Anda di halaman 1dari 20

BAB 1.

Pendahuluan

Modernisasi dan Kota Global

Asia tenggara mengalami pertumbuhan cepat dan masuk sebagai Negara Industri Baru
(NIB) walau sesekali mengalami depresi ekonomi. Modernisasi tidak melulu perkara
perkembangan ekonomi tetapijuga menyangkut system politik dan perubahan social. Factor
modernisasi adalah kebijakan yang mengarah pada integrase internasional. Modernisasi hanya
terkonsentrasi di Ibukota negara atau kota utama yang mana lama kelamaan menjadi kota
metropolis. Kota utama adalah tempat terartikulasinya globalisasi, integrase nasional, dan
lokalitas. Dimana kota utama menjadi etalase modernitas global dan sekaligus ekspresi
kesadaran diri bangsa. Kota semakin penting perannya dimana kota menjadi agen pembangunan
ekonomi. Sebab dikotalah jaringan global terbentuk dengan dua implikasi yaitu jaringan global
beragam dan jaringan global yang hanya menyentuh bagian tertentu.

Dalam “Membangun Negara dan Bangsa” Einsenstadt dan Rokkan (1973), Rokkan
menyebutkan “Kekhususan, konsolidasi, dan kekuatasn ekonomi, politik dan budaya yang
dimiliki suatu pusat territorial sebagai salah satu dimensi proses pembentukan bangsa”.
Pemusatan pembentukan kota yang kedua adalah menjadikan Ibukota negara sebagai “pusat
pemujaan nasional”. Terkonsentrasinya elite ekonomi, politik, dan budaya di ibukota, mencegah
adanya kemunculan pusat-pusat lain. Hal tersebut mengakibatkan urbanisme menjadi sebuah
cara untuk dapat mengakses posisi yang lebih tinggi dan berpengaruh dalam ekonomi dan
birokrasi.

Masalah lain yang muncul adalah integrase bangsa yang berbasis satu pusat yang semakin
terintegrasi ke dalam jaringan global. Yang mana muncul konflik-konflik antar kelompok-
kelompok tertentu. Seperti konflik antara kelompok integrase global sebagai kelompok yang
memanfaatkan globalisasi dan kelompok paham bangsa negara yang menjunjung pentingnya
identitas nasional. Hal lain yang muncul akibat globalisasi adalah diferensiasi social yang mana
adanya sebuah kesimpulan tentang kohesi social sangatlah penting (berdasarkan etnis, tradisi,
dll.). Modernisasi mengharuskan adanya lokalisasi untuk penyediaan lahan untuk dijadikan
sebagai pusat-pusat bisnis. Sisi positif dari aksi tersebut adalah terciptanya ruang laba dan
adanya peluang kerja yang baru. Jika disimpulkan, urbanisme Asia tenggara adalah hasil
pergulatan sebagai actor untuk membentuk wajah kota melalui upaya-upaya sadar atau melalui
upaya kelompok-kelompok yang hanya membubuhkan stemple melalui kehidupannya sehari-
hari.

Pendekatan dalam Analisis Perkotaan Asia Tenggara

Kota ada dan keberadaannya dirasakan melalui perlawanan, konflik, model, gaya hidup
dan lain-lain, tetapi cenderung bersahabat dengan penyelidikan sosiologis. Karakteristik kota di
suatu masyarakat berbeda dengan karakteristik di masyarakat lain atau periode sejarah lain.
Dalam artian mustahil untuk mengeneralisasikan kota sebab variabel di satu kawasan tidaklah
sama.

Sehingga satu-satunya cara untuk melakukan pendekatan kota adalah melupakan definisi-
definisi yang umum dan mulai dari perspektif relativitas, yaitu memberikan kepada
keanekaragaman kota itu apa yang menjadi haknnya. Perkotaan diwilayah Eropa dan Amerika
terbentuk di masyarakat yang memiliki kurang lebih konsep budaya dan ideology yang sama.
Sedangkan kota-kota di Asia Tenggara memiliki sejarah keanekaragaman masing-masing yang
berakar dari titik simpul jaringan perdagangan atau titik temu arus kebudayaan dari India dan
China. Untuk itu maka perlu untuk membutakan diri terkait generalisasi dan rujukan tentang ciri-
ciri urbanisasi yang universal jika ingin menemukan tentang tradisi Asia Tenggara yang outentik.

Reproduksi kota bergantung pada dominasi wilayah, pada gilirannya tercipta konsentrasi
penduduk di kota yang kemudian membutuhkan lagi penambahan wilayah untuk dominasi kota
tersebut. Untuk itu terdapat lima macam teori klasik dan neo-klasik tentang urbanisasi untuk
menganalisis proses urbanisasi seperti tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Teori-teori demografis tentang urbanisasi dan migrasi.


2. Teori-teori mengenai system kota.
3. Teori-teori kultural kota.
4. Teori-teori tentang diferensiasi ruang dan social serta segregasi (pemencilan) di
perkotaan, yakni ekologi social dalam perngertian luas.
5. Teori-teori neo-dualis: dengan menggunakan karya-karya penulis ekonomi politik
perkotaan mahzab Pranci (Castells, Lojkine, rangkumannya dalam versi Bahasa inggris
ditulis oleh Pickvance 1976) dan tulisan para teoritis dualis lain, Milton Santos berupaya
mengembangkan teori kota dunia ketiga, yakni teori unrbanisasi dependen (tak bebas).
Jika disimpulkan, kota-kota dibuat dan digeluti oleh pendudukanya; tidak dalam kerjasama
yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak mendominasi dan mendesakkan
pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang didominasi.

Konstruksi Emik Perkotaan Asia Tenggara

Abstrasi ruang dan kreativitas baru merupakan dua proses yang membawa pada suatu
penilaian terhadap kota baru. Abstraksi dari ruang konkret yang disebabkan oleh globalisasi
memungkinkan timbulnya diferensiasi-diferensisasi baru serta keanekaragaman yang tinggi baik
dalam artian gaya arsitektur maupun dalam hal integritas ruang kota ke dalam kondisi global,
nasional dan lokal. Melalui peran baru yang dimainkan oleh kehidupan sehari-hari, kelas tidak
dapat lagi didefinisikan secara ekonomi saja melainkan harus secara tiga-dimensi yang
mempertimbangkan demensi kemampuan ekonomi, dimensi kebudayaan dan simbolisasi
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemuian membentuk gaya hidup yang berbeda-beda di mana
perbedaan, baik secara etnis, agama, social dan sebagainya, menjadi penting.

Jadi makna sahih kota menjadi hilang, demikian juga pola umum perkembangan kota.
Alih-alih adanya suatu makna kota atau makna dari bagian tertentu dari suatu kota, yang ada
ialah makna-makna yang beragam dan saling berbenturan. Dari pengertian ini, konstruksi emik
adalah upaya untuk merekonstruksi konstruksi makna-makna yang dimiliki oleh pihak-pihak
yang hidup di kota. Pada bagian ini berikut focus kami adalah pada dua aspek utama: konstrusi
kultural dan ekonomis perkotaan Asia Tenggara.

Konstruksi Kultural Perkotaan Asia Tenggara

Kondisi yang memungkinkan munculnya kota-kota dan terjadinya urbanisasi adalah


jaringan pertukaran dan perdagangan, system politik, surplus pertanian, dan pembagian kelas
dalam masyarakat. Meski demikian tidak dapat dijelaskan mengapa kota dibangun dengan
sebagaimana terlihat, sebab pembangunan kota juga didasarkan kondisi yang objektif. Dengan
kata lain kota mestinya membawa pesan dan berfungsi sebagai symbol masyarakat secara
keseluruhan. Dengan keadaan demikian, kota dapat muncul sebagai sumber daya kekuasaan para
elite untuk 2 alasan yaitu:

1. Struktur ruang sebagai sumber kekuasaan (Ruang yang bersifat politis dan ideologis)
2. Konstruksi sebagai symbol penyebarluasan Ideologi (Arsitektur dan konstruksi gedung di
kota)

Konstruksi Ekonomi Perkotaan Asia Tenggara

Mogok kerja dan gangguan-gangguan illegal lainnya sering kali terjadi di kawasan Asia
Tenggara, hal ini disebabkan oleh besar pendapatan mungkin yang beredar relatif kecil dan
tertutup. Sehingga hanya sedikit yang tersisa untuk dibelanjakan ke barang-barang hasil industry
atau barang-barang konsumsi. Kebutuhan dasar kelompok berpenghasilan rendah belum
terpenuhi dengan cukup, malangnya kebutuhan dasar mereka tidak memadai karena rendahnya
tingkat pendapatan.

Para ahli teori modernisasi telah mendefinisikan underdevelopment sebagai kemunduran,


keadaan yang belum berkembang. Tetapi pembangunan ekonomi kota meliputi kapasitas
reproduksi yang terbatas yang disebabkan oleh struktur social tertentu, terdapat 2 level yaitu
level rumah tangga dan level keseluruhan masyarakat. Dan sector formal, utamanya para pekerja
bayaran, disubsidi oleh surplus tenaga kerja pada ekonomi subsisten. Reproduksi kelompok-
kelompokberpendapatan rendah, kaum miskin, kaum marginal kota, dan sekaligus kota sebagai
suatu system social dan ekonomi, hanya dapat berlangsung selama masih ada sector subsisten
kota yang menjadi karakteristik yang esensial dan penting.

Wajah-wajah Modernitas

Modernitas kota di Asia tenggara tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, industrialisasi,
dan munculnya kawasan modern, serta daerah kumuh. Modernitas meliputi keduanya (kawasan
modern dan daerah kumuh). Kota-kota besar di Asia Tenggara seperti Bangkok, Jakarta, Manila,
Singapura, dan Kuala Lumpur bercirikan pararelisme antara ruang global, ruang nasional, dan
ruang lokal. Dan keseluruhan ruang tersebut diciptakan oleh ideology-ideologi tertentu. Ideology
tidak benar pun salah, ia adalah ekspresi pluralism yang ada di kota-kota tersebut.

BAB 2. Urbanisme di Asia Tenggara


Bab kedua berfokus pada dua hal yaitu perkembangan urbanisme di Asia Tenggara dan
lintasan urbanisme di Semenanjung Malaysia. Dalam penjelasannya digambarkan bahwa
kawasan di Asia Tenggara terkesan lambat prosesnya dan tingkatnya pun lebih rendah daripada
kawasan lain. Semua kota besar di Asia Tenggara memiliki ciri kota utama dan hal tersebut juga
terlihat bagaimana ibukota negara di Asia Tenggara adalah kota terbesar dinegaranya.
Pengkonsentrasian kota-kota utama menghambat pertumbuhan kota-kota kecil dan ekspansi kota
besar lebih cepat dari pada kota kecil.

Terdapat dua pola utama pembentukan negara: negara pedalaman dan negara pesisir.
Bentuk-bentuk urbanisasi yang berkaitan dengan pola-pola pembentukan negara demikian, yaitu
sebagai berikut:

1. Kota sebagai pusat pengendalian territorial dalam konteks negara pedalaman


2. Kota sebagai pusat jaringan perdagangan

Kedua pola tersebut berimplikasi dengan focus pembangunan yang berbeda yaitu pola
pengendalian territorial dengan tekanan pada penyatuan dalam satu framework dan jaringan
pergadangan dengan penekanan sejarah integritasnya dalam jaringan perdagangan.

Perkembangan Urbanisme di Asia Tenggara

Pada bagian ini penjelasan berfokus pada pola-pola perkembangan urbanisme di Asia
Tenggara. Urbanisasi dan pembentukan negara di Asia Tenggara dapat dibedakan menjadi dua
pola yait kota-kota dagang dan kota-kota suci. Urbanisme di Asia Tenggara tidak dapat lepas
dari konsep perkotaan India dan konsep China. Sehingga kategori kota dapat dikelompokkan
menjadi 3 kategori yaitu kota dagang, kota suci, dan kota penghubung.

Dengan terlibatnya Eropa dalam perekonomian di Asia Tenggara, maka kota-kota dagang
di Asia Tenggara yang menjadi sasaran empuk. Dari sini awal mula kota colonial lahir yang
tujuan awalnya untuk memfasilitasi hubungan dagang dengan kawasan sekitar. Pada bagian ini
penjelasan ditekankan mengenai beberapa kota yang pernah menjadi kota koloial seperti Batavia
(Jakarta), Singapura, dan Rangoon.

Digambarkan bagaimana Jakarta yang merupakan kota colonial akhirnya berkembang


menjadi ibukota nasional untuk negara Indonesia yang awalnya didirikan dengan nama Batavia
untuk menyaingi kota Malaka dan Banten, Singapura yang awalnya pelabuhan entrepot yang
berkembang menjadi kota perdagangan sudah mengisyarakat singapura berkembang menjadi
kota yang merdeka, dan Rangoon yang menjadi kota colonial namun berakhir menjadi kota tanpa
nation akibat dari nasionalisme yang dipaksa runtuh oleh pemerintahan.

Terdapat identifikasi atas perbedaan pola-pola urbanisasi serbagaimana di Singapura


dimana urbanisasi dan pembangunan ekonomi dapat terjalin dengan baik, terutama dengan
dukungan kebijakan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan agar setara dengan Eropa dan
Amerika. Hal yang sama terjadi di Malaysia yang menjadi masalah adalah kota-kota disana di
huni oleh orang China dan India, sedangkan orang melayu berada di perkampungan. Indonesia
adalah contoh kasus involusi, dimana Jawa dengan penduduk yang padat tetapi urbanitasnya
rendah dan perkembangan ekonomi tidak cukup untuk menyediakan lapangan kerja.

Lintasan Urbanisasi di Semenanjung Malaysia

Bagian ini menjelaskan beberapa aspek mengenai lintasan urbanisasi Semenanjung


Malaysia, dimana bab ini berusaha untuk mengimpretasikan proses jangka panjang dari
urbanisasi. Bagian ini membehas beberapa point yaitu dua lintasan urbanisasi zaman colonial,
urbanisasi Malaysia pasca-kolonial 1950-1980 (berkenaan dengan birokratisasi, Industralisasi,
perubahan ekonomi pertanian rakyat), serta memebaha tentang ras dan kelas dalam struktur
masyarakat urban di Malaysia.

Ada 3 point utama yang dapat dipahami dalam bab ini yaitu sebagai berikut:

1. Sejak abad ke-19, dua lintasan utama urbanisassis telah memperluas modus produksi
colonial baru ke pesisir barat Malaysia dengan Malaka dan Pulau Penang sebagai pusat
masing-masing lintasan
2. Birokratisasi, Industralisasi, perubahan ekonomi pertanian rakyat tampil sebagai factor
utama dalam proses urbanisasi Malaysia pada masa pasca-kolonial. Khususnya
komersialisasi pertanian rakyat dan menyusutnya produksi subsisten memacu
pertumbuhan kota kecil dan migrasi ke pusat-pusat metropolitan
3. Meskipun etnisitas masih merupakan factor utama dalam menjelaskan ekologi social
perkotaan Malaysia, kelas social kini tampak sebagai dasar utama yang menstrukturisasi
masyarakat perkotaan Malaysia.
Perbedaan social-ekonomi atau perbedaan kelas menunjukkan Tiefenstruktur yang tumbuh
secara berlebihan dan sebagian terselubung oleh pola-pola etnik dan kultural yang sulit. Korelasi
antara etnis dan pekerja, tidak dapat mengungkan secara jujur hubungan yang rumit dan sukar
dimengerti antara ras dan kelas di perkotaan Malaysia.

BAB 3. Makna dan Kekuasaan dalam Konstruksi Ruang

Bagian 3 dalam buku “Urbanisme di Asia Tenggara” yang babnya berjudul “Makna dan
Kekuasaan dalam Konstruksi Ruang Kota” membahas tentang beberapa kota di Asia Tenggara.
Hans Dieter Evers mencoba menafsirkan kesamaan yang terjadi di Asia Tenggara. Di sini
nampaknya terlihat dalam penataan mikrokosmos dan makrokosmos dalam penataan kota
tradisional.

a. Konstruksi Kultural Kota Budha Theravadha


Terlihat pada sub bab pertama mengenai “Konstruksi Kultural Kota Budha Theravadha”
yang mana mencoba mengambil pemikiran keagamaan yang saling berkelindan yaitu antara
surgawi dan duniawi. Pada akhirnya kota-kota duniawi mencoba membangun duplikat dari dunia
kosmos itu sendiri.

“Seperti halnya kuil atau kota yang dibangun dengan meniru tata bentuk arketipe
kosmos, simbolisme arsitektural juga punya kaitan dengan titik pusat. Menurut Eliade, ada tiga
simbol utama yang berhubungan dengan dan dimiliki oleh suatu pusat:

1. Gunung suci tempat terartikulasinya surga dan dunia;


2. kuil, istana atau monumen ritual yang dipandang sebagai gunung suci dan dengan
demikian merupakan pusat;
3. kota suci atau kuil suci adalah pilar dunia dan dengan demikian merupakan artikulasi
antara surga, dunia dan dunia arwah”

b. Citra Kota Bangkok

Pada Sub bab kedua yang membahas Citra Kota Bangkok sebagai kota suci yang berganti
menjadi ibukota nasional. Bangkok yang memiliki nama lain Krung Thep Rattanakosin
Mahindra (Kota Patung Zamrud Budha Istana Indah bagi Indra) ini memiliki satu struktur yang
bersama-sama menghubungkan kota, kerajaan, dunia dan kosmos, melalui pemusatan semua
struktur ini pada satu titik. Yang dimaksudkan adalah pertama, adanya Pilar Kota yang
merupakan dewa pelindung kota Bangkok atau dalam pendapat penulis buku ini adalah pilar kota
dan upacara-upacara penting yang terkait dengan pilar kota ini adalah konsep Brahma; kedua
adanya kuil istana yang merangkap sebagai pusat ritual penting keagamaan yang menyangkut
negara dan kerajaan; dan yang ketiga adalah Thung Phramen atau Sanam Luang yang merupakan
alun-alun luas di tengah kota Bangkok yang digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan.

Di sini penulis buku ini mencoba menengok adanya hubungan antara tradisi dan
modernitas yang cukup nampak dengan jelas seperti yang dijelaskan dalam laporan tahunan pada
tahun 1968: “Bangkok merupakan perpaduan yang unik antara kebesaran serta ritual warisan
masa lalu dan program modernisasi yang sangat gencar…”. Hal ini seakan-akan menjadi
dualisme tersendiri, antara sibuk duniawi dan sibuk surgawi. Dan semuanya ada harganya
sendiri.

Pada permasalahan Bangkok dalam potretan sehari-hari, Bangkok memiliki pusat-pusat


sendiri dalam masalah setiap aspek kehidupannya. Pusat kota lama di sekitar Sanam Luang, Wat
Phra Khaeu, dan istana raja tetap menjadi pusat di Bangkok. Di lain hal, ada pula pusat-pusat
yang cukup menarik semisal saja di alun-alun Siam yang menjadi pertemuan semua angkutan
umum dan juga pusat komersial, dan monumen Kemenangan sebagai titik pertemuan semua
sistem angkutan umum. Sanam Luang, kompleks istana dan jalan Radamnoen terkait dengan
ritual kenegaraan dan politik. Daerah di sekitar jalan Silon tidak banyak terkait dengan politik
atau kebudayaan namun daerah ini dianggap sebagai sentra bisnis besar di Bangkok dengan
ditandai banyaknya instansi perekonomian di sana. Alun-alun Siam, kawasan Radamri, dan jalan
Sukhumvit termasuk pusat komersial Bangkok, alias sebagian besar pusat perbelanjaan dan
toserba. Jalan Whiphawadhy-Rangsit dan jalan Phaholyothin adalah jalan utama yang
menghubungkan kawasan pusat kota Bangkok dengan bandara, daerah industri di pinggiran kota,
dan daerah-daerah di utara dan selatan Thailand.

Ada dua pengkotakan mengenai karakteristik kepribadian di Bangkok. Pertama, orang


Bangkok sendiri memiliki sifat yang individualis, pamrih, tidak ramah, tamak dan gegabah, yang
mana akhirnya membentuk satu persaingan dengan berbicara yang kalah dan yang menang. Hal
ini berbeda dengan orang non-Bangkok yang dianggap sebagai seseorang yang suka menolong
dan baik hati.

c. Urbanisme dan Tradisi Lokal: Contoh Kota Korat

Setelah Bangkok maka ada yang namanya kota Korat. Kota Nakorn Ratshasima atau
dengan nama resmi Korat, didirikan oleh Raja Narai pada akhir abad ke-17 sebagai pangkalan
perbatasan kerajaan Ayudhya.Konstruksi kota ini mengikuti permainan arsitektur dan pakar
benteng dari Perancis.

Sebagai perbatasan kota Korat menjadi melting pot yang akhirnya menyebabkan kota
Korat menjadi lintas arus budaya, yaitu pengaruh dari kebudayaan Khmer lama, pengaruh dari
kebudayan Laos, dan tentu saja pengaruh-pengaruh kuat dari kekuasaan pusat. Kota Korat
sendiri sebenarnya adalah kota terpencil yang tidak cukup baik dalam masalah ekonomi dan
sosial, namun hal tersebut berubah di saat Perancis sudah mulai menjajah wilayah Laos dan
Kamboja. Oleh sebab itu, batas-batas kerajaan perlu ditegaskan dan dilindungi serta
diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan Thai. Setelah itu pada akhir abad ke-19, Korat
menjadi ibukota Monthon Isaham.

Pada tahun 1900-an, di Korat terjadi ledakan ekonomi yang disebabkan oleh pengadaan
jalur kereta. Ledakan ekonomii yang kedua terjadi pada 1960-an, hal ini berkaitan dengan perang
Vietnam, yang pada akhirnya membuat Korat dimobilisasi karena terdapat pangkalan militer
yang cukup besar di sana. Ketika Chatchai Choonhavan menjadi perdana menteri Thailand pada
1988, yang mana Chatchai telah menjadi landasan bagi perkembangan ekonomi yang cepat.

Sebagai kota yang menjadi melting pot, terjadilah ketidakteraturannya kohesi sosial di
antara kalangan elite lokal. Ditambah lagi kota Korat juga disesaki oleh para migran dengan latar
belakang etnis dan sosialnya yang sangat beraneka ragam. Hal ini tentunya sama seperti di kota-
kota lain. Walaupun sulitnya mencapai kohesi sosial, Korat cukup mencengangkan karena Korat
yang dianggap memiliki penduduk yang karakteristiknya individualis pun ternyata bisa bekerja
sama.
Ada pula cerita mengenai Ya Mo yang memiliki nilai simbolis yang cukup kuat dalam
cerita rakyat Korat. Hal ini dibuktikan bahwa kisah Ya Mo bisa jadi sebagai propaganda
nasionalisme ataupun hubungan antara pusat-kekuasaan-pemerintahan. Mo dialmbangkan
sebagai seorang wanita pembela yang menikahi gubernur pusat sebagai satu bentuk manifestasi
dari pusat kerajaan.

Tradisi ini tentunya menjadi simbol identitas kolektif dan juga terjadilah kontinuitas
kultural yang mana hal tersebut merupakan bagian dari modernisasi. Pemujaan Ya Mo dapat
digambarkan sebagai tradisi yang dikonstruksi dan mengintegrasikan berbagai unsur budaya dan
kelompok sosial di tingkat lokal sebagai bentuk tujuan.

d. Konstruksi Kultural Perkotaan Melayu

unsur kota dalam perkotaan Melayu pun cukup unik. Bercermin dalam kehidupan kraton,
dimana persepsi ruangnya bersifat sentrifokal, dan pusatnya adalah kraton atau istana raja bukan
ibukota kerajaan. Kota-kota Melayu pun dianggap tidak ada pada masa Majapahit walaupun
dalam Negarakertagama disebutkan bahwa belum tentu berbentuk kota yang dikelilingi tembok.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kraton yang dilingkungi dengan dinding tembok, yang
dikelilingi oleh nagaragung (daerah khusus bagi para dalem) yang luasnya lebih besar daripada
kota itu sendiri, dan kawasan-kawasan sekitarnya (mancanegara).

Dalam kasus di Malaysia terjadi satu konstruksi yang berlawanan. Hal ini disebabkan
oleh persebaran antara Melayu dan Cina. Malaysia yang memiliki masyarakat multiras terkhusus
China dan Melayu, akhirnya dapat dipetakan bahwa kelompok Melayu cukup terkonsentrasi di
pedesaan atau kampong sedangkan kelompok China tersebar di kota-kota yang dinaungi dalam
‘chinatown’. Terkotak-kotakan-nya etnis inipun juga didukung oleh pemerintahan kolonial
Inggris kala itu yang telah membentuk landasan sosial-ekonomi yang menjadi dasar bagi
suprastruktur budaya untuk berkembang, menciptakan, menyeleksi, dan memelihara nilai-nilai
tradisional China dan Melayu agar tidak lenyap ditelan masa.

Di Malaysia pun terdapat perbedaan konsep tentang ruang dan citra kota, dimana adanya
ketidakteraturan mengenai konsep ruang dalam pembangunan rumah dan batas-batas antara
kelompok-kelompok perumahan yang tidak jelas garisnya, dan para penduduk tidak tahu persis
sampai dimana batas tanah mereka yang mereka gunakan untuk membangun rumah. Hal tersebut
juga nampaknya terlihat pada orang-orang Melayu yang tidak mau repot dalam pendataan tanah
pada masa kolonial. Pada intinya kampung bukan merupakan sebuah kelompok pemukiman yang
sebagaimana didefinisikan pada tulisan sosiologi.

Dalam buku ini dijelaskan contoh yaitu kota Jakarta yag memilii konsepan, Masjid
Agung menjadi posisi dalam kedudukan sentral, dan upacara-upacara diselenggarakan pada
gedung-gedung pertemuan layaknya pendopo pada masyarakat Jawa. Dan Taman Mini Indonesia
Indah dengan menggambarkan seluruh kepulauan Indonesia di tengah sebuah danau mini, dan
taman ini mengingatkan kepada model pagoda Angkor Wat dan ini menjadi representasi dari
pemikiran mistik Jawa. Di lain hal, penamaan lembaga-lembaga di Indonesia juga memakai
nama Sansekerta, yang dapat direpresentasikan sebagai candi-candi modern yang dibangun
penguasa hari ini.

e. Citra Kota di Sumatra

semesta simbolik terjadi di wilayah Sumatra sebagai bentuk pertarungan hegemoni dari
dominasi orang Jawa, kelompok militer, kelompok Islam dan daerah atau mungkin dari limpahan
dana proyek atau juga mungkin menjadi pertarungan ruang simbolik sebagai pertanda adanya
konflik dan gerakan separatis yang muncul pada pasca orde baru.

Simbol dianggap sebagai instrumen pengonstruksi citra ruang sosial kita. Sebab simbol
merupakan garis demarkasi perbatasan atau garis pemisah dan, sbasis bagi pengklasifikasian
budaya dan tertib sosial. pemaknaan pun dimaknai oleh ranah-ranah semisal di Sumatra ada yang
namanya empat ranah yaitu Islam, Adat Minang, Modernitas, dan Nasionalisme. Masing-masing
simbol tersebut melekat secara fisik pada bangunan-bangunan publik.

Ada beberapa kelompok-kelompok pranata tersebut adalah:

- Pasar setempat sebagai tempat memperjual-belikan barang sekaligus


memproduksi serta mereproduksi makna dan sekaligus menjadi simbol kehidupan
urban. Ditambah lagi, pasar menjadi cukup penting atau sentra dari kehidupan
masyarakat.
- Rumah ibadah terutama di Minang yang mayoritasnya Islam ini menjadi satu
bentuk simbol dari kedudukan keagamaan. Hingga jika merunut pada tahun 70-80
an kita dapat melihat bahwasanya simbol-simbol Islam dikombinasikan dengan
modernitas barat untuk menunjukkan kebangkitan agama Islam Modern
- Kantor pemerintahan sebagai simbol kedudukan kekuasaan. Di dalam kantor-
kantor pemerintahan kiranya terdapat simbol identitas sebagaimana atap
Minangkabau. Hal ini dimaksudkan sebagai satu bentuk legitimasi pemerintah
pusat dan transfer makna yang terkandung dalam adat Minangkabau ke
kebudayaan nasional.
- Bank dan toserba menunjukkan bahwa rasionalias ekonomi sudah berdiri kokoh
dan dengan perlambangan atap bergonjongnya, bank tersebut menjadi kompatibel
dengan budaya tradisional Minangkabau,

BAB 4. Strategi-strategi untuk Bertahan Hidup di Kota

Pada bab ini dijelaskan mengenai strategi-strategi penduduk untuk bertahan hidup di
kota. Pertama-pertama oleh penulis buku ini dijelaskan berbagai pendekatan-pendekatan
ekonomi dan teori ekonomi yang berlangsung dalam fenomena bertahan hidup di kota. Seperti
pendekatan teoritis dalam analisis ekonomi sambilan, pendekatan etatiste atau ekonomi bawah
tanah, teori-teori dualism dan sektor informal, pendekatan produksi subsisten atau produk yang
tidak berorientasi pasar. Dan itu semua dibungkus dengan konsep yang disebut ekonomi
bayangan, maksudnya ialah semua kegiatan ekonomi yang tidak masuk dalam neraca ekonomi
nasional. Bisa dibilang juga kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam statistic resmi
pemerintah. Studi utama buku ini dilakukan di dua kota yang ada di Asia Tenggara. Pertama di
Bangkok, ibu kota negara Thailand. Yang kedua di Jakarta, Ibu kota negara Indonesia.

Strategi hidup di Perkotaan Asia Tenggara

Pada sub bab ini membahas studi kasus bagaimana bertahan hidup di Bangkok dan
Jakarta. Dijelaskan bahwa perbedaan antara distrik kelas atas dengan wilayah selebihnya yang
dianggap kumuh ialah bahwa: distrik atau wilayah kelas atas dirancang oleh para arsitek,
perencana kota, dan badan-badan pemerintah sementara daerah yang kumuh hanya berdasarkan
pada perencanaan dan Tindakan strategis para penghuni daerah itu sendiri.
Dalam studi kasus ini penulis buku menggunakan konsep ekonomi sebagai pisau analasisnya.
Penulis buku membuat istilah yaitu “produksi subsisten kota”. Yaitu sebuah sistem produksi
yang digunakan untuk membuat produksi barang dan jasa yang dikonsumsi sendiri.

Produksi subsisten dapat dibedakan atas dua level. Di level yang satu terdapat reproduksi
sehari-hari yang berlangsung di rumah tangga, yang mencakup smeua pekerjaan rumah tangga
seperti mencuci, memasak, mengurus rumah, membesarkan anak dan sebagainya. Di level yang
lain, produksi subsisten ini diorganisir dalam skala yang lebih intensif, seperti pekerjaan
membangun rumah, menyenglenggarakan perayaan-peraayan dan sebagainya, yang dikerjakan
bersama-sama oleh sejumlah keluarga atau sejumlah anggota keluarga.

Studi kasus Bangkok

Contoh studi kasus di Bangkok pembahasan tentang “pekerjaan rumah tangga di keluarga
Somshid”. Kurang lebih penjelasanya ialah sebagai beriku: Rumah Somshid dihuni oleh lima
orang. Sejak ditinggal mati oleh suaminya ia bekerja sebagai sales asuransi jiwa. Mulai pagi
hingga petang. Putrinya, Maeu (16), lahir di desa dan selama ini tinggal bersama neneknya
sebelum akhirnya tahun lalu ia pindah ke Bnagkok untuk melanjutkan pendidikan di sekolah
perdagangan. Sejak anaknya sekolah di Bangkok, Somshid berjualan mie pada malam harinya di
kawasan sentral daerah pemukiman kumuh tempat tinggal mereka. Itu semua dilakukan untuk
mencari uang tambahan bagi biaya uang sekolah anaknya. Sebetulnya dulu saat masih ada
suaminya, berjualan mie merupakan penghasilan utama keluarga ini. Namun sejak meninggalnya
suaminya Somshid, berjualan mie hanya sekedar pekerjaan tambahan. Tiga anak yang lain
tinggal di rumah tersebut, satu di antaranya mengalami keterbatasan mental karena kurang gizi di
waktu kecil.

Penghasilan utama keluarga ini dari komisi yang diterima Somshid sebagai sales asuransi
jiwa sekitar, 4000 sampai 5000 baht per bulan. Ditambah dengan pendapatan rata-rata berjualan
mie yang sebesar 50 baht per malam. Jadi rata-rata penghasilan yang dimiliki keluarga ini adalah
5000 baht per bulan. Dan ini tergolong tinggi disbanding keluarga-lainya. Pada kasus ini, unit
komsumsinya ialah keluarga Somshid. Produsen utama barang dan jasa secara subsisten adalah
Maeu, putri tertua. Somshid jarang melakukan pekerjaan rumah tangga karena banyak waktu
yang ia habiskan untuk fokus menghidupi keluarganya dengan bekerja. Sementar itu ketiga
anaknya yang lain tidak mengerjakan apa-apa karena mereka masih kecil.
Jika disimpulkan dengan pembahasan studi kasus di Bangkok ynag lainya ialah: Kasus-kasus di
Bangkok menunjukkan bahwa produksi subsisten berkait erat dengan ketersediaan tenaga kerja
dalam rumah tangga dan dengan pengalokasian sumber daya tenaga kerja ini. Pengalokasian ini
sangat bergantung pada akses ke sumber daya tenaga kerja bayaran atau penghasilan sektor
informal dan bergantung pula pada jumlah barang-barang kebutuhan yang harus dibeli. Dengan
kata lain, ia bergantung pada interkoneksi antara reproduksi, produksi, dan konsumsi. Pada kasus
Somshid, penghasilannya sendiri sudah mencukupi untuk menghidupi rumah tangganya,
sehingga anak-anaknya tidak perlu ikut mencari uang. Pekerjaan Somshid menyita hamper
semua waktu kerjanya, oleh sebab itulah sumber daya tenaga kerja putri tertuanya, Maeu,
terpaksa digunakan untuk produksi subsisten. Berdasarkan alokasi sumber daya tenaga kerja di
rumah tangga inilah Maeu bisa bersekolah dan Somshid bisa mencari uang. Alokasi ini akan lain
jika penghasilan Somshid berkurang.

Pada umumnya, penghasilan orang-orang di sini tidak cukup untuk menutup pengeluaran
pokok. Rumah tangga terpaksa menggunakan beberapa sumber pendapatan, ini hanya dapat
mereka lakukan jika memiliki sumber daya tenaga kerja. Untuk rumah tangga yang sangat
miskin akan susah untuk mengkombinasikan berbagai pekerjaan, karena seluruh sumber daya
tenaga kerja terpaksa digunakan untuk mencari uang. Praktis tidak ada ada lagi waktu untuk
melakukan produksi subsisten.

Studi kasus di Jakarta

Mengenai studi kasus di Jakarta ini penulis buku mengawali dengan menjelaskan
masalah dalam hasil survei-survei mengenai pendapatan dan pengeluaran. Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah itu adalah responden yang sulit mengingat Kembali
pengeluarannya untuk jangka waktu yang lama dan juga enggan memberitahukan jumlah
penghasilan mereka yang sesungguhnya. Kendati demikian, dihilangkannya item produksi untuk
konsumsi sendiri dan jasa yang dikerjakan sendiri di rumah tangga juga merupakan penyebab
utama dari kesalahan sumber survei-survei yang ada. Jadi ini belum tentu kesalahan responden
sebab pertanyaan yang diajukan dalam survei tidak memadai.

Dan diutarakan maksud utama penulis buku ini ialah untuk menekankan bahwa mereka
lebih produktif, lebih aktif dan “pandai-pandai” demi kebaikan diri mereka ketimbang yang
diisyaratkan statistik resmi. Untuk menarik perhatian pada persoalan produktivitas ini mungkin
dibutuhkan konsep baru yang lebih komprehensif. Jadi tulisan ini melaporkan hasil-hasil sebuah
survei yang dimaksudkan sebagai upaya awal untuk menyajikan data tentang apa yang
dinamakan sebagai produksi subsisten kota di Jakarta.

Dalam studi kasus Jakarta penulis buku menggunakan Survei PLPIIS (Pusat Latihan
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial) pda tahun 1979 di Jakarta. Tujuan utama digunakannya survei ini
ialah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai “kebutuhan dasar” oleh penduduk Jakarta
yang berpendapatan randah dan seberapa banyak kebutuhan dasar ini dapat dipenuhi. Ternyata,
produksi subsisten merupakan faktor paling penting dalam ekonomi rumah tangga, terutama
rumah tangga miskin, dan pada umunya produksi subsisten ini sangat menentukan kelangsungan
hidup mereka di kota metropolitan.

Mengenai produksi subsisten kota di Jakarta, dapat dilihat dari produksi pertanian yang
masih dilakukan di perkarangan-perkarangan, di kebun-kebun sayur di sepanjang kanal, di
pinggiran jalan kereta api dan jalan raya. Orang-orang juga memelihara ayam, bebek, dan
binatang ternak lain. Meski sebagai dari produk-produk ini dijual ke pasar setempat, Sebagian
besar dikonsumsi sendiri oleh produsennya. Tetapi, produksi subsisten ini hanya dalam bentuk
pertanian subsisten. Pembangunan dan perawatan rumah, kegiatan mengumpulkan kayu bakar
dan air, memasak makanan, menjahit pakaian, merawat Kesehatan, rekreasi dan transportasi juga
merupakan wilayah produksi rumah tangga yang penulis buku ini nyatakan.

Keluar dari Bayangan

Ini adalah bagian penutup dari bab 4. Dijelaskan bahwa Reproduksi sumber daya tenaga
kerja mengubah daerah kumuh menjadi sebuah unit konsumsi sekaligus sebagai unit produksi.
Sumber daya tenaga kerja ini banyak dipakai untuk reproduksi daerah kumuh itu sendiri.

Salah strategi untuk bertahan hidup ialah dengan spesialisai. Seperti kasus Somshid,
apabila penghasilan rumah tangga mencukupi maka satu anggota dalam keluarga
mengkhususkan diri pada satu jeni pekerjaan saja. Jika strategi ini berhasil maka sumber daya
tenaga kerja lain yang dimiliki rumah tangga ini dapat digunakan untuk melanjutkan sistem
Pendidikan anak-anak atau untuk melakukan produksi subsisten. Strategi lainya ialah pandai-
pandai memanfaatkan semua kemungkinan yang mereka miliki agar bisa memperoleh sedikit
uang, bisa dibilang fleksibiltas. Strategi yang ketiga ialah mengkombinasikan spesialisasi dengan
fleksibilitas pada anggota-anggota keluarga yang bekerja.

Jelaslah dalam bab 4, penulis buku ini menyimpulkan bahwa produksi subsisten adalah
ciri penting ekonomi kota. Ia menyediakan tenaga kerja buruh murah dan menciptakan pasar
yang luas bagi barang-barang konsumsi yang dibutuhkan untuk input produksi subsisten.

BAB 5. Akses ke Ruang kota.

Penguasan Lahan Kota, Etnisitas, dan Ruang

Bab 5 yang diberi judul “akses ke ruang kota” ini langsung mengawali pembahasanya
tentang bagaimana penguasan lahan kota yang terjadi, etnisitas penduduk, serta ruang-ruang
yang ada dalam perkotaan. Juga berbagai permasalahan yang terjadi. Disebutkan pula di buku ini
bahwa studi tentang perkotaan yang secara khusus membahas tentang pemilik sebenarnya dari
lahan-lahan yang ada masih jarang. “Siapa pemilik lahan? Ini jarang disurvei”. Oleh karena
pembahasan yang ada dalam bab ini juga menitikberatkan tentang poin “siapa pemilik lahan”.

Dalam pembahasan ini dijelaskan bahwa survei tentang studi-studi mengenai kepemilikan
lahan kota yang dilakukan penulis buku, mendapati bahwa penelitian empiris tentang
kepemilikan lahan kota sangat kurang. Dalam proses perluasan kota ke daerah pedesaan, hal
yang pertama-tama terjadi ialah dipecahnya lahan luas menjadi kapling-kapling yang lebih kecil
dan tak lama kemudian para spekulan tanah dan pengembang menyatukan Kembali lahan-lahan
tersebut. Dalam perubahan struktur kepemilikan ini, setahap demi setahap lahan-lahan tersebut
dibangun dan pemanfaatannya pun berubah dari lahan pertanian menjadi daerah pemukiman.
Menurut penulis buku, trend ini dapat diinterupsi oleh proses pemecahan lahan yang tidak
disertai pembangunan atau oleh pembangunan dengan lompatan jauh (leap-frog development)—
yaitu dengan sengaja membiarkan Sebagian besar lahan tersebut menganggur karena
dimaksudkan untuk spekulasi.

Dengan berkembangnya sektor ekonomi pasar, kalangan kelas atas kota cenderung terjun
ke bisnis spekulasi tanah karena kurangnya pulang investasi. Spekulasi ini bisa jadi mengarah ke
spekulasi institusional—yakni spekulasi antar spekulan—dan secara pelan-pelan merambah ke
desa-desa di sekitar pinggiran kota. Beberapa dari akibat yang ditimbulkan proses ini telah kami
ungkapkan di muka.

Tetapi ekspansi kota berlangsung tidak hanya dalam bentuk ekspansi fisik dan perubahan
kepemilikan lahan, melainkan juga dalam bentuk penyebarluasan konsp-konsep hukum yang
dianut di pusat kota dan secara historis terkait dengan urbanisme dan kapitalisme.

Perubahan Hak atas Lahan di Padang

Pada sub bab ini merupakan studi kasus yang dilakukan oleh penulis tentang pertanahan
yang terjadi di Padang. Alasan utama mengapa “Padang” yang dipilih, karena kondisi
penguasaan hak atas lahan yang terjadi di Padang itu unik. Walaupun daerah tersebut adalah
sebuah kota tetapi penguasaan lahan oleh cara adat tetap bertahan, yaitu tanah kaum. Berbeda
dengan kota-kota lain secara umumnya dimana penguasaan hak atas lahan oleh individu dan
tidak dilakukan dengan cara adat tradisional adalah hal yang umumnya didapati dalam ruang
lingkup perkotaan.

Dijelaskan pula dari hasil temuan penulis buku ini bahwasanya pertumbuhan kota Padang
relatif lambat. Kota belum begitu terdiferensiasi secara jelas menurut wilayah sosial (kecuali di
Kawasan yang dihuni oleh orang Cina). Sehingga dibilang bahwa kota ini sebenarnya mengalami
“involusi” dan struktur sosial dasarnya tidak banyak berubah. Kemudian pada halaman 355
diuraikan hipotesis yang mengemukakan proses-proses dasar yang terjadi dalam penguasaan
lahan kota, yang mungkin berguna bagi studi-studi tentang kasus yang sama. Jika disimpulkan
secara singkat sub bab ini menjelaskan bagaimana pelestarian sistem kepemilikan tanah kaum di
kota Padang dapat bertahan dari arus urbanisme perkotaan.

Akses Lahan di Bangkok

Bagian ini menjelaskan bagaiman studi kasus tentang ruang kota yang ada di Bangkok.
Antara lain tentang pola kepemilikan lahan dan akses lahan, pola pembangunan yang ada di
Bangkok serta berbagai masalah-masalah yang mengiringinya. Penulis buku ini menjelaskan
bahwa pola kepemilikan lahan di Bangkok mempunyai akar sejarah. Pertama, mengenai banyak
sekali tanah yang diberikan oleh raja kepada para bangsawan untuk dibangun menjadi kediaman
mereka. Kedua, Ketika kota Bangkok baru, komunitas pedagang ditempatkan di Kawasan Wat
Sampheng. Ketiga, lahan juga dialokasikan untuk orang-orang yang diungsikan ke Bnagkok
menyusul terjadinya peperangan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan adanya progam
penempatan tersebut muncullah Kawasan-kawasan pemukiman berdasarkan ciri etnis. Keempat,
Ketika badan-badan public didirikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, raja juga
mengalokasikan lahan untuk tapak bangunan lembaga-lembaga ini.

Yang menarik ialah pola pemukiman di kota Bangkok tergantung pada harga tanah, yang
ditentukan oleh jarak lokasi tanah dari pusat-pusat kota dan seberapa jauh dari jalan utama atau
jalan kecil. Akibatnya perbedaan harga tanah di satu lokasi yang sama bisa mencapai lebih dari
60%. Untuk menaikkan harga tanah, pemilik tanah membuat prasaran berupa gang yang
menghubungkan tanahnya dengan jalan raya. Kemudia hal ini menjadi permasalahan bagi
perancangan jalan di kota Bangkok, karena banyaknya gang-gang yang dibuat sendiri oleh
pemilik tanah agar tersambung ke jalan utama.

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana rata-rata penduduk kebanyakan bisa mendapat


akses ke ruang kota? Oleh penulis buku hal tersebut dijelaskan pada halaman 363. Setidaknya
ada 3 cara. 1. Akses ke ruang kota melalui hubungan sosial dan politik. 2. Akses ke ruang kota
melalui fasilitas pemerintah. 3. Akses ke ruang kota melalui pasar.

Sementara itu tentang masalah yang terjadi di kota Bangkok antara lain adalah
keterbatasannya perancanaan kota. Dijelaskan oleh penulis buku ini bahwa akar permasalah
tersebut adalah terlalu banyaknya instansi/badan yang terlibat. Tidak hanya dalam kapasitas
sebagai pemilik lahan tetapi juga dalam mempengaruhi arah pembangunan kota. Sehingga
koordinasi pembanguna di kota kurang maksimal.

Hubungan-hubungan Sosial dan Organisasi Lokal

Sub bab ini menjelaskan berbagai hubungan yang muncul di perkotaan akibat dari
urbanisme, globalisasi, perebutan akses ruang. Intinya hubungan-hubungan yang muncul dalam
dinamika perkotaan. Baik hubungan yang terjadi antara pihak pengembang kota (seperti
pemerintah, perusahan nasional maupun swasta, badan/lembaga lainya) dan masyarakat yang
tinggal di kota. Atau hubungan sosial antar penduduk yang terjadi akibat berbagai “konflik” di
perkotaan, terutama bagi penduduk yang tinggal di kawasan kumuh atau kampung.

Dalam diskusi tentang kawasan kumuh (slum) dan kawasan hunian liar atau “kampung”,
tidak ada kejelasan tentang pengertian istilah-istilah itu. Istilah kampung setidaknya
memperlihatkan sesuatu yang terkait dengan “desa” dan komunitas-komunitas. Namun istilah itu
sebenarnya tidak bisa didefinisikan sebagai “komunitas usaha” (corporate community) karena
ikatan sosial yang ada umumnya adalah antar tetangga saja. Mengenai hubungan hubungan
sosial dalam penduduk kota oleh penulis buku ini dipaparkan uraian studi kasus yang ada di
Jakarta, Manila, Bangkok.

Konklusi yang ditemukan penulis buku ini dalam studi kasus Jakarta adalah hubungan-
hubungan sosial yang dekat dan padat khususnya dalam unit tetangga. Hubungan di luar itu
umumnya bersifat hierarkis dan formal dengan pemerintah atau menurut pelapisan sosial dan
ekonomi dengan kepemimpinan. Sehingga pola ini menyerupai sebuah piramida yang
menekankan bahwa hubungan vertical lebih berpengaruh. Sementara di Bangkok peran tetangga
juga penting, tetapi struktur sosial internal biasanya terbentuk melalui hubungan “patron-client”
yang bersifat hierarkis. Dalam piramida sosial ini hubungan vertical yang terjadi di Bangkok
lebih kuat daripada di Jakarta. Namun pola ini mulai berubah dalam dasawarsa terakhir (saat
buku ini ditulis) karena muncul kelompok-kelompok yang diorganisasikan menurut garis
persamaan dan atas dasar pertemanan.

Mengenai hubungan penduduk dengan badan/lembaga dijelaskan dalam pembahasan


mengenai lokalisasi sebagai perlawanan terhadap penggusuran. Dalam bagian ini dijelaskan
tentang pembongkaran kampung di Jakarta, untuk kasus Manila adalah legalisasi hunian,
sementara di Bangkok mengenai perbaikan kawasan kumuh.

KESIMPULAN

Urbanisme nyatanya telah membawa suatu yang kompleks, baik dari berbicara mengenai
ekonomi hingga mengenai simbol. Hal ini tentunya menjadi suatu kajian yang menarik karena
urbanisme di sisi yang lain membawa dampak yang cukup positif namun juga di lain hal
membawa dampak yang cukup negatif. Sebagaimana dengan pembentukan ruang yang cukup
tidak merata sekaligus ketidakaturan yang terjadi akibat populasi yang membeludak. Pada sisi
yang positif, urbanisme telah membuat satu bentuk pemajuan dan modernisasi dalam hal
ekonomi, politik dan sosial. Pada hal lain lagi, urbanisme juga mempengaruhi simbol-simbol
kota yang juga memberi ruang makna tersirat dalam pranata-pranata sosial.

Anda mungkin juga menyukai