BAB I
PENDAHULUAN
2. Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan (Hardness Test) adalah pengujian material untuk
mengetahui kemampuan suatu ketahanan material terhadap deformasi plastik
b. Metode Vickers
c. Metode Rockwell
B. Pengujian Non-Destruktif
Pengujian Non-Destruktif adalah pengujian suatu material dengan segala cara
dengan tidak merusak atau menyebabkan cacat pada material tersebut (Avner,
1974, p.45). Contoh dari pengujian Non-Destruktif, diantaranya :
a. Pengujian Visual
Metode ini bertujuan untuk menemukan cacat atau retak serta melihat
korosi pada permukaan. Digunakan alat bantu optikal untuk dapat melihat
cacat atau retakan pada permukaan secara jelas.
b. Pengujian Cairan Penetrant
Cara ini dipakai untuk mendeteksi cacat dengan penembusan zat pada
celah cacat di permukaan. Cairan fluoresen atau non-fluoresen dipakai untuk
maksud ini. Yang pertama diamati di bawah sinar UV dengan panjang
geombang 330- 390 mm, dan yang terakhir diamati di bawah sinar tampak
terang (Shinroku, 1995, p.42).
c. Pengujian Ultrasonik
Gelombang ultrasonik 1-5 MHz merambat dalam bahan dan memantul di
tempat cacat, dari deteksi gelombang pantulan dapat diketahui adanya cacat.
Untuk memancarkan dan menerima gelombang ultrasonik dipergunakan kristal
barium titanat atau lainnya yang mempunyai sifat efek piezoelektrik.
Gelombang ultrasonik memantul 100% dari celah dan retakan, oleh karena itu,
kepekaan pengamatan sangat tinggi dibandingkan dengan pengujian dengan
penyinaran yang tidak dapat mengamati cacat kecuali jika benda ujinya
mempunyai ketebalan 1-2 inch. Akan tetapi yang terdeteksi adalah puncak
gelombang pantulan yang memerlukan pengalaman untuk menentukan keadaan
cacat pada bahan (Shinroku, 1995, p.42).
f. Pengujian Radiography
1. Kekuatan (Strength)
Merupakan kemampuan suatu bahan untuk menerima tegangan tanpa
menyebabkan bahan tersebut patah (Callister, 2007, p.144).
2. Kekerasan (Hardness)
Yaitu kemampuan material logam menerima gaya berupa penetrasi,
indentasi, serta pengikisan atau penggoresan tanpa mengalami deformasi
(Callister, 2007, p.155).
3. Kekakuan (Stiffness)
Yaitu kemampuan suatu bahan menerima beban tegangan tanpa
menyebabkan perubahan bentuk / defleksi (Callister, 2007, p.138).
4. Ketangguhan (Toughness)
Yaitu sifat yang menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap
sejumlah energi hingga patah (Callister, 2007, p.150).
5. Elastisitas (Elasticity)
Yaitu kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa
mengakibatkan perubahan bentuk permanen setelah beban atau tegangan
dihilangkan (Callister, 2007, p.138).
6. Plastisitas (Plasticity)
Yaitu kemampuan suatu bahan untuk mengalami sejumlah deformasi
permanen tanpa mengalami kerusakan dimensi (Callister, 2007, p.143).
7. Kelelahan (Fatigue)
Yaitu kecenderungan logam untuk patah jika menerima tegangan atau
beban secara berulang-ulang atau beban dinamis dan fluktuatif (Callister,
2007, p.227).
8. Keuletan (Ductility)
Yaitu kemampuan suatu material untuk diregang atau ditekuk secara
permanen hingga mengalami patah (Avner, 1974, p.41).
9. Kegetasan (Brittleness)
Yaitu sifat kerapuhan pada material, yang berarti material tersebut
pecah dengan sedikit pergeseran permanen (Avner, 1974, p.669).
10. Mulur (Creep)
Yaitu deformasi plastis suatu material secara terus menerus pada
temperature tinggi ketika tegangan masih dibawah batas yield (Avner,
1974, p.45).
11. Keausan (Wearness)
Yaitu ketidaksengajaan pengikisan permukaan pada suatu material
karena penggunaan material (Avner, 1974, p.567).
1. Kadar karbon
Kandungan karbon ini juga mempengaruhi keuletan, ketangguhan dan sifat
mampu mesin karena semakin tinggi kadar karbon maka kekerasan akan semakin
tinggi namun akan menjadi rapuh.
2. Unsur kimia
Penambahan unsur kimia dapat mempengaruhi sifat mekanik logam karena
sifat dari unsur itu sendiri. Unsur – unsur kimianya antara lain:
a. Nikel (Ni)
- Meningkatkan kekuatan dan kekerasan.
- Meningkatkan kekerasan terhadap korosi.
- Meningkatkan keuletan dan ketahanan dari gesekan.
b. Krom (Cr)
- Meningkatkan kekerasan.
- Menambah karbida.
- Menambah keelastisan pada pegas.
c. Mangan (Mn)
- Meningkatkan kekerasan.
- Meningkatkan ketahanan terhadap suhu tinggi.
- Membuat bahan mengkilap.
d. Silikon (Si)
- Meningkatkan sifat mekanis.
- Membuat sifat logam menjadi kaku.
e. Karbon (C)
- Meningkatkan kekerasan dan kekuatan.
- Membentuk karbida Fe3C.
- Menurunkan elastisitas.
3. Homogenitas struktur mikro
Homogenitas akan mempengaruhi kekerasan, karena semakin homogen suatu
material atau semakin sama arah orientasi kristalnya maka material tersebut bersifat
semakin ulet. Bila strukturnya heterogen maka materialnya akan bersifat keras dan
getas.
4. Perlakuan panas
Perlakuan panas akan mempengaruhi kekerasan, karena semakin tergantung
pada perlakuan yang diberikan. Hardening akan meningkatkan kekerasan,
berikutnya tempering, lalu normalizing, dan yang paling lunak adalah annealing.
2. Hardening
Hardening merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk memperoleh
kekerasan maksimum pada baja dengan dipanaskan hingga di atas temperatur
AC3 kemudian ditahan cukup lama agar mencapai temperatur austenite yang
seragam, setelah didinginkan secara cepat (quenching) dengan kecepatan
pendinginan di atas kecepatan pendinginan kritis agar terjadi pembentukan
martensite dan diperoleh kekerasan yang tinggi (Rosenberg, 1960, p.10).
3. Normalizing
4. Tempering
Dalam kondisi martensit ,baja bersifat brittle dan tidak dapat digunakan.
Bentukan martensite masih meninggalkan tekanan sisa yang tinggi. Oleh
karena itu, hardening dilanjutkan dengan proses Tempering yang memanaskan
baja pada di bawah temperatur kritis yang lebih rendah. Tempeing bertujuan
untuk mengurangi tegangan dalam dan melunakkan bahan setelah di-
hardening dan meningkatkan keuletan. Hal itu karena baja yang dikeraskan
dengan pembentukan martensit biasanya sangat getas sehingga tidak cukup
baik untuk berbagai pemakaian (Avner, 1974, p.305).
a. Martempering
Metode untuk meminimalisir distorsi dan retakan selama pendinginan
dengan martempering atau marquenching. Pada proses pendinginan, baja di
quenching secara tepat hingga sedikit di atas garis Ms dalam cairan
elektrolit, lalu ditahan hingga suhu pada inti sama dengan suhu pada
permukaan, kemudian didinginkan dalam suhu kamar. Metode yang sangat
efektif lainnya untuk meminimalisi distorsi dan crack adalah dengan
menggunakan martempering atau marquenching. Dilakukan dengan
menggunakan suhu panas ke suhu austenite yang tepat, proses quenching,
yang cepat dalam cairan garam yang terjadi di atas temperature Ms, dan
ditahan selama beberapa waktu (Avner, 1974, p.340).
b. Austempering
Austempering bertujuan untuk meningkatkan keuletan, ketahanan
impact, dan mengurangi distorsi. Struktur yang dihasilkan adalah bainit.
Pada proses pendinginan, baja diinginkan dalam media garam pada suhu di
atas garis Ms.
b. Gas Carburizing
Logam dipanaskan dengan senyawa karbon monoksida atau
hidrokarbon yang mana telah terurai di Carburizing Temperature (Avner,
1996, p.323).
2. Nitriding
Silahkan mas fatur
c. Liquid Carburizing
Proses carburizing pengerasan material dengan cara memasukan
material ke dalam cyanide panas lalu karbon akan ber difusi ke dalam
material (Avner, 1996, p.323).
2. Nitriding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan adanya
porsi yang sesuai antara amonia dan amonia yang telah terpisahkan (Avner,
1996, p.328).
3. Cyaniding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan terjadinya
kasus pembentukan karbon di dalam air garam (cyaniding) atau dengan gas
atmosfer (Carbonitrinding) (Avner, 1996, p.326).
Dari gambar 1.19, dapat kita lihat pada proses pendinginan perubahan struktur
kristal dan struktur makro sangat bergantung pada komposisi kimia. Pada kandungan
karbon 0,83% sampai 6,67% terbentuk struktur makro yang dinamakan cementite Fe3C.
Angka 6,67 berasal dari :
12
𝐴𝑟𝐶 = 𝑥 100% = 6,67 %....................................................................... (1-1)
𝑀𝑟Fe3C 100
α + δ → L.........................................................................(1-5)
Solid 1 + Solid 2 →Liquid
Austenite + Delta
4. Solid Solution
Pada dasarnya suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent). Sedangkan pada solid solution atau larutan padat, keadaan ini terjadi
karena terdiri dari dua atau lebih jenis atom yang berkombinasi. Jika dilihat pada
diagram fase Fe- Fe3C, solid solution terjadi pada fase austenite. Ketika suatu baja
dipanaskan melebihi suhu dari austenite, sebagian dari karbon akan terlarut dan jika
dipanaskan melebihi suhu austenite akan menjadi logam liquid.
5. Transformasi Allotropic
Transformasi allotropic adalah adanya transformasi dari suatu bentuk susunan
atom (sel satuan) kebentuk susunan atom lain. Transformasi allotropic yang pada
besi Fe(δ), Fe(γ) dan Fe(α) terjadi secara difusi sehingga membutuhkan waktu
tertentu pada temperatur konstan karena reaksi mengeluarkan panas laten.
Dari gambar 1.23, dapat dilihat bahwa di sebelah kiri kurva tidak terjadi deformasi,
austenite hanya berubah kestabilan. Selanjutnya austenite yang sudah tidak stabil
tersebut mengalami dekomposisi secara isothermal. Pendinginan yang sangat cepat
berpotensi terhadap hyper-eutectoid ukuran butiran anti kritis yang berubah
disamping
Ketika austenite didinginkan secara lambat, struktur yang terbentuk adalah pearlite.
Akibat dari laju pendinginan yang meningkat, maka temperature transformasi. Pearlite
akan lebih rendah. Mikrostruktur material akan berubah secara signifikan akibat
peningkatan laju pendinginan melalui sebuah pengujian pemanasan dan pendinginan.
Kita dapat mencatat transformasi dari austenite.
Pearlite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang
lebih rendah dibandingkan dengan pearlite yang halus. Hal ini erat kaitannya dengan
kelakuan presipitasi cementite dari austenite.
Bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan
yang lebih rendah dibanding dengan bainite yang terbentuk pada temperatur yang
lebih rendah. Struktur bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi relatif
berbeda dengan struktur bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah.
Pembentukan martensite sangat berbeda dibandingkan dengan pembentukan perlite
atau bainite. Pembentukan martensite hampir tidak tergantung pada waktu. Sebagai
contoh martensite mulai terbentuk sekitar 200°C (Ms) dan terus berlanjut sampai
temperatur mencapai 26°C yaitu pada saat martensite mencapai 100%
(Mf).Pembentukan martensite dikaitkan dengan waktu pada diagram dinyatakan dengan
garis horizontal. Pada 66°C hampir 60 % martensite telah terbentuk. Perbandingan ini
tidak berubah terhadap waktu sepanjang temperaturnya dijaga konstan.
Bentuk diagram tergantung dari komposisi kimia terutama kadar karbon dalam
baja. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon. Posisi
hidung bergeser makin ke kanan menunjukkan karbon itu semakin mudah untuk
membentuk bainite atau martensite atau makin mudah untuk dikeraskan. Untuk baja
karbon kurang dari 0,83% yang ditahan suhunya pada titik tertentu akan menghasilkan
struktur pearlite dan ferite.
Garis sebelah kiri menunjukkan saat setelah berapa lama dimulai transformasi dan
garis disebelah kanannya adalah akhir transformasi (100%) pada tiap tiap suhu.
Transformasi pada gambar 1.27 terlihat bahwa dengan menggeser nose, maka
proses
pendinginan yang relatif lebih lambat dibanding TTT. Diagram untuk perbandingan
kontinyu seringkali disebabkan oleh kelebihan diagram TTT yang memberikan
perkiraan terhadap klasifikasi mikrostruktur baja selama pendinginan kontinyu.
Pada proses laju pendinginan perlahan akan menghasilkan pearlite, pada proses laju
pendinginan yang sedang akan dihasilkan pearlite dan martensite. Pada laju
pendinginan cepat akan menghasilkan yang seluruhnya martensite
Dimana:
TC = Suhu eutectoid (C)
%C = Persentase kadar karbon (%)
Contoh soal :
Spesimen dengan komposisi kimia Cr = 1,2%, Mn = 0,3%, Si = 0,2%. Tentukan
pergeseran titik eutectoidnya.
Penyelesaiannya :
Tabel 1.1
Contoh Komposisi Kimia Spesimen
Unsur % Paduan Suhu Eutectoid %C
Paduan
Cr ‘ 1,2% 799.25˚C 0,65
Mn 0,3% 720.00˚C 0,76
Si 0,2% 730.00˚C 0,74
∑∞
𝑐=𝑎 𝑇𝐶 𝑥 %𝐶
𝑇𝐶 = ∞ %𝐶
............................................................................................(1-7)
∑𝑐=𝑎
(799,25 𝑥 0,65)+(720,00𝑥0,76)+(730,00𝑥0,74)
𝑇𝐶‘= 0,65+0,76+0,74
𝑇𝐶‘= 747,4 ˚C
∑∞
𝑐=𝑎 𝑇𝐶 𝑥 %𝐶
%𝐶 = ∞ 𝑇𝐶
............................................................................................(1-8)
∑𝑐=𝑎
(799,25 𝑥 0,65)+(720,00𝑥0,76)+(730,00𝑥0,74)
%𝐶 =
799,25+720,00+730,00
%𝐶 = 0,76%