Muktamar Muhammadiyah
Muktamar Muhammadiyah
Di Kota Solo
Hal ini dilakukan guna memudahkan jangkauan para peserta, forum tinggi
Muhammadiyah selalu digelar di kawasan perkotaan. Muktamar ke-48 Muhammadiyah
diselenggarakan mulai 18-20 November 2022 di Kota Solo, Jawa Tengah, tepatnya di
Universitas Muhammadiyah Solo (UMS). Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan
akan membuka Muktamar Muhammadiyah tersebut dan Wapres Ma'ruf Amin akan
menutup Muktamar pada 20 November 2022. Pada Muktamar Muhammadiyah 2022
kali ini, mengusung tema "Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta". Sementara
itu, tema Muktamar Aisyiyah adalah "Perempuan Berkemajuan Mencerahkan
Peradaban Bangsa". Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Jogja pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang menurutnya banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda
berupa pengajian Sidratul Muntaha. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari
UGM kelahiran Kauman, nama ''Muhammadiyah' pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kiai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Jogja dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Keraton Jogja. KH Dahlan menetapkan nama Muhammadiyah melalui salat istikharah.
Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah
terbatas di keresidenan-keresidenan, seperti Jogja, Solo, Pekalongan, dan Pekajangan,
sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Jogja, cabang-cabang Muhammadiyah
berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922.
Penguatan keadilan hukum dilakukan dengan mengembalikan hukum pada cita cita
bangsa yang merdeka terlepas dari belenggu kolonial. Menyadari Indonesia merdeka
atas berkat rakhmat Allah dan menyadari bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan
kesepakatan kokoh pendiri bangsa yang menjadi dasar bangunan negara yang
merupakan pengejawantahan cita cita bangsa. Pembukaan UUD 1945 merupakan ruh
spiritual sebagai keniscayaan yang tidak bisa diubah. Pembukaan UUD 1945 yang
memuat proklamasi kemerdekaan negara Indonesia adalah atas Berkat Rahmat Allah
Yang Maha Kuasa. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 secara substansial
mengandung pokok pikiran tentang apa kita pahami sebagai “peri-keadilan”. Konsepsi
pikir dari makna di atas sebenarnya mengarah pada cita cita luhur dan konsepsi ideal
dari tujuan masyarakat Indonesia. Pada batang tubuh yakni Pasal 29 UUD 1945
menyebutkan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Atas dasar itu aparat penegak
keadilan, yakni hakim dalam menjatuhkan putusan senantiasa perpegang pada irah irah
putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tugas yang
dijalankan seorang hakim adalah tugas yang mengatasnamakan Tuhan dan keadilan,
pertangungjawaban tidak hanya dihadapan manusia tetapi kepada Tuhannya, dengan
taruhan surga dan neraka, karena itu dalam menjalan tugasnya dia tidak boleh main-
main dengan mengotak atik pasal atau memplintirnya hanya karena iming-iming materi
atau kekuasaan. Penyadaran dan pesan spiritual yang harus menjadi pola pikir para
hakim untuk menegakan keadilan termasuk untuk diri dan keluarganya. Apa yang
dilakukan semata dalam rangka menjalankan amanat mulia dalam rangka menjalankan
pengabdian (ibadah) kepada Allah, zat penggenggam keadilan. Kalau ketentuan dan
upaya sebagaimana yang digambarkan di atas dilakukan, hukum, aparat penegak hukum
dan citra lembaga pengadilan akan terangkat kembali dan pada gilirannya akan mampu
memberikan kontribusi yang berarti bagi penegakan hukum hukum di Indonesia.