Gardner dan Louis Murphy (1968) menyatakan dari hasil penelitian mereka terhadap
kitab suci agama-agama di asia, bahwa kitab suci mereka memberikan semacam wawasan
psikologis, baik suatu pandangan dalam hal motivasi, maupun penjelasan tentang mekanisme
kerja dari jiwa. Meski keduanya mengakui adanya perbedaan-perbedaan di antara isi dan ajaran
yang terkandung di dalam setiap kitab suci agama-agama tersebut, namun keduanya
menyimpulkan bahwa, “psikologi-psikologi itu pada hakikatnya merupakan suatu reaksi atas
kehidupan yang dipandang penuh penderitaan dan kekecewaan, cara yang digunakan untuk
mengatasinya ialah disiplin dan control diri, yang nantinya dapat memberikan kepada orang yang
yang mengupayakannya, suatu perasaan ekstase tak terbatas yang hanya dapat di temukan dalam
jiwa-jiwa orang yang telah lepas dari rasa pamrih”.
Abidhamma telah berkembang 15 abad yang lalu, merupakan wawasan dari Buddha
Gautama. Dalam ajaran Buddhisme, bahwa pikiran merupakan titik tolak, titik pusat yang
merupakan pemikiran yang dibebaskan dan dimurnikan oleh seorang Santo, suatu titik
kulminasi.
Dalam Abidhamma, kata "kepribadian" serupa dengan konsep Atta, atau diri (self)
menurut konsep Barat. Menurut Abidhamma, tidak ada diri yang bersifat kekal atau abadi, benar-
benar kekal, yang ada hanyalah sekumpulan proses impersonal yang timbul dan menghilang.
Yang nampak sebagai sebuah kepribadian terbentuk dari proses-proses interpersonal ini. Apa
yang nampak sebagai diri tidak lain adalah keseluruhan jumlah bagian-bagian tubuh, yakni
pikiran, penginderaan hawa nafsu dan sebagainya. Satu-satunya benang yang bersinambungan
atau sambung-menyambung dalam jiwa adalah Bhava, yakni kesinambungan kesadaran diri dari
waktu ke waktu.
Setiap momen yang berturut-turut dalam kesadaran manusia, dibentuk oleh momen
sebelumnya dan pada gilirannya akan menentukan momen-momen yang berikutnya. Jadi, semua
proses kejiwaan manusia itu berkesinambungan.
Menurut Abidhamma, bahwa kepribadian manusia itu seperti sungai, memiliki bentuk
yang tetap, seolah-olah satu identitas, walaupun tidak setetes air pun tidak berubah seperti
momen sebelumnya. Dalam pandangan ini, "Tidak ada aktor terlepas dari aksi, tidak ada orang
yang mengamati terlepas dari persepsi, tidak ada subjek sadar dibalik kesadaran". (Dalam kata-
kata Buddha, Samyutta-Nikaya, 1972, 135; Hall, p. 237)
Fokus dari psikologi Abhidamma adalah rangkaian peristiwa, yakni hubungan terus-
menerus antara keadaan-keadaan jiwa dan objek-objek indera. Keadaan-keadaan jiwa itu
berubah dari momen ke momen dan mengalami perubahan yang sangat cepat.
Metode dasar yang dipakai untuk meneliti perubahan yang sangat cepat dari jiwa adalah
intropeksi, yakni suatu observasi teliti dan sistemik yang dilakukan oleh seseorang terhadap
pengalamannya sendiri.
3. Setiap keadaan jiwa, terdiri atas sekumpulan sifat-sifat jiwa yang disebut faktor-faktor jiwa.
Sifat-sifat jiwa misalnya, cinta, benci, adil, dsb.
Kriteria apakah faktor jiwa sehat dan tidak sehat ditentukan dari apakah suatu faktor jiwa
khusus mempermudah atau mengganggu usaha mereka untuk mengheningkan jiwa dalam
samadi. Maka, faktor yang mengganggu samadi disebut faktor jiwa tidak sehat.
Berikut tabel faktor jiwa sehat dan tidak sehat menurut Abidhamma:
Timbulnya beberapa tipe kepribadian menurut ajaran Abhidamma adalah sebagai berikut:
1. Tipe kepribadian secara langsung diturunkan dari prinsip bahwa faktor-faktor jiwa muncul
dalam kekuatan yang berbeda-beda. Jika jiwa seseorang dikuasai oleh suatu faktor, maka hal ini
akan menentukan kepribadian, motif-motif dan tingkah lakunya.
2. Motif dari manusia berasal dari analisis mengenai faktor-faktor jiwa dan pengaruh faktor-
faktor tersebut pada tingkah laku. Motif itu menentukan keadaan jiwa seseorang untuk mencari
sesuatu atau menjauhinya. Keadaan-keadaan jiwa membimbing pada perbuatannya. Misalnya,
jiwa seseorang dikuasai oleh ketamakan, hal ini akan menonjol dan orang akan bertingkah laku
sesuai motif tersebut yakni berusaha memperoleh motif ketamakannya.
Strategi mencapai keadaan jiwa sehat dalam ajaran Abhidamma yakni dengan melakukan
meditasi atau samadi. Meditasi atau samadi adalah seorang yang melakukan meditasi yang
berusaha mengarahkan perhatiannya hanya pada satu objek atau satu titik pusat. Konsentrasi
pada faktor sehat mempermudah mencapai konsentrasi yang semakin mendalam. Semakin
mendalam konsentrasi, maka jiwa meditator semakin stabil, dan faktor-faktor tidak sehat
semakin dapat ditekan. Dengan latihan meditasi seorang meditator dapat mencapai satu titik
dimana hambatan-hambatan terhadap konsentrasi dapat diatasi. Jika hal ini dapat dilakukan maka
konsetrasi dapat sangat cepat dan jiwa dikuasai oleh sekumpulan faktor sehat yang memusatkan
perhatian pada objek meditasi.
1. Tahap Vipassana
Tahap ini ditandai dengan perhatian yang begitu kuat, sampai berupa kesinambungan tanpa satu
momen pun yang terlupa, maka masuklah kepada tahap pemahaman atau Vipassana. Datangnya
vipassana ini ditandai dengan persepsi yang semakin halus dan semakin tepat pada semua
macam kegiatan kejiwaan.
2. Tahap Nirvana
Tahap ini, seseorang tidak merasakan apapun, tidak ada kebahagiaan atau ketenangan hati, tahap
ini berupa keadaan yang hampa. Dalam Abidhamma dikatakan bahwa tahap nirvana mengubah
secara radikal keadaan jiwa meditator. Dengan keadaan samadi dengan sikap penuh perhatian
menuju vipassana, terus masuk ke nirvana, adalah jalan menuju kepribadian yang sehat.
3. Tahap Arahat
Tingkatan arahat adalah tingkat ideal kepribdian sehat. Arahat adalah hakikat dari kesehatan jiwa
dan kepribadian manusia menurut Abhidamma. Sifat-sifat kepribadian seorang arahat diuba
secara permanen atau tetap. Bahwa semua motif, persepsi, perbuatan yang sebelumnya dibawah
pengaruh faktor yang tidak sehat akan lenyap. Artinya, semua persepsi dan perbuatan orang
arahat dibawah pengaruh faktor jiwa yang sehat.
Francis L.K. Hsu adalah warga negara USA keturunan Cina. Ia adalah sarjana filsafat,
antropologi, kesusastraan Cina klasik dan psikologi. Dengan keahlian dalam ilmu-ilmu tersebut,
Hsu menyusun konsep kperibadian Timur sebagai alternatif dari kepribadian menurut psikologi
Barat (Eropa dan Amerika). Teorinya disebut dengan teori kepribadian Jen dari sastra Cina, yang
berarti manusia yang berjiwa selaras, manusia yang berkepribadian. Konsep tersebut ditulis
dalam majalah American an Antropologist Vol. 73 tahun 1971 dengan judul Psychological
Homeostasis and Jen.
Hsu menggambarkan lingkungan alam jiwa atau kepribadian manusia itu ada delapan
lingkaran yang konsentris. Lingkaran-lingkaran tersebut hanya tekhnis dan analisis, yang tentu
kenyataannya tidak matematis sehingga gambarnya tidak atau bukan lingkaran persis tetapi
gambaran-gambaran yang mengelilingi atau mengitari individu. Berikut sedikit penjelasannya.
1. Lingkaran ke 7 sebagai sebagai pusatnya, paling dalam untuk menggambarkan jiwa yang tidak
disadari. Isi dari bagian dari lingkaran ke 7 ini ialah semua cipta, rasa, karsa yang semula
disadari, tetapi lalu ditekan ke dalam ketidaksadaran, lama-lama menjadi tidak disadari.
2. Lingkaran ke 6 yang terletak di luar lingkaran ke 7, tetapi sepusat dengan lingkaran ke 7 tadi,
merupakan lapisan bawah sadar atau subsadar. Lapisan ini berbatasan dengan lingkaran
berikutnya, yakni lingkaran ke 5. Lapisan ke 6 ini sama isinya dengan lapisan ke 7, hanya
berbeda tingkat ketidak-sadarannya. Maka, kedua lingkaran tersebut disebut dengan lapisan tidak
sadar. Dua lapisan paling dalam ini mirip dengan konsep Sigmund Freud sebagai lapisan das Es
atau the Id.
Keterangan gambar:
6. Lingkaran lapisan bawah sadar. No. 6 dan 7 mirip dengan konsep Id Sigmund Freud
3. Lingkaran lapisan hubungan akrab atau karib. Nomor 3 dan 4 menggambarkan konsep
manusia berjiwa selaras.
b. Tidak yakin akan mendapatkan respon yang baik atau takut ditolak
d. Tidak memiliki perumusan yang cocok untuk menyatakan gagasannya kepada orang lain.
4. Lingkaran lapisan ke 4, disebut sebagai lapisan kesadaran yang dinyatakan. Isinya berupa
pikiran atau gagasan-gagasan yang dinyatakan secara terbuka kepada orang lain dan dapat
diterima dengan mudah oleh sesamanya. Misalnya, kegembiraan, kemarahan, gagasan atau
keinginan dsb. Jadi, isi lapisan ke 4 ini adalah bahan-bahan untuk berkomunikasi dengan
siapapun, baik di rumah, kantor, sekolah, masyarakat dsb.
5. Lingkaran ke 3, disebut lapisan lingkaran hubungan karib atau hubungan akrab, disebut juga
dengan intimate society. Lapisa ini berisi konsepsi-konsepsi terhadap orang-orang atau binatang
yang diajak komunikasi dengan secara mesra, karim atau secara intim. Pergaulan karib ini biasa
digunakan untuk tempat berlindung, mencurahkan isi hati tempat untuk menghilangkan tekanan
batin ataupun kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi. Pendukung hubungan ke 3 ini misalnya
orang tua, teman akrab juga Tuhan yang Maha Esa. Hubungan ini dibutuhan untuk membangun
hubungan cinta dan kemesraan termasuk berbakti kepada pencipta. Hubungan bakti kepada
penciptanya ini membuat hidup manusia menjadi seimbang dengan kehidupan duniawinya
sehingga tumbuhlah suasana dan pola hidup yang selaras dan seimbang yakni hidup yang
harmonis. Lingkaran kejiwaan yang ke 3 ini sebagai dasar kehidupan kerohanian manusia
bersama dengan lingkungan hidup jiwa ke 4 menjadi dasar untuk membangun kehidupan yang
aman, tentram, harmonis, stabil sekaligus dinamis atau disebut juga dengan suasana homoestasis
psikologis.
7. Lingkaran nomor 1 sebagai gambaran hubungan jauh, terdiri dari pikiran dan sikap dalam ala
jiwa manusia tentang manusia, benda-benda, adat dan sebagainya. Hubungan ini jarang langsung
berkaitan dan memberi pengaruh langsung dengan kehidupan pribadi individu dan sehari-
harinya. Contohnya petani di desa yang jauh di kedalaman Sulawesi tidak terlalu memikirkan
tentang keadaan Kota besar di Jakarta karena jauh dan tidak berhubungan langsung dengan
mereka.Hal ini terjadi karena tidak berhubungan langsung dengan kehidupan mereka pada setiap
harinya.
8. Lingkaran 0, lingkaran yang paling luar ini disebut dengan dunia luar, mirip dengan lingkaran
1, hanya terdapat beberapa perbedaan. Pertama, inti kejiwaan pada nomor 1 adalah hal-hal yang
di luar masyarakat tetapi masih dalam lingkup bangsanya, wilayah Indonesia misalnya. Kedua,
Isi kejiwaan dalam lingkaran 0 terletak di luar masyarakat dan negaranya. Misalnya bmasyarakat
Indonesia dihubungkan dengan Jepang. Sehingga hal-hal ini sudah sangat jauh berhubungan
dengan kehidupan individu. Namun, bagi orang tertentu yang pernah tinggal di negara yang
bersangkutan semisal pernah kuliah di luar negeri maka akan berpengaruh pada kejiwaannya.
3. Psikologi Sufisme
Psikologi sufisme adalah ilmu yang mengkaji tentang pengalaman spiritual para sufi
ketika berinteraksi dengan tuhan, serta bagaimana pengaruhnya terhadap dirinya dan
lingkunganya. Konsep dasar psikologi sufi adalah mengatur, melatih, serta menuntun manusia
untuk bisa dengan Allah swt dalam rangka mencapai puncak pengalaman spiritual-transedental.
Pada awal mulanya seseorang akan mendalami jalan sufi dalam hal ini di sebut dengan
murid, harus menjalani ritual yang dinamakan dengan pembersihan hati (takhalli) dari sifat-sifat
jelek, seperti dengki, irihati, tinggi hati, prasangka buruk, acuh tak acuh, dan lain sebagainya
terlebih dahulu, kemudian setelah itu menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji seperti jujur,
peduli, rendah hati, tenggang rasa, dan lain-lain dan itu semua dilakukan secara bertahap, dalam
waktu yang relative panjang, disamping melakukan ritual pembersihan hati di atas, sang murid
juga menghabiskan hari-harinya dengan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah SWT. setelah
sekian lama ia melakukan dua ritual di atas,perlahan-lahan “nur Ilahiyyah”akan memancar dari
dasar hatinya yang nantinya akan member dampak positif terhadap diri seorang murid tersebut,
yaitu dengan memperoleh sumber enegi, energy spiritualitas, yang akan mensupportnya dalam
lingkungan tempat tinggal dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga ia akan memperoleh rasa
tentram, damai, dan rasa aman.
Dengan demikian, didasarkan pada ajaran islam yang di latar belakangi oleh kajian
akhlak dan tasawwuf serta berbagai kajian yang berkaitan dengan upaya membangun kesehatan
mental manusia, para ilmuan islam klasik melakukan kajian mendalam tentang jiwa dengan
fokus anatara lain pada Nafs, Qalb, Ruh dan Aql. Pada masa keemasan islam psikologi di tekuni
dan dikembangakan oleh dua kalangan yaitu Filsuf dan sufi. Yang melahirkan psikologi falsafi
dan psikologi sufistik. Mereka telah melahirkan konsep tentang jiwa secara menyeluruh dengan
melakukan kajian terhadap nash-nash naqliyah dan melakukanya dengan metode empiris
(perenungan, observasi, dan praktik) secara sistematis, spekulatif, universal dan radikal.
Kedua, tahapan kesungguhan dalam me- nempuh kebaikan (al-mujahadah). Pada tahapan
ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat- sifat tercela dan maksiat, untuk kemudian ia
berusaha secara sungguh-sungguh dengan cara mengisi diri dengan perilaku yang mulia, baik
yang dimunculkan dari kepribadian mukmin, muslimmaupun muhsin (sebagaimana yang
dijelaskan pada bab VI, VII dan VIII). Tahapan ini disebut juga tahapan tahalli, yaitu upaya
mengisi dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).
Tahapan kedua ini harus ditopang oleh tujuh pendidikan dan olah batin (riyadhat al-nafs),
sebagai berikut:
a. Musyarathah, yaitu menetapkan syarat-syarat atau kontrak pada jiwa agar ia dapat
melaksanakan tugas dengan baik dan menjauhi larangan. Kontrak kerja menjadi penting
dalam setiap aktivitas. Selain hal itu berfungsi sebagai kontrol, juga memacu atau
memotivasi diri untuk memperoleh nilai lebih dalam berprestasi.
b. Muraqabah, yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap kekuatan jiwa dan
pikiran dari perilaku maksiat, agar ia selalu dekat kepada Allah.
c. Muhasabah, yaitu introspeksi, membuat per- hitungan atau melihat kembali tingkah laku
yang diperbuat, apakah sesuai dengan apa yang disyaratkan sebelumnya atau tidak.
Dalam muhasabah, individu merenung dan memasuki hasrat hati yang paling dalam,
sehingga ia mampu menilai dengan jernih apa yang telah diperbuat.
d. Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena dalam perniagaan rabbani selalu mengalami
kerugian. Dalam aktivitasnya, perilaku buruk individu lebih dominan daripada yang baik.
Untuk kepentingan ini, individu dapat membuat komitmen ”Saya happy melihat televisi
satu jam, maka saya harus menghukum diri dengan cara mengaji (atau ibadah lain)
minimal satu jam dengan kualitas happy yang sama.” Boleh jadi ia telah mengaji satu
jam, tetapi hatinya tidak merasa nyaman, maka mu’aqabahnya belum sempurna.
Menghukum diri di sini tidak berarti membuat kerusakan pada fisik, seperti bunuh diri,
puasa sehari-semalam, merusak organ tubuh dan perilaku yang menyalahi fitrah manusia.
Menghukum diri di sini adalah membunuh hasrat hawa nafsu dan jiwa syaithaniyah yang
liar dalam dirinya, sehingga tiada ruang yang kosong untuk persinggahan perilaku buruk.
e. Mujahadah, yaitu berusaha menjadi baik dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada
waktu, tempat dan keadaan untuk main-main, apalagi melakukan perilaku yang buruk.
Segala tindakan yang diaktualkan harus sesuai dengan apa yang ada di dalam jiwa
terdalamnya, sehingga tindakan itu dikerjakan penuh kesungguhan.
f. Mu’atabah, yaitu menyesali dan mencela diri atas perbuatan dosanya dengan cara
berjanji untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi dan melakukan perilaku positif untuk
menutup perilaku negatif. Agar tidak zina maka ia harus nikah. Agar tidak marah maka ia
harus sabar. Agar tidak dusta maka ia harus jujur, dan begitulah seterusnya.
g. Mukasyafah, yaitu membuka penghalang (hijâb) atau tabir agar tersingkap ayat-ayat dan
rahasia-rahasia Allah. Mukasyafah juga diartikan jalinan dua jiwa yang jatuh cinta dan
penuh kasih sayang, sehingga masing- masing rahasia diketahui satu dengan yang lain.
Ketiga, tahapan merasakan (al-mudziqat). Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekadar
menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, ke-
dekatan, kerinduan bahkan bersamaan (ma’iyyah) dengan-Nya. Tahapan ini disebut juga tajalli.
Tajalli adalah menampakannya sifat-sifat Allah Swt. pada diri manusia setelah sifat-sifat
buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna. Tahapan ketiga ini bagi pada
sufi biasanya didahului oleh dua proses, yaitu al-fana dan al- baqa. Seseorang apabila mampu
menghilangkan wujud jasmaniah, dengan cara menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan tidak
terikat oleh materi atau lingkungan sekitar maka ketika ini ia telah al-fana. Kondisi itu kemudian
beralih pada ke albaqa wujud ruhaniah, yang ditandai dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan dan
memutus hubungan kecuali dengan-Nya. Di saat inilah, para nabi, wali dan orang-orang yang
salih mendapatkan, pinjam istilah Abraham Maslow, pengalaman puncak (peak experience).