Anda di halaman 1dari 54

ANALISIS EFISIENSI ALOKASI PADA INDUSTRI PENGOLAHAN

TEMPE DI KELURAHAN GUNUNG SULAH KOTA BANDAR


LAMPUNG

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh

CINDY RATNASARI

NIM 1811021043
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ............................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang dan Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 13


A. Teori Produksi .......................................................................................... 13
1. Fungsi Produksi .................................................................................... 14
2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ............................................................ 17
3. Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Tempe ..................................... 20
B. Teori Industri ........................................................................................... 23
1. Industri Pengolahan Tempe ................................................................ 24
2. Gambaran Umum Tempe ................................................................... 28
3. Bahan Baku Tempe ............................................................................ 29
4. Manfaat Tempe ................................................................................... 29
C. Teori Efisiensi .......................................................................................... 30
D. Skala Usaha .............................................................................................. 32
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 33
F. Hipotesis ................................................................................................... 35

III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 36


A. Jenis Penelitian ......................................................................................... 36

i
B. Lokasi Dan Waktu .................................................................................... 36
C. Data Dan Sumber Data ............................................................................. 37
D. Metode Analisis Data ............................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 43

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Industri Rumah Tangga di Privinsi Lampung .......................... 4

Tabel 2 Keadaan Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian

di Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar Lampung ........................... 5

Tabel 3 Data Rata-Rata Keuntungan Pengusaha Industri Tempe

di Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar Lampung ........................... 7

Tabel 4 Kandungan Unsur Gizi Tempe Kedelai Murni .................................... 22

Tabel 5 Proses Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 38

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pembuatan Tempe ............................................................................... 19

Gambar 2 Kerangka Berpikir ............................................................................... 36

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dan Masalah


Konsep industri menjelaskan mengenai ruang lingkup industri meliputi
semua kegiatan produksi yang bertujuan meningkatkan mutu barang dan jasa.
Perusahaan atau industri adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan
ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu
bangunan atau lokasi tertentu yang mempunyai administrasi tersendiri mengenai
produksi dan struktur biayanya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung
jawab atas usaha tersebut.
Menurut UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah
jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Menurut Marbun industri kecil yaitu: “Merupakan perusahaan yang belum
dikelola secara atau lewat manajemen modern dengan tenaga-tenaga profesional”.
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa industri kecil
merupakan serangkaian kegiatan produksi yang dilakukan oleh suatu badan
usaha/perorangan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang masih
sederhana.
Pembangunan industri adalah bagian dari usaha jangka panjang untuk
meningkatkan struktur ekonomi yang tidak seimbang, karena terlalu bercorak
pertanian kearah struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang antara
pertanian dan industri. Pembangunan industri ini ditujukan untuk memperluas
lapangan kerja, meratakan kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor,
menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah dan memanfaatkan sumber
daya alam dan energi, serta sumberdaya manusia.Indonesia yang memiliki
keragaman sektor usaha industri, dengan persebaran mulai dari Sabang hingga
Merauke, sehingga industri patut dikembangkan untuk pertumbuhan ekonomi
nasional.

1
Dalam arti luas, pengertian industri adalah segala kegiatan ekonomi yang
bersifat produktif atau menghasilkan keuntungan. Dalam arti sempit, pengertian
industri adalah usaha manusia mengolah bahan mentah atau bahan baku menjadi
bahan setengah jadi atau barang jadi sehingga memperoleh keuntungan atau
profit. Berdasarkan etimologi, kata “industri” berasal dari bahasa Inggris
“industry” yang berasal dari bahasa Prancis Kuno “industrie” yang berarti
“aktivitas” yang kemudian berasal dari bahasa Latin “industria” yang berarti
“kerajinan, aktivitas”. Dengan menggunakan skala mikro lebih mempermudah
karena analisis-analisis dalam teori mikroekonomi bertitiktolak dari
pandandangan yang mengganggap bahwa faktor-faktor produksi atau sumber
produksi yang dimiliki masyarakat adalah terbatas, sedangkan keinginan manusia
tidak terbatas. (Sadono Sukirno,2016).

Kegiatan produksi tidak akan terwujud dan terlaksana tanpa adanya alat
atau benda yang digunakan untuk memproduksi suatu barang. Dalam kegiatan
produksi dibutuhkan tempat untuk produksi, peralatan produksi dan orang yang
melakukan produksi. Apa itu produksi? Kata produksi berasal dari bahasa Inggris
to produce yang artinya menghasilkan. Jadi, produksi berarti kegiatan
menghasilkan atau menciptakan barang dan jasa. Individu atau kelompok yang
melakukan proses produksi disebut produsen. Sedangkan, barang atau jasa yang
dihasilkan dari produksi disebut produk. Lengkapnya, pengertian produksi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh orang atau badan (produsen) untuk menghasilkan
atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa. Sebagai contoh, petani bekerja
di sawah untuk menghasilkan barang dan jasa dan nelayan pergi ke laut untuk
menangkap ikan. Petani dan nelayan termasuk produsen. Dalam arti yang lain,
produksi dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan untuk menambah nilai guna
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Sedangkan, pengertian produksi dalam ekonomi mengacu pada kegiatan


yang berhubungan dengan usaha penciptaan dan penambahan kegunaan atau
utilitas suatu barang dan jasa. Berdasarkan semua pengertian produksi ini, pada
dasarnya kegiatan produksi mengacu pada dua konsep berikut ini:

2
1. Kegiatan menghasilkan barang dan jasa: Dalam pengertian ini, kegiatan
produksi adalah menghasilkan barang dan jasa yang belum ada sehingga
bertambah jumlahnya atau memperbesar ukurannya. Contoh: usaha
pertanian, peternakan, dan perikanan.
2. Kegiatan menambah nilai guna barang dan jasa: Dalam pengertian ini,
kegiatan produksi juga termasuk kegiatan menambah nilai guna barang
dan jasa sehinggan nilai guna barang dan jasa tersebut menjadi lebih
tinggi. Contoh: membuat tempe dari kedelai, membuat keripik singkong
dari singkong atau membuat pakaian dari kain.

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis setelah padi dan
jagung. Sebagai salah satu komoditas palawija, kedelai memegang peranan
penting dalam kebijaksanaan pangan nasional karena kegunaannya yang cukup
beragam, terutama sebagai bahan baku industri pangan (seperti tempe, tahu, tauco,
susu kedelai, minyak makan dan tepung kedelai) dan bahan baku industri pakan
ternak (Zakiah, 2011). Konsumsi kedelai dipastikan akan terus meningkat setiap
tahunnya seiring dengan pertambahan populasi penduduk dan meningkatnya
konsumsi masyarakat terhadap produk turunan kedelai (Mursidah, 2015).

Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai telah dilakukan oleh


pemerintah dan menunjukkan hasil yang positif. Nainggolan dan Rachmat (2014)
mencatat bahwa dalam periode tahun 2015-2012, produksi kedelai menunjukkan
peningkatan rata rata 3,75 persen/tahun, yaitu dari 671,6 ribu ton pada tahun 2015
menjadi 843,1 ribu ton pada tahun 2021. Peningkatan produksi tersebut belum
dapat mengimbangi peningkatan konsumsi kedelai nasional yang lebih tinggi.
Kebutuhan kedelai meningkat dari 1,938 juta ton tahun 2015 menjadi 2,950 juta
ton tahun 2021, atau terjadi peningkatan rata-rata 5,07 persen/tahun. Kesenjangan
antara produksi nasional dan konsumsi dalam negeri menyebabkan impor kedelai
juga meningkat 7,34 persen/tahun selama periode 2015-2021. Aldillah (2015)
mengemukakan bahwa produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi
sekitar 65,61% konsumsi domestik, sedangkan 35% dipenuhi dari kedelai impor.

3
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam usaha pembuatan tempe
melalui proses fermentasi biji kedelai oleh kapang Rhizopus oligospurus (Bavia et
al., 2012) atau ragi tempe (Suprapti, 2017). Indonesia merupakan negara produsen
tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50
persen dari konsumsi kedelai Indonesia diserap oleh industri tempe, 40 persen
tahu dan 10 persen dalam bentuk produk lain seperti tauco dan kecap (Rayandi,
2018).

Tempe telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak lama untuk


memenuhi kebutuhan pangan sumber protein. Harganya relatif terjangkau
dibandingkan dengan pangan sumber protein asal hewani, seperti daging dan ikan.
Salim (2012) menyebutkan bahwa nilai gizi protein pada tempe lebih tinggi
daripada bahan asalnya (kedelai) sebagai akibat terjadinya pembebasan asam
amino selama proses fermentasi. Tempe juga dilaporkan memiliki beberapa
manfaat bagi kesehatan antara lain dapat menurunkan kadar kolesterol, sebagai
anti diare dan antioksidan (Cahyadi, 2017). Konsumsi tempe rata-rata per kapita
di Indonesia menurut data Susenas BPS (2016), diperkirakan sebesar 20,2 gram
per hari, lebih rendah sedikit dari konsumsi tahu yakni 21,6 gram per kapita per
hari. Permintaan terhadap produk tempe diperkirakan akan terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran akan sumber
pangan bergizi dengan harga terjangkau, sehingga potensi pasar produk ini akan
terus terbuka.

Industri tempe di Indonesia umumnya merupakan industri rumah tangga


dengan nilai investasi yang tidak terlalu besar dan jumlah tenaga kerja sedikit.
Industri tempe telah menjadi sumber penghidupan bagi rakyat kecil dan
produknya merupakan sumber pangan bergizi tinggi dan terjangkau bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia (Salim, 2012). Keberadaan industri tempe juga
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Amang
(2016) menyebutkan bahwa industri tempe mampu menyerap sejumlah tenaga
kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang
terkait dengan perdagangan masukan dan keluaran industri pengolahan tersebut.

4
Di tengah perekonomian global seperti sekarang, industri pengeolahan
tempe menghadapi banyak tantangan. Tantangan tersebut diantaranya: 1)
banyaknya pesaing baik dalam skala besar maupun kecil, domestik maupun asing,
yang kompetitif, dan 2) keterbatasan yang dimiliki industri pengeolahan tempe
dalam hal infrastruktur, modal, pengetahuan maupun kemampuan (skill) berkaitan
dengan pemanfaatan teknologi. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan
Kuncoro (2018) yang menyebutkan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang
dihadapi oleh industri pengeolahan tempe, yaitu kurangnya permodalan, pasar
yang sangat bersaing, dan sulit mendapatkan bahan baku. Selain itu, minimnya
modal dan kurangnya pengetahuan tentang teknologi informasi membuat
kebanyakan industri pengeolahan tempe masih melakukan proses bisnisnya secara
manual. Diperlukan langkah strategis untuk menghadapi tantangan tersebut diatas,
yakni, industri pengeolahan tempe harus memiliki keunggulan kompetitif yang
memungkinkan mereka untuk meminimalkan biaya sekaligus meningkatkan
keuntungan, dengan dukungan teknologi informasi.

Pembuatan tempe tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan


alat-alat yang biasa dipergunakan di rumah, untuk usaha kecil sangat dianjurkan
menggunakan alat-alat mekanis. Pembuatan tempe secara tradisional biasanya
menggunakan tepung tempe yang dikeringkan di bawah sinar matahari sebagai
pengganti ragi. Tetapi pembuatan tempe banyak yang menggunakan ragi tempe.

Provinsi Lampung merupakan daerah yang potensial untuk


mengembangkan industri rumah tangga tempe. Dilihat dari banyaknya jumlah
industri rumah tangga tempe yang ada di Propinsi Lampung. Untuk mengetaui
jumlah industri rumah tangga yang ada di Propinsi Lampung dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

5
Tabel 1 Jumlah Industri Rumah Tangga Tempe di Propinsi Lampung

No Kotamadya/Kabupaten Jumlah Industri Persentase (%)


Tempe (Unit)

1 Bandar Lampung 302 22,7

2 Metro 290 21,87

3 Lampung Utara 172 12,97

4 Lampung Selatan 169 12,75

5 Lampung Timur 63 4,75

6 Lampung Barat 57 4,29

7 Tanggamus 41 3,09

8 Way Kanan 39 2,94

9 Tulang Bawang 31 2,34

10 Lampung Tengah 162 12,22

Jumlah 1.326 100,00

Sumber : Dinas Koperasi dan Perdagangan Propinsi Lampung (2022)

Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah industri tempe yang ada di Bandar
Lampung sebanyak 302 buah atau sebesar 22,77 % dari total jumlah industri
tempe di Provinsi Lampung. Implikasi dari banyaknya industri rumah tangga
tempe adalah bahwa industri rumah tangga tempe sangat kompetitif dan baik
untuk pemerataan kesempatan berusaha. Pemerataan kebutuhan konsumsi tempe
bagi masyarakat Lampung dipenuhi oleh sentra produksi tempe yang tersebar di
berbagai wilayah pedesaan dan perkotaan. Wilayah yang dinilai memiliki prospek
baik untuk pengembangan industri tempe adalah Kota Bandar Lampung. Salah
satu indikatornya yaitu banyaknya jumlah pengrajn industri kecil tempe yang
tersebar diberbagai sentra produksi tempe itu sendiri antara lain daerah kelurahan
Gunung Sulah.

6
Kelurahan Gunung Sulah merupakan Wilayah Kecamatan Way Halim Kota
Bandar Lampung Provinisi Lampung. Berdasarkan data keadaan penduduk di
Kelurahan Gunung Sulah memiliki jumlah penduduk ± 10.550 jiwa dengan ±
6.804 Kepala Keluarga (BPS, 2022). Masyarakat di Kelurahan Gunung Sulah
memiliki mata pencaharian yang bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. di Kelurahan Gunung Sulah berjumlah 181 pengrajin. Agroindustri
rumah tangga di Kelurahan Gunung Sulah dibagi menjadi dua yaitu agroindustri
tahu dan tempe. Saat ini, terdapat sebanyak 115 orang sebagai pengrajin tahu dan
66 orang sebagai pengrajin tempe (Kelurahan Gunung Sulah, 2022). Agroindustri
tahu dan tempe di daerah tersebut sudah ada dan berkembang sejak lama. Banyak
dari mereka yang menjalankan usaha tersebut secara turun-temurun dengan
memanfaatkan keterampilan yang telah mereka miliki. Untuk mendirikan industri
pembuatan tempe terkadang pengrajin mendapatkan kesulitan diantaranya modal
terbatas, bahan mentah yang mahal, tenaga kerja dan strategi pemasaran produk.
Jika dilihat dari sisi kemudahan dalam melakukan pengolahannya, tempe
tergolong olahan kedelai yang relatif lebih mudah pengolahannya dibandingkan
dengan tahu. Sebab, meskipun pembuatannya tidak membutuhkan waktu yang
lama, namun tempe sudah memiliki nilai ekonomis dan umumnya banyak disukai
oleh masyarakat sebagai pelengkap makanan pokok sehari-hari.

Industri pengeolahan tempe di Kelurahan Gunung Sulah tergolong industri


rumah tangga jika dilihat dari jumlah volume produksi dan tenaga kerja yang
digunakan. Rata-rata penggunaan kedelai untuk satu kali proses produksi tiap
harinya cukup beragam. Sebagian besar pengrajin tempe hanya berproduksi pada
kisaran penggunaan kedelai antara 10 kg - 30 kg per produksi, meskipun terdapat
beberapa pengrajin yang memproduksi tempe dengan jumlah penggunaan kedelai
lebih dari 50 kg per produksi. Keterbatasan modal dan tenaga kerja merupakan
salah satu penyebab dari rendahnya produksi tempe. Pengrajin tempe tidak
mampu untuk membeli kedelai dalam jumlah yang besar karena harga kedelai
sudah tidak disubsidi pemerintah. Industri pengeolahan tempe bungkus daun juga
membutuhkan biaya input yang lebih besar daripada tempe bungkus plastik
dikarenakan adanya biaya tambahan untuk pembelian pembungkus (daun pisang,
kertas, tali) dan tenaga kerja (terutama tenaga kerja pembungkus).

7
Tabel 2 Keadaan Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di
Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar Lampung 2019

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Buruh/ Swasta 2.611 38,37

2 Pegawai Negeri 214 3,15

3 Pengrajin Industri Tempe 66 1,15

4 Pengrajin Industri Tahu 115 2,75

5 TNI/ Polri 72 1,20

6 Pedagang 1.785 26,23

7 Lain-lain 2.085 27,15

Jumlah 6.948 100,00

Sumber Monografi Kelurahan Gunung Sulah Tahun 2019

Untuk mendirikan sebuah industri pengrajin harus mempunyai modal,


karena modal merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pendirian
industri tempe dan kegiatan produksi tempe. Bahan mentah yang digunakan
dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai. Sedangkan untuk proses
pembuatan tempe diperlukan tenaga kerja, karena tenaga kerja merupakan faktor
penggerak dalam terselenggaranya suatu kegiatan industri. Bahan bakar yang
digunakan pada industri tempe ini yaitu berupa kayu dan sekam. Aktivitas terakhir
dari produksi suatu industri adalah pemasaran. Untuk melakukan pemasaran dari
hasil produksi tersebut, pengrajin harus mempunyai sarana transportasi guna
menunjang kelancaran dari pemasaran itu sendiri. Berdirinya Industri Tempe di
Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar Lampung merupakan kegiatan industri
yang dilakukan oleh tenaga kerja yang mengubah ketersediaan bahan baku tempe
(kacang kedelai) menjadi bahan jadi yaitu tempe sehingga menghasilkan produksi
yang siap dipasarkan. Pengrajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah lebih
menyukai untuk menggunakan kedelai impor daripada kedelai lokal, karena

8
memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih seragam serta tekturnya tidak keras,
disamping harganya yang lebih murah. Harga kedelai impor di Provinsi Lampung
tercatat sekitar Rp. 8.500,- per kilogram lebih murah daripada kedelai kuning
lokal yaitu Rp. 12.000,- per kilogram (Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Lampung, 2017).

Permasalahan biaya produksi dan besarnya keuntungan merupakan bagian


penting dalam sebuah bisnis. Komponen kedelai sebagai bahan baku utama tempe
dianggap sebagai komponen biaya terbesar dalam produksi tempe. Namun saat
ini, pengrajin tempe mengalami permasalahan terkait biaya pengadaan bahan baku
produksi. Oleh karena itu dianggap penting untuk mengetahui faktor produksinya,
supaya strategi terkait alokasi pendapatan dapat dilakukan sebagai solusi dalam
memperoleh keuntungan secara efisien. Peningkatan harga kedelai dapat
berpengaruh terhadap industri tempe yang sangat tergantung pada kedelai impor.
Harga kedelai impor yang cenderung naik setelah krisis moneter tahun 1997
sempat membuat pengrajin tempe berhenti beroperasi, karena tidak mampu
membeli kedelai dengan modal yang kecil. Biaya pembelian kedelai sebagai
bahan baku mengambil porsi sebanyak 76,78 persen dari total biaya produksi
tempe (Fatmawati, 2019). Jumlah pengrajin tempe yang masih bisa bertahan saat
ini hanya dapat berproduksi dengan penggunaan kedelai dalam jumlah kecil. Hal
ini dikarenakan usaha tempe ini merupakan sumber penghidupan bagi para
pengrajin tempe. Kenaikan harga bahan baku yakni kedelai impor untuk produksi
tempe tidak dapat diikuti dengan menaikkan harga jual tempe karena
kekhawatiram turunnya minat konsumen untuk membeli tempe. Para pengrajin
tempe biasanya mengurangi ukuran tempe yang dicetak untuk menutupi naiknya
biaya produksi dan meningkatkan penerimaan. Pengrajin tempe bungkus daun di
Kelurahan Gunung Sulah juga tidak berani untuk mencampurkan bahan lain,
seperti jagung atau ampas kelapa ke dalam proses pembuatan tempe karena dapat
menurunkan kualitas tempe yang dihasilkan.

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Kelurahan Gunung


Sulah, tempe bukanlah sebatas lauk-pauk pelengkap makanan. Tempe tersaji di
piring makan setiap orang hampir setiap hari dan semakin dicari sejak pandemi
Covid-19 melanda. Tidak heran ketika terjadi lonjakan harga kacang kedelai,

9
bahan baku pembuatan tempe, pengusaha tempe, pengecer, dan warung-warung
makan penjual menu berbasis olahan kedelai bereaksi keras. Utilitas industri
tempe nasional tercatat mengalami kenaikan selama pandemi virus corona atau
Covid-19 sejak April 2020. Dan kenaikan tersebut juga dirasakan oleh pengusaha
industri tempe di Kelurahan Gunung Sulah. Para perajin tempe di Kelurahan
Gunung Sulah dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya mengingat harga jual
ekspor jauh lebih tinggi daripada harga jual tempe di pasar tradisional. Tempe
merupakan salah satu makan tradisional yang cukup populer begitupun dengan
tahu, selain rasanya yang enak, harga murah dan nilai gizinya yang tinggi. Bahan
makanan ini merupakan produk olahan dari kacang kedelai, meskipun berharga
murah tetapi tahu dan tempe mempunyai mutu yang istimewa yang dapat dilihat
dari segi kandungan gizinya. Namun saat ini produk tempe lebih banyak di
inovasi dan dikembangakan dibandingkan produk tahu, inovasi tersebut mulai dari
gorengan tempe kekinian yang banyak dijual dipasaran hingga digunakan pada
menu-menu masakan di restoran besar. Hal tersebut membuat konsumsi tempe
pada masa pandemi covid-19 di masyarakat Kelurahan Gunung Sulah lebih tinggi
dibandingkan konsumsi tahu, adapun perbandingan rata-rata konsumsi tempe dan
tahu per kapita dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3 Rata-Rata Konsumsi Tempe Tahu Per kapita dalam Seminggu di


Kelurahan Gunung Sulah Bandar Lampung Tahun 2019-2021
Tahun Satuan Tempe Tahu
2019 Kg 0.158 0.139
2020 Kg 0.175 0.142
2021 Kg 0.186 0.150
Sumber : Data Ketua Organisasi Pengrajin Tempe dan Tahu Kelurahan
Gunung Sulah Kota Bandar Lampung, 2022

Dari tabel 3 diatas, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tempe pada


masyarakat di Kelurahan Gunung Sulah pada tahun 2019 sebanyak 0,158
kg/minggu, sedangkan konsumsi tahu sebanyak 0,139 kg/minggu. Pada tahun
2020, tingkat konsumsi tempe dan tahun sama-sama mengalami peningkatan.
Tetapi peningkatan tersebut lebih tinggi pada tingkat konsumsi tempe yaitu

10
sebesar 0,175 kg/ minggu sedangkan tahu sebesar 0,142/minggu. Kemudian pada
tahun 2021, tingkat konsumsi tempe dan tahun kembali mengalami peningkatan
dan tingkat konsumsi tempe masih lebih tinggi daripada tingkat konsumsi tahu,
yaitu sejumlah 0,186 kg/minggu sedangkan untuk tahu 0,150 kg/minggu.
Adanya Covid-19 memberikan dampak positif bagi industri tempe di
Kelurahan Gunung Sulah yaitu tingkat konsumsi tempe yang mengalami
kenaikan. Dampak positif dari meningkatnya tingkat konsumsi tempe di
Kelurahan Gunung Sulah akan berpengaruh terhadap faktor produksi yang secara
otomatis juga akan berpengaruh terhadap pendapatan usaha.

Tabel 4 Data Rata-Rata Keuntungan Pengusaha Industri Tempe di


Kelurahan Gunung Sulah Bandar Lampung Tahun 2017-2021
Tahun Keuntungan Per Tahun
2017 74.880.000
2018 66.780.000
2019 77.330.000
2020 82.280.000
2021 87.880.000
Sumber : Data Ketua Organisasi Pengrajin Tempe dan Tahu
Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar Lampung, 2022

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa keuntungan yang didapat


setiap tahunnya.pada tahun 2017 dengan keuntungan Rp74.880.000, tahun 2018
yaitu keuntungan yang menurun Rp 66.780.000, tahun 2019 kemudian
keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 57.330.000, tahun 2020 keuntungan Rp
53.280.000, Kemudian pada tahun 2021 jumlah keuntungan yang didapat Rp
47.880.000.
Kenaikan harga kedelai diakibatkan karena sebagian besar pasokan kedelai
diimpor dari luar Indonesia. Hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya
produksi, omset penjualan tempe dan keuntungan. Bagi pengerajin tempe di
Gunung Sulah, tetap berproduksi dikhawatirkan tidak memberi keuntungan nyata,
berhenti produksi akan kehilangan pelanggan. Dampak dari kenaikan harga

11
kedelai secara terus menerus, berakibat pada berkurangnya kemampuan
pengerajin untuk terus berproduksi, terutama pengerajin yang memiliki modal
terbatas. Kenaikan harga kedelai ternyata berdampak pada kesulitan para
pengerajin tempe dalam mempertahankan usahanya jika tidak kreatif. Namun
pendapatan mereka tetap saja berkurang. Campur tangan pemerintah sangat
dibutuhkan dalam menstabilkan harga kedelai. Harga bahan baku kedelai impor
yang pada tahun 2017 sebesar 8.500/kg harga normalnya, pada tahun 2021
menjadi 10.000/kg, semakin meningkatnya harga bahan baku mengakibatkan
pengrajin tempe memperoleh keuntungan yang kecil disebabkan jumlah modal
yang harus dikeluarkan cukup tinggi untuk memebeli bahan baku pembuatan
tempe yaitu kedelai. Meskipun harga bahan baku kedelai meningkat tetapi
pengrajin tempe di Gunung Sulah tidak dapat menaikkan harga jual tempe
disebabkan tingkat daya beli konsumen, jika harga tempe dinaikan konsumen
cenderung lebih memilih membeli tempe dengan produsen yang menjual tempe
lebih murah. Upaya-upaya yang dilakukan pengusaha tempe untuk survive dalam
meningkatkan perekonomian keluarga para pengrajin memanfaatkan ampas tahu
yang digunakan untuk bahan pembuatan tempe gembos, dan memproduksi tempe
dengan ukuran yang lebih kecil sehingga perekonomian keluarga mendapatkan
tambahan. Hal ini merupakan kerja keras yang dilakukan pengusaha tempe dalam
memenuhi perekonomian keluarga.
Industri tempe di Kelurahan Gunung Sulah umumnya menggunakan
tenaga kerja dari dalam keluarga dan tetangga terdekat dalam proses pembuatan
tempe. Pengrajin tempe numumnya juga merangkap sebagai tenaga pemasaran
tempe. Konsumen produk tempe bungkus daun dan plastik ini umumya adalah
pemilik warung soto, penjual gorengan, pedagang sayur keliling, dan rumah
makan lainnya.
Pengrajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah sudah menggunakan alat
penggiling kedelai dalam proses pembuatan tempe. Alat penggiling tempe yang
digunakan berdasarkan pengoperasiannya, dibedakan menjadi alat penggiling
manual dan alat penggiling dinamo. Soeprapti (2017) menyebutkan bahwa mesin
pengupas atau penggiling kedelai yang dioperasikan secara manual memiliki
kapasitas sekitar 50 kg/jam, sedangkan yang dilengkapi motor penggerak ¼ PK

12
memiliki kapasitas ± 200 kg/jam. Proses penggilingan dengan mesin penggiling
dinamo akan lebih mudah pengoperasiannya dan lebih cepat daripada penggiling
manual. Dengan jumlah produksi yang kecil dibawah kapasitas alat yang tersedia,
diduga penggunaan faktor-faktor produksi industri tempe bungkus daun dan
plastik di Kelurahan Gunung Sulah menjadi kurang produktif untuk menghasilkan
output yang lebih banyak dan memaksimalkan keuntungan.

Tingkat alokasi penggunaan input akan berpengaruh terhadap jumlah


produksi, tingkat produktivitas, sekaligus memberikan gambaran tingkat efisiensi
yang dicapai (Kumbhakar, 2012). Alokasi penggunaan input yang optimum pada
akhirnya berpengaruh terhadap biaya produksi dan pendapatan yang diterima.
Naelis dan Novindra (2015) menyebutkan bahwa pendapatan pengrajin tempe
dipengaruhi biaya produksi, hasil penjualan, serta besar kecilnya produksi.

Setiap pengusaha dalam menjalankan usahanya tentu saja mempunyai


tujuan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya dengan jalan memaksimumkan
pendapatan, meminimumkan biaya, memaksimumkan penjualan dan lain
sebagainya. Analisis usaha merupakan pendekatan yang sangat penting bagi
usaha. Melalui hasil analisis ini dapat dicari langkah pemecahan berbagai kendala
yang dihadapi. Analisis usaha bertujuan untuk mencari titik tolak untuk
memperbaiki hasil dari usaha tersebut. Hasil analisis ini dapat digunakan sebagai
pedoman dalam perencanaan pengelola usaha, baik menambah maupun mencari
pemecahan terhadap berbagai kendala (Surya 2019). Dalam sebuah usaha yang
dijalankan selalu ada resiko yang harus siap diterima oleh pengusaha tersebut.
Oleh karena itu, analisis efisiensi alokasi dan pendapatan sangat diperlukan dalam
menjalan sebuah usaha untuk mengetahui berapa besar biaya yang harus
dikeluarkan dan berapa besar tingkat pendapatan yang diperoleh oleh pengusaha
dalam menjalankan usaha tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang


industri pengolahan tempe yang ada di Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar
Lampung dengan judul penelitian “ANALISIS EFISIENSI ALOKASI PADA
INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE DI KELURAHAN GUNUNG SULAH
KOTA BANDAR LAMPUNG”.

13
B. Rumusan Masalah
Alokasi input yang tidak tepat dapat menyebabkan pendapatan terhadap
industri pengolahan tempe di Kelurahan Gunung Sulah tidak maksimal. Upaya
perbaikan pada aspek produksi diperlukan sehingga industri pengolahan tempe
dapat meningkatkan produksi untuk memperoleh pendapatan maksimum. Industri
pengolahan tempe diharapkan dapat memahami tentang pengaruh penggunaan
faktor-faktor produksi terhadap efisiensi usaha untuk mengoptimalkan
pendapatannya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis
efisiensi penggunaaan faktor-faktor produksi dan pendapatan pada industri
pengolahan tempe kedelai di Kelurahan Gunung Sulah. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dirumuskan permasalahan industri tempe yang akan analisis dalam
penelitian ini, sebagai berikut :
1. Apa pengaruh dari faktor-faktor produksi terhadap industri pengolahan
tempe di Kelurahan Gunung Sulah ?
2. Efisien atau tidak penggunaan faktor-faktor produksi terhadap industri
pengolahan tempe di Kelurahan Gunung Sulah ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap industri
pengolahan tempe di Kelurahan Gunung Sulah.
2. Menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada
industri pengolahan tempe di Kelurahan Gunung Sulah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat sebagai
berikut :

a. Manfaat Empiris
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
pengrajin tempe, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam penerapan produksi tempe yang efisien dan
menguntungkan.

14
b. Manfaat Teoritis
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sarana untuk
menerapkan teori yang sudah dipelajari selama perkuliahan.
2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan
bahan masukan dalam pengembangan industri pengolahan tempe di
Kelurahan Gunung Sulah
3. Bagi pihak lain, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
kajian dan referensi pada permasalahan yang sama.

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Produksi

Istilah produksi secara umum diartikan sebagai penggunaan atau


pemanfaatan sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi
lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana, atau
kapan komoditi-komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang
dapat dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditi itu. Istilah produksi berlaku
untuk barang maupun jasa, karena istilah “komoditi” memang mengacu pada
barang dan jasa. Keduanya sama-sama dihasilkan dengan mengerahkan modal dan
tenaga kerja. Produksi merupakan konsep arus (flow concept), maksudnya adalah
produksi merupakan kegiatan yang diukur sebagai tingkat-tingkat output per unit
periode/waktu. Sedangkan outputnya sendiri senantiasa diasumsikan konstan
kualitasnya (Miller dan Meiners, 2015).
Sedangkan Dominic Salvatore (2015) mendefinisikan fungsi produksi untuk
setiap komoditi adalah suatu persamaan, tabel atau grafik yang menunjukan
jumlah (maksimum) komoditi yang dapat diproduksi per unit waktu setiap
kombinasi input alternative bila menggunakan teknik produksi terbaik yang
tersedia. Produksi adalah keterkaitan komponen satu (input) dengan komponen
lain (output) dan juga menyangkut „prosesnya‟ terjadi interaksi satu dengan yang
lainnya untuk mencapai satu tujuan. Komponen dalam sistem produksi adalah
input, proses dan output. Komponen input meliputi : tanah, tenaga kerja, modal
(capital), manajemen, energi, informasi dan sebagainya yang ikut berperan
menjadi komponen atau bahan baku dari suatu produk. Komponen output adalah
barang atau jasa (Masyhuri, 2017). Menurut Ari Sudarman (2019), banyak jenis
aktifitas yang terjadi di dalam proses produksi, yang meliputi perubahan-
perubahan 12 bentuk, tempat, dan waktu penggunaan hasil-hasil produksi.
Masing-masing perubahan ini menyangkut penggunaan input untuk menghasilkan
output yang diinginkan.

16
Jadi produksi meliputi semua aktifitas menciptakan barang dan jasa. Dari
pengertian produksi diatas, maka produksi pertanian atau perkebunan dapat
diartikan usaha untuk memelihara dan mengembangkan suatu komoditi untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam proses produksi, untuk menambah
guna atau manfaat makan dilakukan beberapa proses mulai dari persiapan lahan,
penanaman bibit, pemupukan, penyiangan, pemangkasan, pemeliharaan dan
proses lainnya untuk memperoleh manfaat atau hasil dari suatu komoditi pertanian
tersebut.
Dalam sistem produksi terdapat beberapa karakteristik yang harus
diperhatikan, diantaranya (Masyhuri, 2017) :
a. Mempunyai keterkaitan antara komponen satu dengan komponen yang lainnya
yang membentuk dalam satu kesatuan yang saling mendukung dalam mencapai
tujuan.
b. Tujuan yang ia miliki akan memberikan karakteristik atau ciri khas dari
keberadaan daripada barang atau jasa yang diproduksi.
c. Keberadaannya akan menentukan tingkat (grade) harga produk.
d. Memiliki aktivitas yang ia miliki dalam rangka transformasi nilai tambah dari
input ke output secara optimal.
e. Memiliki sistem umpan balik guna mengendalikan alokasi input, proses, dan
pemanfaatan teknologi adalah sebagai upaya menjadi kelestarian kualitas
produk.

1. Fungsi Produksi
Hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang
diciptakannya dinamakan fungsi produksi. Menurut Sadono Sukirno (2015),
faktor-faktor produksi dapat dibedakan kepada empat golongan, yaitu tenaga
kerja, tanah, modal dan keahlian keusahawan. Fungsi produksi selalu
dinyatakan dalam bentuk rumus seperti berikut ini :
Q = f(K,L,R,T)
Dimana: Q = jumlah produksi,
K = jumlah stok modal,
L = jumlah tenaga kerja (meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan

17
keahlian keusahawanan,
R = kekayaan alam,
T = tingkat teknologi yang digunakan.

Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk


umum sebagai berikut (Agung, 2018)

Q = F (Xı, X2, ….. Xn)


Dimana, Q = output
Xı, X2, ....Xn = Input

Fungsi produksi diatas menunjukkan bahwa jumlah tingkat produksi


suatu barang sangat tergantung pada faktor-faktor produksi. Jumlah produksi
yang berbeda-beda dengan sendirinya akan memerlukan berbagai faktor
produksi tersebut dalam jumlah yang berbeda-beda pula (Sadono Sukirno,
2015).
Dalam melakukan produksi, seorang petani harus berusaha untuk
mengalokasikan input yang dimilikinya seefisien mungkin untuk dapat
menghasilkan output yang maksimal (profit maximization). Tetapi apabila
petani dihadapkan pada terbatasnya biaya yang dimiliki dalam melakukan
usahanya, maka petani akan mencoba unutk memperoleh keuntungan dengan
kendala biaya yang dihadapinya. Tindakan yang dilakukan adalah
mengusahakan untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan menekan
biaya yang sekecil-kecilnya (cost minimization). Kedua pendekatan ini
mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keuntungan yang
maksimal dengan pengalokasian input seefisien mungkin (Soekartawi,2013).
Dalam aktifitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor
produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat
produksi, faktor produksi dibedakan menjadi faktor produksi tetap (fixed
input) dan faktor produksi variabel atau variable input (Pratama Rahardja,
2018).

18
a. Faktor produksi tetap (fixed input).
Faktor produksi tetap adalah faktor produksi yang jumlah
penggunaannya tidak tergantung pada jumlah produksi. Ada atau
tidaknya kegiatan produksi, faktor produksi itu harus tetap tersedia.
Contoh faktor produksi tetap dalam hal ini adalah alat atau mesin yang
digunakan dalam proses produksi. Sampai titik interval produksi
tertentu jumlah mesin tidak perlu ditambah. Tetapi jika tingkat produksi
menurun bahkan sampia nol unit (tidak berproduksi), jumlah mesin
tidak bisa dikurangi.
b. Faktor Produksi Variable (Variable Input).
Faktor produksi variabel adalah faktor produksi di mana jumlah
dapat berubah dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan jumlah
output yang dihasilkan. Contoh faktor produksi variabel dalam produksi
adalah bahan baku dan tenaga kerja. Jumlah penggunaan faktor
produksi variabel tergantung pada tingkat produksinya. Makin besar
tingkat produksi, makin banyak faktor produksi variabel yang
digunakan. Begitu juga sebaliknya

Pengertian faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel terkait erat
dengan waktu yang dibutuhkan untuk menambah atau mengurangi faktor
produksi tersebut. Para ahli ekonomi sering membagi kurun waktu produksi
menjadi dua macam, yaitu jangka panjang (long run) dan jangka pendek
(short run). Dalam jangka panjang (long run) semua faktor produksi sifatnya
variabel. Output dapat dinaikkan dengan mengubah faktor produksi atau input
dalam tingkat kombinasi seoptimal mungkin. Perubahan input ini dapat
memiliki proporsi yang sama atau berbeda. Teori ekonomi tradisional
menekankan pada perubahan proporsi yang sama, sehingga dalam jangka
panjang berlaku law of return to scale.
Dalam jangka pendek (short run) faktor tenaga kerja dianggap sebagai
faktor produksi tetap dan berlaku hukum tambah hasil yang semakin
berkurang atau Law of Diminishing Return. Law of Diminishing Return
menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya

19
terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan
semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat
tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai
nilai negatif. Sifat pertambahan produksi seperti ini menyebabkan
pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat
yang maksimum dan kemudian menurun (Sadono Sukirno, 2015).
Dalam ekonomi prosuksi, yang paling penting adalah fungsi produksi.
Ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu :
a. Dengan fungsi produksi, maka produsen dan/ peneliti akan
mengetahui seberapa besar kontribusi dari masing-masing input
dan output.
b. Dengan fungsi produksi, maka produsen dan/ peneliti akan
mengetahui alokasi penggunaan input dalam memproduksi suatu
output secara optimal.
c. Dengan fungsi produksi, maka produsen dan/ peneliti dapat
mengetahui hubungan antara factor produksi dan produksi secara
langsung.
d. Dengan fungsi produksi, maka produsen dan/ peneliti dapat
mengetahui hubungan antara variabel tak bebas dan variabel yang
bebas.
2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Fungsi produksi Cobb-Douglas terkenal digunakan dalam
menganalisis produksi baik di dalam ataupun diluar pertanian. Fungsi
produksi Cobb-Douglas pertama kali dikenalkan oleh Cobb, C.W dan
Douglas,P.H melalui artikelnya yang berjudul “A Theory of Production”
pada tahun 1928. Artikel tersebut dipublikasikan pertama kali di Jurnal
American Economic Review halaman 139-169. Fungsi produksi ini banyak
digunakan karena kesederhanaannya (Debertin, 2012).
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan
yang melibatkan dua atau lebih variabel dimana variabel yang satu
variable dependen, yang dijelaskan yaitu Y dan yang lain disebut variabel
independen, yang menjelaskan yaitu X. Penyelesaian hubungan antara Y

20
dan X biasanya dengan cara regresi yaitu variasi Y akan dipengaruhi oleh
variasi dari X. Bila fungsi produksi Cobb-Douglas dinyatakan oleh
hubungan Y dan X maka :
Y = f(X1, X2,....Xn)

Secara matematik, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditulis


sebagai berikut (Soekartawi, 2013) :

Y = a . X1b1 . X2b2.....Xibi . Xnbn . eu

Dimana, Y = variabel dependen/ variabel yang dijelaskan


X = variabel independen/ variabel yang menjelaskan
a = tetapan pelipat
b1,b2 = parameter
u = kesalahan (disturbance term)
e = logaritma natural, e = 2,718

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan diatas, maka


persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara
melogaritma persamaan tersebut menjadi :
Log Y= log a + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + b4 log X4 + b5 log
X5 + e

Koefisien regresi a merupakan indeks efisiensi yang mencerminkan


hubungan antara kuantitas faktor produksi (X). Tinggi rendahnya nilai a
menggambarkan berapa banyak faktor produksi yang dibutuhkan untuk
memproduksinya. Jumlah nilai bi dalam fungsi produksi Cobb-Douglas
adalah sama dengan satu, sedangkan fungsi produksi tipe Cobb-Douglas
yang sudah dibuat lebih umum keharusan itu tidak ada (Sudarsono, 2014).
Koefisien regresi bi menggambarkan hubungan antara faktor produksi Xi
yang juga diartikan sebagai indeks elastisitas produksi masing-masing
faktor produksi, yaitu menggambarkan bagaimana perubahan Y apabila Xi
ditambah sebesar satu satuan. Besarnya angka bi diatas menunjukkan
angka elastisitas. Sesuai dengan rumus elastisitas, makin besar nilai indeks

21
elastisitasnya makin besar pula kemampuannya untuk menggantikan faktor
produksi lainnya. Jumlah dari elastisitas merupakan ukuran return to scale.
Menurut Soekartawi, 2013 sebelum menggunakan fungsi Cobb-
Douglas, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari
nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
b. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan
teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference
intherespectif technologies). Ini artinya, kalau fungsi Cobb-Douglas
yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan, dan bila
diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model
katakanlah dua model, maka perbedaan model tersebut terletak pada
intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.
c. Tiap variabel X adalah perfect competition.
d. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah
tercakup pada faktor kesalahan.

Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dengan mudah


dikembangkan dengan menggunakan lebih dari dua input (Salvatore
Dominick : 2015). Fungsi produksi Cobb-Douglas sering digunakan dalam
penelitian ekonomi praktis, dengan model fungsi produksi Cobb-Douglas
dapat diketahui beberapa aspek produksi, seperti produksi marginal
(marginal product), produksi rata-rata (average product), tingkat
kemampuan batas untuk mensubstitusi (marginal rate of substitution),
intensitas penggunaan faktor produksi (factor intensity), efisiensi produksi
(efisiensi of production) secara mudah dengan jalan manipulasi secara
matematis (Ari Sudarman, 2017). Ada tiga alasan pokok mengapa fungsi
Cobb Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu (Soekartawi,
2013):
a. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relative lebih mudah
dibandingkan dengan fungsi yang lain.

22
b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan
menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan
besaran elastisitas.
c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran
return to scale.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Tempe
1. Kedelai
Kedelai merupakan faktor produksi yang utama dalam melakukan
usaha pembuatan tempe. Pembuatan tempe murni (tanpa bahan campuran)
dapat menghasilkan rendemen sebesar 1,5 kg tempe kedelai (Suprapti,
2007). Naelis dan Novindra (2015) menyatakan alasan industri tempe
sangat tergantung dan lebih menyukai menggunakan kedelai impor karena
kualitas kedelai impor lebih seragam, butiran-butiran lebih besar, harga
relatif lebih murah daripada kedelai lokal. Industri tempe lebih menyukai
menggunakan kedelai impor karena tempe yang dihasilkan memiliki
penampilan dan rasa yang lebih unggul, tidak menghasilkan bau langu atau
bau khas yang terdapat pada tempe yang menggunakan kedelai lokal.
2. Ragi
Ragi tempe merupakan bibit yang mengandung kapang Rhizopus sp.
Yang dipergunakan untuk proses fermentasi kedelai menjadi tempe.
Peragian memegang kunci berhasil tidaknya dalam membuat tempe.
Kurangnya pemberian ragi akan membuat tempe tidak jadi, karena
pertumbuhan miselia/hifa kapang Rhizopus sp. pada kedelai tidak berjalan
dengan baik. Menurut Suprapti (2007), jumlah pemakaian (dosis) yang
tetap akan menghasilkan kualitas tempe yang stabil. Ragi tempe
konsentrasi 3% sebanyak 50 g mampu untuk memfermentasi 1 kg kedelai
hingga menjadi 1,5 kg tempe dalam waktu 30 jam. Pengrajin tempe
tradisional atau skala kecil menggunakan ragi kadangkala hanya
berdasarkan perkiraan saja, tanpa menggunakan sarana pendukung berupa
timbangan atau takaran.

23
3. Pembungkus tempe
Kedelai yang telah diberi ragi membutuhkan bahan pembungkus
atau pengemas selama proses fermentasi. Jika jumlah kedelai yang
digunakan dalam produksi tempe semakin banyak, maka jumlah
pembungkus yang dibutuhkan juga semakin banyak. Kekurangan
bahan pembungkus dapat mengakibatkan proses fermentasi tidak akan
berjalan dengan baik. Pengrajin tempe pada umumnya menggunakan
dua jenis pembungkus, yaitu daun pisang dan plastik. Hidayat et al.
(2006) menyatakan bahwa faktor utama yang menentukan bahwa
pembungkus dapat menghasilkan tempe yang baik ialah aerasi dan
kelembaban. Pembungkus yang baik dapat menjamin aerasi yang
merata secara terus menerus, sekaligus dapat menjaga kelembaban
tetap tinggi tanpa menimbulkan pengembunan. Kelembaban yang
cocok untuk pertumbuhan kapang adalah 90 – 95%. Tempe yang
dibungkus dengan daun pisang memberikan kondisi penyimpanan
didalam ruang gelap (salah satu syarat terjadinya fermentasi). Aerasi
(sirkulai udara) juga tetap dapat berlangsung melalui celah-celah yang
ada (Meilina, 2012). Produk yang dibungkus oleh daun biasanya
memiliki aroma yang khas karena daun mengandung polifenol yang
merupakan salah satu senyawa penghasil aroma. Kantong plastik juga
dapat digunakan untuk membungkus tempe, namun karena bersifat
kedap udara maka permukaan plastik harus dilubangi agar supaya
aerasi dapat terjadi. Pengrajin tempe yang memilih menggunakan
pembungkus plastik karena lebih praktis (Sayuti, 2015).
4. Bahan Bakar
Bahan bakar diperlukan dalam proses perebusan kedelai
supaya menjadi lebih lunak sehingga proses penggilingan dan
fermentasi kedelai dapat berjalan lebih baik. Produksi tempe dalam
jumlah banyak membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak pula.
Bahan bakar yang digunakan dapat berupa kayu, minyak tanah atau
gas elpiji. Bahan bakar yang digunakan oleh pengrajin tempe di
daerah penelitian adalah kayu bakar.

24
5. Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja dalam usaha pembuatan tempe mutlak
diperlukan selama proses produksi, yang meliputi: perendaman,
perebusan, penggilingan, pengukusan, peragian, dan pengemasan.
Faktor tenaga kerja menggunakan hitungan jumlah jam kerja yang
digunakan selama proses produksi.
6. Peralatan
Beberapa peralatan yang digunakan sebagai sarana
pengolahan kedelai menjadi tempe, antara lain: kompor/tungku, panci,
tampah/nyiru, bak/ember, alat peniris, dan mesin pengupas kedelai.
Semakin banyak jumlah kedelai yang digunakan maka jenis dan
jumlah peralatan yang dibutuhkan juga semakin bertambah, yang
berarti semakin besar pula modal yang dibutuhkan untuk investasi
peralatan. Penggunaan peralatan pada usaha skala kecil dapat menjadi
kurang efisien bila jumlah bahan baku yang digunakan dibawah
kapasitas peralatan yang tersedia.
7. Air
Air diperlukan dalam proses produksi tempe antara lain untuk
pencucian, perendaman, perebusan dan pengukusan kedelai. Air yang
digunakan dalam proses pengolahan kedelai harus memenuhi
persyaratan standar air minum untuk menghasilkan kualitas tempe
yang baik.

B. Teori Industri
Pada dasarnya setiap industri, baik industri besar, menengah, dan kecil
menghadapi berbagai macam masalah. Demikian juga untuk industri tempe di
Kota Bandar Lampung khususnya Kelurahan Gunung Sulah Kota Bandar
Lampung mengalami banyak masalah untuk mengembangkan usahanya. Berikut
ini pengertian industri menurut beberapa sumber:
Menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang perindustrian
memberikan definisi industri sebagai seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga

25
menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
termasuk jasa industri. Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa industri
kecil ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Badan Pusat Statistik (2016) membuat batasan tentang industri pengolahan
yaitu suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang
dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang
jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang
lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Adapun
perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan
kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu
bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri
mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang
bertanggung jawab atas usaha tersebut.
Penggolongan industri pengolahan menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
berdasarkan tenaga kerja dibagi dalam 4 golongan yaitu :
1. Industri Besar (banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih)
2. Industri Sedang (banyaknya tenaga kerja 20-99 orang)
3. Industri Kecil (banyaknya tenaga kerja 5-19 orang)
4. Industri Rumah Tangga (banyaknya tenaga kerja 1-4 orang)

Soekartawi (2000), agroindustri adalah industri yang bahan baku


utamanya dari produk pertanian, dengan jumlah minimal 20% dari total bahan
baku yang digunakan. Sektor agroindustri memiliki peranan yang sangat penting
dalam pembangunan pertanian dan perekonomian negara. Hal ini dapat dilihat
dari kontribusinya dalam hal meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis,
menyerap tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong
tumbuhnya industri. Meskipun demikian, pembangunan agroindustri dalam negeri
masih dihadapkan pada berbagai tantangan, diantaranya adalah kurang tersedianya
bahan baku yang cukup dan kontinyu, kurangnya fasilitas permodalan
(perkreditan), keterbatasan pasar, kualitas produksi dan prosesing yang belum
mampu bersaing, dan lemahnya jiwa entrepreneurship.

26
1. Industri Pengolahan Tempe

Menurut Sadono Sukirno (2006; 4-5), analisis dalam teori mikroekonomi


meliputi bagian – bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian yang lebih
menitikberatkan kepada analisis mengenai masalah membuat pilihan untuk :
a. Mewujudkan efisiensi dalam penggunaan sumber – sumber daya (faktor
produksi).
b. Mencapai kepuasan yang maksimum.

Analisis dalam teori mikroekonomi bertitik tolak dari pandangan yang


menganggap bahwa faktor-faktor produksi yang dimiliki masyarakat terbatas,
sedangkan keinginan manusia tidak terbatas. Perkembangan dan persaingan usaha
kecil dan mikro di sektor industri makanan terus mengalami peningkatan. Hal ini
tentu merupakan pertanda iklim usaha yang kondusif dan baik, yang harus terus
ditingkatkan agar usaha kecil-mikro memiliki daya saing tinggi di pasar nasional.
Ditengah ancaman pasar bebas yang semakin terbuka dengan berbagai
produk negara asing (kedelai) dan mengancam pasar dalam negri, tentunya sektor
usaha kecil mikro harus diperhatikan dan didukung oleh serangkaian kebijakan
yang tepat dari pemerintah. Selain itu, diperlukan juga pengembangan
kemampuan usaha yang berguna dan tepat bagi para pelaku usaha kecil-mikro di
Indonesia khususnya di Kelurahan Gunung Sulah.
Dalam usaha tempe pada industri mikro ini diperlukan sarana produk antara
lain bahan baku dan alat-alat produksi sebagai modal. Sarana produksi ini
diperoleh oleh para pengrajin responden dengan membeli baik di koperasi,
sebagai penyedia stok bagi anggotanya maupun mereka peroleh dari kios
(warung) atau pemasok yang ada di daerah penelitian tersebut, karena lokasi ini
merupakan kota besar sehingga sarana-sarana produksi tersebut tidak sulit
diperoleh oleh para pengrajin tempe.
Bahan baku merupakan faktor produksi utama yang berperan dalam proses
produksi makanan tempe. Bahan baku yang dimaksud dalam pembuatan
tempetempe ini antara lain : kacang kedelai, kemasan berupa plastik atau daun
pisang. Bahan baku kedelai yang digunakan oleh pengrajin reponden mayoritas

27
menggunakan kedelai impor. Penggunaan kedelai impor ini didasarkan karena
jenis kedelai ini memiliki keunggulan dibandingkan kedelai lokal, yaitu :
1. Ukuran kedelai impor relatif besar, sehingga kepingan kedelai setelai
rebusan dan perendaman juga relatif besar.
2. Biji kedelai relatif bersih dari kotoran sehingga memudahkan proses
pencucian, kemudian warna irisan tempe kuning terang (cerah).

Dalam kacang kedelai terkandung gizi yang tinggi, terutama kadar protein
nabatinya. Selain itu kadar asam amino kedelai termasuk paling lengkap. Tiap
satu gram asam amino kedelai mengandung 340 mgr soleusin, 480 mgr leusin,
400 mgr fenilalamin, 200 mgr tirosin, 80 mgr metionin, 110 mgr sistin, 250 mgr
reunin, 90 mgr triptiofan, dan 330 valin. Kedelai selain berguna untuk mencukupi
kebutuhan gizi tubuh, juga merkhasiat sebagai obat beberapa penyakit, Rukmana
dan Yuniarsih (2015).
Ragi yang digunakan oleh para pengrajin reponden ada dua jenis, yaitu ragi
bubuk dann ragi batangan. Ragi bubuk merupakan ragi yang sudah jadi dan dapat
langsung digunakan, dikemas dalam plastik. Sedangkan ragi batangan adalah ragi
yang dibuat dari campuran ampas kelapa dengan jamur rhizopus sp. Namun dari
hasil wawancara dengan pengrajin responden, rata-rata mereka menggunakan ragi
bubuk karena kualitas akhir pada tempe menjadi baik hasilnua, tidak biru (putih
bersih) dan tidak berasa kecut.
Alat-alat produksi yang diguinakan dalam industri tempe berupa modal
investasi dalam bentuk fisik seperti : mesin pengelupas kulit kedelai, pisau, bakul,
drum perebusan dan perendaman, dan lain-lain. Alat-alat produksi ini diperoleh
oleh pengrajin responden dengan membeli dipasar atau warung terdekat yang
jumlahnya tergantung dari jumlah produksi yang dihasilkan masing-masing
pengrajin responden. Umur produksi dari alat-alat tersebut relatif lebih lama
antara dua bulan sampai 10 tahun lebih penggunaan sekali proses produksi.
Teknologi yang digunakan pembuatan tempe ini cukup sederhana yaitu
menggunakan fermentasi untuk memunculkan senyawa-senyawa baru yang
dimunculkan oleh ragi yang diberikan pada kacang kedelai yang sudah diolah.
Proses fermentasi ini memakan waktu kedelai yang telah dipilih dan dibersihkan

28
dari kotoran ke dalam drum perebusan yang telah berisi air bersih. Kedelai ini lalu
direbus diatas tungku dengan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar atau
diatas kompor dengan menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Perebusan dlakukan sampai kedelai benar-benar matang dan ciriciri buih
dipermukaan air yang muncul pada saat perebusan telah hilang disebabkan
penguapan. Setelah itu kedelai beserta air rebusannya dipindahkan ke dalam
perendaman. Proses ini memakan waktu yang cukup lama sekitar 22-24jam,
dengan tujuan agar menciptakan keasaman pada kedelai yang diolah tersebut.
Keasaman ini dapat diketahui dengan melihat perubahan yang terjadi pada air
dalam drum perendaman yaitu warna air rendaman yang sebelumnya bening
berubah menjadi warna putih susu dan berlendir. Pengasaman ini dapat dipercepat
dengan menambah lagi cairan lendir pada saat perendaman kedelai sebelumnya.
Kedelai yang telah direndam ini kemudian dipindahkan lagi ke dalam drum atau
bak untuk dicuci. Pada proses pencucian ini, sekaligus dilakukan pemecahan
kedelai menjadi kepingan di satu tempat.Kedelai dicuci dengan penyiraman air
bersih kedalam bak, lalu dilakukan penginjakan-penginjakan kedelai agar terpisah
menjadi kepingan-kepingan dan kulit-kulitnya terkelupas, proses pencucian ini
juga harus teliti dan seksama, sebab rasa tempe yang gurih atau tidak tergantung
dari pencucian kedelai.
Kedelai yang pencuciannya tidak bersih akan menyebabkan tempe itu
mudah rusak dan berasa kecut. Kedelai cucian diunggap bersih hingga permukaan
kepingan kedelai tidak lengket pada saat disentuh dan lendir yang menyelimutinya
hilang. Kedelai tersebut kemudian ditiriskan dengan dipindahkan ke dalam bakul
selama 1-2 jam. Namun seringkali pengrajin menyiram kedelai yang diperoleh
agar lebih bersih. Kemudian kedelai tersebut, setelah ditiriskan, dipindahkan lagi
ke dalam tampah besar atau bak yang alasnya dilapisi plastik. Setelah itu, mulai
proses peragian pada kedelai yang sudah diolah dengan mencampur kedelai
tersebut dengan bubuk ragi tergantung dari banyaknya kedelai. Namun ada juga
peragian tersebut dilakuakan dengan menggunakan ragi batangan yang diolah dari
campuran jamur asli dengan ampas kelapa yang telah dikeringkan. Pencampuran
kedelai ini dilakukan secara merata agar jamur yang tumbuh pada tempe tumbuh
merata pula. Setelah proses peragian ini selesai kemudian dilakukan pengemasan

29
dengan menggunakan plastik yang telah diberi lubang untuk rongga udara.
Kedelai yang sudah dikemas lalu disusun di rak-rak bambu atau kerek yang
disimpan pada tempat yang teduh gar proses fermentasi berjalan dengan baik.

Gambar 1
Pembuatan Tempe

2. Gambaran Umum Tempe


Tempe merupakan makanan khas dan asli Indonesia yang sudah
dikonsumsi masyarakat secara turun temurun. Saat ini tempe sudah menjadi
menu hidangan yang populer di berbagai negara. Tempe dibuat dari
fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya dengan

30
menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus sp. yang secara umum dikenal
sebagai ragi tempe (Salim, 2012). Warna khas dari tempe adalah putih, warna
ini dikarenakan adanya warna miselia kapang Rhizopus sp. yang tumbuh pada
permukaan kacang kedelai dan merekatkan biji-biji kedelai sehingga
terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai
selama fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas (Sayuti,
2015).
3. Bahan Baku Tempe
Industri tempe umumnya menggunakan kedelai kuning (Glicyne max)
sebagai bahan baku karena menghasilkan warna dan tekstur yang disukai
konsumen, serta cita rasa yang nikmat. Di Indonesia, pengrajin tempe lebih
banyak menggunakan kedelai impor karena memiliki ukuran yang lebih besar
dan lebih seragam daripada kedelai lokal. Disamping itu, ketersediaan kedelai
lokal yang masih rendah belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi 65,61%
kebutuhan, sedangkan 35 % dipenuhi dari kedelai impor (Aldillah, 2015).
Kebutuhan kedelai ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya
dikarenakan bertambahnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan per
kapita, dan kesadaran masyarakat akan pangan yang bergizi dengan harga
terjangkau. Ketidakstabilan produksi kedelai nasional disebabkan oleh adanya
penurunan luas panen kedelai yang tidak diimbangi dengan peningkatan
produktivitas kedelai.
4. Manfaat Tempe
Tempe merupakan sumber protein murah meriah yang dapat
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi dan menjaga kesehatan tubuh.
Meilina (2012) menjelaskan bahwa secara kuantitatif, nilai gizi tempe sedikit
lebih rendah dari pada nilai gizi kedelai, namun secara kualitatif nilai gizi
tempe lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik
daripada kedelai. Hal ini disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan
meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik. Oleh karena itu, tempe dapat
diberikan kepada segala kelompok umur.

31
Tabel 4 Kandungan Unsur Gizi Tempe Kedelai Murni
(Tanpa bahan Campuran)

Sumber : Suprapti, 2017

Selama proses fermentasi kandungan asam lemak tidak jenuh, asam


amino esensial, vitamin, dan mineral pada tempe mengalami peningkatan
akibat aktivitas kapang tempe. Asam lemak tidak jenuh pada tempe (asam
oleat dan linolenat) mempunyai efek penurunan terhadap kandungan
kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam
tubuh. Tempe mengandung vitamin B12 yang umumnya hanya terdapat pada
sumber pangan hewani dan tidak dijumpai pada pangan nabati (sayuran,
buah-buahan, dan biji-bijian). Tempe juga memiliki manfaat dalam
menghambat penuaan dini (anti-aging) karena mengandung Superoksida
Desmutase (SOD). SOD ini mampu mengendalikan radikal bebas hidroksil
dan sekaligus memicu tubuh untuk membentuk superoksida itu sendiri
sehingga mampu menghambat penuaan diri (Santoso, 2018).

C. Teori Efisiensi
Efisiensi dalam produksi merupakan ukuran perbandingan antara output dan
input. Konsep efisiensi diperkenalkan oleh Michael Farrell dengan
mendefinisikan sebagai kemampuan organisasi produksi untuk menghasilkan
produksi tertentu pada tingkat biaya minimum (Kusumawardani, 2013). Efisiensi

32
Harga (Alokatif) berhubungan dengan keberhasilan petani dalam mencapai
keuntungan maksimum pada jangka pendek, yaitu efisiensi yang dicapai dengan
mengkondisikan nilai produk marjinal sama dengan harga input (NPMx=Px atau
Indeks Efisiensi harga = ki =1).
Apabila ki > 1 berarti usaha tani belum mencapai efisiensi alokasi sehingga
pengawasan factor produksi perlu ditambah agar mencapai optimal dengankan
jika k < 1 maka penggunaan factor produksi terlalu berlebihan dan perlu dikurangi
agar mencapai kondisi optimal. Prinsip ini merupakan konsep yang konvensional
dengan mendasarkan pada asumsi bahwa petani menggunakan teknologi yang
sama dan petani menghadapi harga yang sama.
Nicholson (1995) mengatakan bahwa efisiensi harga tercapai apabila
perbandingan antara nilai produktivitas marginal masing-masing input (NPMxi)
dengan harga inputnya (vi) atau ki = 1. Kondisi ini menghendaki NPMx sama
dengan harga factor produksi X atau dapat ditulis sebagai berikut :

Dimana : b = elastisitas
Y = produksi
Py = Harga produksi Y
X = Jumlah faktor produksi X
Px = Harga faktor produksi X

Dalam banyak kenyataan NPMx tidak selalu sama dengan Px. Yang sering
terjadi adalah sebagai berikut (Soekawarti, 1990) :
a. (NPMx / Px) > 1 : artinya menggunakan input X belum efisien, untuk
mencapai efisien input X perlu ditambah.
b. (NPMx / Px) < 1 : artinya menggunakan input X belum efisien, untuk
menjadi efisienmaka penggunaan input X perlu dikurangi.

33
c. (NPMx / Px) = 1 : artinya menggunakan input X efisien.

Efisiensi harga tercapai saat rasio NPMxi dan Px pada masing-masing


faktor produksi sama dengan satu, atau dengan kata lain nilai produk marginal
(NMPxi) harus sama dengan harga faktor produksi (Px) sehingga akan dapat
dihitung nilai optimum dari masing-masing faktor produksi untuk mencapai
efisiensi. Perhitungannya adalah sebagai berikut (Suprapto, 2015):
Produksi optimum ketika NPMxi/Pxi = 1

Efisiensi ekonomi merupakan kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi


harga (Indra, 2011). Efisiensi ekonomi tercapai apabila efisiensi teknis dan
efisiensi harga tercapai (Soekartawi, 2013).

EE = (ET) x (EH)

Keterangan: EE = Efisiensi Ekonomi


ET = Efisiensi Teknis
EH = Efisiensi Harga

Mubyarto (2015), efisiensi ekonomi tertinggi terjadi pada saat keuntungan


maksimal yaitu pada saat selisih antara penerimaan dengan biaya yang paling
besar. Usaha produksi dikatakan mencapai efisiensi ekonomi apabila banyaknya
biaya yang digunakan untuk menambah penggunaan input sama dengan tambahan
output yang dapat diterima. Menurut Suprapto (2015), efisiensi ekonomi
maksimum bisa ditentukan dengan memaksimumkan fungsi keuntungan.

34
D. Skala Usaha
Skala Usaha (return to scale) menggambarkan respon jumlah output
terhadap kenaikan seluruh input secara bersamaan (Nicholson (2012). Analisis
skala usaha (return to scale) digunakan untuk mengkaji kemungkinan perluasan
usaha dalam proses produksi, yang merupakan upaya memaksimalkan
keuntungan. Fatma (2019) mengemukakan bahwa perluasan skala usaha akan
membuat rata-rata komponen biaya input tetap per unit output menurun sehingga
keuntungan produsen meningkat. Perluasan skala usaha tidak selamanya akan
menurunkan biaya produksi. Perluasan skala usaha justru dapat meningkatkan
biaya produksi sampai suatu batas tertentu. Analisis skala usaha sangat penting
untuk menetapkan skala usaha yang efisien. Soekartawi (2012) menyatakan skala
usaha untuk mengetahui apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut mengikuti
kaidah increasing, constant, atau decreasing return to scale. Jika jumlah elastisitas
produksi dari fungsi Cobb Douglas dilambangkan dengan ∑bn, maka kondisi
usahatani dapat dibedakan menjadi:
1. Increasing return to scale, bila ∑bn >1, artinya bahwa bahwa proporsi
penambahan faktor produksi (input) akan menghasilkan tambahan
produksi (output) dengan proporsi yang lebih besar.
2. Constant return to scale, bila ∑bn = 1, artinya bahwa proporsi penambahan
faktor produksi (input) sama dengan penambahan produksi (output) yang
dihasilkan.
3. Decreasing return to scale, bila ∑bn < 1, artinya bahwa proporsi
penambahan faktor produksi (input) akan melebihi penambahan produksi
(output)
E. Kerangka Pemikiran
Di Indonesia, tempe umumnya dibuat oleh industri rumah tangga yang
merupakan usaha keluarga turun temurun. Keterbatasan modal, tenaga kerja, dan
volume produksi yang kecil diduga rentan terhadap masalah efisiensi alokasi
input. Pengrajin tempe perlu memahami pengalokasian faktor-faktor produksi
agar kegiatan produksi dapat dilakukan secara efisien sehingga diperoleh output
dan pendapatan yang maksimum. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian
ini ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut ini.

35
Gambar 2. Kerangka Berpikir

Kelurahan Gunung Sulah


(Sentra Pengrajin Tempe)

Karakteristik Pengrajin:
Faktor-Faktor Produksi
- Jenis Kelamin
- Kedelai
- Usia
- Ragi
- Tingkat Pendidikan
- Pembungkus
- Pengalaman Usaha
- Bahan Bakar
- Asal Ketrampilan
- Tenaga Kerja
- Ukuran Rumah Tangga

Industri Tempe

Faktor-faktor produksi yang Analisis Fungsi Produksi


berpengaruh terhadap usaha tempe Cobb-Douglas

Skala Usaha Industri Analisis Return to


Tempe Scale (RTS)

Efisiensi penggunaan Analisis Efisiensi


faktor-faktor produksi Ekonomi

Rekomendasi

36
F. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap suatu jawaban masalah


penelitian yang sudah di konstruksikan, kemudian harus diuji kebenarannya
secara empiris terlebih dahulu (Sugiyono, 2013). Hipotesis menyatakan adanya
korelasi apa yang cari atau yang ingin pelajari (sebab-akibat). Hipotesis ini
merupakan sesuatu dugaan sementara sebagai kebenaran sebagaimana adanya,
dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi (Creswell, 2009). Oleh
karena itu, hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Produksi tempe diduga dipengaruhi oleh jumlah kedelai, ragi, pembungkus
daun, kayu bakar, dan tenaga kerja.
2. Skala usaha industri tempe di Kelurahan Gunung Sulah diduga dalam
kondisi decreasing return to scale.
3. Pengrajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah dalam menggunakan faktor-
faktor produksi diduga belum efisien

37
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan metode


studi kasus, sehingga peneliti berusaha untuk mengetahui serta mengukur kondisi
efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan pendapatan khususnya pada
industri tempe di Keluragan Gunung Sulah. Sugiyono (2012) mendefinisikan
kuantitatif sebagai pendekatan penelitian yang dilandaskan pengunaan populasi
atau sampel tertentu, pengumpulan data, dan analisis data kuantitatif atau statistik
dengan tujuan untuk menguji hipotesis (Sugiyono, 2013). Menurut Creswell
(2018), studi kasus adalah suatu strategi penelitian yang digunakan peneliti untuk
menyelidiki secara detail suatu peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok
kejadian (Creswell, 2019) . Kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti
mengumpulkan informasi dengan lengkap menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data berdasarkan instrument dan waktu yang sudah ditetapkan.

B. Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Industri Pengolahan Tempe di Kelurahan Gunung


Sulah Kota Bandar Lampung. Adapun alasan pemilihan lokasi ini didasari oleh
pertimbangan sebagai berikut :

a. Lokasi penelitian adalah lokasi dimana terdapat banyak sentra industri


pengolahan tempe.
b. Terdapatnya fasilitas yang bersifat menunjang dalam melakukan penelitian
ini.

Waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini adalah selama 6


(Enam) Bulan yaitu terhitung mulai awal bulan Juli 2022 sampai dengan akhir
bulan Desember 2022.

38
C. Data dan Sumber Data

Penelitian ini mengunakan data terdiri dari dua jenis yaitu data primer dan
data sekunder. Perolehan data primer melalui observasi langsung dilapangan dan
interview atau wawancara dengan responden atau informan pengrajin tempe.
Teknik wawancara mengunakan pedoman pertanyaan wawancara dan kuesioner
yang sudah disusun sebelumnya secara sistematik. Data yang menjadi fokus
adalah karakteristik pengrajin tempe, data penggunaan faktor-faktor produksi dan
harga, komponen biaya produksi, jumlah output yang dihasilkan serta harga jual.
Sedangkan data sekunder di dapat dari laporan oprasional industri pengrajin,
Dinas Perindustrian, perdagangan dan UMKM di Kota Bandar Lampung, Badan
Statistik Pusat maupun provinsi dan literature dari buku dan artikel jurnal.

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik/ prosedur atau cara dalam menghimpun data merupakan suatu hal
yang sangat penting di dalam rangkaian penelitian, sehingga data yang diperoleh
sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan. Teknik pengumpulan data
dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan literatur yang kemudian dikaji
sehingga dapat menghasilkan catatan penting yang telah disaring dan dituangkan
dalam kerangka teoritis, kemudian melakukan observasi, wawancara,
dokumentasi dan gabungan dari semuanya (Sugiyono, 2013). Dalam hal ini ada
beberapa point yang benar-benar harus diperhatikan yakni apa, di mana,
bagaimana dan berapa data yang dibutuhkan (Noor, 2008). Adapun metode dalam
pengumpulan data yang telah digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a) Observasi (Pengamatan)

Metode ini difungsikan untuk mendapatkan dan mengumpulkan data


di lokasi penelitian secara langsung (Suharsimi Arikunto, 2013). Ketika
dalam proses penelitian, metode observasi digunakan untuk mendapatkan
data tentang: Karakter industry atau pengrajin tempe, input (bahan kedelai,

39
biaya oprasional, tenaga/ SDM, peralatan, bahan bakar), data atau laporan
produksi berkala. Hasil dari kegiatan observasi yang telah dilakukan
dituangkan ke dalam transkrip, guna memudahkan peneliti dalam
pengarsipan dan tahap analisis data. Observasi ini dapat dilakukan dengan
rekaman gambar, dan rekaman suara. Dalam observasi ini diusahakan
mengamati yang wajar dan sebenarnya tanpa usaha sengaja untuk
dipengaruhi, mengatur atau memanipulasi.

b) Pertanyaan (Kuisioner)

Pertanyaan atau kuisioner dibuat dan disusun yang sistematis yang


ditujukan kepada responden dan memiliki relevansi dengan judul serta
rumusan penelitian. Responden adalah sample yang ditentukan sesuai
kreterian yang dijelaskan di sub bab pengambilan sample, dengan
responden sebanyak 50 responden dari populasi yang ada di Kelurahan
Gunung Sulah Kota Bandar Lampung.

c) Studi Literatur atau Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan teori, konsep dan


pendapat yang dikemukakan oleh ahli yang bersumber dari buku dan
artikel jurnal yang kredibel. Hasil dari literatur yang sudah direview akan
menjadi landasan teori yang kemudian akan membangun kerangka berpikir
untuk menguraikan gambaran penelitian. Landasan ini dilakukan untuk
mendapatkan pengetahuan dan wawasan mengenai topik yang dikaji dalam
hal ini berkaitan dengan profil industri tempe berdasarkan keberadaan
usaha yang mengunakan faktor produksi secara berkelanjutan. Selain itu
studi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang metode
penelitian yang sesuai baik pendekatan, penyusunan kuisioner, teknik
pengumpulan dan analisis.

d) Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan dokumentasi ialah


pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen. Dokumentasi adalah

40
teknik pengumpulan data secara tidak langsung yang ditujukan pada
subjek penelitian, tetapi melalui dokumen (Lexy J. Moleong, 2014).
Dokumen adalah catatan tertulis yang isinya berupa pernyataan tertulis
yang disusun oleh seorang atau lembaga untuk keperluan suatu peristiwa,
dan berguna sebagai sumber data, bukti, informasi alamiah. Dokumentasi
dimaksudkan untuk mengambil fakta-fakta yakni berupa foto-foto kegiatan
yang berlangsung pada industri tempe yang dijadikan obyek penelitian,
catatan, dan transkip.

2. Metode Pengambilan Sampel

Data hasil verifikasi Dinas Perindakop dan UMKM Kelurahan Gunung


Sulah tahun 2022 menyatakan jumlah pengrajin tempe di Kelurahan Gunung
Sulah adalah 66 pengrajin. Berdasarkan informasi dari kopti dan 66 pengrajin
tempe masih berproduksi aktif di Kelurahan Gunung Sulah tersebut pada tahun
2022.
Hasil observasi menunjukkan pengrajin tempe bungkus daun
yang masih berproduksi dalam satu tahun terakhir di Kelurahan Gunung Sulah
sebanyak 66 pengrajin tempe. Penggunaan kedelai per produksi pada tiap
pengrajin tempe cukup bervariasi mulai dari 5 kg sampai dengan 150 kg. Untuk
mendapatkan data yang homogen Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini
dilakukan secara purpossive, dimana responden dalam penelitian adalah pengrajin
tempe bungkus daun yang berada di Kelurahan Gunung Sulah dengan batasan
penggunaan kedelai per proses produksi antara 10-100 kg. Pembatasan
penggunaan kedelai per proses produksi dilakukan untuk mendapatkan data yang
homogen dan terdistribusi normal. Hasil observasi di lapangan didapatkan total
responden berjumlah 50 pengrajin tempe bungkus yang penggunaan kedelai per
proses produksi antara 10-100 kg.

D. Metode Analisis Data

Pengolahan data mengunakan statistic deskriptif, yaitu metode yang


memiliki korelasi dengan pengumpulan dan penyajian suatau gugus yang
memberikan informasi (Sugiyono, 2013). Setelah itu dengan mengunakan

41
statistika inferensia, yaitu digunakan untuk menarik kesimpulan dari statistik
didasarkan pada sampel yang dipilih dari populasi (Sugiyono, 2013). Data yang
terkumpul meliputi karakteristik pengrajin tempe, input produksi, data
penggunaan faktor dan biaya produksi, dan jumlah output yang dihasilkan. Semua
yang terkumpul kemudian di olah serta dianalisis mengunakan aplikasi atau
perangkat lunak computer baik excel dan aplikasi SPSS.
1. Analisis Faktor Produksi Tempe
Fungsi faktor produksi dapat didefinisikan Ferguson dan Gould (2016)
sebagai berikut:
a. Suatu perencanaan (tabel atau persamaan matematika) yang menunjukkan
jumlah total output menghasilkan salah satu dari beberapa input, yang
dihasilkan dari teknologi yang ada.
b. Hubungan matematis yang menggambarkan suatu cara, dengan sejumlah
input tertentu yang digunakan.

Fungsi produksi memberikan deskripsi hasil yang diharapkan ketika faktor


produksi digabungkan. Fungsi produksi dapat digunakan untuk mempelajari
ekonomi pasar yang salah satu fungsi produksi adalah fungsi produksi model
Cobb Douglass. Bentuk fungsional produksi Cobb Douglas umumnya digunakan
untuk merepresentasikan hubungan input dengan output. Teknik analisis ini
digunakan untuk memperoleh faktor yang mempengaruhi pengelolaan atau
produksi tempe adalah fungsi-fugsi produksi. Teknik ini disebut model Cobb-
Douglas (Catalin Angelo & Ioan, 2015) yang memiliki sistematisasi persamaan
fungsi produksi untuk produktivitas industri pengolahan tempa adalah sebagai
berikut:
Y= f(X1,X2,X3)
Keterangan :
Y = produksi tempe (poton)
X1 = modal (rupiah)
X2 = bahan baku (kg)
X3 = tenaga kerja (jam)

42
Dan Fungsi Cobb-Douglas, dari persamaan fungsi di atas adalah sebagai
berikut :
Y = β0 . X1 β1 . X2 β2 . X3 β3 . e μ

Karena persamaan di atas belum linear, maka fungsi di atas harus di “Ln” kan
sehingga persamaan Linearnya adalah :
Ln Y = Ln β0 + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + μ
Keterangan :
Y = Produksi Tempe (potong)
X1 = Modal (rupiah)
X2 = Bahan Baku (kg)
X3 = Tenaga Kerja (jam)
Ln = Logaritma natural
β1 β2 β3 = Parameter yang akan diestimasi
β0 = Konstanta

Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikan dari masing-masing


koefisien regresi variabel independen terhadap variabel dependen maka dapat
menggunakan uji statistik.

2. Analisis koefisien determinasi (R2)

Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu efisiensi


alokasi (X1), faktor produksi (X2), terhadap variabel dependen industri
pengolahan tempe (Y) maka digunakan analisis koefisien determinasi (R2).
Koefisien Determinasi (R2) yang kecil atau mendekati nol berarti kemampuan
variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel-variabel dependen
sangat terbatas. Nilai R2 yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variabel-variabel dependen. Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisien
determinasi terjadi bias terhadap satu variabel independen yang dimasukkan
dalam model. Setiap tambahan satu variabel independen akan menyebabkan
peningkatan R2, tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen (memiliki nilai t yang signifikan).

43
3 Uji Statistik – t

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi pengaruh signifikan satu
variabel independen terhadap variabel dependen. Uji statistik ini dapat dilakukan
dengan membandingkan nilai t hitung dan t kritis dengan tingkat kepercayaan
sebesar 95% atau taraf signifikansi sebesar 5%. Formula Hipotesis dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut :
a. Hipotesis H1
H0 : Produksi tempe diduga tidak mendapatkan pengaruh oleh jumlah
kedelai, ragi, pembungkus daun, kayu bakar, dan tenaga kerja.
H1: Produksi tempe diduga dipengaruhi oleh jumlah kedelai, ragi,
pembungkus daun, kayu bakar, dan tenaga kerja.
b. Hipotesis H2
H0 : Skala usaha industri tempe di Kelurahan Gunung Sulah diduga
dalam kondisi Increasing return to scale.
H2 : Skala usaha industri tempe di Kelurahan Gunung Sulah diduga
dalam kondisi Decreasing return to scale.
c. Hipotesis H3
H0 : Pengrajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah dalam menggunakan
faktor-faktor produksi diduga sudah efisien.
H3 : Pengrajin tempe di Kelurahan Gunung Sulah dalam menggunakan
faktor-faktor produksi diduga belum efisien

Bila t hitung > tkritis maka Ho ditolak atau menerima Ha dan apabila t
hitung < t kritis maka Ho diterima atau menolak Ha.

4. Uji Statistik F

Uji signifikansi ini pada dasarnya dimaksud untuk membuktikan secara


statistik bahwa keseluruhan variabel independen yaitu efisiensi alokasi (X1),
faktor produksi (X2), berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen yaitu industri pengolahan tempe (Y). Uji F digunakan untuk
menunjukkan apakah keseluruhan variabel independen berpengaruh terhadap
variabel dependen. Kriteria pengujiannya apabila nilai Fhitung < Fkritis maka

44
hipotesis diterima yang artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

45
DAFTAR PUSTAKA

Andarayani, T., & Sari, R. P. (2022). Optimalisasi Keuntungan pada Pabrik


Tempe dengan Metode Grafik dan Metode Branch And Bound (Studi Kasus:
Pabrik Tempe Rengasdengklok Pak Walim). Pendidikan Tambusai, 6(1),
3366–3375.

Andriani, I. (2017). Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah Di Kota


Semarang (Studi Kasus Pada Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Kota
Semarang Di Bidang Perindustrian). Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/16215/15642

Anggraini, P. D., Prasetyo, E., & Setiawan, B. M. (2018). Esiensi Alokatif Dan
Pendapatan Pada Industri Tempe Di Kabupaten Klaten. Argomedia, 36(6), 1–
11.

Becker, F. G., Cleary, M., Team, R. M., Holtermann, H., The, D., Agenda, N.,
Science, P., Sk, S. K., Hinnebusch, R., Hinnebusch A, R., Rabinovich, I.,
Olmert, Y., Uld, D. Q. G. L. Q., Ri, W. K. H. U., Lq, V., Frxqwu, W. K. H.,
Zklfk, E., Edvhg, L. V, Wkh, R. Q., … )2015( .‫ ح‬,‫فاطمی‬. Microeconomics. In
Syria Studies (Vol. 7, Issue 1).
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/
link/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/
~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0
Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625

Carla, A., Bavia, F., Eduardo, C., Ferreira, M. P., Leite, R. S., Marcos, J.,
Mandarino, G., & Carrão-panizzi, M. C. (2012). Chemical composition of
tempeh from soybean cultivars specially developed for human consumption
Chemical composition of tempeh from soybean cultivars specially developed
for human consumption. Food Science and Technology, 3(September).
https://doi.org/10.1590/S0101-20612012005000085

46
Catalin Angelo, & Ioan, G. (2015). The Complete Theory of Cobb-Douglas
Production Function. Acta Universitatis Danubius. Economica, 11(11(1)),
74–114. http://ideas.repec.org/a/dug/actaec/y2015i1p74-114.html

Chintya at al. (2012). Analisis Efisiensi Usahatani Padi Sawah. Agribisnis Dan
Agrowisata, 1(1), 1–10.

Creswell, J. w. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed


methods approaches. In SAGE Publications Asia-Pacific Pte. Ltd.

Cyrilla, L., Moesa, Z., & Putri, S. M. P. (2010). Efi siensi produksi usaha
peternakan domba di desa Cibunian Kecamatan Pamijahan Kabupaten
Bogor. Media Peternakan, 33(1), 55–60.

Undang Undang No . 5 Tahun 1984 Tentang : Perindustrian, Departemen


Perindustrian 3 (1984).
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1984/5TAHUN~1984UU.htm

Dewi Sahara, et al. (2016). Analisis Fungsi Keuntungan Pada Uasahatani Kedelai
di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah. Jurnal Pengkajian Dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 19(10), 85–92.

Fauziyah, E. (2010). Analisis efisiensi teknis usahatani tembakau ( suatu kajian


dengan menggunakan fungsi produksi frontier stokhastik ). EMBRYO, 7(1),
1–7.

Ga, M., Yang, M., Hong, P., & Modi, S. B. (2011). Int . J . Production Economics
Impact of lean manufacturing and environmental management on business
performance : An empirical study of manufacturing firms. Intern. Journal of
Production Economics, 129(2), 251–261.
https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2010.10.017

Gunawan-Puteri, M. D. P. T., Fortunata, S. A., Mursito, E., & Wijaya, C. H.


(2019). Application of quick tempe technology for production of overripe
tempe. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 292(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/292/1/012060

Hadi Ismanto, Efrizal Syofyan, Y. (2015). Faktor-Faktor Yang mempengaruhi

47
Produksi Industri Kecil di Kabupaten Kerinci. Kajian Ekonomi, 3(5).

Hanifah, H., Setiawan, B. M., & Prasetyo, E. (2017). Analisis Efisiensi Ekonomi
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Tembakau Di
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Agrisocionomics: Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian, 1(1), 54.
https://doi.org/10.14710/agrisocionomics.v1i1.1644

Hidayati, S. (2019). Teori Ekonomi Mikro. In Unpam Press (Issue 1).

Irawan, el al. (2006). Evaluasi Ekonomi Lahan Pertanian: Pendekatan Nilai


Manfaat Multifungsi Lahan Sawah Dan Lahan Kering. Ilmu Pertanian
Indonesia, 11(3), 4217.

Kaufman, B. E. (2010). The Theoretical Foundation of Industrial Relations and Its


Implications. Industrial and Labor Relations Review, 3(4).
https://doi.org/10.2307/20789056

Kementan. (2015). Renstra Kementan 2015-2019 (edisi revisi).

Kementerian Perindustrian. (2014). Peraturan Menteri tentang Program


Resktrukturisasi Mesin dan atau Peralatan Industri Kecil dan Industri
menengah.

Khoirudin, R., & Setiaji, W. B. (2019). Analisis Determinan Pendapatan Usaha


Industri Mikro Kecil Tahu Di Trunan,Tidar Selatan,Magelang Selatan Kota
Magelang. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, 1(3), 1.
https://doi.org/10.14710/jdep.1.3.1-14

48

Anda mungkin juga menyukai