Anda di halaman 1dari 2

DEPANALISASI HUKUMAN MATI

(KONTRA)

Interpretatio cessat in claris, interpretation est perversio - jika teks atau redaksi UU
telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap
kata-kata yang jelas berarti penghancuran.

Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua, shallom om swastiastu namo
budaya, salam kebajikan. Dewan juri yang terhormat, tim kontra yang terpelajar, serta para
pemerhati Hukum yang kami banggakan.

Kami dari tim kontra saya Nur Anjani sebagai pembicara pertama yang akan memaparkan secara
general dan yuridis, Fajar Nurulloh sebagai pembicara kedua yang akan memaparkan secara
filosofis dan teoritis , Dikky sebagai pembicara ketiga yang akan memaparkan secara historis dan
sosiologis.

Kami sangat tidak setuju dengan mosi perdebatan kali ini, hal ini dikarenakan Pidana mati
diadakan dengan maksud antara lain sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang
bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan dan penjahat yang sudah tidak dapat
diperbaiki lagi. Sesuai dengan perkembangan hukun pidana modem yang menyusun pidana
untuk tujuan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
yang menjadi korban dari kejahatan.

Hukuman mati bukan suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup karena mereka menganggap
bahwa hak atas hidup seharusnya diterapkan dengan penghormatan pada suatu rasa keadilan.
Terutama pada penjelasan pada pasal 9 undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM, yang
menjelaskan bahwasanya setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini juga melekat pada bayi yang baru
lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi
kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi
tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak atas hidup di batasi dan
di beri pengecualian. Dari penjelasan pasal 9 dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi tertentu
seperti hukuman mati dapat dibatasi, yang artinya hukuman mati tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia dan merupakan sebuah pengecualian. “Seperti yang kita tau pada Pasal 28 J ayat 2
dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. 

Indonesia adalah Negara hukum siapa pun tidak boleh membantahkan akan hal itu, hal ini di
dasari pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang jelas menyebutkan Indonesia adalah Negara hukum,
bukan lagi the rule of law ataupun rechtstaat jadi seharusnya hukumlah yang menjadi panglima
tertinggi di Negara ini.
Aspek kepastian hukum masih tercantum di dalam ketentuan KUHP dan di luar KUHP, termasuk
tata cara pelaksanaan pidana mati.

Pidana mati masih sangat diperlukan terhadap pelaku tindak kejahatan berat (Narkotika,
Terorisme, Pembunuhan Berencana, dan lain sebagainya), sehingga penjatuhan pidana mati
memenuhi aspek keadilan dan seimbang dengan tindak pidana yang dilakukan. Menurut Andi
Hamzah, pidana mati merupakan alat penting untuk penerapan yang baik dari hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai