Anda di halaman 1dari 1

Batik Harus Punya Cerita

Thursday, 09 June 2011 06:09 Anin Rumah Batik

Menciptakan sebuah batik yang memiliki nilai tinggi memang tidak mudah. Pasalnya, si
pembatiknya harus dimodali ilmu spiritual dan kemampuan visualisasi.

Pendapat itu dilontarkan desainer kondang Iwan Tirta, di sela-sela pagelaran busana Himpunan
Ratna Busana di Cascade Lounge Hotel Mulia Jakarta, akhir Maret 2008. Menurut pemilik nama
lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja, batik itu jangan bagus hanya dari tampilannya saja, tetapi juga
harus ada isinya atau punya cerita.

"Kalau mau tahu batik itu bagus atau tidak, bisa kita lihat dalam jarak tiga sampai empat meter.
Kita lihat pengulangan warna ataupun motif yang tertera pada material bahannya," kata Iwan
kepada okezone.

Selama proses mencipta batik, Iwan mengaku pikiran harus dikosongkan. Karena kalau pikiran
ke mana-mana lantas membatik, hasilnya pasti tidak sesuai harapan.

Saat mau membatik pun Iwan selalu menetapkan waktu khusus, pagi atau malam. Alasannya pun
sederhana, dirinya tidak mau diganggu oleh orang lain. "Pikiran harus kosentrasi," ujar lulusan
School of Economic's, London dan School of Oriental and African Studies itu pendek.

Untuk menyelesaikan satu lembaran kain batik, Iwan bisa menghabiskan waktu dua sampai tiga
bulan. Ukuran kainnya pun biasanya berbeda-beda, tergantung untuk keperluan apa. Semisal
untuk kain, bahan yang dibutuhkan bisa sampai dua meter tiga per empat, sementara untuk dress
bisa empat meter dan kain sari sepanjang enam meter.

"Namun hanya karena alasan bisnis, kini banyak orang yang masih tidak jujur atau mengelabuhi
orang lain. Mereka sebenarnya menjual batik cap atau print, tetapi mengaku batik tulis. Itulah
yang harus diperhatikan baik-baik saat membeli kain batik," saran peraih penghargaan dari
Presiden Republik Indonesia Upakarti (1990) dan Adikarya Wisata (1992).

Mengenai batik yang kini ditampilkan lebih ramai dengan imbuhan detail, Iwan mengatakan
bahwa tidak harus begitu untuk menampilkan batik itu indah.

"Batik yang bagus tidak perlu ditampilkan secara berlebihan. Tetapi kalau harus diberi macam-
macam detail seperti payet, itu pasti batiknya yang murahan. Tapi kenyataannya, masih banyak
masyarakat yang memilih tampilan yang semakin ramai akan semakin oke," pungkas pria
kelahiran 18 April 1935, di Blora, Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai