Anda di halaman 1dari 10

RIWAYAT HIDUP SUNAN BEJAGUNG LOR DAN KELUARGA

1.1 LAHIR

Sunan Bejagung Lor terlahir dengan nama Sayyid Abdullah Asy’ari bin
Sayyid Jamaluddin Kubro/ Syekh Jumadil Kubro. Menurut keterangan
dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau adalah adik Sayyid Maulana
Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang).

1.2 RIWAYAT KELUARGA SUNAN BEJAGUNG LOR

Beliau menikah dengan wanita dari Tuban dan dikaruniai tiga orang
putra :

1. Syekh Abdurrahim atau Sunan Pojok.


2. Nyai Faiqoh atau isteri Pangeran Penghulu atau Syekh Hasyim Alamuddin
atau Sunan Bejagung Kidul
3. Syekh Afandhi atau Sunan Waruju, makamnya di belakang pengimaman Masjid
Bejagung.

1.3 NASAB SUNAN BEJAGUNG LOR

1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.


2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
3. Al-Imam Al-Husain
4. Al-Imam Ali Zainal Abidin
5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir
6. Al-Imam Ja’far Shadiq
7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi
8. Al-Imam Muhammad An-Naqib
9. Al-Imam Isa Ar-Rumi
10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
11. As-Sayyid Ubaidillah
12. As-Sayyid Alwi
13. As-Sayyid Muhammad
14. As-Sayyid Alwi
15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih
18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
19. As-Sayyid Abdullah
20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
21. As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar
22. As- Sayyid Abdullah Asy’ari

1.4 WAFAT

Sunan Bejagung Lor wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan


Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut
Sunan Bejagung Lor

2 SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN SUNAN BEJAGUNG LOR


Beliau dididik dan dibesarkan oleh ayahanda As-Sayyid Husain
Jamaluddin Al-Akbar/ Syekh Jumadil Kubro

2.1 GURU SUNAN BEJAGUNG LOR

1. Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar/ Syekh Jumadil Kubro

3 PENERUS SUNAN BEJAGUNG LOR


3.1 ANAK-ANAK SUNAN BEJAGUNG LOR

1. Syekh Abdurrahim atau Sunan Pojok.


2. Nyai Faiqoh atau isteri Pangeran Penghulu atau Syekh Hasyim Alamuddin
atau Sunan Bejagung Kidul
3. Syekh Afandhi atau Sunan Waruju

3.2 MURID SUNAN BEJAGUNG LOR

1. Pangeran Sudimoro/ Syekh Hasyim Alamuddin atau Sunan Bejagung Kidul

4. PERJALANAN DAKWAH SUNAN BEJAGUNG LOR


Ketika rombongan ulama dari Turki yang dipimpin oleh Syekh Jumadil
Kubro termasuk juga ikut dalam rombongan adalah Syekh Abdullah
Asy’ari (Sunan Bejagung) dan lain-lain, yang kemudian datang menuju
tanah Jawa. Sesampainya di tanah Jawa, lalu Syekh Jumadil Kubro
membagi tugas dakwah. Beliau sendiri kemudian menuju kerajaan
Majapahit, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Adapun Syekh Abdullah
Asy’aro ditugaskan di Kadipaten Tuban. Begitu juga ulama yang lain
mereka juga ditugaskan di tempat yang berbeda dengan tujuan
menyiarkan agama. Kedatangan Syekh Abdullah Asy’ari di Tuban
disambut baik oleh Adipati Tuban ke-6 Aryo Dwikoro atau Aryo Tejo I.

Beliau sang Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut,


meskipun pada saat itu beliau belum bisa menerima Islam sebagai
agama yang baru. Bentuk rasa hormat beliau kemudian diwujudkan
dengan memberikan tanah perdikan di sebuah daerah pegunungan yang
saat ini bernama Desa Bejagung. Di daerah inilah kemudian Syekh
Abdullah Asy’ari mendirikan sebuah kesunanan dengan nama
kasunanan Bejagung sekitar tahun 1300 M yang pada akhirnya
menjadikan beliau dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung.

Di kasunanan inilah aktifitas dakwah beliau dilakukan, dakwah rutin ini


diselenggarakan bersama masyarakat setempat yang tertarik
mempelajari agama Islam, beliau menyampaikan dengan bahasa yang
lembut, sopan sehingga masyarakat kagum atas keramahan dan
kebaikan beliau, hingga akhirnya didirikanlah sebuah masjid sebagai
pusat pengembangan pengetahuan agama pada saat itu karena semakin
banyaknya pemeluk ajaran Islam di daerah ini. Dalam kehidupannya
sehari-hari Sunan Bejagung dikenal sebagai orang yang sangat
sederhana, sampai orang tidak mengenalnya mana kala bertemu di jalan
karena beliau tidak menunjukkan kealiman beliau. Beliau berbusana
layaknya rakyat jelata. Beliau tidak pernah menunjukkan kesakralan
seorang kyai ataupun syekh, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu dan
takut ketika bertanya atau bertemu beliau.
Setelah waktu berganti waktu akhirnya agama Islampun berkembang
pesat utamanya di daerah sekitar kasunanan, banyak orang yang sengaja
datang dari jauh untuk menimba ilmu atau menjadi santri di kasunanan
ini, layaknya santri sebuah pondok pesantren dalam aktifitasnya setiap
hari.

5. KAROMAH SUNAN BEJAGUNG


Karomah adalah sesuatu yang luar biasa yang bukan hasil dari oleh
kanuragan tetapi semata-mata datang dari Allah kepada hamba-Nya
yang telah mencapai derajat kewalian dengan pemahaman kema’rifatan
yang tinggi kepada Allah SWT. Karomah para wali Allah ada yang
ditampakkan dan ada juga yang tidak tampak tergantung pribadi dan
peran figure seorang wali itu sendiri.

5.1 MENYALAKAN LAMPU MASJIDIL HARAM

Menurut keterangan buku Babad Tanah Jawa dan buku Babad Tuban,
menerangkan bahwa semasa hidupnya Kanjeng Sunan Bejagung setiap
sore beliau pergi ke Makkah untuk menyalakan lampu Masjidil Haram
Makkah dan menjadi muadzin Masjidil Haram Makkah Al-Mukarromah.
Versi lain juga menerangkan bahwa beliau tiap-tiap siang hilang dari
tempat kediamannya yang terasing di Bejagung itu, untuk membantu
menyalakan lampu-lampu di Masjid Makkah dan menjadi imam di sana.
Tiap malam beliau terdapat di dalam masjid Makkah dan tiap malam
pula setelah itu ia kembali ke Bejagung. Tapi pada intinya sama. Sama-
sama menyalakan lampu di Majid Makkah. Hal ini dapat dimaklumi
sebab beliau adalah kelahiran Hadromaut yakni orang daerah Saudi
Arabia.

5.2 IKAN MELADANG

Suatu saat Sunan Bejagung diajak pergi haji oleh santrinya yang dari
bangsa jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan Bejagung dari
Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Tetapi setelah digendong dan
terbang ke angkasa, tepat di atas samudra, Sunan Bejagung dilepas dan
jatuh ke laut. Tetapi Sunan Bejagung selamat lantaran ditolong oleh ikan
meladang dan dipinggirkan sampai Jeddah suatu pantai di Hadramaut
(yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di Arab,
Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai
makan ikan meladang dan ternyata sampai sekarang anak cucu
keturunan Sunan Bejagung tidak diperkenankan makan ikan meladang,
bila makan ikan meladang akan timbul penyakit gatal.

5.3 MENGAMBIL JENAZAH SUNAN BONANG


Pada saat Kanjeng Sunan Bonang wafat, Kanjeng Sunan Bejagung masih
hidup walaupun Kanjeng Sunan Bejagung usianya lebih tua karena
beliau adalah saudara atau adik dari Sayyid Maulana Ibrahim
Asmaraqandi/ Syekh Ibrahim Asmoroqondi (kakek Sunan Bonang). Pada
saat itu di Desa Bonang Lasem terjadi huru-hara dengan
adanya jenazah Sunan Bonang direbut oleh orang-orang Bawean karena
orang-orang Bawean sangat cinta kepada para waliyullah, utamanya
rasa cinta kepada Sunan Bonang, sampai jenazah beliau direbut dari
keluarga di Bonang dan langsung dinaikkan perahu. Tanpa
menghiraukan situasi Bonang, orang-orang Bewean tersebut langsung
menjalankan perahunya ke tengah laut menuju Bawean yang melalui
pantai Tuban. Lantaran karomah Sunan Bejagung beliau mengetahuinya
bahwa di pantai Tuban bakal ada orang Bawean yang membawa
lari jenazah cucunya (Sunan Bonang). Seketika itu Sunan Bejagung
bergegas menuju ke pantai Tuban dan langsung berjalan di atas air laut
menuju ke arah perahu berisi jenazah Kanjeng Sunan Bonang tersebut.

Dengan tanpa sepengetahuan orang-orang Bawean yang berada di


perahu. Sunan Bejagung mengambil jenazah Sunan Bonang dengan 2
lapis kain kafannya. Sedangkan kain kafan Sunan Bonang yang satu lapis
dibiarkan di dalam perahu sehingga orang-orang Bawean masih tenang-
tenang mengarungi lautan membawa satu lapis kain kafan yang
dianggapnya jenazah Sunan Bonang. Setelah orang-orang sampai di
Bawean, ternyata yang dibawa hanya kain kafan satu lapis, tetapi
mereka tidak kecewa karena mereka sadar dan sudah melahirkan
cintanya kepada auliya’ sehingga walaupun tinggal kain kafan satu lapis
tetap mereka makamkan selayaknya seperti makan Sunan Bonang di
Bawean. Sedangkan jenazah Sunan Bonang yang tinggal menggunakan
kain kafan dua lapis digendong oleh Kanjeng Sunan Bejagung dibawa ke
pantai Tuban dan disemayamkan di Tuban. Sampai sekarang tampak
makam Sunan Bonang di belakang Masjid Agung Tuban

5.4 SITI GARET DAN WATU GAJAH.

Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin


menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan
berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat ,
Tarekat, Hakikat, dan Marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil
Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejaung
Lor). Setelah sampai di Tuban, beliau bertemu dengan Sunan Bejagung
Lor. Kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau. Sampai
menjadi orang Alim.

Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu


Hayam wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa
putranya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka Prabu
Brawijaya IV memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dan bala
tentaranya untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang
ke Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap
kepada Sunan Bejagung Lor. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan
Bejagung untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab
Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak
Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung Lor.

Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan


Kasunanan Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan
Bejagung. Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung.
Ketika mahapatih Gajah Mada yang tersohor dengan ilmu BaratKetiga
dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di
kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke
kasunanan Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang
terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau).

Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal
dengan nama Siti Garet. Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti
Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat
melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi
para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau pejuang masuk
kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena
pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga
mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila
pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki
niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat
akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut
masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat
negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan
pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika
akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran
Pengulu.

Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di


sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan
bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung banyak pasukan Gajah
dari Majapahit. Sunan mengatakan, tidak gajah tetapi batu. Seketika itu
semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya
pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah(Batu Gajah).
Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.

5.5 IKAN DODOK DARI DAUN WARU.

Setelah Gajah-gajah dari Majapahit semua menjadi batu, para pasukan


Majapahit kembali dan Lapor kepada Sang Prabu Hayam Wuruk bahwa
semua Gajah Pasukan Majapahit menjadi batu. Kemudian Sang Prabu
memerintahkan kepada Patih Gajah Mada yang terkenal dengan Ilmunya
Barat Ketigo meneliti dan mencoba sampai sejauh mana Ilmunya Sunan
Bejagung.

Berangkatlah Patih Gajah Mada tanpa balatentara ia menyamar dan


menggunakan nama Barat Ketigo. (suatu nama Ilmu Tinggi yang
dimilikinya) Ia mengaduk air laut Tuban sampai keruh; dan berpura-
pura mencari ikan dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung, Barat
ketigo ditanya, ia menjawab: “mencari ikan dodok, karena adiknya hamil
dan nyidam ingin makan ikan dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar dibuat timba/tempayan dan
Barat ketigo diperintah untuk mengambil daun waru. Setelah
timba/tempayan lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru
dimasukkan kedalam timba. Seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok.
Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Desa Bejagung, sampai sekarang
apabila mengadakan kenduri selalu menggunakan ikan dodok kering.

5.6 POHON KELAPA DIREBAHKAN DENGAN JARI TANGAN DAN PERISTIWA MOJO AGUNG.

Suatu saat Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung. Ia
pergi ke Bejagung dan setelah berada di tegal Sunan Bejagung ia
menggoyang pohon Kelapa, Sunan Bejagung bertanya , untuk apa anda
menggoyang pohon Kelapa. Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus ingin
minum. Sunan Bejagung berkata : “Kalau digoyang keras nanti kasihan
yang masih muda, ikut berjatuhan dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambilkan buah kelapa dengan cara
merebahkan pohon kelapa dengan cangkul kemudian Barat ketigo
dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua tanpa merusak
kelapa yang masih muda kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak
berdiri seperti semula. Ia kagum atas kesaktian Sunan Bejagung. Tetapi
ia masih belum puas, setelah ia minum air kelapa ia pura-pura masih
haus , ia ingin minum air yang banyak. Setelah kehendaknya itu
disampaikan kepada Kanjeng Sunan kemudian Kanjeng Sunan berkata :
“Kalau demikian anda tunggu di sini saya ambilkan air”.

Tidak lama kemudian Kanjeng Sunan Bejagung mengambil air


dimasukkan kedalam maja kecil sebesar bola tenis (yang disebut Mojo
berduri, yang konon mojo berduri tersebut sampai sekarang masih
hidup terletak di lokasi Pondok Pesantren Sunan Bejagung). Melihat ulah
Sunan Bejagung yang aneh tersebut Barat Ketigo tertawa geli : “masak
air hanya sedikit diwadahi Mojo sekecil itu kok bisa membuat saya puas
dari haus. Ternyata setelah air itu diminum sampai Barat Ketigo
kekenyangan, air yang ada di dalam Mojo kecil tersebut masih utuh dan
tidak habis-habis. Sehingga mojo tersebut disebut MOJO AGUNG
(sekarang digunakan nama Desa Mojo Agung atau Bejagung). Akhirnya
Barat Ketigo merasa kalah sakti dan menyatakan menjadi Santri Kanjeng
Sunan Bejagung., dan sampai meninggal dunia ia tetap menjadi Santri
Kanjeng Sunan Bejagung. Setelah ia wafat dimakamkan di perbatasan
Bejagung-Perunggahan Kulon yang sampai sekarang disebut Makam
Panjang atau Makam Patih Barat Ketigo.

6 KETELADANAN SUNAN BEJAGUNG LOR


Sunan Bejagung Lor adalah tokoh yang pernah disebutkan dalam
berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah satu pelopor penyebaran
Islam di Jawa. Sunan Bejagung Lor juga merupakan salah satu tokoh
kunci proses Islamisasi di tanah jawa yang hidup sebelum Wali Songo
yang mampu menyebarkan dakwah Agama Islam pada jaman kerajaan
Majapahit. Beliau juga berdakwah bersama para ulama-ulama lain dan
mempunyai modal tersendiri untuk menyebarkan agama. Beliau
umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, tapi berasal dari Asia
Tengah. Sunan Bejagung Lor menjadi tokoh kunci dalam penyebaran
Islam di Jawa. Beliau datang dari Hadramaut melalui laut menuju Pasai
kemudian dilanjutkan menuju ke tanah Jawa atau Tokoh yang tetap kuat
menyebarkan Agama Islam pada masa agama Hindu masih mayoritas
dianut oleh penduduk pada masa pemerintahan Majapahit.
Sunan Bejagung Lor memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan
agama Islam. Bahkan pada usianya yang sudah Sepuh belum pernah
surut perjuangannya untuk terus melakukan dakwah. Awal dimulai
dakwah dengan cara mendirikan Pesantren/Kesunanan. Kegiatan
dakwah pun berjalan lancer perlahan tapi pasti.

Sunan Bejagung Lor menyampaikan dakwah dengan bahasa yang


lembut, sopan sehingga masyarakat kagum atas keramahan dan
kebaikan beliau, hingga akhirnya didirikanlah sebuah masjid sebagai
pusat pengembangan pengetahuan agama pada saat itu karena semakin
banyaknya pemeluk ajaran Islam di daerah ini. Dalam kehidupannya
sehari-hari Sunan Bejagung dikenal sebagai orang yang sangat
sederhana, sampai orang tidak mengenalnya mana kala bertemu di jalan
karena beliau tidak menunjukkan kealiman beliau. Beliau berbusana
layaknya rakyat jelata. Beliau tidak pernah menunjukkan kesakralan
seorang kyai ataupun syekh, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu dan
takut ketika bertanya atau bertemu beliau.
Setelah waktu berganti waktu akhirnya agama Islampun berkembang
pesat utamanya di daerah sekitar kasunanan, banyak orang yang sengaja
datang dari jauh untuk menimba ilmu atau menjadi santri di kasunanan
ini, layaknya santri sebuah pondok pesantren dalam aktifitasnya setiap
hari.

7 REFERENSI
1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta:
Transpustaka, 2011
3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
6. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
7. Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony, Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015
8. Mukarrom, Akhwan. Sejarah Islam Indonesia I. Surabaya: Uin Sunan Ampel, 2014.

Anda mungkin juga menyukai