Anda di halaman 1dari 24

AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Makalah pada Mata Kuliah

Ushul Fiqhi Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Dosen Pengampu : Dr. H. Abd. Rauf Muh. Amin, Lc, M.A.

Oleh:

RESKI AULIAH
NIM: 20100120096

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Dia-lah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Selawat seiring salam
semoga selalu tercurah kepada nabi akhir zaman yang merupakan suri teladan
bagi kita semua, yakni Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan seluruh
umatnya yang setia dan istikamah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.

Makalah yang berjudul: “Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam yang


Disepakati” ini merupakan perwujudan tugas individu dari mata kuliah Ushul
Fiqhi. Makalah ini disusun untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan
kepada kita semua tentang sunnah Rasulullah Saw., sebagai sumber hukum kedua
Umat Islam.

Namun, makalah ini jauh dari kata sempurna karena kesempurnaan hanya
milik Allah swt. Maka dari itu, penulis selalu terbuka terhadap saran dan kritikan
yang membangun dari semua kalangan terhadap kekurangan dalam makalah ini.

Akhirul al-kalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang


membantu penyusunan makalah ini, termasuk dosen pengampu mata kuliah Ushul
Fiqhi karena telah memberikan arahannya, sehingga makalah ini dapat disusun
dengan baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi motivasi
bagi penulisnya.

Samata, 30 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Pengertian As-Sunnah..................................................................................3
B. Kehujjahan As-Sunnah................................................................................5
C. Pembagian Sunnnah atau Hadis.................................................................10
D. Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an.............................................................13

BAB III PENUTUP..............................................................................................20

A. Kesimpulan................................................................................................20
B. Saran..........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hadits atau Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam, pedoman


hidup kaum muslimin yang kedua setelah al-Qur’an, Bagi mereka yang telah
beriman kepada al-Qur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus
percaya bahwa sunnah sbagai sumber hukum islam juga. Apabila hadits atau
sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan
menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal cara shalat, kadar dan ketentuan zakat,
cara haji dan lain sebagainya. sebab ayat-ayat al-Qur’an dalam hal itu hanya
berbicara secara global dan umum, yang menjelaskan secara terperinci justru
Sunnah Rasulullah, selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, dan muhtamal, dan sebagainya yang mau
tidak mau memerlukan hadits atau sunnah untuk menafsirkannya atau
menjelaskanya.Pemahaman Umat terhadap Islam harus melalui al-Qur’an dan as-
Sunnah. Teks Al-quran yang global memerlukan penjelasan dari Hadits.

Pada masa Nabi, Umat Islam tidak mendapat kendala dalam memahami al-
Qur’an maupun Sunnah. Perbuatan yang boleh dilakukan dan jika ditinggalkan
tidak berdosa atau tidak mendapatkan apa-apa adalah pengertian dari as-sunnah.
Sunnah yaitu perbuatan Nabi dari perkataan, perbuatan dan tingkah laku Nabi.
Nabi Muhammad SAW. Adalah contoh suri tauladan yang baik bagi umat
manusia di muka bumi ini. Karena dengan adanya Nabi Muhammad SAW. Maka
manusia khususnya muslim mendapatkan rahmat yang diberikan Allah melalui
perantara Nabi Muhammad Saw.

Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan menyampaikan


makalah yang berjudul tentang As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari As-Sunnah?

2. Bagaimana Kehujjahan As-Sunnah?

3. Apa saja Pembagian As-Sunnah atau Hadis?

4. Bagaimana Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian dari As-Sunnah.

2. Untuk Mengetahui Kehujjahan As-Sunnah.

3. Untuk Mengetahui Pembagian As-Sunnah atau Hadis.

4. Untuk Mengetahui Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian As-Sunnah

Kata Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik


perilaku yang baik atau perilaku yang buruk.” Dalam pengertian inilah dipahami
kata Sunnah dalam sebuah Hadis Rasulullah:

ً‫سنَة‬
َ ‫سنَّةً َح‬
ُّ ‫اْل ْسالَ ِم‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل َم ْن‬
ِٕ ْ ‫س َّن فِ ْي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ّٰللا‬
‫ى ه‬ َ ِ ‫ع ْن النَّ ِبي‬
َّ ‫صل‬ َ ‫ع ْن ا ْل ُم ْنذ ِِرب ِْن َج ِري ٍْر‬
َ ‫ع ْن أَ ِب ْي ِه‬ َ
‫س َّن فِ ْي‬َ ‫ش ْي ٌء َو َم ْن‬ ْ ‫ص‬
َ ‫مِن أُ ُج ْو ِر ِه ْم‬ ُ ُ‫ْل َي ْنق‬َ ‫عمِ َل ِب َها َو‬ َ ‫ِب لَهُ مِ ثْ ُل أَجْ ِر َم ْن‬ َ ‫فَ ُعمِ َل ِب َها َب ْعدَ ُه كُت‬
ْ ‫ص‬
‫مِن ا َْٔوزَ ِار ِه ْم‬ ُ ‫ْل َي ْن ُق‬
َ ‫عمِ َل ِب َها َو‬ َ ‫ع َل ْي ِه مِ ْث ُل ِو ْز ِر َم ْن‬
َ ‫ِب‬ َ ‫ال ِم سُ َّن ًة‬
َ ‫سي ِ َءة ً َف ُعمِ َل ِب َها َب ْعدَ ُه ُكت‬ َ ‫اْل ْس‬ِٕ ْ
‫ش ْي ٌء‬
َ

Artinya :
Dari al-Munzir bin Jarir, dari bapaknya, dari Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan perilaku (Sunnah) yang baik dalam Islam
ini, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya
dan sedikit pun tidak dikurangi, dan barangsiapa yang melakukan
perilaku (Sunnah) yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat
dosanya dan dosa orang yang menirunya dan sedikit pun tidak
dikurangi.” (HR. Muslim).

Menurut istilah ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh


Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (guru besar Hadis Universitas Damaskus), berarti
“segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa
ucapan (Sunnah qaulyyiah), perbuatan (Sunnah ii’liyyah), atau pengakuan
(Sunnah taqririyah).”

Contoh Sunnah qaulyyiah (ucapan) adalah sabda Rasulullah SAW:

‫ار‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ض َر َر َو‬
ِ ‫ْل‬ َ ‫ْل‬ َ َ‫سلَّ َم ق‬
َ ‫ض ا َْٔن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ّٰللا‬ ُ ‫ت ا ََّٔن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن‬
ِ ِ‫ع َبا َدةَ ب ِْن الصَّام‬ َ

3
Artinya :
“Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan
bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan, dan tidak pula boleh
membalas kemudaratan dengan kemudaratan.” (HR. Ibnu Majah).
Sementara contoh Sunnah fi’liyyah ialah tentang perincian tata cara shalat,
sebagai berikut:

َ َ‫صلُّ ْون‬
‫ْل‬ َ ُ‫ص َحا ِبي ي‬ ْ ُٔ‫صلِي َك َما َرأَيْتُ ا‬ َ ُٔ‫سلَّ َم قَا َل ا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ّٰللا‬
ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫ع ْن اب ِْن عُ َم َرقَا َل ا ََّٔن َر‬
َ
َ ‫ش ْم ِس َو‬
‫ْل غُ ُر ْو َب َها‬ َ ‫ط ُل ْو‬
َّ ‫ع ال‬ ُ ‫ْلتَ َح َّر ْوا‬
َ ‫غي َْرا َْٔن‬ َ ‫صلِى ِب َل ْي ٍل َو‬
ٍ ‫ْل تَ َه‬
َ ‫ار َما شَا َء‬ َ ُ‫أَ ْن َهى أَ َحدًا ي‬

Artinya :
“Dari Ibnu Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Saya shalat seperti sahabat-sahabatku melaksanakan shalat, aku tidak
melarang seseorang di antara mereka shalat, baik siang maupun malam
sesuai yang dikehendakinya, kecuali mereka sengaja shalat pada saat
terbit dan tenggelamnya matahari.” (HR. Bukhari)

Demikian juga dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah haji,


di mana dalam Al-Qur’an hanya disebutkan kewajiban melakukan shalat dan
kewajiban melakukan haji tanpa ada penjelasannya secara terperinci. Adapun
contoh Sunnah taqririyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah atas perilaku
para sahabat. Contohnya, di masa Rasulullah ada dua orang sahabat dalam suatu
perjalanan, ketika akan shalat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum
dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu
shalat masih berlanjut. Lalu salah seorang di antara keduanya mengulangi
shalatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka melaporkan hal itu kepada
Rasulullah, beliau membenarkan kedua praktik tersebut. Kepada yang tidak
mengulangi shalatnya beliau berkata: “Engkau telah melakukan Sunnah, dan telah
cukup bagimu shalatmu itu.” Dan kepada yang mengulangi shalatnya beliau
berkata pula: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda.” Hadis tersebut sebagai
berikut:

4
َّ ‫ت فَت ََو‬
َٔ ‫ضا‬ ِ ‫صلَّ َيا ث ُ َّم َو َجدَا َما ًء فِي ا ْل َو ْق‬
َ ‫س ِع ْي ٍد ا ََّٔن َر ُجلَي ِْن تَ َي َّم َما َو‬
َ ‫ع ْن أَ ِبي‬
َ ‫ار‬
ٍ ‫س‬َ ‫طاءِ ب ِْن َي‬َ ‫ع‬َ ‫ع ْن‬ َ
‫س َّل َم فَقَا َل‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ‫ص َّلى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ْل النَّ ِب‬
َ َٔ ‫سا‬ ٓ ْ ْ‫ت َو َل ْم يُ ِعد‬
َ َ‫اْلخ َُر ف‬ ِ ‫صالَتِ ِه َما َكانَ فِي ا ْل َو ْق‬ َ ‫عادَ ِل‬ َ ‫أَ َحدُهُ َما َو‬
َ ‫ِالخ َِرأَ َّما أَ ْنتَ فَلَكَ مِ ثْ ُل‬
‫س ْه ِم َج ْم ِع‬ ٓ ْ ‫التُكَ َوقَا َل ل‬
َ ‫ص‬َ َ‫سنَّةَ َوأَجْ زَ أَتْك‬ َ َٔ‫ِللَّذِي لَ ْم يُ ِعدْ ا‬
ُّ ‫صبْتَ ال‬

Artinya :
“Dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id, sesungguhnya ada dua orang lelaki
yang bertayamum dan keduanya melaksanakan shalat, kemudian
keduanya mendapatkan air, pada saat waktu belum habis, maka salah
seorang dari keduanya berwudhu dan mengulang shalatnya karena waktu
belum habis sedangkan seorang yang lain tidak melakukannya, maka
keduanya bertanya kepada Nabi SAW. Dan beliau bersabda kepada yang
tidak mengulang shalatnya: “Engkau telah melakukan Sunnah, dan telah
cukup bagimu shalatmu itu.” Dan kepada yang mengulangi shalatnya
beliau bersabda: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda.” (HR. Abu Daud
dan Nasai).1

B. kehujjahan As-Sunnah

Umat islam telah sepakat bahasanya apa yang keluar dari rasulullah
shallallahu alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqriri dan hal
itu dimaksudkan sebagai pembentukan hukum-hukum islam dan sebagai tuntunan,
serta diriwayatkan kepada kita dengan sanad yang shahih yang menunjukkan
kepastian atau dugaan kuat tentang kebenarannya, maka ia menjadi hujjah atas
kaum muslimin dan sebagai sumber hukum syara'

yang mana para mujtahid mengistimbathkan berbagai hukum syara'


daripadanya berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Maksudnya,
bahwasanya hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah-sunnah ini bersama
dengan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an membentuk suatu
undang-undang yang wajib diikuti.

Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah banyak, antara lain ;

1. Nas-nash al-Quran.

1Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 102-105.

5
Sesungguhnya Allah SWT. dalam beberapa ayat kitab al-Qur'an telah
memerintahkan untuk mentaati Rasul-Nya dan menjadikan ketaatan kepada
Rasul-Nya sebagai suatu ketaatan kepadanya. Allah juga memerintahkan kaum
muslimin apabila mereka bertentangan mengenai sesuatu untuk
mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dia juga tidak memberikan
kebebasan memilih kepada orang yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya
telah memutuskan sesuatu hal. Bahkan Allah meniadakan Iman dari orang yang
tidak merasa tentram menerima putusan Rasulullah SAW dan tidak menyerahkan
kepadanya. Kesemuanya ini merupakan bukti dari Allah SWT. bahwa
pembentukan hukum syara' dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Sekaligus merupakan pembentukan hukum syara oleh Tuhan yang wajib diikuti

Allah SWT. Berfirman dalam QS. ali-imran/3: 32:

َ‫ّٰللا َْل يُحِ بُّ ا ْل ٰكف ِِريْن‬


َ ‫الرسُ ْو َل فَ ِا ْن ت ََولَّ ْوا فَا َِّن ه‬ َ ‫قُلْ اَطِ ْي ُعوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬

Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling
ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.
Allah juga berfirman dalam QS. an-Nisa’/4: 80 :

.....‫ّٰللا‬
َ‫ع ه‬ َ َ‫الرسُ ْو َل فَقَدْ ا‬
َ ‫طا‬ َّ ‫َم ْن يُّطِ ِع‬

Terjemahnya :
Baralng siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah…
Allah juga berfirman dalam QS. an-Nisa/4: 59:

ٍ‫ش ْيء‬ َ ْ ‫س ْو َل َواُولِى‬


َ ‫اْل ْم ِر مِ ْن ُك ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِف ْي‬ َّ ‫ّٰللا َواَطِ يْـ ُعوا‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها ا َّل ِذيْنَ ٰا َمنُ ٰۤ ْوا اَطِ يْـ ُعوا ه‬
‫س ُن تَأ ْ ِوي ًْال‬
َ ْ‫اْلخِ ِر ٰذلِكَ َخي ٌْر َّواَح‬ ٰ ْ ‫اّٰلل َوا ْل َي ْـو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن كُ ْنـت ُ ْم تُؤْ مِ نُ ْونَ ِب ه‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ ِ ‫فَ ُرد ُّْو ُه اِلَى ه‬

Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu,
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

6
Allah juga berfirman dalam QS. al-Ahzab/33: 36:

ْ ُ ‫س ْولُ ٰۤه اَ ْم ًرا اَ ْن يَّكُ ْونَ لَ ُه ُم ا ْلخِ َي َرة‬


‫مِن اَ ْم ِر ِه ْم‬ ُ ‫ّٰللاُ َو َر‬ ‫ضى ه‬ َ َ‫مِن َّو َْل ُمؤْ مِ نَ ٍة اِذَا ق‬
ٍ ْ‫َو َما َكانَ ِل ُمؤ‬
‫ض ٰل ًال ُّم ِب ْينًا‬ َ ْ‫س ْو َله فَقَد‬
َ ‫ض َّل‬ ُ ‫ّٰللا َو َر‬
َ‫ص ه‬ ِ ‫َو َم ْن يَّ ْع‬

Terjemahnya :
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang
nyata.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. an-Nisa’/4: 65:

‫ش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم َْل يَ ِجد ُْوا فِ ٰۤ ْي اَ ْنفُ ِس ِه ْم َح َر ًجا‬


َ ‫فَ َال َو َربِكَ َْل يُؤْ مِ نُ ْونَ َحتهى يُ َح ِك ُم ْوكَ فِ ْي َما‬
‫س ِل ُم ْوا تَ ْس ِل ْي ًما‬ َ َ‫ِم َّما ق‬
َ ُ‫ضيْتَ َوي‬

Terjemahnya :
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.

Lalu Allah juga berfirman dalam QS. al-Hasyr/59: 7:

... ‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُه ْوا‬ َّ ‫و َم ٰۤا ٰا ٰتٮكُ ُم‬...


َ ‫الرسُ ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَهٰ ٮكُ ْم‬ َ
Terjemahnya :
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…
Dengan berhimpunnya ayat-ayat tersebut dan saling menopang, maka ayat-
ayat itu menunjukkan dengan suatu dalalah yang pasti, bahwa Allah
meriwayatkan untuk mengikuti Rasul-Nya berkenaan dengan apa yang
disyari'atkannya.
2. Ijma para sahabat.

Baik pada masa hidup Rasulullah Saw. maupun sesudah wafatnya, terhadap
kewajiban mengikuti sunnahnya. Pada masa hidup Nabi, Mereka melaksanakan

7
hukum-hukumnya dan menjalankan segala perintah dan larangannya apa yang
dihalalkannya dan apa yang diharamkannya. Dalam kewajiban mengikuti itu,
mereka tidak membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan kepadanya di
dalam al-Qur'an dan hukum yang keluar dari Rasulullah Saw. sendiri. Oleh karena
inilah, maka Mu'adz Bin Jabal berkata :

‫ضيْتُ ِبسُنَّ ِة َرسُ ْو ِل ه‬


ِ‫ّٰللا‬ ِ ‫ّٰللا ُح ْك َم َما اَ ْق‬
َ َ‫ضى ِب ِه ق‬ ِ‫ب ه‬ ِ ْ‫ا ِْن لَ ْم اَ ِجد‬
ِ ‫فى ِكتَا‬

Artinya :
Jika saya tidak menemukan di dalam kitab Allah hukum yang akan saya
pergunakan untuk memutuskan, maka saya memutuskan hukum
berdasarkan sunnah Rasulullah.
Kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat, para sahabat apabila tidak
menemukan hukum sesuatu yang terjadi pada mereka di dalam kitab Allah, maka
mereka kembali kepada sunnah Rasulullah.

Abu Bakar ra. Ketika tidak hafal sudah mengenai suatu kejadian, maka ia
keluar untuk bertanya kepada kaum muslimin: "Apakah di antara kamu ada yang
hafal sunnah dari nabi kita mengenai persoalan ini?." Demikian pula Umar dan
lainnya dari orang-orang yang menghadapi fatwa dan tabi'it tabi'in yang
menempuh jalan mereka. Ternyata tidak diketahui bahwa salah seorang diantara
mereka dianggap menyalahi bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam apabila benar periwatannya maka wajib diikuti.

3. Bahwasanya Allah dalam al-Qur'an telah mewajibkan kepada manusia sejumlah


kewajiban secara global, tanpa penjelasan, hukum-hukumnya dan cara
pelaksanaannya tidak diterangkan dalam al-Qur'an. Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman dalam QS. an-Nisa’/4: 77:

َّ ‫ص ٰلوةَ َو ٰاتُوا‬
…. َ‫الز ٰكوة‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬

Terjemahnya :
…Laksanakanlah Sholat dan Tunaikanlah Zakat...
Juga berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 183:

ِ ‫علَ ْيكُ ُم‬


....‫الصيَا ُم‬ َ ‫كُت‬
َ ‫ِب‬

8
Terjemahnya:
Diwajibkan atas kamu berpuasa...

Dan Allah juga berfirman dalam QS. ali-Imran/4: 97:


....ِ‫اس حِ ُّج ا ْلبَ ْيت‬
ِ َّ‫ع َل الن‬ ِ ‫َو ِ ه‬
َ ‫ّٰللا‬

Terjemahnya :
...Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan
ibadah haji ke Baitullah...
Akan tetapi Allah tidak menjelaskan, Bagaimanakah shalat itu dilakukan,
zakat itu ditunaikan, puasa dan haji dilaksanakan. Keglobalan ini telah
diterangkan oleh Rasulullah SAW. melalui sunnahnya, baik yang qauliyyah
(bentuk perkataan) dan Amaliyyah. Karena sebenarnya Allah Subhanahu Wa
Ta'ala telah menganugerahkan kepadanya otoritas untuk memberikan penjelasan
ini, melalui Firman Allah mengenai hal ini :

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. an-Nahl/16: 44:

ِ َ‫ َواَ ْنزَ ْلن َٰۤا اِلَيْك‬...


. َ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ لِلنَّا ِس َما نُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيتَفَ َّك ُر ْون‬

Terjemahnya :
…Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan agar mereka memikirkan.
Kalau sekiranya As-Sunnah yang menjelaskan itu bukan menjadi hujjah atas
umat Islam dan tidak pula menjadi undang-undang yang wajib diikuti, maka
tidaklah mungkin untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban al-Qur'an maupun
mengikuti hukum-hukumnya. Sunnah yang menjelaskan itu wajib diikuti
hanyalah dari sisi bahwa ia keluar dari Rasulullah SAW., diriwayatkan dari beliau
dengan cara yang menunjukkan pengertian yang pasti kedatangannya dari beliau
atau dugaan yang kuat datang dari beliau. Setiap As-Sunnah yang membentuk
hukum Islam yang terhitung shahih dari beliau adalah hujjah yang wajib diikuti,
baik as-Sunnah itu menjelaskan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an maupun
membentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur'an, karena semua as-Sunnah

9
sumbernya adalah Rasulullah SAW., yang Ma'shum yang telah dianugerahi oleh
Allah otoritas yang menjelaskan dan membentuk hukum Islam. 2

C. Pembagian Sunnah atau Hadis

Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul
fiqh dibagi kepada dua macam, yaitu Hadis mutawatir dan Hadis ahad.

1. Hadis Mutawatir

Secara etimologi, kata al-mutawatir adalah sebagai isim fail dari kata al-tawatur,
berarti al-tatabbu, artinya beruntun atau berturut-turut. Adapun secara terminologi,
ahli hadis mendefenisikannya sebagai berikut:

‫وهومارواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند الى منتهاه على‬
.‫أن ْل يحتل هذا اجمع في أي طبقة من طبقات السند‬

Artinya :
(Hadis) al-mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
yang tidak mungkin sepakat berdusta dalam periwayatannya walaupun
tidak sengaja secara bersambung dari awal hingga akhir sanadnya serta
didasarkaan pada penglihatan atau pendengaran atau seumpamanya.3
Jadi hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh
sekelompok perawi yang menurut kebiasaan individual-individunya jauh dari
kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat
masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu dan
yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh kelompok
berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama, dan begitulah
selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan) Hadis,
dan pada masing-masing tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa
mereka akan berbuat bohong atas Rasulullah. Contohnya Sunnah Fi’liyyah
(perbuatan) tentang perincian cara melakukan shalat, perincian haji, dan lain-lain
yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu

2bdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 2012), h. 42-46.
3Hasan Muhammad Maqbuli al-Ahadali, Mushthalah al-Hadits wa Rijaluhu, Muassat al-
Rayyan, (Beirut, 1990), h. 95

10
generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Sunnahfi’liyyah
seperti ini telah diterima oleh sekelompok sahabat dari Rasulullah. Kemudian
diwarisi pula oleh generasi berikutnya hingga sampai ke masa kita sekarang ini.

Hadis mutawatir terbagi dua macam, yaitu Hadis mutawatir lafzy dan Hadis
mutawatir ma’nawy. Hadis mutawatir lafzy ialah Hadis yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang bersamaan arti dan lafalnya. Contoh:

‫عنِي‬ َ َ‫عنِي َو َم ْن َكت‬


َ ‫ب‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫ْل تَ ْكتُبُوا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ّٰللا‬ َّ ‫س ِع ْي ٍد ال ُخد ِْري ِ ا‬
ِ ‫ٔن َرسُ ْو َل ه‬ َ ‫ع ْن أَ ِبي‬
َ
ْ ‫ي ُمتَ َع ِمدًا فَ ْل َيتَ َب َّوا َم ْق َعدَ ُه‬
‫مِن النَّار‬ َّ َ‫عل‬ َ َ‫ْل َح َر َج َو َم ْن َكذ‬
َ ‫ب‬ َ ‫غي َْر ا ْلقُ ْرآ ِن فَ ْل َي ْم ُحهُ َو َح ِدثُوا‬
َ ‫عنِي َو‬ َ

Artinya :
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah Anda tulis apa yang aku ucapkan, barangsiapa yang menulis
sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah dan ceritakanlah Hadis
dariku serta jangan berbuat dosa. Barangsiapa yang berbuat dusta atas
diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempatnya di
neraka.” (HR. Muslim).

Menurut Imam Zakaria Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (w.676 H), ahli Hadis
dan ahli ikih dari kalangan Syai’iyah, Hadis tersebut diriwayatkan oleh tidak
kurang dari 200 orang sahabat.

Adapun Hadis mutawatir ma’nawy ialah beberapa Hadis yang beragam


redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya Hadis yang menjelaskan bahwa
Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap berdoa. Hadis tersebut
diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain
diriwayatkan oleh Tirmizi.

2. Hadis Ahad

Hadis Ahad alah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi
tidak sampai ke batas Hadis mutawatir. Berdasarkan jumlah sanad, hadis ahad
terbagi kepada tiga macam:

11
a. Hadis Masyhur
Hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari dua sanad
atau diriwayatkan dari sahabat oleh sejumlah perawi yang tidak mencapai,
derajat mutawatir, kecuali derajat mutawatir tersebut hanya pada thabaqat
sesudah sahabat dan seterusnya. Sedangkan Ibn Hajar mendefenisikan
hadis masyhur ialah hadis yang mempunyai lebih dari dua sanad tetapi
tidak mencapai batas jumlah sanad hadis mutawatir.4
b. Hadis ‘Aziz
Hadis ‘Aziz yaitu Hadis yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua
orang meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh banyak
orang. Contoh:
َ ٌ‫ضة‬
‫علَى كُ ِل ُم ْس ِل ٍم َو ُمس ِل َم ٍة‬ َ ‫طلَبُ ا ْل ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
َ
Artinya :
“Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam,
baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. al-Baihaqi)
c. Hadis Gharib
Hadi ini yaitu Hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap
periode sampai Hadis itu dibukukan. Contohnya Hadis riwayat Bukhari
dan Muslim dari Anas:
َ ‫سلَّ َم‬
َّ‫ْل يُؤْ مِ ُن أَ َحدُكُ ْم َحتَّى أَكُ ْونَ أَ َحب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ّٰللا‬
‫ى ه‬ َّ ‫صل‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ع ْن أَن ٍَس قَا َل النَّ ِب‬ َ َ‫ع ْن قَتَادَة‬
َ
‫اس أَجْ َم ِعيْن‬ ِ َّ‫مِن َوا ِل ِد ِه َو َو َل ِد ِه َوالن‬
ْ ‫ِٕا َل ْي ِه‬
Artinya :
Dari Qatadah, dari Anas berkata Rasulullah SAW bersabda:
“Belum dianggap sempurna iman seseorang di antara kamu
sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orangtuanya, anaknya,
dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua pembagian Hadis di atas, para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa Hadis
mutawatir adalah sah dijadikkan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat
tentang keabsahan Hadis ahad sebagai sumber hukum. Aliran Mu’tazilah dan
Khawarij menolak Hadis ahad untuk dijadikan sumber hukum. Alasannya, Hadis
ahad tidak diyakini datangnya dari Rasulullah, dan ada kemungkinan palsu, dan

4 Ibid, h. 99.

12
oleh karena itu tidak layak untuk dijadikan sumber hukum. Berbeda dengan
pendapat ini, jumhur ulama sepakat bahwa Hadis ahad bilamana dinilai sahih,
secara sah dapat dijadikan sumber

hukum. Alasan mereka antara lain dalam QS. At-Taubah/9: 122:


ِ ‫طآئِفَةٌ ِليَـتَفَقَّ ُه ْوا فِى‬
‫الدي ِْن َو‬ ْ ‫َو َما كَا نَ ا ْل ُمؤْ مِ نُ ْونَ ِليَ ْنف ُِر ْوا َكا ٓ فَّةً فَلَ ْو َْل نَف ََر‬
َ ‫مِن كُ ِل ف ِْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬
َ‫ِليُ ْنذ ُِر ْوا قَ ْو َم ُه ْم اِذَا َر َجعُ ٰۤ ْوا اِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُر ْون‬
Terjemahnya :
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat
menjaga dirinya. (QS. At-Taubah 9: Ayat 122)
Menurut jumhur ulama ayat tersebut menunjukkan bolehnya menerima ilmu
agama dari perorangan, karena kata taifah da-lam ayat tersebut dalam pemakaian
bahasa Arab bisa bermakna beberapa orang dan bisa juga untuk orang seorang.
Alasan lain adalah ijma’ sahabat. Para sahabat sering memutuskan hukum
berdasarkan Sunnah atau Hadis yang diriwayatkan oleh perorangan. Misalnya,
menjawab pertanyaan putranya ‘Abdullah bin ‘Umar mengenai apa yang
didengarnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas, yaitu bahwa Rasulullah menyapu sepatu
(dalam berwudhu) bagian atasnya, Umar menjawab: “Ya, betul. Kalau sudah
diceritakan Sa’ad dari Rasulullah, tidak lagi perlu engkau tanyakan kepada orang
lain.” Dengan beberapa alasan di atas, jumhur ulama sepakat bahwa Hadis ahad
bila-mana sampai ke tingkat sahih dapat dijadikan sumber hukum. Selain itu, para
ulama Hadis secara ketat membuat persyaratan-persyaratan yang akan menjamin
kesahihan Hadis, sehingga kekhawatiran bahwa Hadis itu palsu, tipis sekali.

D. Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an

Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, sunah memiliki peran signifikan
untuk menjelaskan al-Qur’an. Dengan kata lain, kehadiran Muhammad saw
dengan sunnahnya berperan untuk menjelaskan makna atau maksud firman Tuhan
(al-Qur’an) yang sebagian besar masih bersifat global maknanya. Dalam hal ini

13
Allah SWT sendiri memberikan penegasan melalui sebuah firman-Nya dalam QS.
an-Nahl/16: 44:

ِ َ‫لزب ُِر َواَ ْنزَ ْلن َٰۤا اِلَيْك‬


َ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ لِلنَّا ِس َما نُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر ْون‬ ِ ‫بِا ْلبَيِ ٰن‬
ُّ ‫ت َوا‬

Terjemahnya :
(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar
engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan agar mereka memikirkan.
Ayat tersebut menggambarkan bahwa fungsi utama sunah adalah sebagai al-bayan
atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Hal demikian lebih dikarenakan kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk bagi ummat manusia pada umumnya
disampaikan dalam uslub yang mujmal (global atau umum), 5 sehingga manusia
tidak mungkin bisa memahami dan menggali petunjuk darinya kalau hanya
mengandalkan al-Qur’an semata. Itulah sebabnya Allah SWT memberikan
otoritas (kewenangan) kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan maksud
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan melalui sunnahnya.

Adapun fungsi sunnah terhadap al-Qur’an selengkapnya telah disampaikan


oleh Muhammad Abu Zahu berikut ini:6

1. Menegaskan kembali hukum-hukum yang sudah ditetapkan al-Qur’an. Di sini


sunnah atau hadis seakan-akan hanyalah mengulangi ketetapan al-Qur’an,
sehingga hukum itu memiliki dua sumber rujukan dan atasnya terdapat dua dalil
yakni al-Qur’an dan hadis (as-Sunnah). Sebagai contoh pada QS. an-Nisa’/4: 29:

ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
‫اض‬ َ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَأْكُلُ ٰۤ ْوا اَ ْم َوا لَـكُ ْم َب ْينَكُ ْم ِبا ْل َباطِ ِل ا َّ ِْٰۤل اَ ْن تَكُ ْونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬
‫ّٰللا َكانَ ِبكُ ْم َرحِ ْي ًما‬ َ ‫سكُ ْم ا َِّن ه‬ َ ُ‫ِم ْنكُ ْم َو َْل تَ ْقت ُ ُل ٰۤ ْوا اَ ْنـف‬

Terjemahnya :
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan

5BadranAbi al-‘Ainain Badran, Bayan an-Nushush at-Tasyri’iyah (Iskandariah: at-


Tab’ah wa an-Nasyr wa Tanzi’, 1982), h. 5.
6M. Abu Zahu, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Maktabah al-Misra, t.th.), h. 37.

14
janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang
kepadamu.
Terhadap ayat tersebut, Rasulullah saw kemudian mengatakan:

‫ْل يحل ما ل امرئ إْل بطيب من نفسه‬

Artinya :
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali (hasil pekerjaan) yang baik
dari dirinya sendiri”.
Hadis-hadis mengenai perintah mendirikan shalat, puasa, zakat, haji, amar
ma’ruf nahi munkar, serta hadis-hadis yang berisi larangan minum khamr, berjudi,
menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, juga
merupakan contoh dari fungsi hadis sebagai penegas al-Qur’an.

2. Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam al-Qur’an atau


memberikan rincian terhadap apa yang disebutkan dalam al-Qur’an secara garis
besar.
Dalam hal ini ada berbagai ragam bentuk penjelasan yang diberikan oleh
hadis:
1. Bayan tafshil, yakni sunah menjelaskan atau memerinci kemujmalan al-
Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat perintah melaksanakan shalat, zakat,
haji, jihad dan sebagainya, namun tidak diikuti penjelasan tentang teknik
operasionalnya, dan di sinilah peran sunnah yakni memberikan penjelasan
rincian tentang teknik operasional dari perintah al-Qur’an yang masih
mujmal itu. Sebagai contoh dalam hal ini adalah perintah shalat dalam
QS.al-Baqarah/2:110 tanpa disertai aturan teknik operasionalnya, dan
kemudian Rasulullah saw mempraktekkan cara shalat dan kemudian
bersabda:
‫صلوا كما رأ يتمو نى أ صلى‬

Artinya :
“Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat”
2. Taqyid al-Muthlaq, yakni membatasi ayat-ayat al-Qur’an yang disebutkan

15
secara mutlak. Misalnya, dalam al-Qur’an secara umum dinyatakan bahwa
anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya yang
meninggal dunia. Sebagaimana daam QS. an-Nisa’/4: 7:
‫َصيْبٌ ِم َّما ت ََركَ ا ْل َوا ِل ٰد ِن‬
ِ ‫سآءِ ن‬ َ ْ ‫َصيْبٌ ِم َّما ت ََركَ ا ْل َوا ِل ٰد ِن َو‬
َ ِ‫اْل ْق َرب ُْونَ َولِلن‬ ِ ‫ِلر َجا ِل ن‬ ِ ‫ل‬
ِ ‫اْل ْق َرب ُْونَ مِ َّما قَ َّل مِ ْنهُ اَ ْو َكث ُ َر ن‬
‫َص ْيبًا َّم ْف ُر ْوضًا‬ َ ْ ‫َو‬

Terjemahnya :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

Ayat tersebut menggunakan ungkapan mutlak, kemudian Nabi saw


memberi qayyid bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada
mereka yang menjadi penyebab kematian dari orang tuanya, sebagaimana
sabda beliau:

‫ْل يرث القا تل من المقتو ل شيئا‬

Artinya:
Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh
sedikit pun”. (HR. an-Nasa’i).

3. Takhshish ‘amm, yakni mentakhsiskan lafadz-lafadz yang masih bersifat


umum. Contoh dalam hal ini adalah dalam QS. an-Nisa’/4: 24:

... َ‫سا فِحِ يْن‬


َ ‫غي َْر ُم‬ ِ ْ‫ َواُحِ َّل لَـكُ ْم َّم َاو َرآ َء ٰذ ِلكُ ْم اَ ْن تَ ْبتَـغُ ْوا بِا َ ْم َوا ِلكُ ْم ُّمح‬...
َ َ‫صنِيْن‬
Terjemahnya :
...Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang
demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya,
bukan untuk berzina...

Ayat di atas menjelaskan perihal siapa yang haram dinikahi, kemudian


dalam ayat tersebut juga Allah menghalalkan selain yang tersebut
(diharamkan) dalam ayat 23. Tetapi kehalalan itu kemudian ditakhsis oleh

16
Nabi saw, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik
dari garis ibu maupun ayah,7 dengan melalui sebuah sabdanya berikut ini:

‫ْل يجمع بين المرأ ة وعمتها وْل بين المرأة و خا لتها‬

Artinya:
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita
‘ammah (saudari bapak)-nya, dan seorang wanita dengan khalah
(saudari ibu)-nya” (HR. Bukhari-Muslim).

4. Menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an secara


tegas. Dalam hal ini seolah-olah nabi menetapkan hukum sendiri. Namun
hakikatnya bila diperhatikan secara seksama, apa yang ditetapkan oleh
nabi itu adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh Allah di
dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan oleh Allah secara
terbatas. Sebagai contoh adalah, dalam QS. al-Ma’idah/5: 3 dimana Allah
mengharamkan makan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang
disembelih dengan tidak menyebut nama Allah. Kemudian Nabii
menyatakan haramnya binatang buas yang bertaring dan burung yang
kukunya mencekam. Secara lahiriah larangan Nabi ini dapat dikatakan
sebagai hukum baru yang ditetapkan olehnya. Namun sebenarnya larangan
itu hanya merupakan “perluasan” dari larangan Allah memakan sesuatu
yang kotor dalam QS. al-A’raf/7: 33. Dalam hal ini ternyata tidak semua
ulama setuju dengan fungsi sunnah seperti ini; kelompok yang setuju
mendasarkan kepada ‘ishmah nabi, khususnya dalam bidang syari’at,
apalagi banyak ayat yang menunjukkan adanya otoritas kemandirian nabi
untuk ditaati. Sedangkan kelompok yang menolak berpendapat bahwa
sumber hukum Islam itu hanya Allah (la hukm illa Allah), sehingga rasul
pun harus merujuk kepada kitab-Nya ketika hendak menetapkah hukum.
Kalau itu yang menjadi masalah, Quraish Shihab telah memberikan solusi
bahwa bila fungsi sunah terhadap al-Qur’an didefinisikan sebagai bayyan
murad Allah (memberi penjelasan maksud Allah) sehingga apa ia sebagai

7Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 113

17
penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun penembah ketentuan
hukum, maka semuanya tetap bersumber dari Allah. Dengan demikian
ketika rasul melarang seorang suami memadu istrinya dengan ‘ammah
atau khlah, yang zhahirnya berlainan dengan Qs. an-Nisa’ ayat 24 maka
pada hakikatnya penambahan itu merupakan penjelasan saja dari apa yang
dimaksud oleh Allah di dalam firman-Nya itu.
5. Menasakh hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an. Fungsi ini
adalah bagi mereka yang berpandangan hadis dapat menasakh al-Qur’an,
meski pendapat semacam ini tampak berlebihan. Dalam hal ini mereka
memberikan contoh hadis “la wahiyyah li warits” (tak ada wasiat bagi ahli
waris) adalah menasakh hukum bolehnya berwasiat kepada kedua orang
tua dan kerabat sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 180:

‫علَى‬ َ ْ ‫صيَّةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو‬


َ ‫اْل ْق َر ِبيْنَ ِبا‬ ِ ‫ض َر اَ َحدَكُ ُم ا ْل َم ْوتُ ا ِْن ت ََركَ َخي ًْرا ٱ ْل َو‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم اِذَا َح‬ َ ‫كُت‬
َ ‫ِب‬
َ‫ع َلى ا ْل ُمت َّ ِقيْن‬
َ ‫ْل َم ْع ُر ْوفِ َح ًّقا‬

Terjemahan :
"Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang
di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk
kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai)
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."

Secara umum para ulama menerima prinsip nasakh sebagai sarana


mempertemukan ayat-ayat al-Qur’an yang tampak bertentangan satu
dengan lainnya terlepas dari adanya perbedaan apakah suatu ayat tertentu
telah atau belum dihapus oleh ayat lain. Masalah lain yang cukup krusial
dan menimbulkan perbedaan pendapat adalah apakah sunah dapat
menasakh al-Qur’an? Selanjutnya, mereka yang membolehkan pun
kemudian berbeda pendapat, apakah secara faktual terdapat hadis yang
menasakh ayat al-Qur’an atau tidak. Ada silang pendapat di kalangan
ulama’ menyangkut fungsi hadis sebagai penasakh ayat al-Qur’an. asy-
Syafi’i, Ahmad dan ahl zhahir secara praktis menolak fungsi hadis
menjadi penasakh ayat, meski secara teoritis mereka setuju adanya hadis
yang menasakh ayat al-Qur’an. Sebaliknya imam Malik, Hanafi dan

18
mayoritas teologi islam baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Asy’ariyah
berpandangan adanya kemungkinan nasakh semacam itu.8 Meski mereka
berbeda pendapat namun secara umum semua telah sepakat bahwa yang
dapat menasakh adalah al-Qur’an, di mana ia bersifat mutawatir.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa secara faktual ada hadis mutawatir yang
telah menasakh al-Qur’an? M. Quraish Shihab, dengan merujuk az-
Zarqani, mengemukakan adanya empat hadis ahad, namun dinyatakan oleh
ulama’ bahwa hadis itu menasakh al-Qur’an. Apakah hal ini berarti bahwa
tidak ada hadis mutawatir yang menasakh al-Qur’an? Agaknya memang
demikian. Di sisi lain, setelah diteliti ternyata yang menunjukkan nasakh
bukan hadis itu sendiri, melainkan ayat al-Qur’an sendiri yang ditunjuk
hadis tersebut. Sampai di sini persoalan hadis menasakh ayat al-Qur’an
menjadi makin rumit karena antara teori dengan fakta historis
berlainan.Tentang contoh di atas pun masih diperdebatkan oleh ulama’,
apa benar hadis (ahad) itu telah menasakh al-Qur’an QS. al-Baqarah/2:
180 (yang nilainya mutawatir)? Setelah melakukan penelitian ternyata
sebagai dikatakan Quraish Shihab keseluruhan teks ayat tersebut adalah
“sesungguhnya Allah telah Memberikan dst” merujuk kepada ayat waris,
bukan wasiat. Atas dasar ini maka lanjut Shihab “sebenarnya hadis itu
menyatakan bahwa yang menasakh adalah ayat waris tersebut, bukan hadis
yang bernilai ahad tadi.

8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Jakarta: Lentera hati, 2011), h. 148.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Menurut istilah ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah, berarti “segala perilaku


Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah
qaulyyiah), perbuatan (Sunnah Fi’liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah).”
Sunnah atau Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-
Qur’an, Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian
ushul fiqh dibagi kepada dua macam, yaitu Hadis mutawatir dan Hadis ahad.
Fungsi sunnah terhadap al-Qur’an secara garis besar yaitu sebagai bayan atau
penjelas, yakni menjelaskan isi al-quran yang samar-samar.

B. Saran

Penulis menyarankan bagi para pembaca untuk membaca dengan seksama


dan memahami mengenai Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam. Penulis juga
berharap para agar para pembaca kelak bisa mengaplikasikan apa yang dibahas
selaku calon pendidik dan sekaligus memberikan saran dan kritik yang
membangun terhadap makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

M. Zein, Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina utama Semarang,

Muhammad Maqbuli al-Ahadali, Hasan, Musthalah al-Hadist wa Rijaluhu,


Muassat al-Rayyan. Beirut. 1990.

Abi al-‘Ainain Badran, Badran. Bayan an-Nushush at-Tasyri’iyah. Iskandaria: at-


Tab’ah wa an-Nasyr wa Tanzi’, 1982.

Abu Zahu, M. Al-Hadis wa al-Muhadditsun. Mesir: Maktabah al-Misrah, t.th.

Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.


Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2011

21

Anda mungkin juga menyukai