Anda di halaman 1dari 16

BAB III

PENERAPAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG


MELAKUKAN TINDAK PIDANA ABORSI

A. Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kelahiran prematur (bahasa Latin: kelahiran prematur) adalah akhir

kehamilan dengan pengeluaran embrio (embrio) atau kehidupan yang berkembang

beberapa waktu belakangan ini ia memiliki kapasitas untuk hidup lebih lama dari luar

rahim, terjadi pada saat berlalu. Kelahiran prematur yang terjadi tiba-tiba juga disebut

"kelahiran prematur". Kesengajaan kelahiran prematur sering disebut "kelahiran

prematur yang dimulai" atau "aborsi yang memprovokasi". Tindakan mengeluarkan

janin itu seluruhnya dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan KUHP tentang kesalahan pengangkatan

janin terdapat dalam Pasal 299, 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349. Pengaturan

pengangkatan janin dalam KUHP adalah sebagai Lex Generalis menjalankan

pertunjukannya. , atau arah umum dalam hal kesalahan pengangkatan janin.

Pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tentang

kelahiran prematur adalah sebagai berikut::

“Pasal 299
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat
puluh lima ribu rupiah. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari

1
keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau
kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat
ditambah sepertiga. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan
pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Pasal 347
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Pasal 348
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan”.

Pengaturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

tentang Tindak Pidana Aborsi dalam perkembangan dinamika kehidupan masyarakat

dewasa ini dianggap tidak mampu memberikan cakupan hukum tentang pengaturan

dan batasan tentang tindak pidana aborsi, karena di dalam dunia kesehatan, banyak

hal yang menyangkut kesehatan mengharuskan seorang wanita menggugurkan

kandungannya, yang apabila kandungan tersebut dipertahankan, mengakibatkan ibu

yang mengandung terancam jiwanya. Pemerintah Indonesia memahami perlunya

adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Tindak Pidana

Aborsi, pengaturan yang baru dan lebih spesifik yang tertuang dalam Undang-

2
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diharapkan

dapat mencakup kebutuhan hukum masyarakat tentang pengaturan perundang-

undangan tentang tindak pidana aborsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang

Peraturan Hukum Pidana bukan buatan dari negara Indonesia, berbagai pertimbangan

menjadi penyebab digunakannya hukum pidana yang sudah dibuat oleh penjajah.

Faktor kelengkapan isi tentang pengaturan perbuatan tindak pidana merupakan salah

satu pertimbangan pemerintah menggunakan aturan pidana yang sudah ada zaman

penjajahan ini.1

Menurut Suyanto, latar belakang disahkannya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana adalah sebagai

berikut:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana


tersebut terbit dengan pertimbangan bahwa saat itu negara belum dapat
membentuk sebuah Undang-Undang Pidana yang baru sehingga
menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman penjajahan
dengan disesuaikan dengan keadaan. Hal ini ada dalam penjelasan umum
UU 1 tahun 1946, bahwa berdasar pasal II Aturan Peralihan UUD dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 tahun 1945 yang diterbitkan
pada 10 Oktober 1945. Memberlakukan semua peraturan hukum pidana
yang ada sejak 17 Agustus 1945 baik yang berasal dari Pemerintah Hindia-
Belanda maupun yang ditetapkan oleh bala tentara Jepang. Dan karena itu
membuat persoalan baru karena menjadikan campur aduknya peraturan
hukum pidana dalam satu daerah, karena ada aturan dari jaman Belanda
ditambah dengan aturan jaman Jepang.2

B. Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
1
Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana: Reformasi Hukum Pidana, Djambatan,
Yogyakarta, 2012, hal. 73.
2
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Deepublish, Yogyakarta, 2018, hal. 141.

3
Perundang-Undangan Indonesia telah mengatur tentang aboarsi dalam dua

undangundang yaitu dalam Kitab Undang-Undang. Hukum Pidana (KUHP) dan

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) Aborsi sudah diatur dalam perundangan pidana yang

berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal

dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”.3

Beberapa pasal yang terkait adalah:

Pasal 229

“(1)Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau


menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
tiga ribu rupiah.(2)Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari
keuntungan, atau menjadikanperbuatan tersebut sebagai pencarian atau
kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat
ditambah sepertiga. (3)Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut,
dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan
pencarian itu”.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah:

1. Dengan sengaja mengobati seorang wanita hamil, dengan keterangan atau

penjelasan bahwa pengobatannya itu dapat menggugurkan kandungan wanita

tersebut;

2. Dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan terhadap seorang wanita hamil,

dengan keterangan atau penjelasan bahwa perbuatannya itu dapat menggugurkan

kandungan wanita tersebut.

3
Cecep Triwobowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014, hal 121.

4
Pada ayat (2) disebutkan bahwa risiko disiplin diperluas sepertiga, dalam hal

kesalahan itu dapat berupa pekerjaan atau kecenderungan, atau dilakukan oleh

spesialis, spesialis bersalin, atau spesialis obat. Dalam artikel ini, sangat penting

untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut benar-benar hamil, tetapi tidak diharuskan

bahwa kehamilan benar-benar berakhir sebelum waktunya sejak pengobatan

(dimaksudkan pengangkatan janin dipidana oleh Pasal 348).

Cukuplah apabila pelakunya telah memperlakukan atau melakukan suatu

perbuatan terhadap seorang wanita hamil dengan data atau dengan cara yang dapat

menimbulkan kepercayaan, bahwa dengan demikian dia dapat mengakhiri kandungan

wanita tersebut sebelum waktunya. Dokter sebagai ahli salah menduga bahwa wanita

itu hamil, padahal sebenarnya tidak, maka dia tidak dapat menolak, karena

aktivitasnya tidak mengakhiri kandungan sebelum waktunya. Eksekusi kezaliman

dianggap total, dalam hal telah diberikan pengobatan atau telah dilakukan gosokan

sehingga menimbulkan keinginan agar kandungannya turun karena pengobatan atau

pemijatan tersebut.

Seorang ibu hamil yang dengan sengaja mengeluarkan janinnya atau

menyuruh orang lain, dihukum empat kali penjara. Barangsiapa dengan sengaja

melakukan pengangkatan janin pada ibu hamil tanpa persetujuan ibu hamil tersebut,

5
dipidana dengan pidana penjara yang lama, dan jika ibu hamil tersebut menendang

ember, dipidana dengan pidana penjara yang lama. di penjara. Dalam kasus dengan

persetujuan wanita hamil, dia dirusak dengan hukuman 5 waktu yang lama dan 6

bulan penjara dan jika wanita hamil menendang ember, dia dilumpuhkan dengan

hukuman 7 tahun penjara.

Dalam hal orang yang melakukan dan atau membantu pelaksanaan

pengangkatan janin dapat berupa dokter spesialis, spesialis bersalin atau spesialis

obat, sanksinya ditambah sepertiga dan hak untuk mengasahnya dapat dicabut. Setiap

bayi yang dikandung sampai akhirnya lahir berhak untuk hidup dan mempertahankan

hidupnya. Perlakuan terhadap aktivitas media dalam bingkai kelahiran prematur

dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan standar hukum, standar

kesalehan, standar etika, dan standar kehormatan.4

Pada poin 2 dan 3, mungkin dokter spesialis kesehatan dan spesialis yang

sah dapat mengetahui penyebab bayi lahir prematur karena hal tersebut di luar

kemampuan ibu, dimana pada poin 2, jika anak dibiarkan hidup, bisa saja terjadi

beban pada keluarga dan periode yang mengerikan. dihadapan anak itu sendiri.

Bagaimanapun keadaan ini bertentangan dengan Pasal 53 Undang-Undang Hak Asasi

Manusia tentang hak hidup seorang anak sejak embrio lahir sampai dengan lahirnya,

dan Pasal 54 tentang hak memperoleh pengasuhan, pengajaran, persiapan yang tidak

biasa. dan bantuan dengan biaya negara untuk setiap anak yang cacat fisik dan

4
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal
133..

6
rasional. Pada butir 3 sangat besar kemungkinan bayi tidak memperoleh kasih sayang

yang sah, justru dapat diserahkan atau dibuang, yang bertentangan dengan Pasal 4

Undang-Undang Kesejahteraan tentang jaminan anak terhadap hak anak untuk hidup,

berkembang, berkreasi. dan mengambil minat yang sah dalam pemahaman dengan

kemuliaan dan nilai manusia. Adapun ibu yang menjadi korban penyerangan itu

sendiri, itu di luar batas.

Kesejahteraan menguntungkan pemasok yang memenuhi kebutuhan yang

ditetapkan oleh Melayani. Di dalam KUHP ada penyangkalan terhadap pengangkatan

janin, dan bagi ibu dan pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan

dikukuhkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan yang

apalagi mengatur tindak pidana kelahiran prematur, maka pasal-pasal tentang aborsi

dalam KUHP kini menjadi tidak substansial dengan premis Lex Specialis Derogat

Lex Generalis. Sama sekali tidak seperti KUHP, UU Kesejahteraan memberikan

pengecualian (legalisasi) untuk kelahiran prematur tertentu, yaitu kelahiran prematur

tertentu yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau bayi. Pasal 49 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan

bahwa perempuan berhak atas keamanan yang sah terkait dengan fungsi

regenerasinya. Tindakan Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesejahteraan telah sah mengesampingkan arah KUHP tentang

Perbuatan Salah Mengeluarkan Janin, keadaan ini terjadi karena sesuai dengan Pasal

ini.5

5
C.B. Kusmaryanto, Kntroversi Aborsi, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2009, hal. 11

7
Menurut Roeslan Sale tentang Pertanggungjawaban Pidana adalah,

“Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif

yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat

dipidana karena perbuatannya itu, Maksud celaan objektif adalah bahwa perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang.

Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan

hukum formil”.

Andre Fahlevi menyatakan perbuatan dikatakan telah melanggar hukum

apabila, seperti dikatakannya :

Suatu perbuatan telah dapat dikatakan melanggar hukum, dan dapat


dikenakan sanksi pidana maka harus memenuhi dua unsur yaitu adanya
unsur perbuatan pidana yang dalam bahasa asingnya actrus reus dan
keadaan sifat batin pembuat yang dalam bahasa asingnya mens rea.
Kesalahan atau schuld merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur
pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya
si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti
bahwa perbuatan pidana sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin
hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih
dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan
oleh terdakwa.6

Berdasarkan penjelasan diatas tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan

melanggar hukum harus memenuhi 2 (dua) unsur yaitu perbuatan pidana, dan

kesalahan. Perbuatan pidana merupakan kategori perbuatan yang dilarang dalam

ketentuan hukum pidana, dalam aturan tersebut terdapat sanksi pidana.7 Menurut Van

Hamel ada beberapa unsur-unsur dalam perbuatan, antara lain:

6
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1203005065-3-bab%202%20fixx.pdf, diakses pada
tanggal 10 Juli 2021 pukul 11.19 WIB.
7
Ahmad Wardhi, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hal. 104.

8
Dalam perbuatan terdapat unsur-unsur, yaitu kelakuan dan akibat. Kedua,
sebab atau keadaan tertentu yang mentertai perbuatan, menurut Van Hamel,
sebab-sebab terbagi dalam dua golongan, berkaitan dengan diri orang
tersebut dan dan di luar diri orang tersebut. Ketiga, kerena keadaan
tambahan atau unsur-unsur yang memberatkan. Keempat, sifat melawan
hukum. Kelima, unsur melawan hukum secara obyektif dan subyektif.8

Perbuatan tindak pidana terdiri dari tindak kejahatan dan pelanggaran.

Tindak kejahatan adalah adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan hukum

pidana. Ketentuan hukum pidana berisi rumusan tentang perbuatan apa saja yang

masuk dalam kategori pidana dan sanksinya.9 Pelanggaran menurut Anton G.

Harahap adalah, “Pelanggaran adalah wetsdelict, yaitu delik undang-undang yang

melanggar apa-apa yang ditentukan oleh Undang-Undang”.10

Keadaan yang terlarang menurut S. R. Sianturi adalah, “Suatu tindakan

pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau melanggar keharusan)

dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta bersifat melawan hukum dan

mengandung unsur kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab”.

Terpenuhinya seluruh unsur-unsur tindak pidana tidak menjamin

seseorang dinyatakan harus bertanggung jawab secara pidana. Unsur-unsur dalam

tindak pidana tersebut hanya membuktikan bahwa pelaku melakukan tindak pidana

yang dimaksud dalam Pasal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan

8
https://law.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2020/05/MODUL-HUKUM-PIDANA.pdf ,
diakses pada tanggal 10 Juli 2021 pukul 11.25 WIB.
9
Yesmil Anwar, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Pelangi Pers, Yogyakarta, 2014, hal.
38.
10
Anton G. Harahap, Hukum Pidana Indonesia, Merpati, Jakarta, 2013, hal. 89.

9
perbuatannya secara pidana pelaku harus tidak memenuhi alasan pemaaf dan

pembenar.

Pelaku adalah orang yang perbuatannya memenuhi seluruh unsur-unsur

tindak pidana dalam ketentuan hukum pidana.11 Perbuatan adalah sesuatu yang telah

dilakukan atau diperbuat.12 Unsur-unsur tindak pidana Menurut S.R. Sianturi adalah,

“Adanya subjek, adanya unsur kesalahan, perbuatan bersifat melawan hukum, suatu

tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang undang/perundangan dan

terhadap yang melanggarnya diancam pidana, dalam suatu waktu, tempat dan

keadaan tertentu”.

Subjek yang dimaksud adalah subjek hukum. Menurut Algra, "Subyek

hukum (recht subyek) adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, yang

menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Wewenang Hukum itu sendiri

adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak, jadi apabila orang melanggar

ketentuan hukum maka kewajibannya adalah bertanggungjawab”.

Perbuatan dapat dikatakan bersifat melawan hukum apabila

suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum tersebut terdapat

ancaman pidana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang. Contohnya mencuri

uang orang lain yang terletak di atas meja. Perbuatan yang dilakukan oleh orang ini

sifatnya melawan hukum karena ada ancaman pidana dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana terhadap pencurian.

11
Sugianto, Hukum Pidana, Penebar Plus, Jakarta, 2013, hal. 104.
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia

10
Pelaku dalam Putusan nomor 76/Pid.B/2018/PN Lbo dinyatakan terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu melakukan

penganiayaan hewan. Arti terbukti merujuk pada akibat dari adanya kesalahan dari

subjek hukum, maka unsur pidana menjadi sah dimata hukum. 13 Dasar pertimbangan

yang meyakinkan hakim antara lain dari alat bukti, barang bukti, dan fakta-fakta

dipersidangan.

Dari penjelasan di atas dapat simpulkan bahwa unsur barang siapa adalah

subyek hukum baik orang atau badan hukum yang bertanggunjawab secara pidana

terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Berdasarkan adanya orang

atau badan hukum dalam pembuktian maka menjadi terpenuhi unsur barang siapa

ini. Akibat Hukum terpenuhinya unsur dalam tindak pidana adalah subjek hukum

dinyatakan terbukti bersalah.14 Setelah dinyatakan terbukti bersalah maka pelaku

harus tanggungjawab yaitu pidana penjara. Barang siapa dalam Pasal 302 ayat (2)

dalam kasus ini adalah Ali mahmud ali, Yunus Kai alias kayu dan Pana mahmuad

aliasa Pana.

Majelis hakim mempertimbangkan bahwa, “Dengan demikian oleh karena

itu perkataan Barang siapa secara historis kronologis manusia sebagai subyek hukum

telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas

13
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiTsBxtLxAhUOA3IKH
S57BYcQFjAJegQIDBAD&url=http%3A%2F%2Fjhp.ui.ac.id%2Findex.php%2Fhome%2Farticle
%2Fdownload%2F234%2F169&usg=AOvVaw1sdLYDZ9e0m8hUBjQxYzHC, diakses pada tanggal
8 Juli 2021, pukul 10.42 WIB.
14
https://info-hukum.com/2019/04/20/teori-pertanggungjawaban-pidana/ , diakses pada
tanggal 8 Juli 2021 pukul 11.05 WIB.

11
undang-undang menentukan lain”. Dari segi berkenaan dengan sejarah dan urutan

waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa manusia adalah subyek hukum.

Fakta-fakta dipersidangan tidak menemukan adanya unsur pemaaf dan

pembenar terhadap pelaku. Alasan pemaaf adalah alasan penghapusan pidana

terhadap pelaku apabila perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak waras

sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkannya, atau perbuatan yang dilakukan

karena terdapat daya paksa, dan pembelaan terpaksa.

Menurut Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman bahwa Daya paksa dapat

diterima sebagai alasan penghapus pidana apabila memenuhi beberapa persyaratan

sebagai berikut:

1. Terdapat kekuatan, paksaan atau tekanan. Kekuatan, paksaan atau


tekanan (daya paksa) yang bersifat relatif (vis compulsiva) yang sebenarnya
masih bisa dihindari namun orang yang mendapatkan daya paksa tersebut
tidak dapat diharapkan untuk melakukan perlawanan karena daya paksa
tersebut membahayakannya.
2. Kekuatan, paksaan atau tekanan datang dari luar diri pelaku. Kekuatan,
paksaan atau tekanan ini dapat bersumber dari orang lain atau timbul dari
keadaan-keadaan tertentu (keadaan darurat).
3. Terhadap kekuatan, paksaan atau tekanan tersebut, pihak yang
mengalaminya relatif tidak dapat memberikan perlawanan. Contoh:
seseorang yang ditodong senjata api, lalu ia terpaksa membongkar brangkas
dan menyerahkan isinya kepada perampok.15

Fajar Hasman menyatakan bahwa, “Alasan pembenar adalah alasan yang

menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya

tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya

(subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat

15
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/konsep-overmacht-daya-paksa-dalam-hukum-pidana/,
diakses pada tanggal 8 Juli 2021 pukul 11.38 WIB.

12
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu”. Pada intinya alasan pembenar

menghapus hukuman pidana terhadap pelaku yang memenuhi persyaratan dalam

Pasal 44 KUHP.16

Berdasarkan keterangan para saksi, terdakwa, dan Bukti Kartu Tanda

Penduduk bahwa yang dihadapkan ke persidangan adalah benar mereka adalah orang

yang bernama Ali mahmud ali, Yunus Kai alias kayu dan Pana mahmuad alias Pana.

Dengan begitu hakim yakin untuk memeriksa apakah para pelaku dapat dipersalahkan

terhadap apa yang dituntutkan kepadanya oleh penuntut umum. 17

C. Anak Yang melakukan Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dinyatakan bahwa seorang anak dapat

dijatuhi pidana setelah berumur 14 tahun, sedangkan anak yang belum berusia 14

tahun hanya dapat dikenai tindakan.18

Sanksi pidana (Pasal 71 Undang-Undang SPPA) yang dapat dikenakan


kepada anak yang melakukan tindak pidana dan telah berusia lebih dari 14 tahun
yaitu :

1. Pidana Pokok terdiri atas:


a. Pidana Peringatan;
b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat, atau
3) pengawasan;
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga; dan
16
Pasal 44 KUHP
17
Putusan Nomor 76/Pid.B/2018/PN Lbo
18
Wiryono Projodikoro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 2009, hal 65.

13
e. Penjara.
2. Pidana Tambahan terdiri atas;
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.

Sanksi pidana penjara yang diancam terhadap tindak pidana aborsi yang

dilakukan anak berdasarkan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 194 yang berbunyi Setiap orang yang

dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

hanya dapat diberlakukan ½ (satu per dua) dari maksimal ancaman pidana yang

diberlakukan terhadap orang dewasa.

Dasar hukum Perlindungan anak di Indonesia adalah Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan bagian

pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

yang menyatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang

merupakan hak asasi manusia”.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Indonesia

menjamin perlindungan anak sebagaimana merupakan hak asasi manusia. Hak anak

yang diatur dalam aturan ini antara lain hak untuk hidup, kebebasan berekspresi, hak

untuk mendapat perlindungan hukum. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan

14
dari negara berupa perlindungan dari adanya kekerasan dan tindakan diskriminasi dan

merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa, “Anak sebagai tunas, potensi, dan

generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan

sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi

yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia”.

Dalam Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak, Negara perlu melindungi

dan berupaya untuk diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa, terkecuali

pada tindak pidana yang termasuk berat dan meresahkan masyarakat seperti Tindak

Pidana Aborsi yang dilakukan oleh anak. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak kategori anak yaitu, Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Dari penjelasan diatas bahwa anak yang masih berada dalam kandungan

termasuk juga dalam kategori anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak. Aborsi yang dilakukan oleh anak juga termasuk

korbannya anak jika merujuk pada ketentuan pengertian anak dari Undang-Undang

15
ini. Perlunya peran kedokteran dalam menentukan apakah anak yang dalam

kandungan dapat dikatakan sehat dan dalam keadaan tertentu dapat dianggap sebagai

anak menurut Undang-Undang.

Kategori anak dalam Undang-Undang ini adalah anak terlantar, anak

penyandang disabilitas, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, dan anak asuh.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Anak Terlantar adalah, “Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik

fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Sedangkan Anak Penyandang Disabilitas

adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik

dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap

masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi

penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak”.19

19
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 33.

16

Anda mungkin juga menyukai