Anda di halaman 1dari 18

FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAMI

(Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi Praktik Pendidikan


Islami)
CBR ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Falsafah Pendidikan Islami
Dosen Pengampu: Dr. Salamuddin, S.Ag. M.A

Disusun Oleh:
Nama: Zulkarnain Harahap
Nim: 0304211159
TBI-1/Sem-4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke khadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis bisa

menyelesaikan penyusunan Critical Book Review ini serta sholawat dan salam dihaturkan

kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Dan tak lupa penulis mengucapkan terimakasih

kepada Bapak Dr. Salamuddin, S.Ag, M.A selaku Dosen yang mengajar pada Mata kuliah

Falsafah Pendidikan Islam. Penulis menyadari ada kekurangan oleh sebab itu, saran dan kritik

senantiasa diharapkan demi perbaikan pada penyusunan selanjutnya. Penulis juga berharap

semoga isi dari critical book review ini mampu memberikan pengetahuan dan semoga

bermanfaat bagi saya dan kita semua.

Medan, Mei 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI….................................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Identitas Buku…...................................................................................................... 5
B. Ringkasan… ............................................................................................................. 5
C. Kelebihan Buku… ................................................................................................... 16
D. Kelemahan Buku… ................................................................................................. 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 17
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 17
B. Saran ....................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 18

3
BAB 1 PENDAHULUAN

Filsafat Pendidikan Islam adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang berlandaskan
ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh kepribadiannya dijiwai
oleh ajaran Islam.

Critical Book Review merupakan kegiatan mereview sebuah buku agar dapat mengetahui dan
memahami kajian buku tersebut. Pada dasarnya resensi buku berisi evaluasi (penjelasan,
interpretasi dan analisis) mengenai kelebihan dan kekurangan. Mengkritik buku juga dapat
melatih kemampuan menganalisis dan mengevaluasi pembahasan yang disampaikan oleh
penulis, sehingga menjadi masukan yang berharga bagi proses kreatif penulis. Dengan
dilakukannya resensi ini, pembaca dapat mengetahui kualitas buku dengan membandingkan
karya penulis yang sama atau penulis lain dan dapat memberikan masukan kepada penulis buku
berupa kritik dan saran terhadap sistematika penulisan, isi, dan substansi buku. Buku ini
menjelaskan tentang materi Falsafah Pendidikan Islami.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Identitas Buku
Judul Buku : Falsafah Pendidikan Islami
Penulis : Prof. Dr. Al Rasyidin, M. Ag
Penerbit : Citapustaka Media Perintis
Cetakan Pertama : September 2008
Cetakan Keenam : Maret 2019
Kota Terbit : Bandung
ISBN : 978-602-8208-66-6
Jumlah Halaman : 198

B. Ringkasan Buku
Bab 1: Landasan Ontologis Pendidikan Islami
A. Masyarakat Dalam Falsafah Pendidikan Islami
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain Allah SWT.
Karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi segala sesuatu yang
ada dan berada diantara keduanya. Tidak hanya itu, dalam perspektif Islam, alam semesta
tidak hanya mencakup hal-hal yang konkret atau dapat diamati melalui penginderaan
manusia, tetapi mencakup juga segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh penginderaan
manusia. Dalam Islam, segala sesuatu selain Allah SWT, yang dapat diamati dan didekati
melalui penginderaan manusia disebut sebagai alam syahadah. Ia melupakan fenomena.
Sementara itu, segala sesuatu selain Allah SWT, yang tidak dapat diamati atau didekati
melalui penginderaan manusia disebut sebagai alam ghaib. Karenanya, iya adalah
noumena.
Dalam Alquran, terma alam hanya ditemukan dalam bentuk plural, yaitu alamin. Kata
ini terulang sebanyak 73 kali dan tersebar pada 30 surah. Hemat penulis, penggunaan
bentuk plural mengindikasikan bahwa alam semesta ini banyak atau beraneka ragam.
Pemaknaan ini konsisten dengan konsepsi Islam bahwa hanya Allah SWT yang Ahad,
Maha Tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi. Di samping itu, hal ini juga merupakan
penegasan terhadap konsep Islam tentang alam semesta, yaitu segala sesuatu selain Allah
SWT. Dari sisi ini, penalaran kita mengharuskan eksisnya pluralitas atau kejamatan pada
alam semesta ini. Karenanya, dari satu sisi alam semesta bisa didefinisikan sebagai
kumpulan Jauhar yang tersusun dari maddah (materi) dan shurah (bentuk) yang bisa
diklasifikasikan ke dalam wujud konkrit (syahadah) dan wujud abstrak (ghaib). Kemudian,
dari sisi lain alam semesta bisa pula dibagi-bagi ke dalam beberapa jenis, seperti benda-
benda padat (jamadat), tumbuh-tumbuhan (nababat), hewan (hayyawanat), dan manusia.
Di kalangan masyarakat muslim, terdapat pemahaman bahwa alam semesta adalah
segala sesuatu selain Allah SWT, tetapi dengan mengecualikan manusia. Pengecualian itu
setidaknya disebabkan oleh pemikiran bahwa: kepada manusia Allah SWT
mengamanahkan alam semesta ini untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan

5
seluruh makhluk, untuk berkemampuan mengelola dan memanfaatkan alam semesta
kepada manusia Allah SWT menganugerahkan aql dan aql tidak diberikannya kecuali
hanya kepada manusia. Karena itu, manusia dikeluarkan dari definisi alam semesta.
Dengan demikian, penggunaan tema alam semesta hanya merujuk pada pengertian alam
semesta dalam pengertian jagat raya.

B. Konsep Manusia Dalam Falsafah Pendidikan Islami


Pemahaman yang utuh terhadap makna pendidikan dalam konteks Islam harus dimulai
dari pemahaman yang benar tentang hakikat atau esensi manusia. Siapakah manusia? Siapa
penciptanya dan dari apa ia diciptakan? Bagaimana proses penciptaannya? Apa tujuan,
fungsi dan tugas penciptaannya? Untuk memenuhi tujuan, fungsi dan tugas penciptaan itu,
instrumen apa yang dianugerahkan sang maha pencipta kepada manusia? Inilah antara lain
serangkaian pertanyaan penting yang harus dijawab untuk memperjelas makna pendidikan
dalam konteks Islam. Tanpa kejelasan jawaban di seputar masalah ini, maka pendidikan
hanya akan meraba-raba dan tidak akan sampai ke arah tujuan yang sesungguhnya.
Dalam Alquran, terdapat beberapa tema atau istilah yang merujuk pada kata manusia
antara lain: 1. Al-Nas, 2. Al-Basyar dan 3. Bani Adam.
Menurut Aisyah Abdurrahman, dalam Alquran, kata al-Nas, al- Ins dan al-insan tidak
pernah digunakan untuk arti manusia secara fisik. Kata al-Nas yang disebutkan sebanyak
240 kali adalah sebagai nama jenis untuk keturunan Adam, yang ini satu spesies di alam
semesta. Kemudian, kata al-Basyar yang semakna dengan Al basyariyah adalah zhahir al-
jald yang bermakna kulit yang tampak. Dalam Alquran, kata ini muncul sebanyak 35 kali,
25 diantaranya menjelaskan kemanusiaan para nabi dan rasul. Sementara itu secara
etimologi kata Bani Adam bermakna generasi Adam as. Karena itu, secara umum tema
Bani Adam bisa dimaknai sebagai generasi yang dibangun, diturunkan atau
dikembangbiakkan dari Adam as. Dalam Alquran, kata-kata Bani Adam selalu merujuk
pada konsep persamaan kemanusiaan, yaitu sama-sama keturunan nabi Adam dan sama-
sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang universal.
Alquran menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang
memiliki sejumlah keistimewaan bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Secara
umum, keistimewaan tersebut setidaknya mencakup tiga hal pokok yaitu:
1. Bentuk fisik yang terbaik sebagaimana disebutkan dalam Alquran Q. S al-Tin (95):4.
2. Fakultas psikhis, antara lain al-Sam’a, al-Abshar dan al-Af’idah yang memungkinkan
manusia untuk mampu berterima kasih atau bersyukur kepada Tuhan dan
mempertanggungjawabkan amal atau perbuatannya
3. Fithrah beragama tauhid, yakni pengakuan akan ketuhanan Allah SWT. Fithrah
bertauhid ini merupakan potensi keberagaman yang benar, yang telah dianugerahkan Allah
SWT sejak manusia berada di dalam ruh.

C. Konsep Masyarakat Dalam Falsafah Pendidikan Islami

6
Kata masyarakat selalu dideskripsikan sebagai kumpulan individu-individu manusia
yang memiliki kesamaan baik dalam karakteristik maupun tujuan. Pengertian tersebut
diambil dari kata Arab yakni syaraka yang bisa bermakna bersekutu, syirkah atau syarikah
yang bermakna persekutuan, perserikatan, perkumpulan atau perhimpunan dan masyarakah
yang bermakna persekutuan atau perserikatan. Karenanya, masyarakat sering dimaknai
sebagai organisasi atau kumpulan orang-orang yang bersekutu atau perhimpunan diri untuk
suatu tujuan atau maksud tertentu.
Dalam komunitas muslim, tema yang sering digunakan untuk menyebutkan masyarakat
adalah ummah (bentuk tunggal) dan umam (bentuk jamak) yang memiliki makna dasar
asal, tempat kembali, kelompok, agama, postur tubuh, tujuan, dan masa. Dari kata tersebut
muncul kata umm (ibu) dan imam (pemimpin). Dalam komunitas muslim, keduanya
merupakan teladan dan tumpuan pandangan masyarakat. Dalam konteks ummah, Ali
Syariati mendefinisikan masyarakat sebagai kumpulan orang yang semua individunya
sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah
tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama. Berdasarkan definisi ini,
maka ada empat unsur dasar dalam tema masyarakat yaitu: (1) beli handphonenya sejumlah
individu, (2) semua individu tersebut sepakat adanya tujuan yang sama, (3) setiap individu
Dalam kumpulan tersebut saling membantu dalam pencapaian tujuan yang sama, dan (4)
adanya kepemimpinan yang sama yang disepakati secara bersama.

Bab 2: Landasan Epistimologis Pendidikan Islami


A. Konsep Ilmu Dalam Falsafah Pendidikan Islami
Salah satu unsur terpenting yang melekat dalam pendidikan Islami adalah ilmu. Dalam
konteks ini, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam pada dasarnya adalah suatu proses
penanaman ilmu ke dalam diri manusia. Karenanya, jika berbicara tentang pendidikan
Islami kita tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan tentang ilmu. Dalam Islam Allah
SWT adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan karenanya semua ilmu pengetahuan yang
diketahui dan dimiliki manusia datangnya dari Allah. Dilihat dari perspektif ini, Al Attas
mendefinisikan ilmu dari dua sisi. Pertama, sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah
maka ilmu dapat didefinisikan sebagai sampainya makna atau bentuk sesuatu ke dalam jiwa
manusia atau pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan
kreatif maka ilmu dapat didefinisikan sebagai sampainya jiwa manusia pada makna sesuatu
atau objek pengetahuan.
Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk belajar dan meraih pengetahuan. Islam
mengajarkan agar seluruh pengetahuan ataupun pemahaman ilmiah yang diperoleh
manusia melalui panca indra, akal dan hatinya tersebut diintegrasikan dengan keimanan
atau konsep-konsep kunci sebagaimana tertera dalam Alquran. Ilmu pengetahuan harus
harus didasarkan pada tauhid, yaitu keyakinan akan kesatuan kebenaran. Seluruh ilmu
pengetahuan bersumber dari kebenaran yang satu Allah Swt. Sehingga dengan merahnya
manusia akan sampai pada syahadah kepada-Nya. ilmu pengetahuan dicari dan
dikembangkan untuk tujuan mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya di
muka bumi. Karenanya, ketika ilmu pengetahuan diperoleh maka ada kewajiban bagi para
pencari atau pemiliknya untuk menggunakan ilmu pengetahuan itu bagi kemaslahatan umat

7
manusia secara keseluruhan. Dalam Islam, ketika seorang ilmuwan muslim memanfaatkan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat manusia, maka Tuhan
menjanjikan posisi atau kedudukan yang tinggi baginya. Namun, ketika ada ilmuwan yang
menggunakan ilmu pengetahuannya untuk yang sebaliknya, maka ia tidak hanya telah
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pencarian ilmu pengetahuan, tetapi ia
telah merendahkan derajatnya di sisi Allah Swt.

B. Karakteristik ilmuwan muslim dalam perspektif falsafah pendidikan Islam


Secara aksiologis, Islam menempatkan aktivitas pencarian ilmu pengetahuan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemahaman terhadap simbol-simbol atau tanda-
tanda kekuasaan dan keesaan Allah SWT. Tujuan pokoknya adalah untuk menghantarkan
manusia pada pengenalan dan peneguhan kembali syahadah primordialnya terhadap Allah
SWT. Dalam Islam, seorang ilmuwan adalah muslim yang mampu hidup dengan syahadat
yang pembuktiannya di manifestasikan lewat ketaatan dan penyerahan diri secara tulus dan
ikhlas kepada Allah dan kemampuannya secara kontinum dalam melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan. Karenanya nilai tertinggi yang mungkin bisa dicapai seorang ilmuwan
muslim adalah pengakuan yang konsisten dan kontinum akan syahadah kepada Allah yang
kemudian mengantarkannya untuk takut kepada Allah karena menyadari ke mahaesaan,
kebesaran dan kekuasaannya.
Dalam Islam, ilmuwan muslim dicirikan sebagai orang-orang yang berada dekat dengan
Allah Swt. Pada hakikatnya, inilah tingkatan tertinggi syahadah, di mana seorang muslim
tidak hanya mengenal Tuhannya tetapi juga menyaksikan keberadaan-Nya dalam setiap
fenomena danau mana yang dikaji dan dipelajarinya. Kedekatannya tersebut
mengindikasikan penghampirannya kepada sumber asasi ilmu pengetahuan, yakni Allah
Swt. Ketika seorang ilmuwan muslim memahami dan menangkap fenomena dan fenomena
alam semesta ia juga menangkap keberadaan Allah Swt di sana. Karenanya, bagi seorang
ilmuwan muslim, Allah Swt senantiasa hadir dalam proses pencarian ilmu pengetahuan dan
dalam seluruh kebenaran yang berhasil ditemukannya. Kesadaran akan keluasan ilmu Allah
Swt pada gilirannya juga menyadarkan setiap ilmuwan muslim akan keterbatasannya.
Keterbatasan diri manusia dan kesadaran bahwa semua ilmu pengetahuan yang
diketahuinya berasal dari Allah Swt, mengajarkan dan mendidik pribadinya untuk tidak
sombong karena kepemilikan ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya tidak semua ilmu
pengetahuan mampu diraihnya, di sisi lain ia juga sadar bahwa semua ilmu pengetahuan
yang diketahuinya bukanlah miliknya.

Bab 3: Landasan Aksiologis Pendidikan Islami


A. Pendidikan Akhlaq Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Secara literal, terma akhlaq berasal dari bahasa Arab yaitu dari asal kata khuluqun yang
berarti tabiat atau budi pekerti. Terma akhlaq adalah bentuk plural dari kata khuluq yang
berarti budi pekerti, perangai dan tingkah laku. Secara terminologi, kata akhlaq
didefinisikan secara variatif. Ibn Miskawaih, mendefinisikan akhlaq sebagai suatu keadaan
jiwa atau sikap mental yang menyebabkan individu bertindak tanpa dipikir atau

8
dipertimbangkan secara mendalam. Hampir senada dengan definisi miskawaih, Abu Hamid
al Ghazali mendefinisikan akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Kemudian, Abdul Karim Zaidan mendefinisikan akhlaq sebagai nilai-nilai
dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menjadikan seseorang
berkemampuan menilai perbuatan baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan
atau meninggalkannya.
Dalam Islam, akhlaq adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan yang akan
memberikan nilai setiap amal atau perilaku manusia. Keimanan dan amal seseorang dinilai
kurang sempurna manakala tidak dilandasi dan dihiasi dengan akhlaq yang mulia. Iman
harus ditopang dengan ilmu, ilmu harus diwujudkan dalam amal dan amal harus dihiasi
dengan akhlaq yang mulia atau terpuji. Itu sebabnya, setiap perilaku harus disertai dan tidak
boleh terlepas dari akhlaq. Tujuan esensial ibadah salat adalah mencegah seseorang dari
perbuatan keji dan mungkar. Itu berarti bahwa salat tidak memiliki nilai manakala yang
melaksanakannya belum memiliki akhlaq yang baik. Tujuan pokok pendidikan akhlaq
adalah memelihara diri peserta didik agar sepanjang hidupnya tetap berada pada fitrahnya,
baik dalam arti suci dan bersih dari dosa dan maksiat maupun dalam arti bersyahadat atau
bertauhid kepada Allah Swt. Menanamkan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, atau norma-
norma tentang baik dan buruk atau terpuji dan tercela ke dalam diri dan kepribadian peserta
didik agar mereka berkemampuan memilih untuk menampilkan perilaku yang baik atau
terpuji dan menghindari atau meninggalkan semua perilaku buruk atau tercela dalam
kehidupannya.

B. Pembentukan Kepribadian Muslim Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami


Secara etimologi kepribadian yakni sifat atau karakter yang membedakan seseorang
dengan lainnya. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa kepribadian adalah sifat-sifat
atau ciri-ciri khas yang dimiliki seseorang dan ditampilkannya secara konsisten dalam
perilaku kehidupan kesehariannya. Sifat dan ciri-ciri khas tersebut ditampilkan individu
secara konsisten dalam interaksinya dengan orang lain atau masyarakat. Karenanya dari
sisi ini perilaku yang konsisten ditampilkan adalah wujud nyata dari kepribadian seseorang.
Dalam perspektif Islam, pemahaman yang benar tentang makna kepribadian Islami
harus mengacu kepada konsepsi Islam tentang manusia. Dalam Alquran, dijelaskan bahwa
manusia diciptakan dari unsur-unsur yang bersifat fisik-materi dan non fisik-non materi.
Karenanya, manusia merupakan makhluk dwi dimensi. Dimensi fisik materi manusia
adalah al jism dan dan dimensi fisik non-materinya adalah al ruh. Pembentukan kepribadian
seseorang yang sangat dipengaruhi oleh dimensi ruh yang merupakan anugerah Tuhan,
bukan oleh dimensi materi.

C. Hakikat Ganjaran Dan Hukuman Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami


Dalam konteks pemberian ganjaran, seperti hadiah dan penghargaan hampir semua
kalangan sependapat bahwa hal itu diperlukan untuk memotivasi peserta didik agar tetap
bersemangat dan memiliki sense of competition dalam menampilkan perilaku atau prestasi

9
terbaik yang memungkinkan untuk dicapainya. Namun, dalam konteks hukuman
adakalanya yang berpendapat bahwa hukuman diperlukan dalam pendidikan, sementara
sebagian yang lain menyatakan bahwa hukuman tidak diperlukan dalam pendidikan.
Kelompok yang pro berpendapat bahwa hukuman diperlukan sebagai instrumen untuk:
(1) memelihara perilaku peserta didik agar tetap berada pada kebaikan dan (2) merubah
perilaku kurang atau tidak baik peserta didik ke arah perilaku yang baik dan terpuji.
Pemberian ganjaran harus lebih didahulukan daripada pemberian hukuman.b hukuman
tidak boleh dilaksanakan kecuali pemberian penghargaan telah terbukti gagal
mengantarkan peserta didik kepada perilaku yang baik atau terpuji. Berbeda dengan
pendapat tersebut, kelompok yang kontra mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses pemberian bantuan baik berupa bimbingan, pengajaran, pelatihan, atau pembiasaan
kepada peserta didik dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki sehingga
berkemampuan mengambil peran dalam kehidupan masa depannya. Sebagai suatu proses
pembelian bantuan, maka pendidikan adalah suatu upaya positif yang tidak memerlukan
hukuman. Menurut mereka, pembelian hukuman adalah suatu tindak kekerasan yang
bertentangan dengan makna esensial pembelian bantuan.
Mencermati hal tersebut dalam perspektif falsafah pendidikan Islami ganjaran dan
hukuman pada dasarnya adalah instrumen yang digunakan untuk merubah perilaku yang
tidak baik atau kurang terpuji ke arah yang baik atau terpuji. Tujuan pokoknya adalah
memberikan penguatan dan motivasi agar seseorang terus istiqomah dalam beramal
kebajikan atau berbuat yang terbaik dalam seluruh perilakunya sepanjang kehidupan di
muka bumi ini.

Bab 4: Konsep Dasar Pendidikan Dalam Falsafah Pendidikan Islami


A. Konsep Tarbiyah. Ta’lim Dan Ta’dib
Sumber asasi ajaran Islam, Alquran dan hadis tidak hanya berisikan doktrin doktrin
teologis tentang keimanan kepada Allah Swt, tetapi juga mengandung isyarat-isyarat ilmiah
tentang pendidikan. Karenanya, membicarakan konsep dasar pendidikan dalam Islam
haruslah merujuk kepada informasi yang tertera baik dalam Alquran maupun Hadis. Secara
umum jika ditelaah setidaknya ada 3 tema yang digunakan Alquran dan hadis berkaitan
dengan konsep dasar pendidikan dalam Islam. Ketiga terma ini adalah tarbiyah, ta’lim dan
ta’dib. Meskipun sering diterjemahkan dalam arti yang sama yakni pendidikan bahkan
terkadang pengajaran, namun ketika terma ini pada dasarnya memiliki tekanan makna yang
berbeda. Karenanya, semua tema tersebut perlu ditelaah untuk memperoleh pemahaman
yang utuh tentang hakikat pendidikan dalam Islam.
Secara etimologi, terma tarbiyah mempunyai tiga pengertian yaitu: (1) nasy’at yang
berarti pertumbuhan, berusia muda meningkat dewasa, (2) taghdziyyah yang berarti
membeli makan dan mendewasakan, dan (3) memperkembangkan, seperti yurby al
shadaqah yang berarti membuat gelombang harta yang telah disedekahkan.
Ta’lim adalah pemberitahuan yang dilakukan dengan berulang-ulang dan sering,
sehingga berbekas pada diri muta’allim. Di samping itu, ta’lim juga adalah menggugah
untuk mempersepsikan makna dalam pikiran. Ta’lim mencakup pengetahuan teoritis,

10
mengulang kaji secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
kehidupan, perintah untuk melaksanakan apa yang diketahui, dan pedoman bertingkah
laku.
Ta’dib berasal dari kata addaba yang diterjemahkan dalam arti: (1) melatihkan perilaku
yang baik dan sopan santun, (2) mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat
dan berperilaku sopan, pelatihan atau pembiasaan, dan (3) mendidik, melatih,
memperbaiki, mendisiplinkan dan memberi tindakan. Ta’dib tidak hanya menekankan
aspek pemberian ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan watak, sikap dan kepribadian
peserta didik. Karenanya, tugas seorang muaddib bukan hanya mengajarkan ilmu tetapi
juga melatih dan membimbing peserta didik agar mereka hidup dengan adab baik secara
jasmani maupun rohani.

B. Pengertian Pendidikan Islami


Pendidikan Islami dapat didefinisikan sebagai suatu proses penciptaan lingkungan yang
kondusif bagi memungkinkan manusia sebagai peserta didik untuk mengembangkan diri,
fisik-jasmani dan non fisik-ruhani dan potensi yang dimilikinya. Al-jism, al aql, an nafs
dan al qabl agar berkemampuan merealisasikan syahadah primordialnya terhadap
keberadaan dan kemahaesaan Allah Swt. Melalui pemenuhan fungsi dan tugas
penciptaannya. Kalimat penciptaan lingkungan yang kondusif bermakna bahwa pendidikan
Islami pada hakekatnya adalah upaya manusia muslim dalam menciptakan dan
memberdayakan lingkungan yang baik bagi memungkinkan pengembangan diri dan
potensi manusia peserta didik. Tanpa upaya penciptaan lingkungan yang baik maka
pendidikan Islami akan sulit terealisir.
Pendidikan Islami adalah pendidikan yang diperuntukkan kepada semua umat manusia,
tidak terbatas pada manusia muslim. Pendidikan Islami yaitu sebuah instrumen untuk
membantu setiap manusia agar mengingat kembali, meneguhkan dan mengaktualisasikan
syahadah primordial yang telah mereka ikrarkan tersebut. Pendidikan Islami harus
mengasah rasionalitas manusia dalam melakukan penalaran yang benar, menanamkan adab
atau akhlaq ke dalam jiwa dan mensucikan nafs agar mampu meraih pencerahan diri dan
senantiasa berada dekat dengan Tuhan.

C. Tujuan Pendidikan Islami


Tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh pendidikan Islami adalah menciptakan manusia
muslim yang bersyahadat kepada Allah SWT. Karenanya, dalam tataran praktikal seluruh
program dan praktik pendidikan Islami diarahkan untuk memberikan bantuan kemudahan
kepada semua manusia dalam mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga
mereka berkemampuan mengaktualisasikan syahadahnya kepada Allah SWT. Dalam
perspektif falsafah pendidikan Islam, aktualisasi syahadah tersebut harus ditampilkan
dalam kemampuan manusia muslim menunaikan fungsinya sebagai abd Allah dan
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai khalifah secara sempurna. Profil manusia muslim
seperti inilah yang populer disebut sebagai insan Kamil atau manusia paripurna.

11
Dalam tataran yang lebih operasional, rumusan tujuan pendidikan Islami setidaknya
harus merujuk kepada dua hal pokok yaitu: (1) tujuan, fungsi, dan tugas penciptaan manusia
oleh Allah Swt yakni sebagai syuhud, abd Allah, dan Khalifah fi all-ard, (2) hakikat
manusia sebagai integrasi yang utuh antara dimensi jismiyah dan ruhiyah. Berdasarkan
rumusan tujuan di atas, maka dalam tataran operasional praktik pendidikan Islami harus
merupakan integrasi yang utuh dan seimbang antara talim, tarbiyah atau ta’dib al jismiyan
wa al ruhiyah. Keutuhan dan keseimbangan tersebut dibutuhkan karena peserta didik untuk
meraih predikat instan Al Kamil. Karenanya, pendidikan Islami harus berupaya
mengembangkan seluruh dimensi kedirian manusia agar dapat mendorong mereka ke arah
realisasi atau aktualisasi seluruh dimensi kediriannya tersebut ke arah pemenuhan tujuan,
fungsi dan tugas penciptaannya oleh Allah Swt.

D. Asas-Asas Pendidikan Islami


Pendidikan Islami merupakan proses pemberian bantuan bagi memudahkan setiap
manusia peserta didik mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya sehingga
berkemampuan merealisasikan syahadahnya terhadap Allah SWT. Pembuktian realisasi itu
tampak dari kapasitas manusia dalam melaksanakan tujuan dan tugas penciptaannya secara
sempurna, yakni sebagai abd Allah dan Khalifah Allah. Karena itu, pendidikan Islami harus
didasarkan pada landasan yang kuat yakni asas yang dapat dijadikan sebagai dasar atau
fundamental bagi pelaksanaannya.
Pada prinsipnya, asas utama dan tertinggi yang menjadi dasar atau landasan bagi
pelaksanaan pendidikan Islami adalah Alquran. Seluruh aktivitas manusia muslim dalam
bidang pendidikan, dari mulai konsep, program, hingga praktik atau implementasinya harus
merujuk kepada konsep-konsep kunci sebagaimana dikandung Alquran. Kemudian hadis,
hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw baik berupa
perkataan, ketetapan, dan harapan atau cita-citanya. Dalam Islam, selain berfungsi
menjelaskan isi atau kandungan Alquran hadis juga memiliki fungsi sebagai konfirmasi
dan informasi tentang kebenaran yang diketahui manusia lewat penalaran dan
eksperimentasi. Karenanya, hadis menempati posisi kedua Sebagai asas atau landasan bagi
praktik pendidikan Islam. Dan yang terakhir ijtihad, selain Alquran dan hadis asas yang
digunakan sebagai landasan dalam pelaksanaan pendidikan Islami juga bersumber dari
hasil-hasil ijtihad, kontemplasi atau pemikiran para ulama atau ilmuwan muslim. Secara
luas, ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan para pemikir atau intelektual
muslim dengan mengarahkan daya atau energi intelektualnya dalam melakukan penalaran
mendalam, sistematis dan universal untuk memahami hakikat atau esensi sesuatu.

Bab 5: Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami


A. Esensi Pendidik Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Dalam pengertian yang paling umum, pendidik adalah orang yang tugasnya mendidik.
Sedangkan dalam pengertian khusus perspektif falsafah pendidikan Islami pendidik adalah
orang yang bertugas untuk mengingatkan dan meneguhkan kembali perjanjian suci yang
pernah diikrarkan manusia dihadapan Tuhannya. Untuk melakukan tugas itu, maka

12
pendidik haruslah seorang yang memiliki ilmu dan adab b dengan ilmu dan adab tersebut
ia mampu mengantarkan dirinya pada syahadah terhadap Tuhan, sehingga ia layak
menempati posisi sebagai pemelihara dan pembimbing manusia untuk mengingatkan dan
meneguhkan kembali perjanjian atau syahadat primordialnya terhadap Allah SWT.
Dalam historical pendidikan Islam, masyarakat muslim mengenal beberapa terminologi
yang selalu digunakan untuk menyebut atau memanggil orang-orang yang bertugas sebagai
pendidik. Istilah tersebut antara lain mu’allim, mu’addib, mudarris, mursyid, syaikh dan
ustadz. Secara literal, mu’allim berarti orang yang memiliki ilmu pengetahuan, yaitu
ilmuwan yang memiliki pengetahuan tentang Al alim, manusia, alam semesta dan semua
makhluk ciptaan Allah dan ia sendiri hidup dengan pengetahuan yang dimilikinya tersebut.
Kemudian murabbi, murabbi atau pendidik harus merupakan sosok yang memiliki sifat-
sifat Rabbany, yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang bijaksana, yang terpelajar
dalam bidang pengetahuan tentang al Rabb. Adapun muaddid, secara literal bermakna
manusia yang beradab. Karenanya dalam konteks ini sebagai muaddid atau pendidik adalah
orang yang bertugas menyamai dan menanamkan adab ke dalam diri seseorang.
Selain istilah tersebut, di dalam literatur pendidikan Islam dikenal juga istilah Mursyid,
Mudarris dan Ustadz untuk menyebut pendidik dalam pendidikan Islam. Dalam konteks
ini, Mursyid adalah pendidik spiritual yang memberikan bimbingan rohaniah kepada
peserta didik untuk menuju dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. K berusaha
menularkan akhlak, kepribadian dan penghayatan spiritualnya kepada peserta didik, baik
dalam hal beribadah, bekerja, belajar yang semuanya serba lillahi ta'ala. Kemudian,
mudarris juga merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebutkan pendidik
dalam pendidikan Islam. Dalam pengertian etimologi ini, maka pendidik dapat
didefinisikan sebagai orang yang berusaha mencerdaskan peserta didik, menghilangkan
ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, melatihkan keterampilan kepada
peserta didik sesuai dengan bakat bakat, minat dan kemampuannya serta mengajarkan apa-
apa yang belum diketahui peserta didiknya. Selanjutnya, penggunaan kata ustadz untuk
menyebut seorang pendidik, sering digunakan untuk menyebut seorang guru besar atau
profesor. hal ini mengandung pengertian bahwa sebagai ustadz, seorang pendidik dituntut
komitmen dan kualifikasi profesionalismenya dalam mengemban tugas-tugas
kependidikan.

B. Esensi Peserta Didik Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam


Dalam dunia pendidikan, ada beberapa pandangan yang berkembang berkaitan dengan
peserta didik. Ada yang mendefinisikan peserta didik sebagai manusia belum dewasa dan
karenanya ia membutuhkan pengajaran, pelatihan dan bimbingan dari orang dewasa topeng
didik untuk mengantarkannya menuju kedewasaan. Ada pula yang berpendapat bahwa
peserta didik adalah manusia yang memiliki fitrah atau potensi untuk mengembangkan diri.
Fitrah atau potensi tersebut mencakup akal, hati dan jiwa yang manakala diberdayakan
secara baik akan menghantarkan seseorang bertauhid kepada Allah SWT. Kemudian, ada
pula yang berpendapat bahwa peserta didik adalah setiap manusia yang menerima pengaruh
positif dari orang dewasa atau pendidik. Dalam arti teknis, bahwa ada yang menyatakan
peserta didik adalah setiap anak yang belajar di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan
formal.

13
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, semua makhluk pada dasarnya adalah
peserta didik. Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam peserta didik itu
mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan, hewan
dan sebagainya. Tanggung jawab utama peserta didik adalah memelihara agar semua
potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana
mestinya. Untuk itu, perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-
sungguh semua potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu
pengetahuan. Dalam proses menuntut ilmu, ikhlas dalam melakukan seluruh aktivitas
belajar adalah sifat penting yang harus dimiliki setiap peserta didik. Belajar adalah ibadah,
ibadah tidak akan memiliki nilai bila dilakukan tanpa keikhlasan. Menghiasi diri dengan
akhlak terpuji dan senantiasa berupaya menampilkan nilai-nilai praktis dari setiap ilmu
yang dipelajari dalam kehidupan keseharian merupakan sifat penting lainnya yang harus
dimiliki setiap peserta didik. akhlak terpuji yang berkaitan dengan pendidik adalah bahwa
setiap peserta didik wajib memiliki etika akademik terhadap gurunya.

C. Esensi Kurikulum Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam


Secara etimologi kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curere yang berarti
berlari. Penggunaan kata ini dihubungkan dengan curier atau kurir yang menjadi
penghubung dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain di mana ia harus menempuh
perjalanan untuk mencapai tujuan. Secara terminologi, kata kurikulum bisa dimaknai
sebagai: (1) circle of instruction, yaitu lingkaran pengajaran di mana guru dan murid terlibat
di dalamnya, (2) seluruh program pembelajaran atau pengalaman pendidikan yang
dipersiapkan oleh perancang pendidikan, sekolah, pendidik atau guru untuk mengantarkan
peserta didik ke arah tujuan pendidikan. Dalam kosakata Arab, istilah yang selalu
digunakan untuk menyebutkan kurikulum pendidikan adalah manhaj yang berarti jalan
terang yang harus dilalui pendidik atau guru Latif dengan orang-orang yang dididik atau
dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap mereka.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, kurikulum pendidikan pada dasarnya
adalah alat atau instrumen untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan potensi di
dunia dan ruhiyahnya agar mereka kelak mampu mengenali kembali dan meneguhkan
syahadah primordialnya terhadap Allah Swt. Cakupan kurikulum pendidikan Islami
meliputi seluruh kawasan kehidupan muslim, baik dalam ruang lingkup wilayah
kekhalifahan maupun pengabdiannya kepada Allah Swt sebagai makhluk ibadah. Dalam
konteks ini, bangunan dan semua unsur yang membentuk bangunan kurikulum pendidikan
Islami tersebut harus tersusun dan mengacu kepada suatu sumber kekuatan yang menjadi
landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuatan itulah yang disebut dengan asas-asas
pembentuk Kurikulum Pendidikan Islam. Asas-asas umum yang menjadi landasan
pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah: (1) asas agama, (2) asas falsafah,
(3) asas psikologis, dan (4) asas sosial. Karakteristik kurikulum sebagai program
pendidikan Islami tidak hanya menempatkan peserta didik sebagai objek dudik, melainkan
juga sebagai subjek Didik yang memiliki potensi dan sedang berada dalam proses
pengembangan diri menuju kedewasaan sesuai dengan ajaran Islam. Di sinilah ciri khas
kurikulum pendidikan Islami yang memandang peserta didik sebagai makhluk potensial

14
untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas kependidikan dan
pembelajaran.

D. Esensi Metode Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami


Secara etimologi, metode berasal dari 2 kata yaitu meta yang berarti melalui dan hodos
yang berarti jalan atau cara. Dengan demikian, dari sudut pandang ini maka metode dapat
dimaknai sebagai jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan secara terminologi, Runes sebagaimana dikutip Noorsyam memaknai metode
sebagai prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan, suatu teknik mengetahui yang
dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dan ilmu yang merumuskan aturan-aturan
tentang sesuatu. Dalam sumber asasi ajaran Islam, terdapat beberapa tema yang sering
dimaknai sebagai metode diantaranya thariqah, manhaj dan washilah. Dasar-dasar metode
pendidikan Islami adalah Alquran dan hadis. Pada dasarnya bila ditelaah secara cermat
dalam Alquran dan hadis banyak dijumpai metode pendidikan yang bisa digunakan dalam
pembelajaran peserta didik mencapai tujuan pendidikan Islami. Secara spesifik, metode
pendidikan tersebut relevan dengan konsepsi Islam tentang manusia sebagai makhluk dwi
dimensi yang terdiri dari jism dan ruh dan konsepsi Islam tentang cara kedatangan ilmu
pengetahuan ke dalam diri manusia. Metode pendidikan Islam adalah metode pendidikan
yang mengakomodir kedirian manusia dan cara sampainya ilmu ke dalam diri mereka.
Dalam konteks ini, penggunaan metode adalah untuk mengantarkan peserta didik pada
kemampuan menangkap esensi cahaya, petunjuk atau kebenaran dari Tuhan dan
menggunakannya untuk panduan dalam menjalani hidup di dunia ini.

E. Esensi Evaluasi Dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami


Islam merupakan agama yang selalu mengingatkan para pemeluknya untuk senantiasa
mengevaluasi diri. Salah satu anjuran yang sangat populer berkaitan dengan hal ini adalah
perkataan Umar bin Khattab: hasibu anfusakum qabl antuhasabu. Secara literal, ungkapan
ini dapat dimaknai sebagai anjuran kepada setiap muslim untuk menghitung atau
mengevaluasi diri sendiri sebelum datang masa di mana mereka akan dievaluasi oleh Allah
SWT. Perlunya menghitung atau menilai diri pada prinsipnya dilateri oleh filosofi ajaran
Islam yang berkaitan dengan: (1) hakikat tujuan penciptaan manusia, (2) prinsip kebebasan
dan tanggung jawab, (3) hakikat kehidupan dunia, dan (4) janji Allah SWT tentang adanya
balasan baik dan balasan buruk. Dalam Islam, manusia adalah makhluk psiko fisik yang
dianugerahi Allah SWT al jism dengan bentuk yang terbaik dan al ruh dengan seperangkat
potensi seperti al aql, al nafs dan al qalb, yang dapat difungsikan sebagai energi penggerak
dan pembimbing manusia untuk melakukan tindakan terbaik dalam kehidupannya. Allah
SWT akan terus mengevaluasi dengan cara melakukan pengukuran dan penilaian yang
sangat teliti untuk menentukan siapa di antara manusia yang lulus mendayagunakan al jism
dan energi atau daya-daya Rusia tersebut untuk membuat tindakan terbaik dalam kehidupan
dan siapa pula yang sebaliknya. Pada suatu masa yang telah ditentukan semua hasil-hasil
pengukuran dan penilaian tersebut akan dipaparkan Allah dihadapan manusia.
Alquran menginformasikan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia adalah sebagai
makhluk syahadah. Wujud nyata syahadah itu ada pada pemenuhan fungsi sebagai abd

15
Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah Allah. Dalam posisinya sebagai makhluk
syahadah, manusia telah diikat oleh perjanjian primordial bertauhid kepada Allah SWT.
Karenanya kesaksian atau syahadat tersebut harus dipegang teguh dan diaktualisasikan oleh
manusia sepanjang masa kehidupannya. Sedangkan dalam posisi sebagai abd Allah
manusia adalah makhluk ibadah atau pengabdi Allah yang diperintahkan untuk tunduk dan
patuh secara tulus dan ikhlas kepada-Nya. Dalam konteks ini, manusia diberi kebebasan
dan kemerdekaan baik dalam pendayagunaan akal pikiran, berbuat atau melakukan sesuatu
maupun dalam memeluk keyakinan atau agama. Namun, seiring dengan pembelian
kemerdekaan dan kebebasan tersebut Islam menegaskan adanya pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi logis dari penggunaan kemerdekaan dan kebebasan tersebut.
Karenanya, pada akhirnya nanti Allah akan mengevaluasi siapa di antara hambanya yang
menggunakan kemerdekaan dan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab dan siapa
pula yang sebaliknya.
Seterusnya dalam perspektif Islam, bumi ini pada dasarnya merupakan wadah atau
institusi di mana manusia dididik oleh pendidik semesta alam. Sebagai pendidik semesta
alam Allah menciptakan dan mendesain segala yang ada di bumi ini sebagai perhiasan.
Dalam menjalani proses pendidikannya di muka bumi ini, manusia juga akan menjalani
sebuah proses pengujian untuk mengevaluasi siapa di antara mereka yang paling baik
prestasi atau amalnya. Prestasi atau amal yang baik apalagi yang terbaik akan dibalas
dengan kebaikan dan kenikmatan sementara prestasi atau amal yang tidak baik akan dibalas
dengan siksa dan penderitaan. Untuk menentukan apakah seorang hamba akan memperoleh
ajrun-tsawab atau iqab-azabb maka Allah akan mengevaluasi semua kinerja atau amal
hamba-hambanya selama mereka hidup di permukaan bumi.

C. Kelebihan Buku
a. Penjelasan buku sangat lengkap di setiap sub bab
b. Cover buku yang menarik
c. Tulisan buku rapi, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar
d. Cocok untuk digunakan sebagai referensi mahasiswa

D. Kelemahan Buku
a. Banyak menggunakan kata-kata dalam bahasa Arab
b. Penggunaan tanda baca yang tidak sesuai
c. Banyak pengulangan kata dan typo

16
BAB III PENUTUP

Kesimpulan
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain Allah SWT. Karenanya,
alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi segala sesuatu yang ada dan berada
diantara keduanya. Di kalangan masyarakat muslim, terdapat pemahaman bahwa alam semesta
adalah segala sesuatu selain Allah SWT, tetapi dengan mengecualikan manusia. Pemahaman
yang utuh terhadap makna pendidikan dalam konteks Islam harus dimulai dari pemahaman
yang benar tentang hakikat atau esensi manusia. Dalam Islam Allah SWT adalah sumber segala
ilmu pengetahuan dan karenanya semua ilmu pengetahuan yang diketahui dan dimiliki manusia
datangnya dari Allah.
Pendidikan Islami dapat didefinisikan sebagai suatu proses penciptaan lingkungan yang
kondusif bagi memungkinkan manusia sebagai peserta didik untuk mengembangkan diri, fisik-
jasmani dan non fisik-ruhani dan potensi yang dimilikinya. Tujuan tertinggi yang ingin dicapai
oleh pendidikan Islami adalah menciptakan manusia muslim yang bersyahadat kepada Allah
SWT. Karenanya, dalam tataran praktikal seluruh program dan praktik pendidikan Islami
diarahkan untuk memberikan bantuan kemudahan kepada semua manusia dalam
mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mereka berkemampuan
mengaktualisasikan syahadahnya kepada Allah SWT.

Saran
Buku ini sangat cocok digunakan untuk bahan pengajaran guru atau dosen serta referensi
bagi mahasiswa. Karena buku ini mudah dipahami dan penjelasan buku yang lengkap tentang
falsafah pendidikan Islami. Saran yang dapat diberikan yaitu agar CBR ini dapat menjadi
referensi bagi mahasiswa lainnya, dari hasil review buku ini dapat menjadi penilaian untuk
menciptakan buku yang lebih baik. Saran dan kritik dari pembaca sangat penting untuk
kesempurnaan CBR ini.

17
Referensi
Al-Rasyidin (2008) Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islami. Citapustaka Media Perintis Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai