BAB I
PENDAHULUAN
2. Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan (Hardness Test) adalah pengujian material untuk
mengetahui kemampuan suatu ketahanan material terhadap deformasi
plastis ataupun goresan yang terlokalisasi (Callister, 2013, p.191). Ada
beberapa macam metode dalam pengujian kekerasan, yaitu Gores,
Pantulan Dan Indentasi
a. Metode Gores (Scratch)
Metode pengukuran kekerasan ini dilakukan dengan
menggoreskan material dengan material yang telah diketahui nilai
kekerasannya.
b. Metode Pantulan
Metode ini menggunakan alat Shore Scleoroscope yang gunanya
untuk mengukur tinggi pantulan dari diamond tipped hammers (palu
berujung intan) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu
ketinggian terhadap permukaan benda uji. Semakin tinggi pantulan
maka benda tersebut semakin keras
c. Metode Indentasi
Pengujian ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan
indentor dan gaya tekan dan waktu indentasi yang telah ditentukan.
Metode Indentasi terdiri dari beberapa jenis yaitu:
• Metode Brinell
Uji kekerasan Brinell biasanya terdiri dari tekanan hidrolik
vertikal yang dioperasikan tangan, yang dirancang untuk
menekan indentor bola ke permukaan spesimen uji. Prosedur
standar tes dilakukan dengan bola berdiameter 10 mm di bawah
beban 3.000 kg untuk ferrous, atau 500 kg untuk non-ferrous
(Avner 1974, p.27).
• Metode Vickers
Dalam metode ini, instrumen menggunakan penekan
berbasis persegi berlian- piramida dengan sudut termasuk 136°
antara penampang yang berlawanan arah (lihat gambar 1.2).
Kisaran beban biasanya antara 1 dan 120 kg (Avner 1974, p.31).
Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan untuk
menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan
material terhadap intan berbentuk piramida yang ditekankan pada
permukaan pada material uji tersebut.
• Metode Rockwell
Tes kekerasan ini menggunakan instrumen yang dapat dibaca
langsung berdasarkan prinsip pengukuran kedalaman diferensial
(gambar 1.2). Tes dilakukan dengan perlahan-lahan menaikkan
spesimen melawan indentor sampai beban minor yang tetap telah
diterapkan. Ini ditunjukkan pada pengukur dial (dial gauge)
(Avner, 1974, p. 30)
• Metode Superficial Rockwell
Metode uji kekerasan Rockwell Superficial terdiri dari
indentasi bahan uji dengan kerucut intan (skala N) atau indentor
bola baja yang dikeraskan. Indentor dipaksa masuk ke dalam
bahan uji di bawah beban minor awal F0 biasanya 3 kgf dan beban
mayor sebesar 15, 30, dan 45 kgf. Ketika kesetimbangan telah
tercapai, perangkat penunjuk yang mengikuti pergerakan indentor
dan merespons perubahan kedalaman penetrasi indentor diatur ke
posisi datum. Sementara beban kecil awal masih diterapkan,
beban mayor tambahan diterapkan dengan peningkatan penetrasi
Pada uji impak digunakan spesimen uji bertakik yang dipukul dengan
sebuah pendulum. Pada teknik izod, spesimen dijepit pada satu ujungnya
sehingga takik berada di dekat penjepit. Pendulum diayunkan dari
ketinggian tertentu akan memukul ujung spesimen yang tidak terjepit dari
depan takik. Pada teknik charpy spesimen uji diletakkanmendatar di kedua
ujungnya, pendulum akan memukul batang uji dari belakang takik
Gambar 1.4 Kurva Strain dengan Waktu pada Beban dan Temperatur Konstan
Sumber: Callister (2011, 8th edition)
5. Pengujian Bending
Pengertian Uji tekuk (bending test) merupakan salah satu bentuk
pengujian untuk menentukan mutu suatu material secara visual. Proses
pembebanan menggunakan mandrel atau pendorong yang dimensinya
telah ditentukan untuk memaksa bagian tengah bahan uji atau spesimen
tertekuk diantara dua penyangga yang dipisahkan oleh jarak yang telah
ditentukan. Selanjutnya bahan akan mengalami deformasi dengan dua
buah gaya yang berlawanan bekerja pada saat yang bersamaan. Dalam
pemberian beban dan penentuan dimensi mandrel ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Kekuatan tarik ( Tensile Strength ).
b. Komposisi kimia dan struktur mikro terutama kandungan Mn dan C
pada material.
c. Tegangan luluh ( Yield Stress ).
6. Pengujian fatigue
Sifat kelelahan bahan dapat ditentukan dari uji simulasi laboratorium.
Alat uji harus dirancang untuk menduplikasi sedekat mungkin kondisi
stress (tingkat stress, frekuensi waktu, pola stress, dll.). Diagram skematik
dari peralatan uji lengkung-putar, yang biasa digunakan untuk pengujian
fatik, ditunjukkan pada Gambar 1.5 kompresi dan tegangan tarik
dikenakan pada spesimen karena secara bersamaan ditekuk dan diputar
(Callister 2011, 8th edition).
c. Pengujian Ultrasonik
Gelombang ultrasonik 1-5 MHz merambat dalam bahan dan
memantul di tempat cacat, dari deteksi gelombang pantulan dapat
diketahui adanya cacat. Untuk memancarkan dan menerima gelombang
ultrasonik dipergunakan kristal barium titanat atau lainnya yang
mempunyai sifat efek piezoelektrik. Gelombang ultrasonik memantul
100% dari celah dan retakan, sehingga, kepekaan pengamatan sangat
tinggi dibanding dengan pengujian dengan penyinaran yang tidak dapat
melihat cacat kecuali jika benda ujinya mempunyai ketebalan 1-2 inch.
Akan tetapi yang terdeteksi adalah puncak gelombang pantulan untuk
menentukan keadaan cacat pada bahan
d. Eddy Current
Pengujian Eddy Current yaitu jika batang uji ditempatkan dalam
lilitan yang dialiri arus listrik frekuensi tinggi, maka arus Eddy yang
mengalir pada batang uji berubah kalau ada cacat, yang akan memberikan
induksi perubahan tegangan listrik oleh impedansi lilitan atau dalam lilitan
sendiri, jadi dihasilkan sinyal listrik. Cara ini dipakai untuk menentukan
bagian yang tidak pejal.
f. Pengujian Radiography
Dengan mempergunakan sinar X, sinar gamma, dan sinar neutron
yang memiliki daya tembus besar melalui benda, memungkinkan untuk
mengetahui adanya cacat dari bayangan pada film yang ditempatkan di
belakang benda, yang menunjukkan variasi intensitas, karena perbedaan
absorpsi sinar oleh rongga dan kepadatan di dalam benda (Avner (1974,
p.55)).
4. Ketangguhan (Toughness)
Yaitu sifat yang menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap
sejumlah energi hingga patah (Callister, 2007, p.150).
5. Elastisitas (Elasticity)
Yaitu kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa
mengakibatkan perubahan bentuk permanen setelah beban atau tegangan
dihilangkan (Callister, 2007, p.138)
6. Plastisitas (Plasticity)
Yaitu kemampuan suatu bahan untuk mengalami sejumlah deformasi
permanen tanpa mengalami kerusakan dimensi (Callister, 2007, p.143).
7. Kelelahan (Fatigue)
Yaitu kecenderungan logam untuk patah jika menerima tegangan atau
beban secara berulang-ulang atau beban dinamis dan fluktuatif (Callister,
2007, p.227).
8. Keuletan (Ductility)
Yaitu kemampuan suatu material untuk diregang atau ditekuk secara
permanen hingga mengalami patah (Avner, 1974, p.41).
9. Kegetasan (Brittleness)
Yaitu sifat kerapuhan pada material, yang berarti material tersebut
pecah dengan sedikit pergeseran permanen (Avner, 1974, p.669).
10. Mulur (Creep)
Yaitu deformasi plastis suatu material secara terus menerus pada
temperatur tinggi ketika tegangan masih dibawah batas yield (Avner,
1974, p.45).
11. Keausan (Wearness)
Yaitu ketidaksengajaan pengikisan permukaan pada suatu material
karena penggunaan material (Avner, 1974, p.567)
2. Hardening
Hardening merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk
memperoleh kekerasan maksimum pada baja dengan dipanaskan hingga di
atas temperatur AC3 kemudian ditahan cukup lama agar mencapai
temperatur austenite yang seragam, setelah didinginkan secara cepat
(quenching) dengan kecepatan pendinginan di atas kecepatan pendinginan
kritis agar diperoleh kekerasan yang tinggi.
3. Normalizing
Normalizing pada baja dilakukan dengan memanaskan pada suhu
sampai 100°F- 150°F di atas garis A3 dan didinginkan pada udara dengan
temperatur ruangan. Proses ini bertujuan untuk menghaluskan struktur
butiran yang mengalami pemanasan berlebihan, menghilangkan tegangan
dalam, meningkatkan permesinan, dan memperbaiki sifat material.
4. Tempering
Dalam kondisi martensit, baja bersifat brittle dan tidak dapat
digunakan. Bentukan martensite masih meninggalkan tekanan sisa yang
tinggi. Oleh karena itu, hardening dilanjutkan dengan proses tempering
yang memanaskan baja pada di bawah temperatur kritis yang lebih rendah.
Tempering bertujuan untuk mengurangi tegangan dalam dan melunakkan
bahan setelah di-hardening dan meningkatkan keuletan. Hal itu karena
baja yang dikeraskan dengan pembentukan martensit biasanya sangat
getas sehingga tak cukup baik untuk berbagai pemakaian.
Gambar 1. 15 Martempering
Sumber : Avner (1974, p.314)
b. Austempering
Austempering bertujuan untuk meningkatkan keuletan,
ketahanan impact, dan mengurangi distorsi. Struktur yang dihasilkan
adalah bainit. Pada proses pendinginan, baja didinginkan dalam media
garam pada suhu di atas garis Ms.
1. Carburizing
Carburizing merupakan suatu proses penjenuhan lapisan baja dengan
karbon. Baja dengan kandungan karbon di bawah 0.20% ditempatkan di
atmosfer yang mengandung kandungan karbon yang besar (Avner, 1996,
p.317). Jenis-jenis carburizing adalah sebagai berikut:
a. Pack Carburizing
Prosesnya material di kelilingi dengan senyawa carburizing di
dalam suatu ruang tertutup, kemudian dipanaskan dalam waktu dan
suhu tertentu lalu didinginkan secara perlahan (Avner, 1996, p.319).
b. Gas Carburizing
Logam dipanaskan dengan senyawa karbon monoksida atau
hidrokarbon yang mana telah terurai di carburizing temperature
(Avner, 1996, p.323).
c. Liquid Carburizing
Proses carburizing pengerasan material dengan cara memasukan
material ke dalam cyanide panas lalu karbon akan berdifusi ke dalam
material (Avner, 1996, p.323).
2. Nitriding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan
adanya porsi yang sesuai antara amonia dan amonia yang telah terpisahkan
(Avner, 1996, p.328).
3. Cyaniding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan
terjadinya kasus pembentukan karbon di dalam air garam (cyaniding) atau
dengan gas atmosfer (Carbonitrinding) (Avner, 1996, p.326).
Dari gambar 1.21, dapat kita lihat pada proses pendinginan perubahan struktur
kristal dan struktur makro sangat bergantung pada komposisi kimia. Pada
kandungan karbon 0,83% sampai 6,67% terbentuk struktur makro yang dinamakan
cementite Fe3C. Angka 6,67 berasal dari
𝐴𝑟𝑐 12
= 180 × 100% = 6.67%...............................................(1-1)
𝑀𝑟𝐹𝑒3𝐶
Adapun reaksi yang dapat diamati dari diagram Fe-Fe3C adalah sebagai berikut :
2. Reaksi Eutectic
Reaksi yang terjadi pada karbon 4,3% dan pada temperatur 1148˚C.
Reaksi ini terdapat dua fasa padat yaitu α dan δ kemudian bereaksi menjadi
fase cair L, begitu juga sebaliknya.
α + δ → L (1-4)
Solid 1 + Solid 2 → Liquid Ledeburite + Cementite
3. Reaksi Peritectic
Reaksi yang terjadi pada temperatur 1493˚C daerah eutectoid. Reaksi
ini terdapat dua padatan α dan δ yang bereaksi dan berubah menjadi fase
cair (L), begitu juga sebaliknya.
α + δ → L (1-5)
Solid 1 + Solid 2 →Liquid Austenite + Delta
4. Solid Solution
Pada dasarnya suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent). Sedangkan pada solid solution atau larutan padat, keadaan ini
terjadi karena terdiri dari dua atau lebih jenis atom yang berkombinasi.
Jika dilihat pada diagram fasa Fe-Fe3C, solid solution terjadi pada fase
austenite. Ketika suatu baja dipanaskan melebihi suhu dari austenite,
sebagian dari karbon akan terlarut dan jika dipanaskan melebihi suhu
austenite akan menjadi logam liquid.
5. Transformasi Allotropic
Transformasi allotropic adalah adanya transformasi dari suatu bentuk
susunan atom (sel satuan) ke bentuk susunan atom lain. Transformasi
allotropic yang pada besi Fe(δ), Fe(γ) dan Fe(α) terjadi secara difusi
sehingga membutuhkan waktu tertentu pada temperatur konstan karena
reaksi mengeluarkan panas laten.
Dari gambar 1.25, dapat dilihat bahwa di sebelah kiri kurva tidak terjadi
deformasi, austenite hanya berubah kestabilan. Selanjutnya austenite yang sudah
tidak stabil tersebut mengalami dekomposisi secara isotermal. Pendinginan yang
sangat cepat berpotensi terhadap hyper-eutectoid ukuran butiran anti kritis yang
berubah disamping meningkatkan austenite yang dapat mendukung terbentuknya
fase baru seperti martensite. Ketika austenite didinginkan secara lambat, struktur
yang terbentuk adalah pearlite. Akibat dari laju pendinginan yang meningkat, maka
temperature transformasi. Pearlite akan lebih rendah. Mikrostruktur material akan
berubah secara signifikan akibat peningkatan laju pendinginan melalui sebuah
pengujian pemanasan dan pendinginan. Kita dapat mencatat transformasi dari
austenite.
Pearlite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan
yang lebih rendah dibandingkan dengan pearlite yang halus. Hal ini erat kaitannya
dengan kelakuan presipitasi cementite dari austenite.Bainite yang terbentuk pada
temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang lebih rendah dibanding
dengan bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah. Struktur bainite
yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi relatif berbeda dengan struktur
bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah.
Pembentukan martensite sangat berbeda dibandingkan dengan pembentukan
pearlite dan bainite. Pembentukan martensite hampir tidak tergantung pada waktu.
Sebagai contoh martensite mulai terbentuk sekitar 200°C (Ms) dan terus berlanjut
sampai temperatur mencapai 26°C yaitu pada saat martensite mencapai 100% (Mf).
Pembentukan martensite dikaitkan dengan waktu pada diagram dinyatakan dengan
garis horizontal. Pada 66°C hampir 60 % martensite telah terbentuk. Perbandingan
ini tidak berubah terhadap waktu sepanjang temperaturnya dijaga konstan.
Bentuk diagram tergantung dari komposisi kimia terutama kadar karbon dalam
baja. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon. Posisi
hidung bergeser makin ke kanan menunjukkan karbon itu semakin mudah untuk
membentuk bainite dan martensite atau semakin mudah untuk dikeraskan. Untuk
baja karbon kurang dari 0,83% yang ditahan suhunya pada titik tertentu akan
menghasilkan struktur pearlite dan ferrite. Garis sebelah kiri menunjukkan saat
setelah berapa lama dimulai transformasi dan garis di sebelah kanannya adalah
akhir transformasi (100%) pada tiap tiap suhu.
Transformasi pada gambar 1.25 terlihat bahwa dengan menggeser nose, maka
proses pendinginan yang relatif lebih lambat dibanding TTT. Diagram untuk
perbandingan kontinyu seringkali disebabkan oleh kelebihan diagram TTT yang
memberikan perkiraan terhadapklasifikasi mikrostruktur baja selama pendinginan
kontinyu.
Pada proses laju pendinginan perlahan akan menghasilkan pearlite, pada
proses laju pendinginan yang sedang akan dihasilkan pearlite dan martensite. Pada
laju pendinginan cepat akan menghasilkan yang seluruhnya martensite.
∑𝑛
𝑖=1 𝑇𝐶𝑖×%𝐶𝑖
𝑇𝐶’ = ∑𝑛
......................................................................(1-2)
𝑖=0 %𝐶𝑖
∑𝑛
𝑖=1 𝑇𝐶𝑖×%𝐶𝑖
%𝐶 = .......................................................................(1-3)
∑𝑛
𝑖=1 𝑇𝐶𝑖
Dimana :
TC’ = Suhu eutectoid (C)
%C’ = Persentase kadar karbon (%)
Contoh soal :
Spesimen dengan komposisi kimia Cr = 1,2%, Mn = 0,3%, Si = 0,2%. Tentukan
pergeserantitik eutectoid-nya
Penyelesaiannya :
Tabel 1.1
Contoh Komposisi Kimia Spesimen
Unsur Paduan %Paduan Suhu Eutectoid %C
Cr 1,2% 799.25ºC 0,65
Mn 0,3% 720.00ºC 0,76
Si 0,2% 730.00ºC 0,74
𝑇𝐶 ′ = 747,4℃
∑𝑖−1 𝑇𝐶×%𝐶𝑖
%𝐶′ = ∑3𝑖=1 𝑇𝐶𝑖