Anda di halaman 1dari 6

Opini Mengenai Muktamar Muhammadiyah Aisyiyah Ke 48 Yang Dilaksanakan

Di Kota Solo

Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Muktamar Ke-48


Muhammadiyah yang dipusatkan di Solo, Jawa Tengah merupakan momentum
kebangkitan kembali setelah pandemi Covid-19 yang menghentikan sebagian besar
aktivitas ekonomi masyarakat. Puluhan ribu orang dari pelosok negeri berkumpul di
Solo, kehadiran mereka telah menggerakkan ekonomi masyarakat Solo dan sekitarnya.
Muktamar Ke-48 Muhammadiyah menunjukkan fenomena unik; Pertama, para
penggembira yang luar biasa antusias, jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah Peserta
Muktamar. Tentu , ini merupakan kebahagiaan tersendiri menyaksikan begitu banyak
orang yang bergembira-bahagia dan bersedia berkorban (waktu, tenaga, biaya) untuk
menghadiri dan menggembirakan Muktamar Muhammadiyah. Selain momen
regenerasi, Muktamar disebutkan merupakan momen silaturahmi dan kolaborasi warga
persyarikatan se-Indonesia bahkan dunia. tak hanya itu, Muktamar sekaligus jadi
momen momen regenerasi, silaturahmi dan kolaborasi warga persyarikatan. Muktamar
diikuti oleh ribuan orang perwakilan wilayah dan daerah Muhammadiyah, juga
dimeriahkan oleh warga Muhammadiyah se-Indonesia. Muktamar merupakan forum
permusyawaratan tertinggi bagi persyarikatan Muhammadiyah yang diselenggarakan
lima tahun sekali. Sejak Muhammadiyah berdiri pada 1912 hingga sekarang, total sudah
terselenggara Muktamar sebanyak 47 kali. Muktamar terakhir diselenggarakan di
Makassar pada 2015. Muktamar juga merupakan bukti bahwa praktik berdemokrasi
sudah berlangsung di Muhammadiyah sejak awal mula berdirinya organisasi ini. Sebab,
dalam Muktamar, pemilihan pengurus tingkat pusat menjadi agenda utama selain
menyusun program kerja lima tahunan. Masa paling awal forum permusyaratan
tertinggi Muhammadiyah terjadi pada 1912 hingga 1941. Pada masa ini, forum
permusyawaratan digelar setiap setahun sekali. Awalnya, medio 1912-1925, forum
tinggi selalu digelar di Yogyakarta. Namun selepas tahun itu, forum tinggi mulai
diselenggarakan di luar Yogyakarta secara bergilir.

Hal ini dilakukan guna memudahkan jangkauan para peserta, forum tinggi
Muhammadiyah selalu digelar di kawasan perkotaan. Muktamar ke-48 Muhammadiyah
diselenggarakan mulai 18-20 November 2022 di Kota Solo, Jawa Tengah, tepatnya di
Universitas Muhammadiyah Solo (UMS). Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan
akan membuka Muktamar Muhammadiyah tersebut dan Wapres Ma'ruf Amin akan
menutup Muktamar pada 20 November 2022. Pada Muktamar Muhammadiyah 2022
kali ini, mengusung tema "Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta". Sementara
itu, tema Muktamar Aisyiyah adalah "Perempuan Berkemajuan Mencerahkan
Peradaban Bangsa". Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Jogja pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang menurutnya banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda
berupa pengajian Sidratul Muntaha. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari
UGM kelahiran Kauman, nama ''Muhammadiyah' pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kiai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Jogja dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Keraton Jogja. KH Dahlan menetapkan nama Muhammadiyah melalui salat istikharah.
Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah
terbatas di keresidenan-keresidenan, seperti Jogja, Solo, Pekalongan, dan Pekajangan,
sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Jogja, cabang-cabang Muhammadiyah
berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922.

Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra


Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif
singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan
dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi,
dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Aisyiyah didirikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 dalam perhelatan akbar
bertepatan dengan momen Isra Mi'raj Nabi Muhammad. Rencana berdirinya Aisyiyah
telah dimulai sejak diadakannya perkumpulan Sapa Tresna di tahun 1914, yaitu
perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kauman. Ahmad Dahlan memang
mendorong perempuan untuk menempuh pendidikan, baik di pendidikan formal umum
maupun keagamaan. Konstruksi sosial saat itu menyatakan bahwa perempuan tidak
perlu menempuh pendidikan secara formal, tetapi Dahlan sebaliknya, mendorong anak
gadis rekannya atau saudara teman-temannya untuk bersekolah. Pendirian Aisyiyah
diawali dengan pertemuan antara KH Dahlan, KH Fachrodin, KH Mochtar, Ki Bagus
Hadikusumo, bersama enam gadis kader Dahlan, yaitu Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti
Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah di rumah KH Dahlan pada 1917.
Pertemuan tersebut memutuskan berdirinya organisasi perempuan Muhammadiyah, dan
disepakati nama Aisyiyah yang diajukan KH Fachrodin. Nama Aisyiyah terinspirasi
dari istri Nabi Muhammad SAW, yaitu 'Aisyah yang dikenal cerdas dan mumpuni. Jika
Muhammadiyah berarti pengikut nabi Muhammad, maka Aisyiyah bermakna pengikut
'Aisyah. Untuk menyebarkan ide-ide secara internal maupun eksternal tentang
pembaharuan dan usaha peningkatan derajat kaum perempuan, Aisyiyah menerbitkan
majalah organisasi bernama Suara Aisyiyah pada tahun 1926. Dalam sejarahnya,
sebagai organisasi perempuan yang berdiri di masa awal pergerakan dan telah memiliki
visi persatuan pergerakan perempuan, Aisyiyah berperan aktif dalam penyelenggaraan
Kongres Perempuan Indonesia I dan memprakarsai berdirinya Kongres Wanita
Indonesia (KOWANI). Muktamar akan membahas sejumlah masalah menyangkut
masalah kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan semesta. Salah satu permasalahan
yang berkaitan dengan isu kebangsaan yang akan menjadi agenda pembahasan adalah
menyangkut “Muhammadiyah dan perannya dalam memperkuat keadilan hukum”.
Selama ini pembangunan hukum baik dalam pembuatan maupun penegakan dianggap
masih lemah dan mengandung sejumlah masalah. Berbagai kasus hukum dari mulai
pembuatan sampai penegakan hukum amat  memprihatin, dan Muhammadiyah
terpanggil untuk berbuat sesuatu.

Dalam pembuatan UU yang dianggap kontroversi di antaranya Perubahan UU KPK


yang dinilai memperlemah KPK, UU Cipta Kerja yang dianggap memanjakan investor
tetapi memperlemah daya tawar buruh, UU IKN dianggap terlampau cepat diundangkan
dan kurang dilakukan kajian mendalam sampai RUU Sisdiknas yang dianggap bercorak
liberal. Demikian juga dalam penegakan hukum seperti kasus  Ferdy Sambo dan Teddy
Minahasa yang mendera tubuh Polri, pembebasan aparat kejaksaan Pinangki sulit
dipahami melalui nalar sehat dan mafia pengadilan di MA yang melibatkan hakim
agung Sudrajat Dimyati tersangka tindak pidana korupsi dan harus berurusan dengan
KPK. Pembahasan tentang penguatan keadilan hukum tersebut beralasan karena kondisi
hukum di Indonesia baik pada waktu pembuatan hukum berupa undang-undang maupun
dalam penegakan hukum mengalami persoalan yang berkaitan dengan adanya berbagai
kepentingan yang mengintervensi keberadaan hukum. Sehingga citra hukum baik
dalam  pembuatan undang-undang, bekerjanya hukum maupuan dalam penegakan
hukum oleh  lembaga penegak hukum mengalami keterpurukan sehingga hal ini akan
mempengaruhi wibawa hukum di tengah masyarakat, juga dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Beberapa masalah yang muncul seperti dalam pembahasan Rancangan
Undang-undang (RUU) yang diajukan di DPR sering diprotes banyak kalangan elemen
masyarakat karena dianggap tidak aspiratif dan responsif. Di samping itu setelah
disahkan oleh DPR dan Pemerintah menjadi UU masih juga dianggap bermasalah. Atas
dasar itu Muhammadiyah berusaha melakukan pengawalan dan berperan serta dengan
mengajukan gugatan uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Dalam
berbagai praktek penegakan hukum dalam menangani kasus hukum menunjukkan
adanya kecenderungan hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Demikian
juga dalam penanganan dan penegakan hukum sering ditemukan adanya praktek yang
bersifat tebang pilih. Muhammadiyah ikut berperan dalam advokasi, mediasi dan 
pendampingan sampai pada tingkat pengadilan.

Muhammadiyah memandang dalam pembangunan hukum melalui pembuatan


hukum di Indonesia memerlukan arah dan masukan yang memberi nilai tambah yang
sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara
yang tertib, teratur, dan berkeadilan dalam sebuah negara hukum, di samping juga
melindungi hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan arah
dan langkah-langkah strategis  untuk meningkatkan cita-cita pembangunan hukum yang
dibuat secara demokratis, aspiratif, responsif dan berkeadilan. Kecenderungan yang ada
dalam melakukan pembangunan hukum menghasilkan wajah hukum Indonesia lebih
didominasi corak hukum yang banyak mengadopsi hukum masyarakat barat yang
liberal-kapitalistik. Hal ini didasarkan alasan kepentingan politik, investasi dan
pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan adanya jaminan legalitas hukum yang penuh
kepastian dan rasional agar hukum dapat berperan dalam mewujudkan stabilitas usaha
yang berkelanjutan. Para pemilik modal menginginkan adanya hukum yang sesuai
dengan kepentingannya dan mampu memberikan proteksi legalitas baik dalam
perolehan perizinan maupun perlindungan hak hak mereka. Dalam perspektif politik
hukum para pembuat hukum masih beranggapan hukum adalah produk kekuasaan
negara yang dihasilkan dari keputusan pemerintah yang sah. Mereka beranggapan
bahwa tiada hukum kecuali merupakan perintah penguasa. Kekuasaan menjadi sasaran
utama sehingga sering kali muncul wajah politik yang pragmatis. Muhammadiyah
berkepentingan untuk mengingatkan pentingnya melakukan pembangunan hukum yang
didasarkan strategi pembangunan hukum responsif dengan menyerap sebanyak mungkin
aspirasi dan keinginan dan cita cita mulia masyarakat di bidang hukum. Strategi ini
diharapkan akan dapat mewujudkan adanya kebijakan pembangunan hukum yang
mampu mendukung tujuan berbangsa dan bernegara  dalam transformasi global, baik
dalam skala nasional, regional maupun internasional. Kebijakan pembangunan hukum
nasional yang demikian diharapkan akan dapat menghasilkan  produk hukum yang
sesuai dengan cita-cita kehidupan bangsa yang merdeka, berdaulat di bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya di tengah tengah kancah global yang sedang menerpa
befbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Lebih dari itu langkah tersebut akan
senergis dengan fundasi ideologi bangsa Indonesia yakni sesuai dengan cita hukum
yang bersendikan Pancasila. Dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
sistem demokrasi diperlukan adanya keinginan yang kuat untuk merekonstruksi
demokrasi yang bercorak liberal pascareformasi ke arah corak yang berbasis konsensus
berdasarkan asas permusyawaratan perwakilan sebagaimana terdapat pada sila keempat
Pancasila. Demokrasi permusyawaratan perwakilan diyakini sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang plural, majemuk dan beragam. Disamping itu mekanisme
demokrasi permusyawaratan lebih sederhana, efektif dan tidak perlu memakan biaya
mahal.

Penguatan keadilan hukum dilakukan dengan mengembalikan hukum pada cita cita 
bangsa yang merdeka terlepas dari belenggu kolonial. Menyadari  Indonesia merdeka
atas berkat rakhmat Allah dan menyadari bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan
kesepakatan kokoh pendiri bangsa yang menjadi dasar bangunan negara yang
merupakan pengejawantahan cita cita bangsa. Pembukaan UUD 1945 merupakan ruh
spiritual sebagai keniscayaan yang tidak bisa diubah. Pembukaan UUD 1945 yang
memuat proklamasi kemerdekaan negara Indonesia adalah atas Berkat Rahmat Allah
Yang Maha Kuasa. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 secara substansial
mengandung pokok pikiran tentang apa kita pahami sebagai “peri-keadilan”. Konsepsi
pikir dari makna di atas sebenarnya mengarah pada cita cita luhur dan konsepsi ideal
dari tujuan masyarakat Indonesia. Pada batang tubuh yakni Pasal 29 UUD 1945
menyebutkan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Atas dasar itu aparat penegak
keadilan, yakni hakim dalam menjatuhkan putusan senantiasa perpegang pada irah irah
putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tugas yang
dijalankan seorang hakim  adalah  tugas  yang mengatasnamakan Tuhan dan keadilan,
pertangungjawaban tidak hanya dihadapan manusia tetapi kepada Tuhannya, dengan
taruhan surga dan neraka, karena itu dalam menjalan tugasnya dia tidak boleh main-
main dengan mengotak atik pasal atau memplintirnya hanya karena iming-iming materi
atau kekuasaan. Penyadaran dan pesan spiritual yang harus menjadi pola pikir para
hakim untuk menegakan keadilan termasuk untuk diri dan keluarganya. Apa yang
dilakukan semata dalam rangka menjalankan amanat mulia dalam rangka menjalankan
pengabdian (ibadah) kepada Allah, zat penggenggam keadilan. Kalau ketentuan dan
upaya sebagaimana yang digambarkan di atas dilakukan, hukum, aparat penegak hukum
dan citra lembaga pengadilan akan terangkat kembali dan pada gilirannya akan mampu
memberikan kontribusi yang berarti bagi penegakan hukum hukum di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai