2, Januari 2014
Aan Herdiana
Mahasiswa Jurusan Dakwah dan Komunikasi
STAIN Purwokerto
Email: aanherdiana@gmail.com
Abstrak
Selain lewat drama, kritik Rendra terhadap pemerintah juga hadir dalam
puisi-puisinya di sepanjang tahun 1970-an. Bahasa dalam puisi tersebut
kemudian dikumpulkan dalam buku puisi Potret Pembangunan dalam Puisi
tertuju langsung dan jelas-jelas menampakkan seruan emosi si “pemberontak”.
Sajak itu mengkritik efek dari industrialisasi, pendidikan, moral, dan lainnya
terhadap keseimbangan antara kemanusiaan dan alam, juga menyerang
perilaku materialistis –tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Kajian ini
difokuskan untuk mengungkap sisi terdalam dari puisi dalam buku Potret
Pembangunan dalam Puisi. Atau dalam bahasa lain, mengacu pada wacana
yang ditampilkan Rendra. Dalam hal ini penulis memfokuskan kajian pada
wacana pendidikan, untuk memandangnya sebagai teks yang hidup, bukan
karya yang mati, yang tidak bersentuhan dengan kondisi-kondisi sosial dan
budaya masyarakat.
Kata kunci: Rendra, Puisi, Wacana, Kritik, Pendidikan.
A. Pendahuluan
Karya sastra (puisi), pada bagian intinya tidak lain ingin menyampaikan
informasi dan pesan kepada pembaca. Dalam hal ini, puisi dipahami tidak
hanya merupakan teks dengan keindahan kata-katanya saja, tetapi juga
menawarkan sebuah pengetahuan. Adapun pengetahuan di dalam puisi,
tidak hadir begitu saja, sebagai sesuatu kebetulan ataupun sesuatu yang
alamiah, melainkan ia hadir karena adanya sistem produksi sosial, sehingga
ia dapat diterima masyarakat.
Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh
lingkup sosial pengarangnya. Hal ini karena pengarang adalah bagian
dari masyarakat dan wakil dari masyarakat dalam mengkonstruk realita
yang ada disekelilingnya. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan
kreatifitas pengarang, sebagai hasil kontemplasi secara individual untuk
menyampaikan pengetahuan.
Dengan menggunakan media bahasa, karya sastra (puisi) juga
menandai perkembangan suatu zaman. Hal ini karena, bahasa sebagai
Aan Herdiana 1
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
bahan baku sastra bukan benda mati (seperti batu, tembaga, dan cat),
melainkan ciptaan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik
dari kelompok pemakai bahasa tertentu.1
Sebagai misal, karya sastra (puisi) Chairil Anwar ditulis dengan bahasa
penuh semangat pergerakan yang membara dalam balutan modernisme.
Sementara itu, puisi-puisi W.S. Rendra menandai usaha untuk melawan
atau memberontak, dominasi kekuasaan yang tidak memihak rakyat kecil.
Secara faktual, pengarang jelas mempunyai peranan penting dalam
sastra, bahkan menentukan. Tanpa “sang kreator”, karya sastra sudah
bisa dipastikan tidak mungkin ada. Menurut Nyoman, tanpa pengarang
fakta-fakta sosial hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan saja.
Pengaranglah, yang melalui imajinasi dan kreatifitasnya berhasil untuk
melihat fakta-fakta secara multidimensional, gejala dibalik gejala.2
Wahyu Sulaiman Rendra melalui kumpulan puisi Potret Pembangunan
dalam Puisi, adalah menjadi wakil masyarakat, sang kreator, dalam merespon
intuisi, pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam mengkonstruk
realitas pembangunan (baca: pendidikan) pada masa Orde Baru. Rendra
dalam kumpulan puisi tersebut, bercerita kembali, berbagi rasa, berbagi
pengalaman, berbagi pengetahuan, dan berbagi simbol dengan masyarakat.
Dalam hal ini, Rendra ingin berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat
dalam sebuah wacana.
W.S. Rendra (yang selanjutnya disebut Rendra), menurut A. Teeuw,3 ahli
sastra asal Belanda, mempunyai visi perjuangan untuk tegaknya identitas
diri manusia Indonesia. Bangsa Indonesia harus menemukan jati diri
sebagai bangsa yang bermartabat, tidak hanya “membeo” dengan mengikuti
kepribadian bangsa lain, apalagi menelan mentah-mentah “sistem” orang
lain, untuk dijadikan pijakan, tanpa terlebih dahulu mengenal jati diri yang
sebenarnya.
Perjuangan Rendra dalam menegakkan identitas bangsa Indonesia,
tidak jarang berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena
itu, tidaklah aneh jika Rendra disebut sebagai “pemberontak”. Akan
tetapi, mengenai pemberontak(an) itu sendiri, Rendra mempunya definisi
tersendiri. Menurutnya, pemberontak adalah mereka yang mempunyai
banyak gairah hidup, yang selalu mendorong kebutuhan mereka untuk
senantiasa menumbuhkan dirinya.4
Dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, yang terbit
pada pada tahun 1980 –saat Orde Baru dalam puncak kejayaan-, Rendra
B. Analisis Wacana
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak
disiplin ilmu, misalnya mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik,
komunikasi, sastra, dan lainnya. Tentunya hal ini sering kali diikuti dengan
beragam dan berfariasinya istilah, definisi, ataupun batasan terhadap
wacana tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai pengertian dari beberapa tokoh, yang
menjelaskan luasnya perbedaan definisi mengenai wacana, seperti berikut.
1. Isitilah wacana, menurut Douglas berasal dari bahasa sansakerta,
yaitu wac/wak/vak, yang artinya, “berkata”, “berucap”. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk anak
yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran) yang bermakna
“membendakan” (normalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan
sebagai “perkataan” atau “tuturan”.6
2. Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk
maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan
semestinya”, dan “komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun
tulisan, yang resmi dan teratur”.7
3. Wacana menurut J.S Badudu adalah rentetan kalimat yang berkaiatan,
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang
lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna
yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; dan kesatuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa
dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan,
yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis.8
4. Fowler mengartikan wacana sebagai komunikasi lisan atau tulisan
Aan Herdiana 3
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang
masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandannga dunia;
sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.9
Menurut Mulyana,10 dalam buku Kajian Wacana, menjelaskan bahwa
unsur pembeda antara “bentuk wacana” dengan “bentuk bukan wacana”
adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantik) yang
dimiliknya. Oleh karenanya, kriteria yang relatif paling menentukan dalam
wacana adalah keutuhan maknanya. Sebagai misal, ketika seseorang di
suatu rumah makan mengatakan:
Ucapan itu, kata Mulyana, dapat dimaknai sebagi wacana. Hal ini
karena ia mengandung keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu
tersirat dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2) makna
dan amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan di tempat yang sesuai
(kontekstual), 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna
tuturan singkat tersebut (mutual intelligibility). Selanjutnya, perhatikan
kalimat-kalimat dibawah ini.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk diatas sangat jelas
dan mudah dipahami. Akan tetapi bentuk tersebut jelas bukanlah wacana.
Hal itu disebabkan, secara keseluruhan bentuk tersebut tidak memiliki
hubungan makna antarkalimat. Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya,
makna kalimat tersebut satu sama lain saling terputus, tidak berhubungan.
Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit dimengerti
kaitan makna antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya.
Adanya kesatuan dalam tubuh wacana, sejalan dengan konsep wacana
menurut Anton. M. Moeliono. Menurutnya wacana adalah rentetan kalimat
yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang
lainnya dalam kesatuan makna. Di samping itu, wacana juga berarti satuan
bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan
gramatikal tertinggi dan terbesar.11
Adapun analisis wacana yang akan dipakai dalam penelitian ini
ada analisis wacana dalam perspektif kritis (Critical Discourse Analysis),
yakni untuk melihat bagaimana analisis kritis wacana ini dipakai untuk
membedah teks (puisi). Dengan mengambil posisi seperti ini, tentu saja
yang akan dilihat adalah bagaimana puisi tidak dapat dilepaskan dari
relasi-relasi kuasa, tidak hanya sebatas membedah sturktur dalam puisi
saja.
Dengan mengambil posisi sebagai paradigma kritis, maka teori-teori
mengenai wacana yang diambil tentu saja bukan dari lingkungan linguistik.
Akan tetapi, menggunakan pengertian wacana yang diperkenalkan –salah
satunya- oleh Michel Foucault. Sumbangan terbesar Foucault adalah
mengenalkan wacana sebagai praktek sosial, dimana wacana berperan
dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan individu.
Aan Herdiana 5
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Aan Herdiana 7
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Aan Herdiana 9
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Aan Herdiana 11
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Aan Herdiana 13
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
…
Pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk membuat hari esok
menjadi lebih baik. Manusia sebagai makhluk yang berpengharapan,
melalu pendidikan, mendesain dan menata kehidupannya agar lebih
baik dan indah. Akan tetapi, potret pendidikan masa Orde Baru, jauh
melenceng dari kodrat pendidikan yang semestinya. Pendidikan hanya
dijadikan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Imbasnya, kurikulum yang dibuatpun tidak untuk memajukan dan
mencerdaskan masyarakat, namun membuat masyarakat bermental
“budak” yang menghamba kepada kedigdayaan negara asing.
D. Kesimpulan
Dalam salah satu wawancaranya dengan koran Republika,22 Rendra
mengatakan bahwa puisi baginya merupakan bukan hanya sekedar
ungkapan perasaan dari seorang seniman. Akan tetapi lebih jauh dan
dalam dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya kepada setiap
bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Dan sejatinya, itulah manifestasi
dari amar ma’ruf nahi mungkar, seperti yang selalu di perintahkan Allah
SWT di dalam firman-Nya.
Dengan puisi-puisinya Rendra mengkritik kebijakan penguasa yang
tidak memihak rakyat. Dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan
dalam Puisi dengan jelas dan lantang Rendra menyuarakan kritiknya.
Dimana salah satu fokusnya adalah kritik pendidikan, yang dinilai telah
melenceng dari fitrahnya. Pendidikan tidak membuat manusia Indonesia
menjadi cerdas, kreatif, dan mandiri. Malahan sebaliknya, membuat manusia
Indonesia menjadi “budak” negara asing, yang hanya bisa memakai, tanpa
mempunyai kemampuan untuk membuat atau memproduksi. Selain itu,
pendidikan juga sudah menjauhkan dari kondisi sosial, budaya yang ada,
yang sejatinya mereka hidup dan tinggal di sana.
Endnotes
1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusasteraan (Jakarta: Gramdedia, 2014 ), hal. 13.
2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)hal. 303.
3
A. Teuuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan dalam Puisi, lihat: Rendra,
Potret Pembangunan dalam Puisi, cet. 3 (Bandung: Pustaka jaya, 2013), hal. 11.
4
Ibid., hal. 22.
Aan Herdiana 15
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
5
Ibid., hal. 5.
6
Mulyana, Kajian Wacana (Yogyarkarta: Tiara Wacana: 2005), hal. 3.
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosda Karya: 2002), hal 10.
8
Eriyanto, Analisis Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 2.
9
Ibid., hal. 3.
10
Mulyana, Kajian Wacana……… hal. 5.
11
Ibid., hal. 3-4.
12
Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Makna (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 1.
13
Ibid., hal. 1.
14
Ibid., hal. 1-2.
15
Ibid., hal. 3.
16
Ibid., hal.93-96.
17
Arif Hidayat, Aplikasi Teori Hermenutik dan Wacana Kritis… hal. 164.
18
Ibid., hal. 163.
19
Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 126.
20
Materi kurikulum pendidikan nasional pada masa Orde Baru dari taman Kanak-kanak
(TK) sampai perguan tinggi, dibuat seragam, tanpa melihat karakteristik pada setiap
daerah. Padahal setiap daerah mempunyai karakteristik dan keunikan yang berbeda, baik
menyangkut potensi alam, potensi budaya, sumber daya manusia, lihat Darmaningtyas,
Pendidikan Pada.. hal. 130.
21
Ibid., hal. 142.
22
Republika.co.id. 24 Agusts 2010, diakses pada tanggal 18 Juli 2014 pukul 12.00.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Khozin. “Konsep Kekuasaan Michel Foucault”, dalam Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam Volume 01, Nomor 02, Desember 2011.
Aveling, Harry. Rahasia Membutuhkan Makna. Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Darmaningtyas. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2012.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas.
Hidayat, Arif. Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis. Purwokerto:
STAINPress, 2013.
Mulyana, Kajian Wacana. Yogyarkarta: Tiara Wacana: 2005.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberpa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Aan Herdiana 17