Anda di halaman 1dari 2

Jangan Lupakan Nasib Kalian di Dunia (rumaysho)

Apa yang dimaksud dengan ayat yang artinya ‘jangan lupakan nasib kalian di dunia’? Apakah itu berarti
kita membagi dunia dan akhirat menjadi ‘fifty-fifty’? Apakah itu berarti dunia dan akhirat mesti seimbang?
Ataukah akhirat yang jadi tujuan utama, sedangkan dunia kita gunakan sebagai sarana untuk menggapai
kebahagiaan akhirat? Ayat yang bisa kita renungkan dan kita kaji di pagi hari ini,

ِ َ‫وَ ا ْبتَ ِغ ِفيمَا َآتَاكَ اللَّ ُه الدَّارَ اَآْل ِخرَ َة وَ اَل تَ ْنسَ ن‬
‫صيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).
Raihlah Akhiratmu
Sekarang kita lihat terlebih dahulu makna penggalan pertama dari ayat di atas (yang artinya), “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat”.
Dikatakan oleh Qurthubi dalam Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (7: 199), “Hendaklah seseorang menggunakan
nikmat dunia yang Allah berikan untuk menggapai kehidupan akhirat yaitu surga. Karena seorang
mukmin hendaklah memanfaatkan dunianya untuk hal yang bermanfaat bagi akhiratnya. Jadi ia bukan
mencari dunia dalam rangka sombong dan angkuh.”
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat tersebut, :
“Gunakanlah yang telah Allah anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada
Rabbmu dan membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan ini
semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).
Jangan Lupakan Nasibmuadi Dunia
Yang dimaksud ayat,

ِ َ‫وَ اَل تَ ْنسَ ن‬


‫صيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬
“Jangan melupakan nasibmu di dunia”.
Jika kita artikan leterlek, mungkin maknanya adalah hendaklah kita seimbangkan dunia dan akhirat.
Namun ternyata, yang dipahami oleh para ulama pakar tafsir tidaklah demikian. Banyak yang salah dalam
memahami ayat ini gara-gara cuma bersandar pada Al Qur’an terjemahan.
Imam Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- menyebutkan dalam kitab tafsirnya:
Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu
juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak
setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).
Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 405) disebutkan maksud dari ayat tersebut,
“Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk
akhiratmu.” Sangat jelas apa yang dimaksudkan oleh Jalaluddin As Suyuthi dan Jalaluddin Al Mahalli
bahwa yang dimaksud ayat di atas bukan berarti kita harus menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan
akhirat. Namun tetap ketika di dunia, setiap aktivitas kita ditujukan untuk kehidupan selanjutnya di
akhirat. Jadikan belajar kita di bangku kuliah sebagai cara untuk membahagiakan orang banyak. Jadikan
usaha atau bisnis kita bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena semakin banyak yang mengambil
manfaat dari usaha dan kerja keras kita di dunia, maka semakin banyak pahala yang mengalir untuk kita.
Karena sebaik-baik manusia, merekalah yang ‘anfa’uhum linnaas’, yang paling banyak memberi manfaat
untuk orang banyak.
Coba lihat pula keterangan lainnya. Syaikh ‘Abdurrahman  bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir
Rahman (hal. 623), “Engkau telah menggenggam berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan akhirat
dengan harta, yang harta tersebut tidaklah dimiliki selainmu. Haraplah dengan harta tersebut untuk
menggapai ridho Allah. Janganlah nikmat dunia digunakan untuk memenuhi syahwat dan kelezatan
semata. Jangan pula sampai lupa nasibmu di dunia, yaitu Allah tidak memerintahkan supaya manusia
menginfakkan seluruh hartanya, sehingga lalai dari menafkahi yang wajib. Namun infaklah dengan niatan
untuk akhiratmu. Bersenang-senanglah pula dengan duniamu namun jangan sampai melalaikan agama
dan membahayakan kehidupan akhiratmu kelak.”
Di Akhir Ayat
Di akhir ayat yang kita kaji disebutkan,

ِ ْ‫وَ َأ ْح ِسنْ َكمَا َأ ْحسَنَ اللَّ ُه ِإلَيْكَ وَ اَل تَب ِْغ ا ْل َفسَا َد ِفي اَأْلر‬
َ‫ض ِإنَّ اللَّ َه اَل يُ ِحبُّ ا ْل ُم ْف ِس ِدين‬
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al Qashshash: 77).
Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik pada makhluk Allah sebagaimana Dia telah memberi
kebaikan untuk kita. Janganlah tujuan hidup kita di muka bumi untuk berbuat kerusakan dan menyakiti
makhluk lain. Sesungguhnya Allah benar-benar tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.
Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 37.
Jadikan Akhirat Tujuan Kita
Yang dimaksud dalam ayat yang kita kaji, bukan dunia yang jadi tujuan kita, namun semestinya yang jadi
tujuan besar kita adalah akhirat. Namun betapa banyak manusia yang lalai akan hal ini. Mereka hanya
mengejar dunia dan banyak lupa pada akhirat. Mereka tidak mau mengenal Islam, tidak mau belajar
agama, melupakan mengkaji Al Qur’an, sampai lupa pula akan kewajiban shalat 5 waktu dan kewajiban
lainnya. Ingat dan kecamkan hadits berikut ini,
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan
dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan
tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan
dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali
yang telah ditetapkan baginya.” Sekali lagi, ayat yang kita bahas pun bukan maksudnya adalah dunia dan
akhirat mesti seimbang. Tapi yang dimaksud adalah dunia adalah sebagai ladang persiapan untuk menuju
kampung akhirat. Ingat kata Qurthubi di atas, “Hendaklah seseorang menggunakan nikmat dunia yang
Allah berikan untuk menggapai kehidupan akhirat yaitu  surga. Karena seorang mukmin hendaklah
memanfaatkan dunianya untuk hal yang bermanfaat bagi akhiratnya.”
Semoga Allah menjadikan pada benak dan tujuan hidup kita adalah darul akhirat, negeri akhirat yang
kekal abadi. Hanyalah Allah yang memberi taufik, wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Anda mungkin juga menyukai