1.1 LAHIR
Sunan Bejagung Lor terlahir dengan nama Sayyid Abdullah Asy’ari bin
Sayyid Jamaluddin Kubro/ Syekh Jumadil Kubro. Menurut keterangan
dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau adalah adik Sayyid Maulana
Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang).
Beliau menikah dengan wanita dari Tuban dan dikaruniai tiga orang
putra :
1.4 WAFAT
Menurut keterangan buku Babad Tanah Jawa dan buku Babad Tuban,
menerangkan bahwa semasa hidupnya Kanjeng Sunan Bejagung setiap
sore beliau pergi ke Makkah untuk menyalakan lampu Masjidil Haram
Makkah dan menjadi muadzin Masjidil Haram Makkah Al-Mukarromah.
Versi lain juga menerangkan bahwa beliau tiap-tiap siang hilang dari
tempat kediamannya yang terasing di Bejagung itu, untuk membantu
menyalakan lampu-lampu di Masjid Makkah dan menjadi imam di sana.
Tiap malam beliau terdapat di dalam masjid Makkah dan tiap malam
pula setelah itu ia kembali ke Bejagung. Tapi pada intinya sama. Sama-
sama menyalakan lampu di Majid Makkah. Hal ini dapat dimaklumi
sebab beliau adalah kelahiran Hadromaut yakni orang daerah Saudi
Arabia.
Suatu saat Sunan Bejagung diajak pergi haji oleh santrinya yang dari
bangsa jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan Bejagung dari
Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Tetapi setelah digendong dan
terbang ke angkasa, tepat di atas samudra, Sunan Bejagung dilepas dan
jatuh ke laut. Tetapi Sunan Bejagung selamat lantaran ditolong oleh ikan
meladang dan dipinggirkan sampai Jeddah suatu pantai di Hadramaut
(yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di Arab,
Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai
makan ikan meladang dan ternyata sampai sekarang anak cucu
keturunan Sunan Bejagung tidak diperkenankan makan ikan meladang,
bila makan ikan meladang akan timbul penyakit gatal.
Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal
dengan nama Siti Garet. Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti
Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat
melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi
para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau pejuang masuk
kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena
pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga
mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila
pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki
niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat
akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut
masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat
negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan
pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika
akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran
Pengulu.
5.6 POHON KELAPA DIREBAHKAN DENGAN JARI TANGAN DAN PERISTIWA MOJO AGUNG.
Suatu saat Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung. Ia
pergi ke Bejagung dan setelah berada di tegal Sunan Bejagung ia
menggoyang pohon Kelapa, Sunan Bejagung bertanya , untuk apa anda
menggoyang pohon Kelapa. Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus ingin
minum. Sunan Bejagung berkata : “Kalau digoyang keras nanti kasihan
yang masih muda, ikut berjatuhan dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambilkan buah kelapa dengan cara
merebahkan pohon kelapa dengan cangkul kemudian Barat ketigo
dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua tanpa merusak
kelapa yang masih muda kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak
berdiri seperti semula. Ia kagum atas kesaktian Sunan Bejagung. Tetapi
ia masih belum puas, setelah ia minum air kelapa ia pura-pura masih
haus , ia ingin minum air yang banyak. Setelah kehendaknya itu
disampaikan kepada Kanjeng Sunan kemudian Kanjeng Sunan berkata :
“Kalau demikian anda tunggu di sini saya ambilkan air”.
7 REFERENSI
1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta:
Transpustaka, 2011
3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
6. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
7. Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony, Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015
8. Mukarrom, Akhwan. Sejarah Islam Indonesia I. Surabaya: Uin Sunan Ampel, 2014.