Anda di halaman 1dari 10

Penulis: Todi Santoso

MEMBANGUN KOMUNITAS INSANI DALAM JEJARING SOSIAL

(Penghayatan Iman Generasi Milenial)

Abstak

Social networking is an integral part of everyday life. Through social networks,


the millennial generation can build relationships with others, get information, and
even build a community. The church that lives in this internet age, utilizes social
networks like Facebook and Instagram as a means to proclaim faith. Proclaiming
faith through Facebook and Instagram will create a human community, for
example preaching faith through an account at #katolikmuda, #sahabatkatolik, on
Instagram.

Kata Kunci: Gereja, Jejaring Sosial, Generasi Milenial, Komunitas, Pewartaan.

1. Pengantar

Zaman ini adalah zaman internet. Hampir semua kegiatan dilakukan


melalui internet, khususnya jejaring sosial. Tantangan generasi milenial bukan
lagi soal bagaimana menggunakan internet dengan baik, melainkan bagaimana
hidup baik di era internet. Gereja dan internet tidak bisa dipisahkan lagi. Gereja
mengunakan internet sebagai sarana untuk berelasi dan mewaratakan iman. Gereja
Facebook dan Instagram sebagai sarana untuk berelasi dengan sesama dan
mendapatkan sumber pengetahuan dan membangun komunitas insani.

Dalam kalangan orang muda Katolik, Facebook dan Instagram tidak


jarang digunakan sebagai sarana untuk memberitakan sabda Tuhan dan informasi-
informasi tentang Gereja. Sebagai contoh, saat ini di Instagram terdapat banyak
akun yang mengatas-namakan komunitas kristiani, misalnya #katolikmuda,
#berandakatolik, #sahabatkatolik, #hitsomk, dan #hidupmembiara. Dari akun-
akun tersebut, apakah ada nilai iman di dalamnya? Dan bagaimana generasi
milenial menghayati imannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi kajian
utama dalam tulisan ini.

1
2. Jejaring Sosial dan Kehidupan Sehari-hari

Jejaring sosial merupakan aplikasi yang terdapat di internet, misalnya


Facebook, Instagram, Twitter. Dalam kehidupan sehari-hari, jejaring sosial
merupakan ruang untuk berbagi pengalaman dan menjadi bagian integral dari
kehidupan sehari-hari1. Selain dari itu, jejaring sosial juga merupakan sarana
untuk bersosialisasi dengan orang lain dan mendapatkan informasi. Internet,
khususnya jejaring sosial tidak bisa diabaikan dari realitas kehidupan sehari-hari.
Kehadiran internet membuat dunia digital mampu menembus dunia biasa. 2
Namun, kehadiran internet juga dapat menimbulkan kegelisahan dan
menciptkaan ketakutan dalam kehidupan manusia.

Dalam kehidupan menggereja, penggunaan jejaring sosial tidak bisa


diabaikan. Gereja sangat membutuhkan kehadiran jejaring sosial sebagai sarana
untuk mewartakan iman. Jejaring sosial mempermudah Gereja untuk
menyampaikan pesan Injil, misalnya banyak blog atau website yang menulis
tentang renungan harian dan mingguan. Dengan demikian, orang-orang yang
terkoneksi dalam jaringan sosial dapat mengetahui pesan Injil dengan cepat dan
mudah.

Internet adalah ekstensi yang memperkaya kapasitas kita untuk menjalani


hubungan dan bertukar informasi.3 Sejauh wilayah tertentu memiliki jaringan atau
terkoneksi dengan jaringan internet, maka setiap orang dapat bertukar informasi
dan berkomunikasi dengan orang lain. Singkat kata, jejaring sosial tidak bisa
dipisahkan lagi dari realitas kehidupan manusia.

3. Karakteristik kaum melinial

Akhir-akhir ini, istilah generasi milenial tidak asing lagi di telinga kita.
Generasi ini merupakan suatu budaya baru, di mana anak muda atau orang-orang
yang hidup pada zaman ini seluruh menggantungkan diri pada internet.
Ketergantungan pada internet inilah yang membuat karakteristik orang-orang saat

1
Antonio Spadaro, Cybertheology, New York: Fordham University Press, 2014, hlm. 16
2
Ibid., hlm 18
3
Ibid., hlm. 21

2
ini berbeda dengan orang-orang yang hidup di generasi sebelumnya. Karakteristik
dari orang-orang yang hidup di era net adalah cepat, mudah, dan serba ada.
Karakteristik tersebut merupakan produk dari perkembangan teknologi. Oleh
karena fungsinya yang sangat relevan bagi kaum milenial, maka dengan
sendirinya mereka menggantungkan hidupnya pada internet.

Di Indonesia, banyak warga yang memanfaatkan internet sebagai sarana


untuk bertransaksi dan berelasi. Hal demikian tidak terlepas dari peran orang-
orang yang termasuk generasi milenial. Generasi milenial merupakan generasi net
yang dalam kehidupan sehari harinya terhubung dengan dunia internet.4
Konektivitas internet memudahkan kaum milenial untuk mengembangkan
relasinya dengan orang lain, termasuk melangsungkan suatu transaksi. Di sisi lain,
internet membawa dampak positif. Namun, di satu sisi, intenet juga dapat
membawa dampak negatif. Oleh karena itu, penggunaan internet menuntut suatu
sikap yang bijak dan bertanggung jawab.

Penggunaan internet harus bijak dan bertanggung jawab. Jika tidak


demikian, maka internet menimbulkan dampak yang lebih berbahaya, yakni
budaya hedonisme dan individualisme. Pengaruh internet, terutama jejaring sosial,
sangat baik untuk perkembangan manusia, namun hal tersebut dapat terjadi
sebaliknya. Media membawa perubahan yang mendasar dalam cara intergrasi
sosial sehingga mengarah kepada sikap hedonisme dan individualis. 5 Budaya
hedonisme dan individualisme mengancam masa depan generasi milenial.
Budaya- budaya tersebut dapat membuat kaum milenial tidak peduli dengan
sesama dan hidup serba instan.

Budaya instan yang menjadi ciri khas kaum milenial membuat mereka
tidak memiliki pengalaman dan relasi yang mendalam dengan sesamanya.
Generasi milenial mengandalkan jejaring sosial sebagai sarana untuk mendapat
infomasi dan barbagi.6 Relasi yang dibangun dalam jejaring sosial bersifat
dangkal karena tidak ada perjumpaan secara fisik. Dalam situasi tersebut, sikap

4
http://genesia.net/generasi-milenial/ diakses pada Kamis, 11 April 2019, pkl. 20:47 WIB
5
Dr. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 25
6
http://genesia.net/generasi-milenial/, diakses pada Kamis, 11 April 2019, pkl. 20:49 WIB

3
yang bijak dan bertanggung jawab menjadi poin penting dalam berelasi dengan
sesama. Dengan demikian, internet dapat menjadi sarana yang dapat
mengembangkan dan membangun karakter positif dari generasi milenial.

4. Spiritualitas Teknologi

Jejaring sosial merupakan produk dari perkembangan teknologi. Teknologi


membawa pengaruh positif dan negatif bagi manusia. Dari pengaruh tersebut,
pengguna jejaring sosial dapat memanfaatkannya untuk kebaikan dan kejahatan.
Dalam hal ini, kebebasan pribadi menjadi unsur penentu dalam bertindak.
Pengguna internet dengan bebas menggunakan internet. Internet, khususnya
jejaring sosial diciptakan untuk mempermudah kita dalam memahami dunia dan
manusia. Teknologi, khusunya jejaring sosial membantu manusia untuk mampu
melihat dirinya sendiri, sesama, dan bahkan mampu menyadari kehadiran Tuhan. 7
Singkat kata, kehadiran internet berdampak pada cara mengerti dunia, manusia,
dan Tuhan.

Perkembangan internet tidak bertentangan dengan iman kristiani. Internet


membantu manusia untuk memahami iman dengan lebih baik. Dengan adanya
jejaring sosial, pemahaman tentang iman semakin berkembang. Namun, perlu
dikritisi bahwa iman yang dibentuk melalui internet tidak mendalam karena hanya
sebatas pengertian, tanpa pengalam konkrit. Iman adalah pengalaman perjumpaan
dengan Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, iman menuntut suatu relasi yang
mendalam dengan Tuhan. Iman adalah anugrah dari Tuhan, oleh sebab itu, orang
beriman perlu berelasi dengan-Nya. Namun, relasi dengan Tuhan dibangun atas
atas perjumpaan secara personal dengan-Nya, yakni dalam Ekaristi dan meditasi.8
Hanya dengan cara seperti itu, iman seseorang dapat berkembang dengan baik.

Teknologi, khususnya jejaring sosial harus direfleksikan secara spiritual


supaya memunculkan semangat dan rasa hormat yang luhur terhadapnya.
Sebaliknya bukan melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan. Dengan
merefleksikan keberadaan internet sebagai sarana yang mempermudahkan

7
Antonio Spadaro, Op, cit, hlm. 22
8
Emanuel Martasudjita, Ekaristi: Makna dan kedalamannya, Yogyakarta: Kanisius, 2012, hlm. 54

4
kehidupan, maka internet dengan sendirinya dapat memberi kontribusi nyata bagi
kehidupan manusia.9 Di era digital ini, internet sangat berpengaruh pada
kehidupan masyarakat manusia. Internet dapat membentuk pola pikir, kebiasaan
manusia, dan iman itu sendiri.10 Dengan kata lain, Internet dengan sendirinya
berpengaruh pada pengetahuan manusia tentang Gereja, misalnya meningkatkan
religiusitas manusia.

5. Persekutuan di dalam Jejaring Sosial

Salah satu prinsip jejaring sosial adalah menghimpun keanekaragaman,


baik informasi maupun manusia yang menggunakan informasi tersebut. Seluruh
informasi dipusatkan pada sistem. Sistem tersebbut merupakanan tempat yang
menampung seluruh keaneragaman. Dalam konteks Gereja Indonesia, anggota
Gereja terdiri dari latar bekang budaya dan bahasa yang berbeda. Gereja adalah
11
satu sekaligus banyak. Keanekaragaman dipersatukan menjadi sebuah
persekutuan, yakni di dalam perayaan Ekaristi. Dengan kata lain, pusat jejaring
sosial adalah sistem, sedangkan pusat Gereja adalah Ekaristi.

Dewasa ini, pewartaan iman dapat dilakukan melalui jejaring sosial.


Gereja sebagai instrumen universal dapat menyatukan perbedaan-perbedaan yang
ada. Salah satu sarana yang dapat menyatukannya adalah jejaring sosial. Melalui
jejaring sosial, Gereja dapat saling berbagi pengalaman iman dan melakukan
pewartanan di dalamnya. Dengan sarana ini, Gereja semakin diperkaya oleh
keberagaman itu sendiri.

Relasi di dalam jejaring sosial bersifat horizontal. Namun, berbeda dengan


relasi di dalam Gereja. Relasi Gereja bersifat horizontal dan vertikal. Relasi ini
dengan sendirinya melibatkan Allah di dalamnya. Allah menjadi pusat yang
memungkinkan setiap pribadi dapat berelasi dan membentuk persekutuan.
Persekutuan yang difondasikan pada Allah akan tahan lama bahkan abadi, sejauh
persekutuan tersebut selalu melibatkan Allah di dalamnya. Gereja adalah

9
https://christidhearumahmury.blogspot.com/2015/12/peran-spiritualitas-dalam-dunia-
modern.html, diakses pada tanggal 12 April 2019, pkl. 19.30
10
Antonio Spadaro, Op, cit, hlm. 98
11
Franz Magnis Suseno, Katolik itu Apa?, Yogyakarta: Kanisius, 2017, hlm. 152

5
persatuan mereka yang dipersatukan oleh satu Roh Allah dalam Yesus Kristus. 12
di dalam Yesus, persekutuan disempurnakan.

Persekutuan dalam jejaring sosial tidak memiliki strukur atau hirarki


seperti yang dimiliki oleh Gereja. Relasi di jeajaring sosial dikendalikan oleh
sistem, bukan pribadi yang sedang berelasi. Sedangkan relasi dalam Gereja
dikendalikan oleh Allah sendiri. Singkat kata, pengalaman persekutuan, baik di
dalam Gereja maupun jaringan memiliki makna yang berbeda. Pengalaman
perketuan di dalam Ekaristi merujuk pada pengalaman pribadi akan Allah.
Pengalaman pribadi ini membentuk sikap partisipasi di dalam persekutuan itu
sendiri.

Persekutuan di dalam jejaring sosial juga mengarah kepada persekutuan.


Namun, sifat persekutuan yang ada di jejaring sosial memiliki kedangkalan
makna, tidak seperti persekutuan yang dibangun dalam perayaan Ekaristi. Gereja
adalah suatu persekutuan yang mengarahkan diri pada Kristus. 13 Pengalaman
kebersamaan dalam suatu persekutuan membentuk kita menjadi pribadi-pribadi
yang terarah pada pertobatan dan memampukan kita untuk melaksanakan
evangelisasi. Persekutuan di dalam Gereja dapat menghimpun kebinekaan
sehingga menjadi suatu komunitas dan persekutuan yang terarah pada kesatuan.

6. Membangun Komunitas Insani dalam Jejaring Sosial

Jejaring sosial adalah bagian dari hidup sehari-hari kamu milenial.


Banyak aktivitas dan karya kaum milenial dikerjakan di dalam jejaring sosial,
misalnya berbisnis melaui facebook dan instagram. Selain dari bisnis dan anek
kegiatan lainnya, pewartaan Injil juga dilakukan di jejaring sosial tersebut.
Sekarang ini banyak akun, terutama di instagram memberikan informasi tentang
Gereja, bacaan-bacaan rohani, dan sebagainya. Dari isi informasi yang
diberitakan atau di sampaikan melalui instagram, facebook, dengan sendirinya
jejaring sosial dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun komunitas insani.

12
Ibid., hlm. 153
13
Bernadus Boli Ujan, Liturgi Autentik dan Relevan, ledalero: Maumere, 2006, hlm. 77

6
Komunitas insani adalah Gereja. komunitas ini terdapat unsur pelayanan
dan pewartaan terdapat di dalamnya. Hidup di era internet, pelayanan dan
pewartaan dapat dilakukan melalui Facebook dan Instagram. Di dalamnya,
generasi milenial dapat berelasi dengan sesama, berbagi pengalaman iman dan
pengetahuan tentang Gereja. Manusia adalah makhluk relasional. Dia hidup dalam
berelasi yang ilahi, sesama manusia, alam, dan dengan dirinya sendiri. 14 Relasi ini
membangun suatu komunitas. Di era digital ini, orang dapat membangun
komunitas insani.

Membangun komunitas di jejaring sosial tidaklah mudah karena tidak ada


perjumpaan secara personal. Komunitas dibangun atas dasar prinsip yang sama,
misalnya tujuan dan kehendak yang sama. Di dalam jejaring sosial, hal tersebut
sulit diketahui karena privatisasi pribadi sangat kuat. Namun, suatu komunitas
dapat dibangun dalam jejaring sosial apabila masing-masing pribadi memiliki
sikap kohesif, suportif, solidaritas, dan karakter persahabatan.

Kohesif adalah sikap melekat satu dengan yang lain.15 Sikap demikian
membantu setiap pribadi terlibat aktif dalam suatu komunitas yang dibangun.
Komunitas menuntut suatu sikap kohesif di dalam setiap pribadi agar komunitas
menjad lebih kuat. Sikap kohesif sangat dibutuhkan dalam relasi di dalam jejaring
sosial. Sikap ini membantu setiap pribadi yang terhubung untuk saling mengambil
bagian dari komunitas tersebut. Selain dari kohesif, setiap pribadi juga dituntut
untuk mengembangkan sikap suportif. Komunitas akan lebih kuat jika anggotanya
saling memberi dukungan dan semangat.

Komunitas yang dibangun dalam jejaring sosial menuntut suatu


pengalaman dialogal, pengalaman saling mendengarkan. Sikap saling
mendengarkan dan dialog menjadi dasar untuk menumbuh-kembangakan suatu
komunitas. Sikap saling mendengarkan merupakan bentuk solidaritas. Solidaritas
merupakan prinsip yang menegaskan bahwa manusia berada dalam tataran

14
Antonius Sad Budi, Pewartaan di era Digital dalam iman dan pewartaan, ed: Robertus
Wijanarko dan Adi Saptowidodo, Malang: STFT, 2010, hlm. 28
15
Bdk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, online

7
komuniter.16 Prinsip ini mengedepankan kebersamaan di dalam suatu komunitas.
Dengan prinsip kebersamaan, komunitas akan saling meneguhkan. Solidaritas
tidak hanya sekadar setia kawan dan empati, melainkan menyelamatkan.17
Keselamatan adalah tujuan dari komunitas. Dengan prinsip saling mendengarkan
dan dialog antarpribadi, komunitas akan terarah pada keselamatan.

Relasi di dalam jejaring sosial juga terarah kepada persahabatan.


Persahabatan menuntut suatu relasi yang mendalam, terlebih persahabatan sejati.
Persahabatan sejati bukanlah persahabatan atas dasar saling menguntungkan,
melainkan bentuk pemberian diri.18 Pemberian diri juga dapat dilakukan dalam
relasi di jejaring sosial, misalnya mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menggerakkan orang kepada kebenaran. Pemberian diri dengan sendirinya
menciptakan kreativitas dalam setiap pribadi. Dengan kreativitas itu, persahabatan
bukanlah status atau disposisi, melainkan aktivitas tranformasi diri.19 Singkat kata,
persahabatan di jejaring sosial memungkinkan pribadi tertentu mengalami
tranformasi diri.

Unsur-unsur relasi seperti kohesif, suportif, solidaritas, dan persahabatan


adalah identitas dari relasi itu sendiri. Dengan karakter tersebut, setiap pribadi
menemukan identitas diri sebagai komunitas insani. Komunitas insani dapat
dibangun melalui perjumpaan di jejaring sosial. Meskipun tidak ada perjumpaan
secara personal, relasi tetap dapat diwujudkan, misalnya berkomunikasi dengan
bahasa iman. Setiap pribadi yang terlibat di dalam suatu relasi dengan sendirinya
memiliki maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan tersebut tidak lain
adalah pemahaman akan iman. Dengan kesadaran tersebut, setiap pribadi
dipanggil untuk melakukan pewartaan dan pelayanan di dalam jejaring sosial.
Dengan demikian, aktivitas pewartaan dan pelayanan di dalam jejaring sosial
menumbuhkan kesadaran akan perlunya suatu komunitas, yakni komunitas insani.

16
Armada Riyanto, Katolisitas Dialogal, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 92
17
Ibid
18
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 114
19
Ibid., hlm 116

8
7. Penutup

Gereja dan jejaring sosial adalah sarana untuk membangun komunitas dan
berelasi dengan sesama. Di dalam jejaring sosial, komunitas dibangun atas dasar
kemauan dan tujuan yang sama. Sedangkan, di dalam Gereja, komunitas pertama-
tama adalah panggilan orang beriman dan komunitas tersebut merupakan inisiatif
Allah sendiri. Allah menghendaki agar umat-Nya hidup dalam persekutuan atau
hidup dalam komunitas insani. Gereja dan jejaring sosial adalah dua hal yang
berbeda, namun tak tak terpisahkan. Oleh karena itu, jejaring sosial dapat
dijadikan sarana untuk mengembangkan komunitas gerejawi atau komunitas
insani. Dengan kata lain, Gereja dapat membangun komunitas insani di dalam
jejaring sosial.

Jejaring sosial merupakan ruang untuk berbagi pengalaman dan menjadi


bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Segala aktivitas, termasuk aktivitas
pewartaan dan pelayanan Gereja dilakukan di jejaring sosial, misalnya di
Facebook dan Instagram. Melalui facebook, instagram, dan twitter, kaum
milenial dapat menjalin relasi dengan sesama, bersahabat dan bahkan membangun
komunitas insani. Jejaring sosial harus direfleksikan secara spiritual supaya
memunculkan semangat dan rasa hormat yang luhur terhadapnya, dan dengan
demikian, aktivitas pewartaan dan pelaayanan dapat dilakukan di dalamnya.

Meskipun komunitas di dalam jejaring sosial tidak memiliki strukur atau


hirarki khusus seperti yang dimiliki oleh Gereja, komunitas di dalam jejaring
sosial akan menjadi lebih baik apabila di dalamnya terdapat aktivitas pewartaan
dan pelayanan iman. Generasi milenial dipanggil untuk membangun suatu
persekutuan, yakni komunitas iman. Kesadaran bahwa komunitas yang dibangun
adalah komunitas iman, maka di dalamnnya harus terdapat aktivitas pewartaan
dan pelayanan. Aktivitas pewartaan dan pelayanan yang dilakukan di jejaring
sosial akan menumbuhkan kesadaran dalam setiap pribadi akan perlunya suatu
komunitas iman, yakni komunitas insani. Singkat kata, genarasi milenial dapat
membangun komunitas insani melalui jejaring sosial (facebook dan instagram).

9
Daftar Pustaka

Buku:
Spadaro, Antonio, Cybertheology. New York: Fordham University Press, 2014.

Haryatmoko, Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Martasudjita, Emanuel, Ekaristi: Makna dan kedalamannya. Yogyakarta:


Kanisius, 2012.

Boli Ujan, Bernadus, Liturgi Autentik dan Relevan. Ledalero: Maumere, 2006.

Sad Budi, Antonius, Pewartaan di era Digital dalam iman dan pewartaan (ed:
Robertus Wijanarko dan Adi Saptowidodo). Malang: STFT, 2010.

Riyanto, Armada , Katolisitas Dialogal. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

______________, Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Internet:

http://genesia.net/generasi-milenial/ diakses pada Kamis, 11 April 2019, pkl.


20:47 WIB

10

Anda mungkin juga menyukai