Anda di halaman 1dari 11

BAB XII

PERAN ETIKA DALAM BISNIS

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah selesai mempelajari modul Etika Bisnis dan Lingkungan Bab 12 ini mahasiswa
diharapkan mampu memahami peran etika dalam bisnis dengan baik dan benar.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah selesai mempelajari Modul Etika Bisnis dan Lingkungan Bab 12 ini mahasiswa dapat
:
1. Memahami peran etika dalam bisnis
2. Memahami peranan nilai dalam bisnis
3. Memahami bisnis berlangsung dalam konteks moral
4. Memahami kode etik perusahaan
5. Memahami good ethics & Good Business
6. Memahami dan menjelaskan unsur etika atau moral lingkungan

1. Peran Etika Dalam Bisnis


Jika perusahaan ingin mencatat sukses dalam bisnis, menurut Richard De George
ia membutuhkan tiga hal pokok: produk yang baik, manajemen yang mulus, dan etika.
Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna untuk masyarakat dan di
samping itu dikelola dengan manajemen yang tepat di bidang produksi, finansial, sumber
daya manusia, dan lain-lain, tetapi ia tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat
atau lambat akan menjadi batu sandungan baginya. Banyak usaha pelatihan, pendidikan,
dan penelitian diadakan untuk membantu si pebisnis dalam menghasilkan produk yang baik
dan manajemen yang mulus. Guna memperoleh produk yang baik, si pebisnis dapat
memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Kita ingat saja akan obat-
obatan dari industri farmasi, elektronika yang semakin canggih, makanan dari industri
pangan dan agrobisnis, serta semua produk lain yang kini tersedia untuk konsumen modern.
Guna mencapai manajemen yang mulus, si pebisnis dapat memakai sepenuhnya
ilmu ekonomi dan teori manajemen. Kalau dulu si pebisnis hanya mengandalkan bakat
alami saja, sekarang manajer yang profesional hampir tidak mungkin lagi memiliki
ketrampilan cukup tanpa pendidikan khusus. Justru pendidikan manajemen itu membuat
bisnis menjadi suatu profesi tersendiri. Ketika Harvard Bussiness School didirikkan pada
awal abad ke 20, direkturnya A. Lawrence Lowell menyebut bisnis “the oldest of the arts,
the newest of professions”. Selaku kegiatan ekonomis, bisnis selalu sudah dipraktekkan
sepanjang sejarah. Selaku profesi, bisnis merupakan sesuatu yang baru, karena sekarang
tersedia pelatihan, pendidikan, dan penelitian khusus untuk memperoleh ketrampilan di
bidang itu. Kesanggupan alami saja tidak lagi mencukupi untuk memimpin sebuah
perusahaan modern.
Dan bagaimana etika? Sejak beberapa dekade terakhir ini, berangsur-angsur
mulai diakui pula pentingnya etika dalam bisnis dan karena itu secara serentak juga dalam
pendidikan untuk profesi bisnis. Dibandingkan dengan segala usaha dan program yang
diadakan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dalam bisnis, perhatian bagi etika
dalam bisnis masih sangat terbatas. Tetapi yang penting adalah bahwa peranan etika mulai
diakui dan diperhatikan.
Etika apabila diterapkan dalam bisnis dapat mendatangkan keuntungan yang
besar bagi perusahaan. Contohnya penerapan etika yang dilakukan salah satu perusahaan
air mineral, mereka menawarkan air mineral dalam kemasan botol dengan cara door to
door, meskipun awalnya mendapat respon yang buruk dari masyarakat dalam hal ini
konsumen, mereka tetap bersikap baik bahkan menawarkan hal-hal baru yang
menguntungkan konsumen, seperti menitipkan sepuluh botol minuman di toko-toko tanpa
biaya awal. Akhirnya, produk mereka dapat diterima oleh masyarakat karena penerapan
etika yang baik tadi. Penerapan etika dapat membuat konsumen merasa dibutuhkan bukan
hanya sebagai pembeli, melainkan lebih dari itu.
Etika juga berhubungan dengan balas budi. Dalam bisnis, perusahaan terutama
yang berskala besar harus menyadari bahwa keberadaan mereka membawa dampak kepada
masyarakat sekitar. Contohnya dalam perusahaan air mineral, sumber mata air yang mereka
eksploitasi tentu bukan semerta-merta milik perusahaan, sumber mata air tersebut milik
masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perusahaan memberikan balas budi kepada masyarakat
seperti membantu perairan ke kebun atau sawah masyarakat, memberikan jaminan
kebersihan daerah lingkungan perusahaan, dan program-program lainnya. Bukan hanya
masyarakat sekitar, konsumen yang berada jauh dari perusahaan juga harus mendapatkan
balas budi, seperti perusahaan rokok yang memberikan pendidikan gratis untuk siswa
berprestasi dan tidak mampu. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai perusahaan
mana yang memiliki etika dalam berbisnis. Tanpa disadari, program yang dijalankan
perusahaan untuk menunjukkan etika dalam berbisnis dapat menciptakan positioning yang
baik di masyarakat.

2. Peranan Nilai Dalam Bisnis


Dalam teori etika, kedudukan nilai (value) sangat krusial dan strategis. Karena
dengan nilailah orang-orang dapat dipersatukan untuk mencapai suatu tujuan yang
diharapkan dengan nilai pula konflik dapat terjadi dan diselesaikan. Sebagai bagian dari
aksiologi dalam filsafat, etika mengakomodasikan berbagai nilai yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Nilai hanya ada dalam kehidupan manusia.
Dalam etika bisnis nilai itu dapat berarti apa yang baik dan apa yang buruk
dilakukan oleh para partisipan bisnis dalam mencapai tujuannya, melalui berbagai aktivitas
bisnisnya. Dalam hal ini, baik buruk tidak saja diukur dari kepentingan pencapaian tujuan
bisnis perusahaan, tetapi juga sekaligus bagi kepentingan para stakeholder dan masyarakat.
Sebagai suatu organisasi, lembaga bisnis tentu mepekerjakan orang-orang dan karenanya
nilai dalam bisnis dapat berbentuk nilai perseorangan (personal value), nilai-nilai
kelompok (group value), dan organisasional (organizational value).
Nilai personal dalam banyak hal dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, interaksi,
nilai budaya, nilai profesi, dan nilai organisasionalnya. Termasuk dalam nilai personal
perhitungan, kalem, santai, kejujuran, cinta kasih, kedamaian, kegembiraan, dan
sebagainya. Kadang kala nilai personal berdampak positif bagi organisasi dan dapat juga
berbenturan dengan apa yang diharapkan organisasi termasuk pebisnis. Nilai personal yang
dianut seseorang dapat saja berbeda dengan nilai organisasional atau nilai perusahaan.
Kedua nilai ini sering dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya. Ketiga nilai ini berpotensi
menimbulkan konflik dalam organisasi bisnis dan karenanya pihak pebisnis dengan
manajemennya harus menyelaraskan nilai-nilai tersebut sehingga dapat mendorong
pencapaian tujuan organisasi dan bisnis. Nilai perusahaan adalah nilai yang dikaitkan
dengan tujuan perusahaan seperti keberhasilan, efisiensi atau penghematan, peningkatan
output, kekuatan, daya saing, efektif, dan produktifitas.
Manusia dalam organisasi bisnis, memperoleh nilai lebih (Value Added)
merupakan suatu harapan, dengan menganut nilai-nilai terminal dan nilai inkremental.
Nilai terminal (Terminal Value) adalah keadaan yang diinginkan seseorang dari bisnisnya
baik sebagai nilai yang dimaknai sebagai kepercayaan bersama atau norma kelompok yang
telah diserap (internalized) oleh individu (berupa modifikasi), norma yang dimaknai
sebagai kepercayaan yang dianut dengan konsensus dari suatu kelompok sehubungan
dengan kaidah perilaku untuk anggota individual pekerja (karyawan) sebagai mitra kerja,
maupun pemilik usaha atau pebisnisnya. Termasuk nilai-nilai terminal ini antara lain adalah
sesuatu yang indah, persamaan hak, kebijaksanaan, dan kenyamanan hidupnya. Sedangkan
Nilai Inkremental (Inkremental Value) adalah cara bertingkah laku yang diinginkan untuk
mencapai nilai terminal. Dalam hal ini kedudukan nilai inkremental lebih merupakan suatu
prosesi yang diharapkan dari seseorang yang mendukung pencapaian tujuan bersama dari
bisnis yang diselenggarakan. Contoh dari nilai inkremental adalah tingkah laku sopan,
bertanggung jawab, pengendalian diri, pengendalian emosi, dan sikap ambisi.
Nilai dalam bisnis biasanya juga dikaitkan dengan manfaat produk dan
pengorbanan konsumen. Nilai dapat dibatasi dengan sejumlah pengorbanan yang bersedia
dibayar konsumen terhadap produk/jasa yang diberikan perusahaan.

3. Bisnis Berlangsung Dalam Konteks Moral


Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir semua orang
terlibat di dalamnya. Kita semua membeli barang atau jasa untuk bisa hidup atau setidaknya
bisa hidup dengan lebih nyaman. Kita sendiri terlibat dalam produksi barang atau
penyediaan jasa yang dibutuhkan oleh orang lain. Di dunia hampir tidak ada lagi kelompok
yang “berdikari”, sehingga tidak membutuhkan produk atau jasa orang lain. Ekonomi yang
substensi di masa lampau, sekarang tidak ditemukan lagi. Malah bisa dikatakan, semakin
maju suatu masyarakat, semakin besar pula ketergantungan satu sama lain di bidang
ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi
kalau merupakan suatu fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan
dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk
aturan-aturan moral.
Namun demikian, kadang-kadang kehadiran etika dalam bidang bisnis masih
diragukan. Karena itu kita perlu memandang pendapat yang menyangkal perkaitan etika
dengan bisnis.
a. Mitos Mengenai Bisnis Amoral
Dalam masyarakat acap kali beredar anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai
hubungan dengan etika atau moralitas. Pebisnis hanya menjalankan pekerjaannya.
Dalam surat kabar ibu kota beberapa tahun lalu terdapat sebuah contoh bagus mengenai
sikap ini. Pada bulan April 1944, polisi DKI Jakarta melontarkan “Operasi Bersih” yang
bertujuan meningkatkan keamanan dengan memberantas penjualan minuman keras
yang ilegal, seorang pemilik toko yang digerebek dalam razia polisi, dilaporkan
bereaksi: “Kita tidak pernah berpikir apa dan siapa yang minum minuman keras itu,
serta bagaimana akibatnya. Kita kan orang dagang”. Richard De George menyebut
pandangan ini the myth of amoral business “mitos yang mengatakan bahwa bisnis itu
amoral saja”. Dalam bisnis, orang menyibukkan diri dengan jual beli, dengan membuat
produk atau menawarkan jasa, dengan merebut pasaran, dengan mencari untung juga,
tapi orang tidak berurusan dengan etika atau moralitas. Moralitas menjadi urusan
individu, tetapi kegiatan bisnis itu sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika.
Moralitas tidak mempunyai relevansi bagi bisnis. Bisnis itu amoral (tapi itu tentu tidak
berarti imoral).
Bisnis itu sendiri netral terhadap moralitas, jadi amoral merupakan suatu mitos
atau cerita dongeng saja atau tidak benar. Menurut De George mitos itu sekarang mulai
ditinggalkan. Semakin diterima umum bahwa dollar dan rupiah bukan satu-satunya
nilai yang berkaitan dengan bisnis, tidak kalah pentingnya adalah nilai-nilai lain, yakni
nilai-nilai yang disebut moral. De George menemukan tiga gejala dalam masyarakat
yang menunjukkan sirnanya mitos tersebut. (1) dalam media massa sering diberi liputan
luas tentang skandal di bidang bisnis; bisnis ternyata disoroti tajam oleh masyarakat;
masyarakat tidak ragu lagi untuk mengaitkan bisnis dengan moralitas. (2) bisnis diamati
dan dikritik oleh semakin banyak LSM, terutama LSM konsumen, serta LSM pencinta
lingkungan hidup dan apa yang disimak oleh mereka adalah masalah-masalah yang
jelas berkonotasi etika. (3) bisnis sendiri mulai prihatin dalam dimensi etis dalam
kegiatannya. Hal itu tampak dalam refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek
etis dari bisnis melalui konferensi, seminar, artikel dalam surat kabar, dan banyak cara
lain lagi. Hal itu tampak juga dengan timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh
semakin banyak perusahaan. Bisnis tidak saja berurusan dengan angka penjualan (sales
figures) atau adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good business memiliki juga
suatu makna moral.
b. Mengapa Bisnis Harus Berlaku Etis?
Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya
mengapa menusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis di sini hanya suatu bidang
khusus dari kondisi manusia yang umum. Atas pertanyaan dalam bentuk lebih umum
ini, dalam sejarah pemikiran sudah lama diberikan tiga jawaban. Jawaban pertama
berasal dari agama, jawaban kedua muncul dalam filsafat modern, jawaban ketiga
sudah ditemukan dalam filsafat Yunani Kuno. Secara singkat kita mempelajari tiga
jawaban ini dan menerapkannya pada situasi bisnis.
1) Tuhan Adalah Hakim Kita
Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani ini manusia hidup terus dalam dunia
baka, di mana Tuhan sebagai Hakim Maha Agung akan menghukum kejahatan
yang pernah dilakukan dan mengganjar kebaikannya. Tidak mungkin di sini
terjadiimpunity (sesuatu dibiarkan tak terhukum). Pandangan ini didasarkan atas
iman kepercayaan dan karena itu termasuk perspektif teologis, bukan perspektif
filosofis. Walaupun tentu sangat diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh
iman kepercayaannya, menjadi tugas agama (dan bukan etika filosofis) mengajak
para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral ini.
2) Kontrak Sosial
Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam prespektif sosial. Setiap kegiatan
yang kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat, menuntut adanya norma-
norma dan nilai-nila moral yang kita sepakati bersama. Hidup dalam masyarakat
berarti mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-nilai tersebut.
Kalau tidak, hidup bersama dalam masyarakat menjadi kacau tak karuan. Coba kita
bayangkan saja bagaimana gambaran mengenai masyarakat yang tidak pernah
mengenal nilai dan norma moral. Jika setiap saat bisa terjadi pencurian atau
perampokan, milik kita tidak pernah aman dan harus diawasi terus-menerus. Jika
setiap saat bisa terjadi pelecehan seksual, tidak pernah bisa kita hidup dengan
tenang.
Jika setiap saat kita bisa dipukul dan dianiaya, mungkin kita tidak pernah berani
keluar rumah, dan seterusnya. Pendeknya, hidup sosial menjadi tidak mungkin lagi,
jika tidak ada moralitas yang disetujui bersama. Memang benar, sering terjadi
pelanggaran, tetapi hal-hal itu juga diakui sebagai pelanggaran dalam artian
seharusnya tidak boleh terjadi. Kendatipun dilanggar, norma moral tetap diakui
sebagai norma.
Beberapa filsuf modern menganggap sebagai dasar moralitas apa yang
mereka sebut “kontrak sosial”. Umat manusia seolah-olah pernah mengadakan
kontak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma
moral. Kontak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorang pun
yang bisa melepaskan diri daripadanya.
De George menerapkan pandangan ini atas sektor bisnis. Jika semua orang
yang terlibat dalam bisnis seperti pembeli, penjual, produsen, manajer, pekerja,
konsumen tidak berpegang pada norma-norma moral, maka bisnis tidak akan
berjalan. Moralitas justru diandaikan dalam kegiatan bisnis, seperti juga dalam
setiap kegiatan sosial lainnya. Bagaimana kita mau mengadakan transaksi, kontak,
perjanjian, dan sebagainya. Jika kita tidak mau berpegang pada moralitas, seperti
prinsip moral “janji harus ditepati?” De George menegaskan: “morality is the oil
as the glue of society, and, therefore, of business”.
Minyak pelumas, karena moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua
kegiatan lain dalam masyarakat. Lem, karena moralitas mengikat dan
mempersatukan orang-orang bisnis, seperti juga semua anggota masyarakat
lainnya. Di bidang bisnis juga berlaku bahwa perbuatan imoral hanya mungkin dan
bisa berhasil, karena semua orang menyetujui berpegang pada norma-norma moral.
Tipu muslihat hanya bisa berhasil selama orang pada umumnya bersifat jujur dan
bersedia untuk mempercayai orang lain. Melanggar kepercayaan hanya mungkin,
karena kita semua sepakat mengambil kepercayaan sebagai norma yang mengikat.
Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua orang, jika kita ingin
terjun dalam dunia bisnis.
3) Keutamaan
Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru
karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah
baik karena dirinya sendiri. Malah yang baik adalah satu-satunya hal yang kita
kejar karena dirinya sendiri. Pikiran ini pun bisa kita terapkan pada situasi bisnis.
Orang bisnis juga harus melakukan yang baik, karena hal itu baik. Atau dirumuskan
dengan terminologi modern. Orang bisnis juga harus mempunyai integritas. Seperti
berlaku untuk setiap manusia, bagi orang bisnis pun tidak pantas, bila ia tidak
memiliki integritas. Dalam pekerjaannya, si pebisnis memang mencari untung.
Perusahaan memang merupakan organisasi for profit. Tetapi pebisnis maupun
perusahaan tidak mempunyai integritas, kalau mereka mengumpulkan kekayaan
tanpa pertimbangan moral.
Bandingkan pebisnis satu yang menjadi kaya dengan menipu dan
merugikan orang lain dengan pebisnis kedua yang cukup sukses (biarpun
barangkali tidak sekaya pertama) sambil tetap mempertahankan integritas moral
yang tinggi, seperti misalnya kejujuran. Pebisnis kedua itu menjalankan
pekerjaannya dengan baik. Hati nuraninya juga akan menyaksikan hal itu.
Mestinya setiap pebisnis berlaku seperti dia dan tidak berkelakuan seperti yang
pertama tadi. Yang baik harus menjadi tujuan setiap perilaku manusia.
Tetapi, bagaimana kalau pebisnis itu nekad, sambil menandaskan: “baik atau tidak,
saya tidak peduli, asal saja cepat-cepat dapat memperoleh untung”? Kalau begitu,
ia menempatkan diri di luar moral community. Ia membuang martabatnya sebagai
manusia. Ia tidak lagi bisa dianggap makhluk moral. Dengan meniru Aristoteles,
dapat kita katakan: ia akan lebih atau kurang dari manusia; barangkali dewa,
barangkali binatang, tetapi pasti tidak lagi insan biasa. Selama ia seorang manusia,
ia tidak bisa dipisahkan dari moralitas.

4. Kode Etik Perusahaan


Kode etik merupakan menyangkut semua kebijakan-kebijakan yang ada di dalam suatu
perusahaan atau etis perusahaan yang berhubungan dengan suatu masalah-masalah yang
kemungkinan bisa terjadi dalam perusahaan tersebut .
Kode etik adalah sebagai cara ampuh untuk melembagakan etika kedalam struktur dan
kegiatan perusahaan. Bila suatu perusahaan memiliki kode etik, perusahaan tersebut
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memilikinya.

Manfaat Kode Etik Perusahaan:


a. Kode Etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah
dijadikan sebagai corporate culture. Hal ini terutama penting bagi perusahaan besar
yang karyawannya tidak semuanya saling mengenal satu sama lainnya.
b. Kode Etik, dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu) di bidang
etika (penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban perusahaan
dalam melindungi lingkungan hidup).
c. Kode Etik menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
d. Kode Etik, menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya,
kemungkinan untuk mengatur diri sendiri (self regulation)
Di suatu perusahaan untuk membuat suatu kode etik atau peraturan yang ada di
perusahaan tersebut, itu tidak hanya cukup untuk memecahkan semua kesulitan atau
masalah yang dihadapi, tidak diherankan jika suatu kode etik dapat di kritik. Kritik yang
umum dikemukakan diantaranya :
- Kode etik dibuat hanya untuk formalitas saja. Atau sebagai simbol di suatu
perusahaan. Tetapi pada kenyataannya saat proses di lapangan, kode etik tersebut
tidak dijalankan sesuai dengan prosedurnya.
- Kode etik di perusahaan dibuat hanya secara umum saja, detailnya tidak
dijelaskan serinci mungkin dan itu juga berpengaruh dalam kelangsungan
pemberlakuan kode etik tersebut.
- Kode etik di perusahaan banyak juga yang tidak mencantumkan dengan jelas
hukuman atau sanksi atau punishment bagi siapapun di perusahaan tersebut yang
sudah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan kode etik
perusahaan.
Selain karena tidak berjalannya kebijakan kode etik di perusahaan, bukan berarti kode etik
itu tidak penting. Kode etik perusahaan tetap berguna untuk merumuskan standard etis yang
jelas dan tegas untuk semua karyawan dan juga menyangkut dengan tanggung jawab semua
karyawan terhadap loyalitas perusahaan tempat ia bekerja sehari-hari. Hanya perlu dicari
lagi jalan untuk mengefektifkan penggunaan kode etik ini, beberapa faktornya adalah :
- Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan.
- Harus memperhatikan bidang-bidang mana yang sebaiknya tercakup oleh kode
etik.
- Kode etik seharusnya direvisi atau disesuaikan dengan perkembangan intern
maupun ekstern.
- Kode etik perusahaan ditegakkan secara konsekuen dengan menerapkan sanksi
tertulis dan tegas.

5. Good Ethics, Good Business


Gerakan etika bisnis mulai bergulir di Amerika Serikat setelah terjadi sejumlah
skandal bisnis. Pada permulaannya sering diragukan entah etika bisnis itu mungkin. Studi
menunjukan perkaitan antara etika yang baik dan keberhasilan dalam bisnis tidak tanpa
masalah. Sebab, apabila dapat dibuktikan adanya keterkaitan seperti itu, dengan demikian
belum terbukti pula bahwa bisnis itu sukses karena etikanya baik. Bisa terjadi juga,
perusahaan yang sukses mempunyai perhatian khusus untuk etika, justru karena sukses.
Apabila seperti itu, sukses perusahaan menjadi penyebab dan bukan akibat dari
perhatiannya untuk etika.
Terlepas dari berhasil tidaknya pembuktian empiris, tidak begitu sulit untuk diterima
bahwa etika perlu untuk mencapai sukses dalam bisnis. Dalam bisnis, kepercayaan (trust)
adalah unsur yang sangat penting dan kepercayaan tentu mengandaikan bonafiditas pada
pihak lain. Banyak perusahaan ekspor-impor menjadi besar dan dapat mencapai umur
panjang karena didasarkan atas kepercayaan antara bebagai mitra bisnis yang bertempat
tinggal jauh satu sama lain. Semuanya itu tidak berarti bahwa etika yang baik selalu dan
tanpa kecuali merupakan kunci untuk mencatat sukses dalam bisnis, tidak mustahil bahwa
perusahaan yang lebih etis mendapat keuntungan finansial kurang dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak memperdulikan etika. Kendati tidak ada jaminan mutlak, pada
umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses juga.
Good ethics, good business, keyakinan ini sekarang tebentuk cukup umum. Namun
demikian, hal itu tidak berarti bahwa harapan kan sukses boleh menjadi satu-satunya
motivasi atau malah motivasi utama untuk berperilaku etis. Yang baik harus dilakukan
karena hal itu baik, bukan karena membuka jalan menuju sukses, walaupun motivasi ini
tidak senantiasa perlu dihayati secara eksplisit. Sudah sejak Aristoteles, hal itu disebut
bertingkah laku “menurut keutamaan”.
Jika tidak begitu mudah membuktikan bahwa perusahaan yang berlaku etis pasti
akan meraih sukses, lebih mudah adalah menunjukkan berapa besar bahaya perusahaan
akan hancur jika secara sistematik tidak berlaku etis. Biasanya perusahaan bangkrut karena
alasan ekonomis (tidak dapat membayar hutangnya), tetapi dapat terjadi juga bahwa
perusahaan mengakhiri riwayatnya karena tertimpa skandal moral.
Di Indonesia, sampai sekarang jarang terlihat keyakinan bahwa morlitas yang baik
merupakan salah satu kunci untuk berhasil di bidang bisnis. Sebaliknya, dalam diskusi
tentang etika bisnis berulang kali terdengar keluhan “kita pasti kalah dalam bisnis, kalau
berpegang pada etika”, maksudnya tentu kalah terhadap pebisnis-pebisnis lain yang tidak
peduli dengan etika. Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komitmen moral.
Moralitas tidak merupakan suatu komitmen inividual saja, tetapi tercantum dalam suatu
kerangka sosial. Di Indonesia cukup lama etika bisnis mengalami kesulitan karena tidak
didukung oleh suatu kerangka sosial-politik yang sehat. Orang yang berpendapat “dengan
berpegang pada etika kita pasti akan kalah” kemungknan besar terlalu menitik beratkan
jangka pendek dalam proses berbisnis dan mengabaikan jangka panjng. Padahal jangka
panjang justru paling hakiki untuk berhasil dalam bisnis. Kecenderungan mengutamakan
jangka pendek mungkin berkaitan dengan sifat watak yang sekian tahun lalu oleh Prof.
Koentjaraningrat disebut “mentalis menerobo”.
Mereka yang meragukan perlunya etika dalam bisnis sebaiknya tidak melupakan
sejarah industrialisasi dan khususnya perjuangan antara liberalisme dan sosialisme yang
berlangsung di situ. Jika kita mulai mengembangkan industri, tidak layak kita mengulangi
kesalahan dari masa lampu dngan mengabaikan kepentingan dan hak para pekerja. Apalagi
jika keadilan sosial menjadi salah satu dasar alam ideologi negara kita. Kesejahteraan kaum
buruh dan kayawan harus menjadi trade mark dari industri yang kita bangun, bukan gedung
kantor yang mentereng, ruang kerja direksi yang mewah, dan mobil direktur yang mahal
dan bergengsi (semuanya dari hutang). Para pekerja harus diakui sebagai stakeholders yang
paling penting dan diperlukan juga demikian.
Akhirnya orang yang belum diyakinkan tentang pentingnya etika dalm bisnis perlu
mempertimbangkan persepsi dunia luar tentang kinerja bisnis Indonesia. Dalam forum
internasional, Indonesia dinilai termasuk negara yang paling korup. Para ekonom tidak
mengenl lelah dengan menjelaskan bahwa korupsi mengakibatkan “biaya siluman” yng
membuat suatu ekonomi menjadi tidak efisien. Dengan demikian peluang bersaing mau
tidak mau menjadi sangat sulit. Jika kekurangan moralitas dalam kegiatan bisnis kita
berlangsung terus, kita semua sebagai bangsa kalah terhadap negara-negara tetangga dan
negara-negara lebih jauh yang berhasil menjalanan ekonominya dengan efsien. Mau tidak
mau kita akui bahawa kita hidup di zaman globalisasi. Seperti halnya dengan ekonomi,
moralitas pun merupakan suatu kenyataan universal yang berdampak universal pula.

RANGKUMAN
Dalam etika bisnis nilai itu dapat berarti apa yang baik dan apa yang buruk dilakukan oleh para
partisipan bisnis dalam mencapai tujuannya, melalui berbagai aktivitas bisnisnya. Dalam hal
ini, baik buruk tidak saja diukur dari kepentingan pencapaian tujuan bisnis perusahaan, tetapi
juga sekaligus bagi kepentingan para stakeholder dan masyarakat. Sebagai suatu organisasi,
lembaga bisnis tentu mepekerjakan orang-orang dan karenanya nilai dalam bisnis dapat
berbentuk nilai perseorangan (personal value), nilai-nilai kelompok (group value), dan
organisasional (organizational value).

Anda mungkin juga menyukai