tidak langsung dengan
pendapatan perioda berjalan sehingga tidaklah terlalu menyimpang dari asosiasi
sebab-akibat meskipun kos potensi jasa diakui dan dilaporkan sebagai biaya pada
saat potensi jasa tersebut dikonsumsi. Misalnya untuk suatu toko buku, sewa toko
dapat diasosiasi dengan penjualan buku selama perioda penyewaan toko.
2) Dalam banyak hal, memang sulit untuk mencari kaitan langsung antara biaya-biaya
tertentu dengan pendapatan. Meskipun demikian, kalua biaya-biaya tersebut
memang diperlukan untuk operasi perusahaan secara keseluruban maka meretia
harus dibebankan pada perioda berjalan. Sebagai contoh adalah biaya
penyelenggaraan klinik dan perawatan
3) Bila biaya tidak dapat diasosiasi dengan cukup pasti dengan pendapatan masa
datang atau manfaat ekonomik tidak dapat dikaitkan dengan periodae periode masa
datang, tidak ada alasan kuat untuk menunda pembebanan manfaat ke masa datang.
Kos iklan di koran atau pembuatan dan pemasangan papan iklan serta kos riset dan
pengembangan adalah co ntohpotensi jasa yang tidak cukup pasti dapat
dihubungkan dengan perioda atau pendapatan masa datang.
4) Kalau kegiatan atau kejadian sifatnya normal (regular)'& dan berulang serta
jumlahnya relatif konstan, pembebanan langsung tidak mempegaruhi laba secara
material meskipun hal tersebut tidak menggankan penandingan yang sempurna
(perfect matching) atau bahkan salah tanding (mismatched). Misalnya, pajak bumi
dan bangunan pada umumnya diakui sebagai biaya pada tahun pembayarannya
meskipun biaya ini lebih berkaitan dengan tahun sebelumnya.
5) Suatu kondisi memang memaksa untuk alokasi (baik antarperiode atau
antarkegiatan) terutama untuk kos bergabung atau bersama (joint atau common
cost) meskipun basisnya agak arbitrer. Jadi, alokasi sistematik dan rasional
memang merupakan kebutuhan.

Bila dihubungkan dengan masalah ketersediaankanan (inventoriability) kas


nonproduksi, argumen (4) di atas juga menquatkan hahwa kalau toh bagian dari kos
nonproduksi yang berkaitan dengan produk yang belum terjual harus ditanguhkan
uhkan pembebanannya, maka hal tersebut tidak perlu. Bila kos nonproduksi bersifat
normal dan berulang, laba tidak akan terpengaruh oleh ditunda atau tidaknya
pembehanan kos nonproduksi tersebut meskipun terjadi salah-tandi ng akan
terpengaruh hanyalah laba untuk tahun pertama dan terakhir dalam masa hidup
perusahaan. Gambar 9.2 berikut melukiskan hal ini.

Dalam gambar di atas, Panel A melukiskan penandingan sebab-akibat secara


penuh. Panel B menggambarkan penandingan penuh hanya untuk kos produksi
sedangkan kos nonproduksi dibebankan seluruhnya pada tahun terjadinya. Porsi B
adalah kos produk yang dibebankan tahun berjalan sebagai kos barang terjual
sedangkan T adalah kos produk yang ditunda pembebanannya sebagai sediaan barang
tabun berjalan dan baru dibebankan ke pendapatan pada tahun berikutnya. Seandainya
tiap kotak menggambarkan kos produksi atau nonproduksi yang terjadi pada tahun
yang bersangkutan dan besarnya sama tiap tahun, besarnya laba tiap tahun tidak akan
berbeda antara Panel A dan Panel B meskipun untuk Panel B terjadi salah-tanding.
Itulah sebabnya, penundaan pembebanan kos nonproduksi dalam perioda terjadinya
tidak memberi informasi tambahan atau tidak mempunyai kandungan informasi
(informalion content).
Makna alokasi antarperioda sebenarnya adalah penundaan pembebanan. Telah
disinggung sebelumnya, kos suatu faktor dapat ditunda pembebanannya kalua
memenuhi definisi aset. Paton dan Littleton mengemukakan bahwa aset pada dasarnya
merupakan beban tangguhan (deferred charges). Di lain pihak, bila alokasi bersifat
arbitrer, hal tersebut lebih baik tidak dilakukan karena alokasi akan memberi kesan
adanya ketepatan (preciseness) padahal kenyataannya tidak demikian.
8. Kriteria Penangguhan
Apa yang dikemukakan Hendriksen di atas sebenarnya merupakan kriteria untuk
menunda pembebanan bila hal tersebut memang depat dijustifikasi. Argumen tersebut
dapat diringkas menjadi apa yang disebut kriteria penangguhan. Kriteria penguji
umum yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan apakah suatu jenis kos jasa yang
terjadi pada suatu perioda akan dibebankan langsung atau akan ditunda dapat
dikemukakan sebagai berikut (bandingken dengan kriteria yang dilukiskan dalam
Gambar 6.8 di halaman 290):

Pertama, apakah kos jasa tersebut merupakan pengelueran yang sah? Artinya
pengeluaran tersebut terjadi karena transaksi, kejadian, atau keadaan yang
didukung oleh bukti yang sah.
Jawaban ya atas kriteria ini berarti bahwa kos yang terjadi merupakan potensi jasa
yang memenubi kriteria aset. Dengan kata lain, kos merepresentasi manfaat ekonomik
yang terjadi karena transaksi masa lalu (past transactions or events) sehingga sah
menjadi aset bukan karena kos hipotetis.
Kedua, apakah kos jasa tersebut merupakan pengeluaran yang normal dan wajar?
Artinya pengeluaran tersebut dapat dibenarkan dari segi operasi perusabaan pada
umumnya dan bukan merupakan pengeluaran yang bersifat pemborosan,
kecerobohan, atau ketakbijaksanaan.
Jawaban ya terhadap pertanyaan ini menjadikan kos jasa tersebut jelas tidak dapat
diperlakukan sebagai rugi meskipun tia dapat menjadi pengurang pendapatan (biaya)
perioda terjadinya.
ketiga, apakah kos jasa tersebut merupakan suatu faktor yang manfaa atau
kontribusinya untuk masa datang secara mudah dapat diantisipasi? Dengan kata
lain, apakah kos jasa tersebut memang cukup pasti berkaitan dengan pendapatan
alau perioda masa datang?
Jawaban ya terhadap pertanyaan ini menjadikan kos jasa tersebut dapat di
angguhkan pembebanannya walaupun dapat pula dibebankan langsung. Namun
demikian, ada penguji tambahan yang cukup penting dalam hal ini yaiu;
Keempat, apakah kos jasa tersebut merupakan jenis pengeluaran yang terjadi
berulang- ulang tiap perioda (recurring)?
Kalau suatu kos jasa yang terjadi memenuhi lriteria tambahan ini, pada umumnya
kos tersebut dapat dibebankan langsung pada perioda terjadinya kecuali untuk sediaan
barang dan biaya prabayaran (prepaid expenses). Dari apa yang diuraikan di atas
dapat disimpulkan bahwa kos nonoperasi yang berulang terjadinya cukup beralasan
untuk langgung dibebankan daripada ditunda atau disediaankan untuk mencapai tepat-
tunding.
9. Alokasi Kos Bergabung atau Bersama
Argumen pendukung alokasi (5),oleh Hendriksen di atas sebenarnya menjadi
dasar pikiran bahwa alokasi merupakan proses yang tidak dapat dihindari untuk
mencapai penandingan sebab-akibat. Karena karakteristik operasi perusahaan pada
umumnya, penentuan kos produk secara tepat membutuhkan alokasi untuk kos
bergabung (joint cost) atau kos bersama (common cost) betapapun.dasar alokasi
tersebut agak bersifat arbitrer.:

Kedua jenis kos ini sama-sama merupakan kos fasilitas, kegiatan, proses, atau
departemen jasa yang dinikmati oleh beberapa angkatan produk atau objek kos lain
(misalnya departemen produksi). Akan tetepi keduanya berbeda dalam hal penyerapan
oleh produk. Kos bersama tidak diserap langsung oleh produk tetapi diserap melalui
departemen produksi. Kos bergabung terjadi karena satu fasilitas atau proses terpaksa
digunakan untuk mengolah beberapa produk sekaligus karena secara teknis atau
alamiah beberapa produk tersebut tidak dapat dipisahkan pengolahannya sampai titik
tertentu (split point). Kos fasilitas pengolahan pabrik gula sampai titik dipisahkannya
gula dan tetes merupakan contoh kos bergabung.
10. Alokasi Bukan Sarena Pemerataan Laba
Dalam akuntansi manajerial dikenal metoda yang disebut pengkosan nor (mal
cosling). Dengan netoda ini, kos overhead dibebankan ke produk ates dosar tarif
taksirah untuk satu poriode. Tujuannya adalah agar kos produksi untuk perode interim
(bulanan) menggambarkan kos yang tepat dibanding kos aktual perioda tersebut. Hal
ini dilakukan mengingat pos-pos overhead tidak terjadi secara merata sepanjang
tahun. MimaInya kos pemeliharaan mesin hanya terjadi sekarli setahun di bulan Mei,
depresiasi baru diperhitungkan dan diakui pada bulan Desember, dan geji ke-13
dibayarkan pada bulan Puasa. Dengan demikian, menentukan kos produksi untuk
keperluan keputusan manajerial atas dasar kos aktual bulanan dapat menyesatkan.
Misalnya, penentuan harga untuk order khusus yang datang pada bulan Juli harus
memperhitungkan kos pemeliharaan yang dibayar pada bulan Mei dan depresiasi yang
baru dicatat akhir tahun. Bila didasarkan atas kos aktual, harga yang ditawarkan dapat
menjadi terlalu rendah.
11. Pendekatan Nonalokasi
Telah dibahas di atas, keperluan untuk penandingan biaya dan pendapata secara
tepat menuntut adanya alokasi. Alokasi, baik interim maupun antarperioda tidak
dihindari. Pendapat yang cukup kontroversal dan ekstrem dikemukakan oleh Thomas
(1987) tentang alokasi dalam akuntansi.Thomas menyatakan bahwa alokasi harya
dapat dipertahankan bila tiga karakteristik berikut dipenuhi:
1) ketertambahan (additiuity). Keseluruhan harus sama denga hasil penggunggungan
bagian-bagian. Kalau alokasi dilakukan untuk suatu total, alokasi harus
menghabiskan total. Jadi, jumlah-jumlah alokasian (allocated amounts) kalau
digunggung kembali harus menjadi total sebelum alokasi.
2) Ketakraguan (unambiguity). Metoda alokasi harus unik dan jelas untuk tiap
tujuan. Artinya untuk tujuan yang sama tidak boleh terdapat beberapa pilihan
metoda.
3) Ketepertahankanan (defensibility). Untuk metoda alokasi yang dipilih, penentu
kebijakan harus dapat mempertahakan argumen yang meyakinkan bahwa
pilihannya unik dan lebih baik dari alternatif lain.
12. Pembebanan Arbitrer
Kalau tidak ada alasan yang kuat untuk menunda pembebanan kos untuk
mencapai penandingan sebab-akibat dan juga tidak ada dasar alokasi yang layak
suattu kos biasanya akan langsung dibebankan dalam perioda terjadinya (immediale
recognition), Ini berarti bahwa kos ditandingkan dengan pendapatan secara arbitrer.
Konsep yang melandasi pembebanan semacam ini semata-mata adalah kepraktisan
(expediency). Memang pada umumnya pengakuan segera kos sebagai biaya atau rugi
dilakukan karena manfaat masa datang tidak terukur atau tidak cukup pasti. Contoh
yang paling jelas adalah pengakuan segera selisih kurs utang valuta asing akibat
kenaikan nilai tukar mata uang asing atou pengakuan segera kos riset dan
pengembangan. Walaupun demikian, kalau terdapat alasan yang kuat atau karena
kebijakan khusus akibat kejadian Juar biasa, dapat saja seligib kurs tersebut
dikapitalisasi meskipun manfaat ekonomik masa datang tidak ada lagi atau sulit
dihubungkan dengan perioda masa datang:

Penandingan arbitrer tidak selalu berkaitan dengan pengakuan rugi. Kos suatu
potensi jasa akan segera diakui sebagai biaya atau rugi kalau terbukti bahwa manfaat
ekonomiknya menjadi lenyap atau berkurang (loss or lack of future benefits).
Perbedaan pengakuan berkurangnya manfaat sebagai biaya atau rugi terletak pada
penyebab atau kelayakan ekonomik. Dalam hal biaya, berkurangnya manfaat
ekonomik disebabkan pada umumnya oleh pemakaian atau pemanfaatan potensi jasa
dalam rangka menghasilkan pendapatan. Dalam hal rugi, berkurang- nya'manfaat
disebabkan oleh hal-hal yang periferal dan insidental terhadap proses memperoleh
pendapatan.
D. PENANDINGAN DAN PENYAJIAN POS-POS BIAYA
Dari uraian tentang basis asosiasi di atas, dapat disimpulkan bahwa penakar yang
paling ideal adalah unit produk karena pendapatan diciptakan dengan menyerah kan
produk (direpresentasi oleh kos produk). Oleh karena itu, idealnya tiap unit produk
menyerap semua jenis kos operasi (produksi, penjualan, administrasi, dan pengumpulan
piutang). Akan tetapi, karena tidak mudahnya untuk menghubung- kan secara layak kos
kegiatan nonproduksi ke produk, penakar yang umum dipa- kai adalah perioda. Dengan
perioda sebagai penakar, kos objek atau kegiatan sebagai pengukur biaya yang
dimasukkan ke dalam penakar tidak harus jelas dan tegas berkaitan dengan pendapatan
yang masuk dalam penakar (perioda) terse but. Penakaran berbasis perioda menjadikan
alokasi sistematik dan rasional suatu hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan bilamana
alokasi sistematik dan rasional tidak dapat ditentukan dengan jelas, suatu kos dapat diakui
segera secara arbitrer sebagai rugi.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk ponyusunan statemen laba-rugi periodik,
pendapatan ditakar lebih dahulu dan baru kemudian biaya yang tepat dimasukkan dalam
penakar yang sama sehingga laba yang tepat dapat ditentukan. Penyajian biaya sebagai
beban pendapatan juga mengikuti konvensi ini dan pos-pos biaya disajikan berdasarkan
basis asosiasi. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa penyajian semacam itu bukan
dimaksudkan untuk pemeringkatan arti penting biaya melainkan untuk pengungkapan
secara informatif. Atas dasar konsep homogenitas kos, kos barang terjual tidak lebih
penting daripada kos administratif maupun penjualan. Biaya dalam arti luas dan dalam
konteks jangka panjang (kontinuitas usaha) meliputi juga rugi. Masalah pembebanan kos
dan basis asosiasi di atas berlaku untuk semua jenis potensi jasa. Masalah khusus terjadi
dalam hal sediaan dan aset tetap, khususnya fasilitas fisis yaitu gedung/prabrik dan
perlengkapan (plant and equipments). Uraian berikut membahas masalah teoretis yang
menyangkut pos-pos tersebut.
1. Sediaan
Secara umum masalah teoretis sediaan berkaitan dengan pengukuran kos
barang terjual dalam rangka penandingan dengan pendapatan dan masalah penilaian.
Proses pengukuran dan penilaian pada umumnya di lakukan pada akhir perioda.
Dengan demikian masalah pengukuran dan penilaian sediaan pada akhir perioda dapat
dinyatakan sebagai berikut:
a. Penentuan besarnya kos barang terjual untuk ditandingkan dengan pen- jualan
sehingga dapat ditentukan besarnya laba perusahaan. Penentuan ini melibatkan
berbagai metoda asosiasi sebagai dasar pemecahan kos produksi menjadi kos yang
melekat pada sediaan dan yang melekat pada barang terjual.
b. Penentuan nilai sediaan sebagai unsur aset lancar perusahaan. Penentuan nilai
sediaan sangat penting untuk menilai likuiditas operasi perusahaan.
Walaupun masalah sediaan mencakupi sediaan bahan baku dan barang dalam
proses, pembahasan akan ditujukan pada sediaan barang dagangan atau barang jadi.
Untuk mencapai tujuan yang pertama, biasanya harus ditentukan secara fisis kuantitas
barang yang belum terjual dan yang sudah terjual. Penentuan kuantitas fisis sediaan
merupakan langkah awal pengukuran dan penilaian. Karena aliran kos tidak selalu
mengikuti secara persis aliran fisis barang, diperlukan metoda asosiasi yang paling
menggambarkan kegiatan operasi sesungguhnya sehingga penandingan yang tepat
antara biaya (kos barang terjual) dan pendapatan dapat dicapai.

 Metoda Asosiasi
Metoda asosiasi menjadi basis untuk menentukan unit fisik terjual dan kos
yang melekat dengan jumlah rupiah penjualan. Dengan demikian metoda asosiasi
dapat pula diartikan sebagai asumsi aliran kos dalam mengikuti aliran fisis barang.
Asumsi ini diperlukan karena pada umumnya barang atau produk tidak tersedia
sekaligus untuk satu perioda. Barang biasanya disediakan secara bertahap melalui
beberapa kali pembelian atau melalui beberapa angkatan produksi. Dalam banyak hal,
setiap kali pembelian atau angkatan produksi melibatkan kos per unit yang berbeda.
Metoda asosiasi atau asumsi aliran kos yang telah dikenal adalah:
a. Identifikasi khusus (specific identification)
b. Masuk pertama keluar pertama/MPKP (first-in, first-out/FIFO)
c. Rata-rata berbobot (weighted average)
d. Sediaan normal/minimal (normal stock)
e. Masuk terakhir keluar pertama/MTKP (last-in, first-out/LIFO)
Dasar pemilihan metoda sangat tergantung pada tujuan atau kondisi yang dihadapi
perusahaan. Tujuan utama pemilihan metoda biasanya adalah mengasosiasi biaya dan
pendapatan untuk menentukan laba yang tepat. Tujuan lain adalah menentukan nilai
sediaan untuk dicantumkan dalam neraca. Mengungkapkan pengaruh perubahan harga
sering dijadikan tujuan tambahan untuk menyusun laporan keuangan pelengkap
(supplementary reports). Beberapa perimbangan yang dapat dijadikan dasar pemilihan
metoda dapat disebutkan sebagi berikut:
 Bila dimungkinkan, kos harus diidentifikasi dengan unit fisis barang yang diukur.
Artinya, unit barang sedapat-dapatnya dilekati dengan kos yang benar-benar
merupakan kos unit barang bersangkutan.
 Operasi perusahaan harus dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang
berturutan dan kontinus bukannya serangkaian projek-projek yang ter-pisah-pisah.
Ini berarti bahwa dalam suatu perioda, aliran fisis yang sesungguhnya tidak harus
menjadi pertimbangan utama dalam proses penandingan.
 Kalau tujuan ditekankan pada penilaian sediaan dengan harga paling akhir,
asosiasi kos akan ditujukan pada sediaan barang dengan menggunakan kos yang
paling akhir dan kos barang terjual merupakan angka residual.
 Kalau untung dan rugi akibat fluktuasi harga (holding gains and losses) akan
diidentifikasi dan dilaporkan secara terpisah dengan kos harga ter- jual, kos
historis jelas tidak akan dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Asosiasi
atas dasar kos tetap harus dilakukan tetapi kemudian dilakukan penilaian atas
sediaan akhir untuk menentukan adanya untung atau rugi fluktuasi harga.
Berbagai metoda asosiasi akan dibahas dalam kaitannya dengan beberapa
pertimbangan di atas. Pertimbangan pertama dan kedua menjadi fokus pembahasan
sedangkan pertimbangan ketiga dan keempat akan dibahas lebih lanjut dalam
akuntansi perubahan harga (accounting for price changes).

a. Identifikasi Khusus
Kalau tujuan asosiasi adalah penandingan yang tepat antara pendapatan
tertentu dan kos tertentu, metoda ini adalah yang paling ideal. Bila sistem
akuntansi memungkinkan, metoda ini sangat dianjurkan penerapannya. Untuk
jenis barang mahal dan perputarannya rendah, metoda ini sangat cocok sekali
untuk tujuan pengendalian di samping tujuan penandingan yang tepat. Namun
demikian, metoda ini mengandung beberapa kelemahan antara lain:
 Jarang sekali pendapatan khusus ditandingkan dengan kos khusus kare- na
pendapatan perusahaan merupakan hasil dari seluruh upaya perusa- haan
sebagai kesatuan. Oleh karena itu, identifikasi khusus tidak memberi nilai
tambahan informasi.
 Untuk jenis barang yang homogen dan harganya relatif murah, metoda ini
menjadi terlalu mahal dan tidak sepadan dengan nilai tambahan infor- masi
yang diperoleh
 Kalau fluktuasi harga sangat mencolok, metoda ini dapat digunakan sebagai
alat manipulasi laba atau earnings management. Bila perusahaan
menginginkan laba yang tinggi, perusahaan dapat memilih barang yang
kosnya rendah. Sebaliknya, bila perusahaan menginginkan laba yang rendah,
perusahaan dapat memilih barang yang kosnya tinggi.
b. Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP)
Metoda ini berasumsi bahwa faktor kos mengalir melalui perusahaan secara
berurutan seperti antrean; tidak ada saling mendahului. Dalam banyak kasus,
aliran fisis faktor jasa yang sesungguhnya memang harus mengalir seperti ini
terutama kalau bahan, barang, atau harus segera digunakan karena meretia
merupakan jenis yang mudah rusak atau usang karena waktu. Metoda ini sangat
logis dalam merefleksi asosiasi sebab-akibat karena sangat sederhana dan jelas
untuk memecah kos ke dalam dua komponen (sediaan dan barang terjual) atas
dasar kos yang benar-benar melekat dalam kedua komponen tersebut.
Jadi, kalau penandingan secara tepat biaya dan pendapatan menjadi tujuan,
metoda ini paling didukung atas dasar argumen berikut:
 Metoda ini mendekati metoda identifikasi khusus yang menjadi standar
pemecahan kos. Metoda ini sistematik dan konsisten dengan aliran fisis yang
sesungguhnya sehingga penandingan yang ideal dipenuhi.
 Untung atau rugi karena fluktuasi harga dengan sendirinya terrealisasi dan
diakui bersamaan dengan terjualnya barang walaupun tidak disajikan secara
terpisah dan melekat dalam angka laba.
 Penyajian sediaan akhir dalam neraca akan menggambarkan kos yang
mendekati kos sekarang atau kos pengganti. Tentu saja hal ini tergantung pada
fluktuasi kos setelah pembelian atau produksi terakhir. Bila fluktuasi harga
yang sangat tajam, metoda ini tidak dapat memisahkan untung atau rugi
fluktuasi harga sebagaimana disebut dalam butir b.
c. Rata-rata Berbobot
Metoda ini menganggap bahwa dalam proses produksi terjadi peleburan faktor
produksi yang sama selama satu perioda menjadi satu massa yang homogenus.
Artinya, bahan baku tertentu yang dibeli berkali-kali atau produk yang dihasilkan
dari beberapa angkatan produk dalam suatu perioda dianggap sebagai satu ke-
satuan (massa). Barulah kemudian massa tersebut dipecah menjadi dua bagian
yaitu sediaan barang dan barang terjual. Sebagai konsekuensi, tiap sediaan yang
ada pada saat tertentu akan selalu mengandung proporsi tertentu tiap pembelian
yang pernah terjadi. Dengan demikian, metoda rata-rata akan menjadi logis, ob-
jektif, atau valid. Walaupun demikian, metoda ini tidak sejalan dengan aliran fisik
yang sesungguhnya. Dalam kenyataannya, separtai bahan baku yang dikonsumsi
pada saat tertentu jarang sekali terdiri atas semua bahan baku yang diperoleh dari
berbagai pembelian secara proporsional. Jadi kalau pemakaian bahan baku untuk
produksi mengikuti pola ini maka akan terjadi bahwa separtai barang yang ber-
asal dari pembelian tertentu tidak akan pernah habis.
Yang menjadi bobot perataan adalah banyaknya unit dalam tiap angkatan
pembelian atau produksi. Metoda ini bersifat netral dalam hubungannya dengan
penentuan laba. Kos yang melekat pada sediaan maupun barang terjual memuat
semua kos untuk tiap angkatan pembelian atau produksi. Metoda ini memang
tidak menggambarkan aliran fisis yang senyatanya tetapi ini tidak merupakan
kelemahan konsep yang serius. Metoda ini biasanya digunakan kalau perusahaan
menggunakan sistem sediaan fisis.
Metoda asosiasi yang mirip dengan metoda rata-rata berbobot adalah per-
bandingan harga jual eceran (retail inventory method). Metoda ini merupakan me-
toda taksiran dan tidak mendasarkan diri pada aliran kos. Secara konsepsional, kos
barang tersedia dijual atau kos produksi dipecah menjadi dua komponen atas dasar
perbandingan harga jual eceran sediaan dan harga eceran barang terjual. Barang
terjual dengan harga eceran akan sama atau mendekati penjualan selama perioda
bergantung apakah terdapat mark-ups atau mark-downs. Secara teknis, kos
sediaan akhir akan ditentukan atas dasar persentase kos terhadap harga ece ran.
Persentase atau rasio ini merupakan perbandingan antara barang tersedia di- jual
dalam kos dan dalam harga eceran. Metoda ini mendekati metoda rata-rata
berbobot karena semua elemen kos yang melekat pada kos barang tersedia dijual
dialokasi secara proporsional ke sediaan dan barang terjual tanpa memperhatikan
aliran Hal ini terjadi khususnya kalau harga jual selama satu perioda cukup stabil.
Kalau harga cenderung menaik selama perioda bersangkutan, metoda ini akan
mendekati MPKP dalam hal hasilnya.
Metoda ini jarang digunakan untuk penilaian dalam rangka pelaporan resmi
(eksternal) karena kurang merefleksi konsep penandingan yang tepat. Metoda ini
lebih sering digunakan untuk tujuan penyusunan laporan interim atau tujuan
khusus seperti taksiran nilai sediaan yang rusak akibat suatu musibah dalam hal
perusahaan menggunakan sistem sediaan fisis.
Sebagai alternatif metoda harga eceran adalah metoda laba kotor. Secara
konseptual metoda ini sama dengan metoda harga eceran kecuali dalam hal
penentuan rasio antara kos dan penjualan. Metoda laba kotor mendasarkan
perbandingan pada pengalaman perusahaan pada tahun-tahun sebelumnya
sehingga metoda ini sama sekali tidak menggambarkan atau mendekati aliran kos
yang sebenarnya. Seperti metoda harga eceran, metoda ini tidak dapat diterima
dalam pelaporan keuangan resmi karena tidak menggambarkan konsep
penandingan yang tepat.
d. Sediaan Normal
Metoda ini sering disebut dengan metoda sediaan permanen (iron-stock
method). Dengan metoda ini dianggap perusahaan melakukan investasi permanen
dalam sediaan. Tujuannya adalah penandingan pendapatan sekarang dengan kos
sekarang sekaligus meniadakan kebutuhan pelaporan untung atau rugi menahan
sediaan atau fluktuasi harga. Metoda ini menyajikan sediaan di neraca dengan
harga satuan yang cukup pasti. Biasanya harga satuan yang ditentukan untuk
sediaan minimal cukup rendah. Karena pendapatan sekarang ditandingkan dengan
kos sekarang, laba yang diperoleh tidak mengandung untung atau rugi akibat
menahan sediaan.
e. Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP)
Metoda ini berasumsi bahwa sediaan merupakan aset tetap yang tidak
berkaitan aliran kos. Dengan demikian, begitu sejumlah sediaan tertentu telah ter-
timbun maka aliran faktor kos berikutnya dianggap hanya melewati timbunan
tersebut dan dan langsung melekat pada penjualan (sebagai kos barang terjual).
Untuk perusahaan-perusahaan pada umumnya aliran kos dengan metoda ini tidak
sejalan dengan aliran fisis yang sesungguhnya terjadi terutama untuk perusahaan
pemanufakturan dan ekstraktif.
Metoda ini memang tidak bertujuan untuk menyamai aliran fisis barang tetapi
untuk menandingkan pendapatan sekarang dengan kos sekarang. Seperti juga
metoda sediaan normal, metoda ini akan menghasilkan laba operasi yang bebas
dari untung atau rugi akibat fluktuasi harga. Asumsi metoda ini adalah bahwa
perusahaan perlu mempertahankan investasi dalam sediaan selama umur perusa
haan tersebut. Siklus transaksi dianggap dimulai dari sediaan kembali ke sediaan
lagi dan bukannya dari kas kembali ke kas lagi. Oleh karena itu, laba baru dapat
ditentukan setelah sediaan permanen dipertahankan atau terisi kembali. Pen
dukung metoda ini mengajukan argumen sebagai berikut:
 Memudahkan penandingan kos sekarang dengan pendapatan sekarang.
 Kalau harga cenderung naik, sediaan barang akan tersaji dengan jumlah rupiah
yang cukup konservatif.
 Laba operasi tidak tercemar oleh untung atau rugi fluktuasi harga atau
penumpukan barang. Ini sangat bermanfaat karena laha yang dilaporkan
hendaknya merupakan laba yang benar-benar dapat dibagikan dalam ben- tuk
dividen. Untung fluktuasi harga bukan merupakan laba yang real dan dapat
dibagi dalam bentuk dividen tetapi lebih merupakan jumlah untuk
mempertahankan kapital.
 Dalam kondisi harga yang berfluktuasi dari tahun ke tahun, metoda ini dapat
menjadi alat perataan laba tahunan secara automatis.
Metoda ini sangat popular di Amerika karena metoda tersebut dapat digunakan
dalam penilaian sediaan untuk kepentingan pengisian surat pemberitahuan pajak
(tax-return). Dengan metoda ini, perusahaan akan memperoleh penghematan pajak
dalam bentuk penundaan pembayaran pajak. Penghematan akan terjadi kalau nilai
sekarang pajak yang harus dibayar dengan penggunaan metoda tertentu lebih
besar dari nilai sekarang pembayaran pajak yang ditunda dengan penggunaan
metoda MTKP Walaupun dari satu sisi MTKP mempunyai beberapa keunggulan
untuk pelaporan keuangan, beberapa kritik diajukan terhadap metoda ini yaitu
antara lain:
 Penilaian sediaan untuk tujuan penyajian di neraca tidak menggambarkan
potensi jasa yang sesungguhnya dan kemungkinan tidak mempunyai arti
ekonomik lagi karena kos yang digunakan adalah kos yang sudah usang.
Akibat dari hal ini adalah perhitungan-perhitungan indikator keuangan seperti
rasio akan sangat tidak berpaut atau relevan lagi.
 Metoda MTKP bukan merupakan metoda untuk mengatasi perubahan tingkat
harga umum (daya beli) yang sering dijadikan alasan untuk penggunaan
metoda ini. Penggunaan metoda MTKP hanya mengatasi perubahan tingkat
harga khusus.
 Metoda ini bertentangan dengan aliran fisis yang sesungguhnya sehingga tidak
menggambarkan laba operasi perusahaan atas dasar kegiatan yang kronologis.
Dengan kata lain, konsep penandingan atas dasar sebab-akibat dilanggar sama
sekali, pendapatan tidak ditandingkan dengan kos yang menimbulkan
pendapatan tersebut.
 Kalau penggunaan/penjualan barang melebihi sediaan yang dianggap
permanen, akan terjadi penandingan antara pendapatan sekarang dengan kos
masa lalu yang sudah usang sehingga laba akan tidak menggambarkan
kemampuan operasi perusahaan tetapi sekadar berisi akumulasi untung atau
rugi menahan sediaan yang mula-mula dimiliki perusahaan pada saat metoda
mulai MTKP diterapkan. Kalau toh metoda ini diang gap bermanfaat maka
manfaat itu akan dirasakan hanya jika sediaan dasar (base inventory) tertentu
dipertahankan atau tidak dilikuidasi/ dijual.
 Alasan untuk meratakan laba dengan metoda ini tidak didukung sama sekali
oleh konsep pelaporan atas dasar kontinuitas usaha. Fluktuasi tahunan
merupakan fakta yang justru harus diungkapkan melalaui laba. Fluktuasi laba
itu sendiri merupakan informasi bagai pemakai laporan. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa laporan rugi-laba harus dianggap bersifat tentatif dan
untuk menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba,
serangkaian laporan rugi-laba tahunan akan lebih berarti daripada satu perioda
laporan laba yang telah diratakan.
 Bila informasi untung dan rugi fluktuasi harus diungkapkan, metoda MTKP
secara automatis justru menyembunyikannya dalam laba operasi sehingga
dapat menyesatkan pemakai statemen keuangan.
Sebagai variasi MTKP, diusulkan pula metoda MTKP atau pasar (LIFO or
market), MTKP nilai-rupiah (dollar-value LIFO), dan MTKP eceran nilai rupiah
(dollar-value retail LIFO). Dengan beberapa usulan tersebut, metoda MTKP yang
biasa disebut MTKP konvensional." Usulan metoda MTKP atau pasar didasari
oleh konsep konservatisma dalam penyajian sediaan khususnya dalam kondisi
harga menurun. Keberatan terhadap metoda ini adalah bahwa dalam keadaan
harga cenderung menaik dalam satu perioda dan cenderung menurun dalam peri-
oda yang lain, penggunaan metoda ini sama saja dengan pergantian metoda dari
MTKP ke MPKP yang berarti konsistensi dilanggar. Dalam keadaan harga
menaik, sediaan akan dinyatakan dengan harga lama (MTKP) sedangkan dalam
keadaan harga menurunurun, sediaan akan disajikan sebesar kos terakhir yang
berarti sama saja dengan metoda MPKP. Keberatan lain adalah bahwa laba operasi
akan menjadi tercemari dengan untung atau rugi fluktuasi harga.
Basis penentuan nilai sediaan dengan metoda MTKP biasanya unit fisis,
artinya jumlah rupiah sediaan ditentukan atas dasar unit fisis dikalikan dengan kos
per unit. Ini bahwa perusahaan harus mempunyai catatan yang cukup lengkap
tentang jenis sediaan dan riwayat kos per unit tiap jenis sediaan. Hal yang kadang-
kadang merepotkan adalah kalau sediaan barang akhir jenisnya tidak sama dengan
jenis yang mula-mula dihitung sebagai sediaan MTKP khususnya untuk barang-
barang yang sifatnya musiman. Kalau fisisnya berganti (dengan sendirinya kos per
unit berganti), jumlah rupiah sediaan akhir tidak cukup permanen dan akibatnya
keunggulan metoda MTKP sebagai sarana menghemat pajak menjadi hilang atau
berkurang. Untuk mengatasi hal timbullah MTKP nilai rupiah atau MTKP rupiah
konstan.
Metoda MTKP nilai rupiah digunakan khususnya untuk sediaan yang sifat-
nya musiman agar manfaat MTKP tetap dapat dinikmati. Metoda ini biasanya di-
terapkan untuk suatu kelompok/kelas barang (inventory pool) yang mempunyai
spesifikasi berbeda tetapi mempunyai karakteristik fisis yang sama. Misalnya ke-
lompok pakaian jadi yang terdiri atas berbagai pakaian dengan berbagai ukuran
dan harga yang berbeda. Keuntungan metoda ini adalah investasi permanen (dise-
but LIFO layer) dapat dijaga dan pekerjaan administrasi pencatatan barang dapat
dikurangi. Walaupun cukup menawan secara teoretis, metoda ini sama sekali tidak
dapat memenuhi tujuan pelaporan keuangan umum.

 Implikasi Metoda Asosiasi Terhadap Laba


Dalam bidang-bidang usaha tertentu yang voluma penjualan dan harga bahan
bakunya berfluktuasi cukup besar antarperioda, metoda MTKP mendapat
dukungan yang kuat sebagai salah satu cara untuk menstabilkan laba periodik
sampai tingkat tertentu. Dalam suatu sistem perpajakan yang sangat menekankan
perhi tungan laba periodik, praktik penstabilan laba tersebut menjadi konsekuensi
logis yang akhirnya banyak dianut. Namun demikian, laba yang distabilisasi
hendak- nya tidak dilaporkan sebagai laba sebenarnya untuk tahun tertentu.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pemecahan yang terbaik untuk mengatasi
fluktuasi harga adalah melengkapi (to supplement) statemen tahunan dengan
beberapa la- poran kumulatif dan rata-rata bukan mengembangkan metoda untuk
menghilang- kan fluktuasi tahunan yang memang benar-benar atau nyata-nyata
terjadi.
Seandainya metoda yang layak telah ditetapkan, keterandalan kos sediaan
akhirnya sangat bergantung pada sistem penelusuran faktor produksi yang mem-
bentuk produk atau barang. Ketidaktelitian dalam penulusuran ini akhirnya akan
menghasilkan pemecahan kos juga menjadi tidak teliti dan pada gilirannya angka
laba yang diperoleh tidak menunjukkan angka yang ideal. Jadi, jelaslah bahwa
dalam kondisi operasi perusahaan modern yang kompleks, apa yang dapat dicapai
dalam penentuan laba periodik sebenarnya tidak dapat diharapkan lebih daripada
pengukuran yang mendekati ideal.
E. KARAKTERISTIK DAN TUJUAN PELAPORAN
Semua aset mempunyai karakteristik umum yaitu merupakan potensi jasa yang dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan dalam kegiatan operasinya. Fasilitas fisis mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
a. Berwujud fisis dan dikuasai oleh perusahaan untuk mengolah dan mem- perlancar
kegiatan operasi perusahaan. Oleh karena itu, yang digolongkan dalam kelompok ini
adalah aset yang berkaitan dengan operasi sedangkan aset serupa yang tidak
digunakan dalam operasi dilaporkan secara terpisah dengan nama yang deskriptif.
b. Pada umumnya berumur panjang walaupun terbatas sehingga perlu penggantian.
c. Bernilai bagi perusahaan lantaran kekuasaan atau hak perusahaan untuk
menggunakannya bukan lantaran hak miliknya. Dengan penguasaan aset tersebut,
pihak lain tidak mempunyai akses terhadap potensi jasanya.
d. Pada umumnya merupakan aset nonmoneter dan manfaat yang dapat diberikan berupa
potensi jasa (service potentials) bukan daya beli atau ketertukarannya
(exchangeablility).
Karakteristik yang demikian menyebabkan tujuan pelaporan dan pengukuran fasilitas
fisis ini adalah untuk menentukan penggunaan jasa dalam suatu perioda yang
diperkirakan telah menghasilkan pendapatan. Tujuan yang lain adalah memberi informasi
kepada pemakai laporan tentang kuantitas fisis dan kapasitas atau daya (potensi jasa)
yang masih melekat pada aset fisis tersebut. Kos pe- merolehan dan depresiasi
akumulasian dapat memberi petunjuk tentang kondisi fisis dan taksiran sisa umur aset ini.
Penyajian aset tetap secara layak juga dimak- sudkan untuk memberi gambaran tentang
operasi perusahaan. Dengan gambaran ini, pemakai dapat melakukan prediksi aliran kas
dan mengevaluasi lamanya dana tertanam dalam aset tetap tersebut.
Atas dasar karakteristik dan tujuan pelaporan di atas, Paton dan Littleton
mengemukakan beberapa gagasan pokok mengenai akuntansi fasilitas fisik yaitu:
a. Bahwa kos fasilitas fisis sengaja diperoleh untuk memungkinkan terjadi- nya produksi
barang dan jasa sebagaimana faktor produksi lainnya misalnya sediaan.
b. Bahwa kos fasilitas fisis harus dibebankan ke operasi dengan cara yang sistematik
dengan memperhatikan segala faktor yang berpengaruh.
c. Bahwa kos fasilitas fisis yang berkaitan dengan kegiatan operasi di masa mendatang
pada hakekatnya merupakan suatu bentuk beban tangguhan dan harus dilaporkan di
neraca dalam kelompok dan dengan nama yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Rahma.S. (2019). Akuntansi Biaya. Jawa Timur: UMSIDA Press

Kriekhoff, S., & Riupassa, E. (2017). Analisis Penetapan Harga Jual Produk Kerajinan
Perahu Cengkeh Pada Pengarjin Cengkeh Di Kampung Waemahu Desa Latulahat
Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Jurnal Maneksi, 6(1), 7–14.

Suwardjono (2005). Teori Akutansi: Akuntansi Biaya. Yogyakarta ; BPFE Yogyakarta

Wardoyo, D. U., Regina Perdana, N. A., & Mulyani, A. (2021). Analisis Pemahaman
Mahasiswa Akuntansi terhadap Perkembangan Konsep Dasar Akuntansi Biaya dan
Penerapannya. Jurnal Publikasi Ilmu Ekonomi dan Akuntansi, 2 No 1, 80-86.

Anda mungkin juga menyukai