Anda di halaman 1dari 21

RINGKASAN MATERI KULIAH (RMK)

BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK


ANAK USIA DINI

Oleh :

RABIAH AL ZAKIAH ASHARI


A1H118057

JURUSAN PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2023
BAGIAN 1
BIMBINGAN DAN KONSELING KONSEP DASAR DAN PENGEMBANGAN
INOVASINYA

BAB 1 PENDAHULUAN

Mengamati perilaku anak berkebutuhan khusus tidak dapat di lakukan secara sepintas
dan juga sulit untuk dibuat generalisasi dari satu kasus dengan kasus lainnya. Ciri – ciri
perilaku anak autis merentang dalam tiga simpton dengan sejumlah ciri – ciri berprilaku,
yaitu: (1) rentang perhatian yang kurang, gerakan yang kacau, cepat lupa , mudah bingung,
kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas – tugas atau kegiatan bermain (2)
impulsivitas yang berlebihan, dan (3) adanya hiperaktivitas (emosi gelisah, mengalami
kesulitan bermain dengan tenang , mengganggu anak lain, dan selalu bergerak) (Baihaqi &
sugiarmin, 2006:8).

BAB 2 KONSEP DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling


1. Pengertian Bimbingan
Dari beberapa pengertian bimbingan, terdapat persamaan yang esensial
tentang bimbingan yaitu proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar
mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, mengenai diri sendiri,
mengatasi persoalan – persoalannya sehingga individu tersebut dapat menentukan
sendiri, jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa bergantung kepada orang
lain.
2. Pengertian Konseling
Dengan memperhatikan berbagai uraian mengenai defenisi dan karakteristik
dari konseling, maka dapat di simpulkan bahwa konseling adalah suatu proses
pemberian bantuan berupa anjuran – anjuran atau saran dalam bentuk
pembicaraan yang komunikatif antara konselor dengan klien dengan tujuan agar
klien mempunyai kualitas kepribadian dan kesehatan mental yang tangguh,
mengembangkan perilaku yang lebih efektif antara diri dan lingkungannya, dan
dapat menanggulangi problema hidup berserta kehidupannya secara mandiri.
B. Fungsi Dan Tujuan Bimbingan Dan Konseling
1. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Mortesen dan Schmuller (1964: 10-12) mengemukakan tiga fungsi pokok
bimbingan, yaitu : (1) pemahaman diri, (2) pencegahan dan pengembangan diri,
dan (3) membantu individu menyempurnakan cara – cara penyesuaiannya.
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling
a. Secara akademik yaitu layanan untuk membantu siswa agar dapat
menyesuaikan materi pelajaran sesuai dengan kemampuannya
b. Secara psikologis siswa di bantu agar dapat mencapai perkembangan yang di
tandai dengan kematangan, kedewasaan, dan kesehatan pribadi.
c. Secara sosial, siswa di bantu agar mereka mampu bertingkah laku yang wajar
sesuai dengan tuntutan dan norma – norma yang berlaku dalam keluarga,
sekolah dan masyarkat.

C. Prinsip Bimbingan dan Konseling


Prinsip – prinsip yang di maksud adalah hal – hal yang menjadi pegangan dalam
proses bimbingan konseling. Prinsip – prinsip itu adalah sebagai berikut.
1. Bimbingan di peruntukan bagi semua individu
2. Bimbingan bersifat individualisasi
3. Bimbingan menekankan hal yang positif
4. Bimbingan merupakan usaha bersama
5. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan
6. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan

D. Ragam Bimbingan dan Konseling


Secara umum, bimbingan dan konseling dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu: (1)
masalah, (2) layanan, (3) pendekatan, dan (4) teknik. Dalam studi ini pembahasan lebih di
fokuskan kepada bimbingan dan konseling dari segi masalah dan layanan.
1. Dilihat dari segi masalah bimbingan dan konseling dapat ditinjau dari empat
bentuk, yaitu bimbingan akademik, bimbingan sosial pribadi, bimbingan karier,
dan bimbingan keluarga. (syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, 2005: 11).
2. Dilihat dari segi layanan, layanan bimbingan dapat di bedakan atas, layanan
orientasi, layanan informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan
bimbingan belajar, layangan konseling perseorangan, layanan bimbingan
kelompok, dan layanan konseling kelompok. ( Dewa Ketut Sukardi, 2002: 43).

BAB 3 STANDAR KOMPETENSI KONSELOR DAN PENEGASAN PERAN


KONSELOR

A. Penegasan Profesi Konselor


Dalam Rensta Depdiknas, di tegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan
dewasa ini berpijak pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional, yaitu : (1)
pemerataan dan peningkatan aksebilitas pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola dan pecitraan publik (Depdiknas, 2007:
3). Dalam pilar tersebut, berorientasi pada pemerataan mutu pendidikan (equality of
education qualityi ) sehingga pada akhirnya praktik pendidikan yang ada dapat di
pertanggungjawabkan kepada publik (masyarakat).

B. Standar Kompetensi Konselor


Kompetensi akademik konselor, meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut.
1. Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani.
2. Menguasai khasanah teoritik dan prosedural termasuk teknologi bimbingan dan
konseling yang mencangkup kemampuan :
a. Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik, dan prosedur dan sarana
yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
b. Mengemas teori, prinsip dan prosedural serta sarana bimbingan dan konseling
sebagai pendekatan, prinsip, teknik, dan prosedur dalam penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
c. Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan,
seorang konselor harus mampu :
1) Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling;
2) Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling;
3) Menilai proses hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta
melakukan penyesuaian – penyesuaian sambil berjalan;
4) Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara
berkelanjutan.
C. Pendidikan Profesional Konselor
Pada saat sekarang ini, di tengah arus globalisasi telah terjadi banyak
perubahan dalam dunia pendidikan termasuk layanan bimbingan dan konseling. Oleh
karena itu, ABKIN dengan para anggotanya berjuang sehingga kemampuan konselor
pun harus memenuhi syarat standar yang telah di tetapkan oleh standar pendidikan
nasional khususnya dalam penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor (PPK)
baik tahap pembentukan kemampuan akademik maupun pembentukan kemampuan
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan
formal.

D. Memformulasikan Gagasan tentang Standar Kompetensi Konselor bagi Anak


Berkebutuhan Khusus
Membicarakan persoalan mengenai penegasan profesi konselor bagi anak
berkebutuhan khusus, harus berangkat dari kajian yuridis, khususnya terkait dengan
Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor. Permendiknas ini merupakan rujukan umum untuk
mempertegas aspek legalitas formal profesi konselor, termasuk gagasan lahirnya
profesi konselor bagi anak berkebutuhan khusus. Hal lainnya supaya kompetensi
profesi konselor bagi anak berkebutuhan khusus, tidak kehilangan kompetensi di
bidang pemahaman psikologi-pendidikan anak berkebutuhan khusus, maka perlu
merujuk pada pemahaman sosok dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Perpaduan
kedua aspek ini akan melahirkan sosok profesi konselor bagi anak berkebutuhan
khusus.
Aspek sosok dari konselor bagi anak berkebutuhan khusus, harus memiliki
kualitas sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terintegrasi dalam pribadi
konselor secara utuh.
Menggagas untuk memformulasikan profesi konselor bagi anak kerkebutuhan
khusus, adalah sesuatu yang tidak bisa di pungkiri. Hal tersebut karena secara empirik
di sekolah nyatanya upaya pengembangan potensi anak berkebutuhan khusus, tidak
cukup dengan layanan pembelajaran, akan tetapi memerlukan layanan psycho-
educational yang di konsepsikan dalam layanan bimbingan dan konseling.
Pertimbangan lainnya bahwa dewasa ini semakin meningkatnya kajian bimbingan dan
konseling dalam setting pendidikan anak berkebutuhan khusus kondisi ini yang
mendorong pemikiran untuk menggagas lahirnya profesi konselor bagi anak
berkebutuhan khusus. Memang upaya mewujudkannya memerlukan pemikiran kritis,
sistematis, dan administratif mengingat banyak bersinggungan dengan pertimbangan-
pertimbangan legalitas-formal, substansial, dan sosiologis.

BAB 4 REPOSISI DAN REKONSEPTUALISASI BIMBINGAN DAN KONSELING:


PENDEKATAN KOMPREHENSIF

A. Bimbingan dan Konseling Komprehensif


1. Kerangka Pikir Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Berangkat dari kerangka berpikir pendekatan bimbingan dan konseling
komprehensif tersebut, maka implementasi layanan bimbingan dan konseling di
sekolah di orientasikan pada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang
meliputi aspek pribadi, sosial, belajar dan karier; atau terkait dengan pengembangan
pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual).
2. Komponen Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Program bimbingan dan konseling yang berbasis pada pendekatan
komprehensif, meliputi empat komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar
bimbingan; (2) pelayanan responsif; (3) perencanaan indovidual; dan (4) dukungan
sistem

B. Implementasi Bimbingan dan Konseling Komprehensif pada Anak


Berkebutuhan Khusus
Pendekatan komprehensif dalam pelayanan bimbingan dan konseling
memberikan kerangka acuan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut.
1. Pertama, layanan bimbingan dan konseling didesain secara utuh dengan
memandang koseli sebagai sosok individu yang berdimensi
biopsikososiospiritual (biologis, psikologis, sosial, dan spiritual).
2. Kedua, ditinjau dari manajemen implementasi layanan, bahwa pendekatan
bimbingan dan konseling komprehensif, bercirikan integratif dengan program
sekolah, berkolaborasi dengan pihak – pihak terkait, memperluas peran konselor,
konsultan, koordinator.
3. Ketiga, dari orientasi layanan bahwa pendekatan bimbingan dan konseling
komprehensif mengakses semua peserta didik.
Berangkat dari beberapa landasan perlunya layanan bimbingan dan konseling
bagi anak berkebutuhan khusus, di akhir pembahasan dalam makalah ini di sajikan
sebuah kerangka pemikiran dalam memformulasikan layanan bimbingan dan
konseling bagi anak berkebutuhan khusus dalam contoh ini kasus pada anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.

BAB 5 KERANGKA KONSEPTUAL BIMBINGAN KONSELING BAGI ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Beberapa Asumsi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Layanan


Bimbingan Konseling
Pertama, anak berkebutuhan khusus hadir didunia (di lingkungan keluarga
dan di sekolah), bukan untuk di banding-bandingkan tetapi dia hadir untuk di fasilitasi
pengembangan diri secara maksimal.
Kedua, yakinkan setiap anak berkebutuhan khusus pasti memiliki potensi yang
dapat dikembangkan, dan tugas lingkungan perkembanganlah yang harus
memfasilitasi pengembangan potensi tersebut.
Ketiga, perkembangan perilaku pada anak berkebutuhan khusus adalah hasil
interaksi personal individu dengan lingkungan perkembangannya.

B. Rambu-rambu Dasar Pelaksanaan Program Bimbingan Konseling bagi Anak


Berkebutuhan Khusus
Berikut ini uraian yang menjelaskan tentang langkah analisis need assesment.
1. Analisis Kesenjangan
Langkah pertama adalah memeriksa kemampuan dasar anak berkebutuhan khusus
di bandingkan dengan tuntutan keterampilan yang harus dimiliki. Dalam
melaksanakan langkah analisis kesenjangan tersebut, ada dua pertanyaan
mendasar yang harus di gali pada diri siswa, yaitu sebagai berikut.
a. Kemampuan dasar sekarang.
b. Kemampuan yang harus dimiliki siswa.
c. Perbedaan atau kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki dengan
kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam menunjang perkembangan
hidup anak berkebutuhan khusus, akan melahirkan analisis kesenjangan.
2. Langkah Mengidentifikasi Prioritas
Langkah pertama seharusnya telah menghasilkan daftar kebutuhan materi
atau layanan apa yang akan perlu disampaikan dalam program bimbingan
konseling.
Ukuran tersebut dapat digunakan untuk menentukan kadar penting.
a. Efektivitas Biaya
b. Peraturan Perundang-undangan
c. Desakan Pimpinan atau Permintaan Orang Tua Siswa
d. Jumlah Siswa yang Memerlukan Layanan BK

C. Kerja Sama Guru dengan Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus


Membangun kerja sama guru dan orang tua di tunjukan untuk pengoptimalkan
pencapaian tugas-tugas perkembangan anak berkebutuhan khusus. Persoalannya
sampai saat ini masih dijumpai kesulitan membangun kerja sama fungsional antara
guru dan orang tua. Banyak fenomena masing-masing pihak (guru dan orang tua)
belum sejalan program yang dilaksanakan. Hal ini akan memberikan kebingunan bagi
anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, berikut diuraikan strategi efektif dalam membangun kerja
sama guru dan orang tua dalam program bimbingan konseling.
1. Membuat kesepakatan di awal tahun ajaran baru atau di awal program
pembelajaran.
2. Membuat program kerja bimbingan konseling yang melibatkan peran orang tua
anak berkebutuhan khusus di rumah.
3. Menciptakan pertemuan reguler dan spontan-fungsional antara guru dengan orang
tua.
4. Melakukan pembimbingan, monitoring dan evaluasi dalam perannya secara
profesional
5. Melakukan pembahasan bersama hasil pembimbingan, monitoring dan evaluasi
secara objektif
BAGIAN II
IMPLEMENTASI LAYANAN BIMBINGAN KONSELING BAGI ANAK AUTIS

BAB 6 KONSEP DASAR KONSELING KELOMPOK


A. Pengertiann Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan bagian dari konsep bimbingan dan konseling,
bahkan dapat di katakan sebagai salah satu bagian aplikasi dari konsep bimbingan dan
konseling yang memiliki konsep tertentu.
Dalam konteks perkembangan individu Dinkmeyer & Muro dalam Natawidjaja
(2009: 6) mengemukakan pengertian konseling kelompok, sebagai berikut.
“Group counseling is an interpersonal process led by a profesionally trained
counselor and conducted with individuals who are coping with typical developmental
probles. It focuses on thoughts, feelings, attitudes, values, purposses, behavior, and
goals of the individuals and total group.”
Penekanan dari batasan konseling kelompok dalam perspektif Dinkmeyer & Muro
di atas, adalah adanya penggunaan istilah “proses”. Dalam konteks ini, konseling
kelompok merupakan suatu proses yang berbeda dengan aktivitas yang sekedar di
lakukan satu atau dua kali selama anak di sekolah (Natawidjaja (2009: 7).

B. Tujuan Konseling Kelompok


Dapat di tarik beberapa hal yang menjadi inti dari tujuan konseling kelompok.
1. Pertama, bahwa melalui proses konseling kelompok, anggota dalam kelompok
atau disebut juga masing-masing konseli didorong untuk lebih memahami dirinya
dengan segala potensi yang dimilikinya untuk menjadi pribadi yang berpikir
positif terhadap perkembangan kepribadiannya.
2. Kedua, bahwa melalui proses konseling kelompok individu dalam kelompok
didorong untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang efektif dalam
upaya mengoptimalkan pencapaian tugas-tugas perkembangan.
3. Ketiga, bahwa proses konseling kelompok di arahkan pada tercapainya
kemandirian konseli dalam mengelola dirinya melalui kegiatan interaksi sosial
dalam aktivitas kelompok.
4. Keempat, bahwa melalui proses komunikasi yang terjadi selama proses konseling
kelompok, konseli dilatih untuk memiliki kepekaan sosial, seperti sikap
kepedulian sesama dan sikap empatik.
5. Kelima, melalui proses komunikasi dalam kegiatan kelompok, konseli dilatih
untuk terampil dalam menetapkan suatu sasaran yang ingin dicapai dan
ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai aktivitas yang konstruktif.

C. Keterampilan yang Harus Dimiliki dalam Pelaksanaan Konseling Kelompok


Dalam melaksanakan proses konseling kelompok, diperlukan beberapa
keterampilan untuk mendukung kelancaran proses konseling dan keberhasilan target
konseling. Berikut dipaparkan beberapa keterampilan yang digunakan dalam
konseling kelompok.
1. Keterampilan pada pemecahan masalah (problem solving)
2. Keterampilan interaksi sosial
3. Keterampilan komunikasi dan information giving
4. Keterampilan observasi
5. Keterampilan mendengar aktif

D. Pendekatan Behavioristik dalam Konseling Kelompok


1. Konsep dasar Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavior
Konseling kelompok dalam pendekatan behavioral, memandang bahwa
perilaku manusia dapat dianalisis sebagai suatu fenomena konsekuensi yang
diterima dari lingkungan. Apabila perilaku manusia yang memperoleh reward atau
penguatan positif maka perilaku yang dimiliki oleh individu tersebut akan
diteruskan atau diulanginya sehingga akan menjadi pola perilaku yang menetap.
Namun apabila perilaku individu tersebut mendapatkan punishment atau
penguatan negatif, maka individu yang bersangkutan akan menghentikan
perilakunya tersebut.
Krumbolz & Thoresen dalam Natawidjaja (2009: 259) memberikan
penekanan bahwa konseling kelompok behavioral adalah upaya melatih atau
mengajar siswa tentang keterampilan interpersonal yang dapat digunakan untuk
mengendalikan kehidupannya dalam menangani masalah pada masa kini dan masa
datang, dan mampu berfungsi dengan memadai tanpa terapi yang terus menerus.
2. Tahapan Konseling Kelompok Behavioral
Konseling kelompok dengan pendekatan behavioral menekankan pada
perubahan perilaku konseli. Untuk merubah perilaku konseli tersebut, diperlukan
mekanisme perubahan perilaku, yang tergambar dalam tahapan sebagai berikut.
a. Memulai Kelompok (Beginning the group)
b. Pembatasan atau penentuan masalah (Definition of the problem)
c. Perkembangan dan sejarah sosial (The development and social history)
d. Pernyataan tujuan behavioral (Stating behavioral goal)
e. Siasat pengubahan tingkah laku (Strategies for behavioral change)
f. Pengalihan dan pemeliharaan tingkah laku yang di kehendaki (Transfer
and maintenance of desired behavior)
3. Tehnik Konseling Kelompok Behavioral
Pelaksanaan konseling kelompok behavioral memiliki berbagai tehnik.
Berikut di paparkan tehnik konseling kelompok behavioral .
a. Systematic desentisisation (Desensitisasi sistematis)
b. Relaxation (Tehnik relaksasi)
c. Tehnik flooding
d. Reinforcement technique
e. Modeling
f. Cognitive restructuring
g. Assertive training
h. Self management
i. Behavioral rehearsal
j. Behavior contract (Kontrak perubahan tingkah laku)
k. Homework assignment (Pekerjaan rumah)
l. Bermain peran (Role playing)

BAB 7 KONSELING KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN


KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTION AUTISM DI
SEKOLAH INKLUSIF

A. Kerangka Umum Pengembangan Keterampilan Sosial Anak dengan High


Functioning Autism dengan Menggunakan Konseling Kelompok dengan Tehnik
Bermain Peran
Keterampilan sosial bagi anak dengan High Functioning Autism dalam
praktiknya akan melibatkan interaksi dalam kegiatan kelompok, sehingga jenis
layanan bimbingan dan konseling yang dipandang tepat adalah konseling kelompok.
Pembentukan perilaku pada anak dengan High Functioning Autism dapat dilakukan
melalui pembentukan suasana lingkungan yang diciptakan secara terstruktur sehingga
perilaku anak dengan High Functioning Autism dapat dimodifikasi sesuai dengan
behavior target, yang dalam konteks penelitian ini adalah keterampilan sosial. Oleh
karena itu, pendekatan konseling kelompok yang digunakan dalam penelitian berbasis
pada analisis pendekatan behavioristik.

B. Konsep Dasar Tehnik Bermain Peran dalam Konseling Kelompok


1. Pengertian Tehnik Bermain Peran
Bermain peran (Role Playing) merupakan satu dari 11 tehnik yang ada dalam
konseling kelompok dan merupakan tehnik yang digunakan dalam penelitian ini.
Ditinjau dari sisi bahasa, role playing terdiri dari dua suku kata: role (peran) dan
playing (permainan). Konsep role dapat di artikan sebagai pola perasaan, kata-
kata, dan tindakan yang ditunjukan/diperfomansikan oleh seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain.
2. Tahapan tehnik bermain peran
Agar dapat menjadi tehnik yang benar-benar efektif, terdapat tiga hal yang
perlu diperhatikan oleh guru dalam aplikasi role playing, yaitu: (1) kualitas
pemeranan, (2) analisis yang mengiringi pemeranan, dan (3) persepsi siswa
mengenai kesamaan permainan peranan dengan kehidupan nyata.

C. Keterampilan Sosial pada Anak High Functioning Autism


Secara umum keterampilan sosial pada anak autis dapat dipahami dalam
beberapa perspektif. Dilihat dari perspektif potensi anak autis dan pembelajaran,
bahwa keterampilan sosial pada anak autis dapat diajarkan atau dilatihkan tentunya
dengan menggunakan pendekatan dan tehnik yang tepat.
Dalam perspektif pendekatan dan tehnik pembelajaran atau terapi, dapat
dinyatakan bahwa upaya mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis
memerlukan pendekatan dan tehnik yang sesuai dengan hambatan dan potensi dasar
yang dimiliki oleh anak autis. Terkait dengan hal ini, desain umum program
pembelajaran spesifik bagi anak autis, adalah Program Pembelajaran Individual (PPI).
Dalam program pembelajaran individual tersebut, guru dapat mengukur jenis perilaku
apa dari keterampilan sosial yang akan diukur dan tehnik apa yang akan digunakan
untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis.
Konsepsi dasar keterampilan sosial pada anak autis, adalah sebuah upaya
untuk mensintesiskan antara batasan keterampilan sosial konsep dasar autisme. Oleh
karena itu sebelum merumuskan konsep keterampilan sosial pada anak autis, perlu
juga di bahas tentang pengertian dan peristilahan autis.

D. Inikator Keterampilan Sosial pada Anak High Functioning Autism


Elksnin & (dalam Fajar.multifly.com) mengidentifikasi keterampilan sosial
dengan beberapa ciri sebagai berikut.
1. Peer acceptance, merupakan perilaku yang berhubungan dengan
penerimaan teman sebaya misalnya, memberi salam, memberi dan
meminta informasi, mengajak teman terlibat dalam suatu aktivitas dan
dapat menangkap tepat emosi orang lain.
2. Keterampilan komunikasi, merupakan suatu yang diperlukan untuk
menjadi lamabang sosial yang baik.
3. Perilaku interpersonal, merupakan perilaku menyangkut keterampilan
yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial.
4. Perilaku personal, merupakan keterampilan untuk mengatur diri sendiri
dalam situasi sosial, misalnya dalam menghadapi stress, memahami
perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sejenisnya.

E. Faktor-faktor yang Memeranguhi Keterampilan Sosial pada Anak High


Functioning Autism
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi keterampilan sosial anak antara lain
faktor internal, faktor eksternal dan faktor internal eksternal. Sebagaimana di
ungkapkan oleh Natawidjaja (Setiasih, 2005: 13-14) menjelaskan bahwa :
”faktor internal merupakan faktor yang dimiliki manusia sejak dilahirkan
yang meliputi kecerdasan , bakat khusus, jenis kelamin, sifat-sifat kepribadiannya.
Faktor eksternal yaitu yang dihadapi oleh individu pada waktu dan setelah anak
dilahirkan serta terdapat pada lingkungan seperti keluarga, sekolah, teman sebaya,
lingkungan masyarakat. Sementara faktor insternal eksternal faktor yang terpadu
antara faktor luar dan dalam yang meliputi sikap, kebiasaan, emosi, dan
kepribadian”.
F. Fungsi Keterampilan Sosial pada Anak High Functioning Austism
Dengan demikian berdasarkan beberapa uraian diatas, secara ringkas bahwa
fungsi keterampilan sosial adalah sebagai berikut.
1. Sebagai sarana untuk memperoleh hubungan yang baik dalam berinteraksi
dengan orang lain.
2. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup di masyarakat, yakni
harmonis, sejahtera dan produktif.
3. Untuk memupuk perilaku proaktif, prososial, dan altruisme yang sangat di
butuhkan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Adapun kedudukan keterampilan sosial sangat penting bagi
kehidupan bermasyarakat, khususnya memberikan citra kualitas
kepribadian seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.

G. Tehnik Mengembangkan Keterampilan Sosial pada Anak High Functioning


Autism
Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Mesibov dalam Christoper (2006: 18)
menemukan tehnik lainnya yang dapat digunakan dalam mengembangkan
keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism, yaitu: diskusi
kelompok (group discussion), mendengarkan dan berbicara (listening and talking),
bermain peran (role playing), dan mengapresiasi humor (appreciation of humor).
Untuk menjamin keberhasilan dalam mengembangkan keterampilan sosial
pada anak autis, Elizabeth (2009: 597) menyarankan beberapa kiat yang dirumuskan
dalam Program for the Education and Enrichment of Reational Skills (PEERS),
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Instruksi dalam mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis,
harus dalam bentuk instruksi yang terarah, tegas, dan dalam kegiatan di
kelompok kecil.
2. Mengintegrasikan keterlibatan orang tua dalam program secara terpisah.
3. Isi dari program PEER memfokuskan pada peran pembelajaran tentang
etiket berprilaku.
BAB 8 MODEL KONSELING KELOMPOK TEHNIK BERMAIN PERAN UNTUK
MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK HIGH
FUNCTIONING AUTISM

A. Model Rasional
1. Kerangka Pikir Pengembangan Model Rasional
Secara kontekstual, dapat dijelaskan bahwa penggunaan tehnik bermain
peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak high functioning
autism di sekolah dasar inklusif, memiliki dua nilai relevansi. Pertama, konteks
sekolah dasar inklusif memberikan peluang yang luas bagi guru/konselor dalam
menggunakan kelompok campuran (mix partisipan) antara anak High Functioning
Autism dengan peserta didik reguler sebagai media kegiatan konseling kelompok
dengan sasaran konseling adalah anak High Functioning Autism. Kegiatan
bermain peran dalam kelompok campuran memberikan nilai fungsional bagi
konselor untuk menjadikan kegiatan kelompok sebagai upaya penataan
lingkungan yang kondusif bagi proses melatih dan mengembangkan keterampilan
sosial anak High Functioning Autis. Kedua, konteks sekolah dasar inklusif masih
relevan untuk mengajak peserta didik melakukan pemeranan, karena karakteristik
peserta didik di jenjang sekolah dasar masih memungkinkan untuk melakukan
aktivitas bermain secara terstruktur.
Berdasarkan paparan diatas, maka penggunaan model konseling kelompok
dengan tehnik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak
High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif yang dikembangkan dalam
penelitian ini, memiliki kekuatan konseptual, kontekstual, dan teknikal untuk di
laksanakan.
2. Tujuan
Tujuan dari pengembangan model konseling kelompok dengan tehnik bermain
peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak High Functioning
Autism di sekolah dasar inklusif, yang dirumuskan ini sebagai berikut.
a. Memberikan landasan pengetahuan bagi guru-guru di sekolah dasar inklusif
tentang kerangka pikir, prinsip, dan langkah-langkah penggunaan tehnik
bermain peran dalam kegiatan konseling kelompok.
b. Memberikan panduan bagi guru-guru di sekolah dasar inklusif dalam
mengimplementasikan program konseling kelompok dengan tehnik bermain
peran untuk mengembangkan keterampialn sosial bagi anak High Functioning
Autism.
c. Memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial bagi anak High Functioning
Autism melalui tehnik penggunaan bermain peran dalam kegiatan konseling
kelompok di sekolah dasar inklusif.
3. Asumsi Model
Pelaksanaan konseling kelompok dengan tehnik bermain untuk
mengembangkan keterampilan sosial pada anak High Functioning Autism di
sekolah dasar inklusif, didasarkan pada asumsi sebagai berikut.
a. Penyusunan materi dan pemeranan dalam konseling kelompok ini di
dasarkan pada hasil asesmen (penilaian awal) tentang perilaku anak
High Functioning Autism, yang dalam hal ini asesmen tentang profil
keterampilan sosial anak High Functioning Autism.
b. Pelaksanaan konseling kelompok dengan tehnik bermain peran di
sekolah dasar inklusif, akan lebih efektif di laksanakan dalam
kelompok campuran (mix partisipant) anak High Functioning Autism
dengan peserta didik reguler.
c. Pelaksanaan konseling kelompok dengan tehnik bermain peran di
sekolah dasar inklusif, akan lebih efektif apabila didukung oleh
konselor atau guru yang memiliki pemahaman filosofis, konseptual,
dan tehnik operasional.
d. Penyelenggaraan konseling kelompok merupakan bagian integral dari
proses pembelajaran, sehingga sebaiknya guru memanfaatkan temuan-
temuan kontekstual dalam pembelajaran yang memerlukan layanan
konseling kelompok.
4. Target Intervensi
Secara umum target dari model konseling kelompok dengan bermain peran
ini adalah meningkatnya keterampilan sosial pada anak High Functioning Autism
di sekolah dasar inklusif.
Ada lima target behavior yang menjadi tolak ukur keterampilan sosial pada
anak High Functioning Autism dalam konseling kelompok ini, yaitu sebagai
berikut.
a. Meningkatkan kemampuan peer acceptance yang di tunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan salam dan menyala
b. Meningkatnya keterampilan berkomunikasi yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan perhatian dalam pembicaraan
c. Meningkatnya kemauan perilaku interpersonal yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan bantuan
d. Meningkatnya kemampuan perilaku personal yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk menghadapi kendala/kesulitan
e. Meningkatnya kamampuan perilaku yang berkaitan dengan tugas
akademis yang ditunjukan dengan perilaku kamauan untuk
mendengarkan materi pelajaran
5. Komponen Model
Model komponen kelompok dengan tehnik bermain yang dirumuskan dalam
penelitian ini, terdiri dari dua komponen utama, yaitu:
a. Komponen Lnadasan
Model komponen kelompok dengan menggunakan tehnik bermain
peran yang dirumuskan ini memiliki landasan empirik, konseptual, filosofis
yang kuat sebagai sebuah model konseling kelompok yang dapat digunakan
untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak high functioning autism
di sekolah dasar inklusif.
b. Komponen Program
Program layanan konseling kelompok dengan tehnik bermain peran ini
dalam mengimplementasinya melibatkan guru kelas sebagai mitra peneliti,
yang kemudian di konseptualisasikan dalam strategi kolaborasi. Hal ini di
lakukan dengan pertimbangan supaya guru kelas dapat memahami tahapan
pelaksanaan konseling kelompok dengan menggunakan tehnik bermain peran
dalam upaya mengembangkan keterampilan sosial anak high functioning
autism.
c. Langkah-langkah Model
Implementasi model konseling kelompok dengan tehnik bermain peran
ini dilaksanakan dalam langkah-langkah sebagai berikut.
1) Tahap kesatu; asesmen keterampilan sosial pada anak high
functioning autism
2) Tahap kedua; identifikasi permasalahan, potensi, dan pemeranan
3) Tahap ketiga; pelaksanaan tehnik bermain peran
d. Kompetensi Konselor
Kompetensi konselor dalam melaksanakan konseling kelompok
dengan tehnik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada
anak high functioning autism, di sekolah dasar inklusif meliputi hal-hal
sebagai berikut.
1) Mampu menyusun pedoman pengamatan untuk mengungkap perilaku awal
dari peserta didik yang dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial
pada anak high functioning autism di sekolah dasar inklusif
2) Mampu melaksanakan pengamatan dengan menggunakan pedoman
pengamatan yang telah disusun untuk mengungkap perilaku awal peserta
didik yang dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial pada anak high
functioning autism di sekolah dasar inklusif.
3) Mampu melaksanakan konseling kelompok dengan menggunakan tehnik
bermain peran, dengan sub kompetensi
e. Evaluasi Indikator Keberhasilan
Indikator dari keterampilan sosial pada anak high functioning autism
yang dikembangkan melalui penggunaan model konseling kelompok dengan
tehnik bermain peran ini, meliputi lima indikator sebagai berikut.
1) Meningkatnya kemampuan perilaku yang berkaitan dengan peer
acceptance yang ditunjukan dengan perilaku kamauan untuk
memberikan salam dan menyapa
2) Meningkatnya kamampuan perilaku yang berkaitan dengan
keterampilan komunikasi yang ditunjukan dengan perilaku
kemauan untuk memberikan perhatian dalam pembicaraan
3) Meningkatnya kemampuan perilaku interpersonal yang ditunjukan
dengan perilaku kemauan untuk memberikan bantuan
4) Meningkatnya kemampuan perilaku personal yang ditunjukan
dengan perilaku kemauan untuk menghadapi kendala/kesulitan
5) Meningkatnya kemampuan perilaku yang berkaitan dengan tugas-
tugas akademis yang ditunjukan dengan perilaku kemauan untuk
mendengarkan materi pelajaran
f. Pengembangan Staf
Pengembangan staf yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi
para guru kelas tentang pemahaman filosofis, konseptual, dan tehnik
operasional tentang konseling kelompok dengan tehnik bermain peran pada
sasaran anak high functioning autism, dilakukan melalui kegiatan sebagai
berikut.
1) In House Training
2) Workshop
3) Praktik Konseling Kelompok Terbimbing

B. Model Implementatif Konseling Kelompok dengan Tehnik Bermain Peran


1. Pentingnya Implementasi Model Konseling Kelompok dengan Tehnik Bermian
Peran bagi Anak High Functioning Autism Di Sekolah Inklusif
Penggunaan model konseling kelompok dengan tehnik bermain peran dalam
penelitian ini ditunjukan untuk mengembangkan keterampilan sosial, sehingga
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang di hadapi oleh anak high
functioning autism sebagaimana yang dijelaskan. Pelaksanaan tehnik bermain
peran ini, memerlukan keterampilan teknis dari guru yang memadai, sehingga
dapat mencapai target intervensi yang dirumuskan.
2. Filosofis dan Asumsi
Model konseling kelompok dengan tehnik bermain peran untuk
mengembangkan keterampilan sosial pada anak high functioning autism ini
didasari oleh pandangan filosofis sebagai berikut.
a. Suasana pembelajaran di sekolah inklusif harus memberikan peluang yang
sama bagi semua peserta didik untuk beraktivitas dan mengembangkan
potensi diri, dengan memperhatikan kebutuhan layanan khusus pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus
b. Anak high functioning autism memiliki kemampuan untuk mengikuti
pembelajaran bersama anak reguler di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif (Kelle M. Laushey, et al, 2009: 1)
c. Untuk memudahkan terjadinya interaksi sosial yang direktif, guru dapat
membuat instruksi yang terarah (direct instruction)yang menjadi bagian
dari karakteristik tehnik bermain peran dalam konseling kelompok
3. Visi Model Konseling Kelompok dengan Tehnik Bermain Peran
Layanan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus adalah situasi
pembelajaran yang memberikan peluang seluas–seluasnya untuk berkembangnya
kamampuan anak secara komprehensif dan integrasi dengan lingkungan
pembelajaran.
4. Tujuan Model Konseling Kelompok dengan Tehnik Bermain Peran
Secara umum tujuan dari penggunaan model konseling kelompok dengan
tehnik bermain peran ini adalah mengembangkan keterampilan sosial pada anak
high functioning autism di sekolah dasar inklusif. Secara khusus model ini
bertujuan untuk membantu anak high functioning autism untuk:
a. Meningkatkan kemampuan peer acceptance yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan salam dan menyapa
b. Meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan perhatian dalam pembicaraan
c. Meningkatkan kemampuan perilaku interpersonal yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk memberikan bantuan kepada teman sebaya
d. Meningkatkan kemampuan perilaku personal yang ditunjukan dengan
perilaku kemauan untuk menghadapi kendala/kesulitan yang dihadapi
e. Meningkatkan kemampuan perilaku yang berkaitan dengan tugas
akademis yang ditunjukan dengan perilaku kemauan untuk mendengarkan
materi pelajaran

BAB 9 KOMPONEN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING BAGI ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Konsep Dasar Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling


Program bimbingan dan konseling merupakan serangkaian rencana kegiatan
pelayanan bimbingan dan konseling yang akan di laksanakan dalam kurun waktu
tertentu. Pengertian ini mengandung makna bahwa program bimbingan dan
konseling harus memuat semua komponen pelayanan bimbingan dan konseling,
baik komponen layanan, kegiatan pendukung, waktu, personil, fasilitas, dan
pendanaan.
Dalam pelaksanaanya, program bimbingan yang telah disusun berfungsi
sebagai kerangka acuan atau pemandu bagi guru pembimbing dan personil
sekolah yang terlibat dalam melaksanakan seluruh kegiatan bimbingan dan
konseling di sekolah.
B. Prinsip Penyusunan Program Bimbingan Konseling
Penyusunan program bimbingan konseling bagi anak berkebutuhan khusus
harus dirumuskan dengan berpijak pada beberapa prinsip sebagai berikut.
1. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral, dari upaya
pendidikan dan pengembangan individu
2. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel di sesuaikan dengan
kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga
3. Program bimbingan dan konseling disusun secara berkelanjutan dari
jenjang pendidikan yang terendah sampai yang tertinggi
4. Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu di
adakan penilaian secara teratur dan terarah

C. Menyusun Program Bimbingan dan Konseling


Sebagaimana yang telah di bahas pada bahan ajar sebelumnya, bahwa ada dua
substansi utama dari program bimbingan konseling yang disusun untuk membantu
perkembangan optimal anak berkebutuhan khusus. Pertama, substansi tersebut
adalah pengembangan potensi anak berkebutuhan khusus dan kedua pengentasan
atau mengatasi permasalahan yang di hadapi anak berkebutuhan khusus.

Anda mungkin juga menyukai