Anda di halaman 1dari 2

PENUGASAN MANDIRI KRITIK SASTRA

Nama : Shafa Arrifa Okta A

NIM : 2101419093

Rombel 3 PBSI 2019

Mengulas Bab 2 buku Tentang Membaca dan Menilai Sastra oleh A.Teeuw

Prof. Dr. Andries Hans Teeuw yang lebih dikenal sebagai A. Teeuw (1921—2012) adalah pakar
sastra dan budaya Indonesia asal Belanda. Buku-bukunya memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam perkembangan ilmu sastra di Indonesia.  Buku-buku itu antara lain Pokok dan Tokoh
dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1954), Sastra Baru Indonesia (1980), Tergantung pada
Kata (1980), Membaca dan Menilai Sastra (1983), dan Sastra dan Ilmu Sastra (1984). 

Bagi Teeuw, sastra bukanlah hal yang remeh-temeh. Di dalam sastra terungkap hakikat
pandangan manusia terhadap eksistensinya. Melalui kritik sastra, hakikat ideologi mengenai
kemanusiaan yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan dapat diungkap. Kritik sastra
menjadi penting karena mengeksplisitkan masalah-masalah eksistensi manusia dalam masyarakat
beserta keyakinannya yang paling mendalam.

Berikut ini pandangan Teeuw tentang kritik sastra dari bukunya yang berjudul Membaca dan
Menilai Sastra (1983).

Membaca dan menilai karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca karya sastra
pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dimaksud oleh
pengarangnya. Proses memaknai sastra memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit,
kompleks, dan beraneka ragam.

Kode pertama yang harus kita kuasai adalah kode bahasa yang dipakai di dalam teks itu. Sebagai
contoh, “ngkane srngga nikang wukir nghulun amujamrih madewasraya dhyayi prapta bhathara
Wisynu hinidhep munggweng sekar pangkaja”. Teks ini adalah awal sebuah sajak panjang
“Hariwangsa” dalam bahasa Jawa Kuno. Syarat mutlak untuk memahami teks tersebut adalah
kemampuan membaca Jawa Kuno yang sebaik-baiknya melalui tata bahasa dan kosakata.
Berdasarkan pengetahuan kode bahasa, kita dapat memahami isi teks. Seperti kutipan, “Di sana,
di puncak gunung aku memuja-muja sekuat tenaga mencari keakraban Tuhan, menatapi turunnya
batara Wisynu yang dibayangkan duduk di atas bunga teratai.”

Memahami kode bahasa saja ternyata belum cukup. Diperlukan pengetahuan kode budaya Jawa
Kuno. Kita harus tahu tentang sistem agama Wisynu, tentang kebiasaan bertapa di puncak
gunung, dan kepercayaan orang Jawa pada abad ke-12 bahwa manusia dapat menyeru kepada
Tuhan agar turun ke dunia, jika manusia tahu aturannya. Kita harus tahu citra orang Jawa
mengenai dewa yang duduk di atas bunga teratai, perlambang, dan maknanya.

Di samping kode bahasa dan kode budaya, kode sastra yang lebih khas juga tidak kurang
penting. Misalnya, dalam hal Serat Wedhatama, kita harus mengetahui kode tembang Jawa agar
kita dapat memberi makna sepenuhnya pada kutipan teks di atas. Dalam tulisan tembang, urutan
kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi, dan unsur tata bahasa tidak hanya
ditentukan oleh kode bahasa, tidak pula ditentukan oleh konvensi budaya, tetapi merupakan kode
khas sastra Jawa (Kutipan buku Membaca dan Menilai Sastra karya A. Teeuw (1983: 12--14). 

Anda mungkin juga menyukai