Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/269100561

STUDI KELAYAKAN APLIKASI LAMINATED GLASS BEAM; INVESTIGASI


PROPERTI KACA INDONESIA DAN PEMODELAN PENGARUH DARI DIMENSI
KACA PADA LAMINATED GLASS SEBAGAI BALOK

Conference Paper · November 2014

CITATIONS READS
0 3,120

3 authors, including:

Ketut Hartana
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
6 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Corrosion Induced Crack in Reinforced concrete View project

All content following this page was uploaded by Ketut Hartana on 04 December 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI KELAYAKAN APLIKASI LAMINATED GLASS BEAM;
INVESTIGASI PROPERTI KACA INDONESIA DAN PEMODELAN
PENGARUH DARI DIMENSI KACA PADA LAMINATED GLASS
SEBAGAI BALOK
I Ketut Hartana1, Triwulan2, dan Pujo Aji3

1
Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Email: har3110@gmail.com
2
Staf Pengajar,Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
triwulan@ce.its.ac.id
3
Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
pujo@ce.its.ac.id

ABSTRAK
Untuk penerapan kaca sebagai balok di Indonesia harus memperhatikan beberapa isu yang
mempengaruhi kondisi kaca yakni dari faktor lingkungan, firma, peraturan, dan propertis
fisik dari kaca. Dilakukan perbandingan kondisi dari negara yang memiliki struktur dengan
balok kaca untuk mendapatkan kelayakan aplikasi. Dari faktor lingkungan diperhatikan
pengaruh dari perbedaan iklim, suhu, dan gempa. Pada faktor peraturan dilakukan
perbandingan dari ASTM dan TRAV terhadap SNI. Pada studi firma dilakuan investigasi
pada firma kaca di Indonesia. Untuk mengetahui propertis fisik dari kaca Indonesia dilakukan
pengujian lentur berdasarkan SNI 15-0047-2005. Dari pengujian didapatkan beban
maksimum dan displacement yang diolah untuk mendapatkan maksimum stress dan nilai
poisson ratio dari kaca. Dilakukan pemodelan dengan program MIDAS FEA dalam analisa
propertis dan permodelan balok kaca laminasi. Terakhir dilakukan studi mengenai faktor
non-struktur yang dapat menyebabkan kegagalan pengaplikasian kaca sebagai balok.
Berdasarkan faktor lingkungan, balok kaca tidak akan dipengaruhi oleh creep secara major
dan beban desain gempa harus diperhatikan. Peraturan di Indonesia belum mengatur
mengenai kapasitas izin dari kaca dan penerapan sebagai material struktur. Firma di
Indonesia belum siap dalam memproduksi kaca untuk struktur. Dari pengujian didapatkan
stress maksimum sebesar 40.253 MPa lebih besar 2.4 x dari allowable stress berdasarkan
ASTM 1300-03. Untuk analisa displacement didapatkan nilai poisson ratio sebesar 0.23.
Permodelan balok laminasi bahwa penambahan tinggi 100mm atau tebal 10mm dapat
meningkatkan kemampuan balok kaca sebesar 10kN. Kegagalan pada balok kaca selain
disebabkan oleh faktor beban, kandungan NiS dan local heating dapat menyebakan keretakan
secara tiba-tiba sehingga perlu dikontrol dalam proses pembuatan kaca dan lokasi
pembangunan.
Kata kunci: Balok kaca, Glass Beam, Midas FEA, Laminated Glass Beam, PVB

1. PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kaca kini dimanfaatkan sebagai elemen stuktur utama yang
memilkul beban struktur. Kaca sebagai elemen struktural pertama dibangun di Paris pada tahun 1993 dan
kemudian berkembang di negara German, Belanda, dan UK. Pada akhrnya tahun 1996 desain arstiektrural
dengan menggunakan media kaca mulai berkembang di negara non eropa, yakni di Jepang, Saudi Arabia, dan
sampai di USA pada tahun 2006 (Fu, 2010).
Selain bersifat artistik, populernya kaca dilatarbelakangi karena dapat diaplikasikan sebagai elemen komposit
pada material lain ataupun sebagai elemen murni struktur bermaterial kaca. Dari segi propertis, kaca memiliki
kuat tarik dan tekan 20 x dan 25 x lebih baik dari pada beton C20/25 serta kuat tekan 2 x lebih baik dari baja
S235, namun kuat tarik kaca hanya 20% dari baja S235 (Wurm, 2007). Point penting dalam desain kaca
adalah getasnya sifat kaca yang akan menyebabkan kaca runtuh tanpa mengalami kelelehan.
Balok kaca merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan kaca pada elemen struktur. Dimensi dan jenis
material kaca yang digunakan tergantung dari perencanaan beban. Material kaca didesain menggunakan jenis
annealed float, fully thermally, dan tempered glass. Ketiga jenis kaca ini memiliki karakter dan kemampuan
yang berbeda sehingga dapat dipilih sesuai dengan desain kebutuhan. Metode yang populer digunakan adalah
penggunaan tipe laminated glass, yaitu tiap-tiap lapisan kaca direkatkan satu dengan lainnya sehingga bekerja
bersama secara komposit. Untuk merekatkan tiap lapis kaca digunakan Polyvinyl butyral (PVB) atau Santry
Glas plus (SGP) (Luigi, 2010).
Penelitian sebelumnya telah melakukan beberapa eksperimen mengenai sifat dan kemampuan balok kaca
dalam menerima beban (umumnya terhadap transvers loading condition), serta pengaruh temperatur terhadap
kekuatan balok kaca. Pada penelitian ini dilakukan study mengenai kelayakan aplikasi dari kaca sebagai
material balok struktur di Indonesia, mengetahui kemampuan dan propertis fisik dari kaca hasil produksi
firma di Indonesia, menemukan metode permodelan balok kaca monolithic dan laminated dalam menganalisa
kemampuan balok kaca serta menentukan hubungan antara perubahan dimensi tinggi atau lebar terhadap
peningkatan kemampuan balok kaca, dan terakhir adalah mengetahui faktor non struktur yang dapat memicu
retak pada kaca sehingga menyebabkan kegagalan. Dari semua study tersebut diharapkan dapat menjadi
langkah awal dalam memanfaatkan material kaca sebagai material applicable pada
konstruksi.mengelompokkannya dalam kelompok-kelompok yang sesuai.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Laminated glass atau kaca laminasi adalah kaca yang pada umumnya teridiri dari dua lembar lapis kaca yang
disatukan dengan interlayer polyvinyl butyral (PVB) atau sentry glass plus (SGP). PVB sendiri merupakan
material serupa karet yang memiliki kemiripan dengan elastomer. (Dahliwal & hay, 2002), sedangkan SGP
adalah lapisan ionolpast, yang terbuat dari ethylene/methacrylic acid copolymers yang dapat melekat secara
permanen pada kaca. Lapisan kaminated glass dapat dilihat pada Gambar 1 (Dahliwal & hay, 2002)

Gambar 1. Struktur Laminated glass


Asik bersama Tezcan pada tahun 2005 meneliti mengenai pengaruh temperatur pada kekuatan laminated
glass. Pengaruh dari temperatur tersebut dibuat menjadi sebuah strength factor yang digunakan pada
perhitungan perencanaan. Besar strength factor tergantung pada tingkat temperatur dan ketebalan dari
laminated glass. Asik meneliti dengan variasi besar beban yakni 15, 50, dan 150 N pada balok kaca dengan
panjang 0.5 meter dan ketebalan 50 mm. Pada suhu berkisar 0oC hingga 49oC. Didapatkan bahwa untuk jenis
laminated glass strength berkisar antara 1.2 hingga 0.65 sedangkan untuk beban yang besar, strength factor
berubah menjadi diantara1.07 hingga 0.95. Ratio panjang terhadap tebal dari laminated glass mempengaruhi
nilai dari strength factor. Dari hasil penelitian, didapatkan semakin tipis laminated glass, maka strength
menjadi lebih kecil
Oleh Luigi Biolzi pada tahun 2010, diteliti mengenai pengaruh dari lapisan interlayer yakni penggunaan PVB
dan SGP. Pada percobaan ini digunakan kombinasi berdasarkan variasi dari tebal masing-masing jenis kaca
yang disatukan dengan PVB dan SGP. Tiap kombinasi dari laminated glass di test dengan three point bending
test. Test in bertujuan untuk mendapatkan nilai lendutan atau displacement dari tiap kombinasi laminated
glass. Test dilangsungkan dengan dimensi aktual dari beam, yakni 1350 mm. terdapat tiga kombinasi yang di
uji berdasarkan ketebalan kaca. Ketiga jenis spesimen tersebut dilaminasi dengan PVB dan SGP sebagai
interlayer. Tebal PVB yang digunakan adalah 0.76mm. Mechanical properties dari PVB tergantung pada
loading rate, strain level, dan tempertaur dari spesimen. Nilai tangen modulus young E dari PVB berfariasi
antara 2.15 Mpa hingga 14.9 Mpa untuk nilai kuat tarik sama dengan 2. Bila kuat tarik melebih 2 maka akan
terjadi kegagalan. Nilai shear modulus G = E/3 dimana poisson ratio dari PVB adalah 0.5 (Benniso et.al,
2008). Dari hasil percobaan pengaruh jenis penggunaan PVB dan SGP sebagai interlayer menghasilkan grafik
hubungan displacement dengan load capacity. Pada laminated glass yang menggunakan PVB, dibutuhkan
beban sebesar 40 kN untuk menghasilkan disppalcement sebesar empat milimeter. Sedangkan untuk SGP
dihasilkan disaplacement sebesar empat milimeter ketika beban bekerja sebesar 50 kN
Pada tahun 2011 oleh Campione dkk, diteliti menganai sambungan structural pada kaca. Koneksi yang diteliti
terbuat dari baja stainless denagan bentuk seperti baja siku. Umumnya pada sambugan dicari kemampaun
maksimal dari kekuatan, katahanan, dan unsur estetikanya. Percobaan dilakukan dengan menggunakan three
point bending test yang pembanannya dilakukan tepat pada daerah sambungan Dari hasil percobaan Three
point bending test, didapatkan bahwa kemampuan terbesar untuk menerima beban adalah tipe sambungan
siku penuh yang mampu menahan lendutan yakni sebesar sembilan milimeter dengan gaya 1650 N.

3. METODA PENELITIAN
Dilakukan studi atau analisa mengenai kelayakan penerapan kaca sebagai balok di Indonesia dengan
melakukan analisa literur dengan membandingkan kondisi dari lingkungan, firma, dan peraturan dari negara
yang telah mengaplikasikan balok kaca sebelumnya. Tahap kedua dilakukan pengujian lentur dengan
mengacu pada SNI 15-0047-2005 dengan jenis pengujian tiga titik. Benda uji berupa kaca monolithic jenis
annealed glass, dengan dimensi 20 mm x 120 mm sebanyak 9 buah. Kecepatan pembebanan adalah 1
kg/detik. Data yang didapatkan berupa data beban dan dispalcement. Skema pengujian lentur dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2 Skema Pengujian Lentur

Hasil pengujian berupa data strain dan load maksimum dilakukan analisa dengan menggunakan persamaan
kuat lentur

3 𝑥𝑥 𝐺𝐺 𝑥𝑥 𝑃𝑃
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 = 𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑐𝑐𝑚𝑚2 (1)
2 𝑥𝑥 𝐿𝐿 𝑥𝑥 𝑡𝑡 2

Dengan:
G adalah beban pada saat benda uji patah (N)
P adalah jarak penumpu (mm)
L adalah lebar benda uji (mm)
t adalah tinggi benda uji (mm)
Dari data beban maksimum, didapatkan nilai tegangan yang bekerja pada balok kaca. Hal tersebut
menunjukan kemampuan maksimum dari balok kaca. Nilai stress yang didapatkan akan dibandingkan dengan
allowable sress dari perturan ASTM 1300-03, hasil pengujian dari Pilkington, dan stress yang didapatkna dari
permodalan dengan bantuan program finite element. Sedangkan dari data displacement yang didapatkan
dilakukan analisa propertis dengan bantuan program finite emelent. Analisa ini dilakuakn untuk mendapatkan
propertis dari kaca produksi firma di Indoensia. Dalam analisa ini dilakukan pula uji sensitifitas untuk
menentukan nilai propertis yang paling memengaruhi perubahan sifat kaca. Dua propertis yang dilakukan
pengujian sensitifitas adalah nilai Modulus Young dan Poisson ratio.
Pada laminated glass dilakukan dilakukan permodelan dengan menggunakan program finite emelent untuk
mendaptakan perbandingan pengaruh dari penambahan tebal atau tinggi pada laminated glass beam yang
bertujuan untuk mendapatkan desain dari laminated glass beam. Terakhir dilakukan analisa terhadap
penyebab kegagalan/retak pada kaca akibat pengaruh non-stukrur.

4. HASIL
Hasil yang didapatkan bersumber dari analisa dengan mengumpulkan data bangunan dengan balok kaca dari
negara Prancis, UK, Netherlands, Germany, Tokyo, Saudi Arabia, USA, dan China. Dilakukan perbandingan
lingkungan, firma, dan peraturan pada masing-masing negara. Selain perbandingan, dilakukan juga study
menganai bentuk bangunan, bentuk balok kaca, dan dimensi balok kaca yang bertujuan menemukan desain
umum dari balok kaca yang diterapkan. Pengujian dilakukan terhadap jenis kaca monolithic annealed glass
dengan hasilnya berupa propertis kaca produksi firma Indonesia. Pemodelan laminated glass dilakukan
dengan bantuan program finite element MIDAS FEA yang hasilnya dibandingkan dengan hasil model uji dari
Biolzi (2010).
Perbandingan Lingkungan
Perbandingan lingkungan berdasarkan analisa data geografi mencakup pada perbedaan iklim,
temperature/suhu, zona gempa, dan kecepatan angin pada masing-masing wilayah pada negara yang telah
menerapkan kaca sebagai sebuah balok pada struktur. Berdasarkan penelitian (Edel, 1997), peningkatan creep
terbesar terjadi pada rentang suhu 10oC – 21oC dengan nilai creep terbesar berada pada suhu 12.6oC. Bila
dihubungkan dengan besar temperatur di negara tropis (Indonesia) dengan rentang suhu berkisar antara 22-
31oC, maka dapat dikatakan penggunaan kaca laminasi sebagai material bangunan tidak akan dipengaruhi
oleh creep secara siginifikan, namun tetap harus menggunakan nilai strength factor minimum. Penelitian oleh
Asik (2006) menganai pengaruh temperatur pada laminated glass dengan percobaan terhadap material kaca
baik monolit dan laminated pada tiga suhu berbeda (laminated) yakni 0oC, 21.11oC, dan 48.89oC. Didapatkan
bahwa pada nilai beban yang sama nilai strength factor pada laminated glass di suhu 0oC mendekati 2x dari
suhu 48.89oC (Asik & Tezcan, 2006).
Perbandingan Peraturan
Peraturan konstruksi di beberapa negara telah mengatur penggunaan kaca dalam struktur antara lain Euro
Code (EC), ASTM, TRAV 2006, dan CAN.
Studi Bentuk Bangunan dan Dimensi Balok Kaca
Masing-masing struktur memilki dimensi dan desain yang berbeda tergantung dari fungsi dan beban yang
diterima oleh struktur tersebut. Adapun jenis struktur yang umum didesain dengan menggunakan balok kaca
adalah jembatan pejalan kaki, plat lantai, glazing, dan all glass structure lantai satu.
Studi Industri Kaca (Firma)
Dua dari lima perusaahaan kaca di Indonesia memiliki keterbatasan produksi kaca hingga jenis laminasi dua.
Sedangkan tiga perusahaan lainnya mampu memproduksi kaca hingga laminasi tiga dengan batasan: 1. Jenis
kaca yang akan dilaminasi harus sama, 2. Ketebalan kaca yang akan dilaminasi harus sama atau maksimum
dengan perbedaan satu tingkat ketebalan (tebal masing-maing kaca lembar produksi telah diatur dalam
perturan SNI 15-0047-2005), 3. Waktu produksi berkisar 3-4 minggu 4. Tinggi dari dimensi kaca yang dibuat
memanjang maksimal adalah 300 mm, 5. Harga yg relatif mahal untuk pembuatan kaca jenis laminasi tiga 12-
10-12 mm (±7 juta/meter), 6. Belum dapat memproduksi jenis chemical tempered.
Studi Propertis Fisik Material
Dari beberapa nilai allowable stress berdasarkan ASTM1300-03, TRAV 2006 dan 2003, serta Pilkington,
didapatkan bahwa ASTM 1300-03 memiliki tegangan izin untuk jenis tempered glass paling besar
dibandingkan TRAV dan Pilkington yakni sebesar 77.2 Mpa, sedangkan TRAV dan Pilkington masing-
masing memberikan tegangan izin yang lebih rendah sebesar 50 Mpa dan 59 Mpa. Peraturan lainnya yang
dapat dijadikan rujukan adalah Peraturan Nasional Canadia CAN/CGSB 12.20.
Pengujian Material
Pengujian lentur dengan three point bending test berdasarkan peraturan SNI 15-0047-2005 menghasilkan data
berupa kapasitas maksimum kaca dan displacement. Berdasarkan hasil beban maksimum rata-rata dari hasil
pengujian 9 buah benda uji yakni sebesar 644.043 N dilakukan analisa dan didapatkan nilai stress pada benda
uji sebesar 40.253 MPa.
Pemodelan Balok Laminasi
Dilakukan permodelan terhadap balok laminasi. Permodelan dilakukan dengan membandingkan dengan jurnal
penelitian dari (Luigi, 2010) dengan menggunakan parameter dimensi dan data hasil percobaan.PVB
didefiniskan sebagai interface pada program MIDAS FEA. Nilai yang digunakan dalam menentukan
kemampuan ikat dari PVB tersebut diartikan dalam joint stiffness yakni berupa nilai normal stiffness (k1) dan
shear stiffness (k2/3). Nilai tersebut didapatkan dari persamaan
𝐸𝐸𝑎𝑎
𝑘𝑘1 =
𝑡𝑡𝑗𝑗

𝐺𝐺𝑎𝑎
𝑘𝑘2/3 = (2)
𝑡𝑡𝑗𝑗
Dengan
k1 = normal stiffness N/mm3
k2/3 = shear stiffness N/mm3
Ea = Modulus young N/mm3
Ga = Shear modulus N/mm2
tj = Tebal dari join mm

Permodelan balok laminasi menggunakan permodelan solid dengan menggabungkan masing-masing elemen
solid menjadi satu kesatuan elemen komposit. Permodelan balok ini menggunakan mesh dengan panjang sisi
30 mm dan perletakan ditentukan sebagai sendi rol. Sebagai perbandingan awal terhadap hasil penelitian
Biolzi (2010), maka diambil hasil analisa ketika beban yang bekerja sebesar 40kN. Hasil stress, strain, dan
displacement dapat dilihat pada Gambar 3.

Stress max: +1.11885e001 Kg/mm2


Strain max: +1.83159e-003

Displacement max: -3.65263e+000

Gambar 3. Hasil stress, strain, dan displacement permodelan laminated glass beam
Kegagalan Tidak Terencana
Kegagalan tidak terencana merupakan jenis kegagalan yang tidak disebabkan oleh kesalahan perencana,
melainkan oleh faktor-faktor lainnya yang tidak terlibat dalam proses desain kekuatan. Kegagalan tersebut
disebabkan oleh Unpure Glass- Unpure glass dapat mengakibatkan kagagalan spontan pada jenis kaca
tempered/themally/proses. Kegagalan ini mengakibatkan retak di seluruh permukaan elemen tanpa beban
langsung dan beban berlebihan. Umumnya kegagalan spontan tersebut akibat terdapatnya NiS (Nikel Sulfida)
pada kaca proses atau kaca laminasi yang dapat memberikan tegangan lokal akibat NiS retarded expansion
(Allewaert et al, 2011). Local Heating- Kaca dapat mengalami retakan yang disebabkan oleh thermal stress
yang berlebih. Thermal stress sendiri disebabkan oleh t
Analisa Data Literatur
Berdasarkan perbandingan lingkungan, Iklim yang berbeda antara tropis dan sub-tropis memengaruhi beban
yang bekerja pada struktur. Pada iklim subtropis perencanaan beban harus memerhitungkan salju yang
menjadi beban tambahan untuk diperhitungan dalam desain, baik kaitannya dengan analisa struktur atau
kondisi material laminasi kaca. Perbedaan ilkim tropis dan subtropis juga memberikan perbedaan pada jenis
bencana badai yang terjadi. Pada iklim tropis umumnya menerima hembusan cyclone tropis (tidak secara
langsung dilalui). Beban badai pada skala satu hingga tiga harus dapat ditahan oleh struktur kaca terutama
glazing dan fins. Beban yang harus ditahan berupa shock load berupa blast dan hantaman dari debris dan
tekanan dari air dan angin yang mencapai 224 km/h pada sekala tiga (bom, 2013). Selain suhu dan iklim,
pengaruh gempa penting diperhitungan mengingat pengaruhnya terhadap beban bekerja pada struktur berupa
beban dinamis
Perbandingan peraturan memberikan gambaran mengenai peraturan-peraturan tiap negara atau benua yang
mengatur menganai pembangunan dengan bahan kaca sebagai material elemen struktur bangunan. Untuk SNI
(Standar Nasional Indonesia) bagian perturan yang mengatur menganai kaca adalah SNI 15-0131-2006, SNI
15-2609-2006, SNI 15-0047-2005, SNI 15-573-1989, dan SNI 15-1574-1989. Keseluruhan peraturan di atas
tergabung dalam daftar perturan Industri Kaca dan Keramik. Perencanaan ASTM E1300-03 diaplikasikan
pada struktur vertikal dan sloped glazing dengan beban-beban kombinasi dari beban angin, beban salju, dan
berat sendiri yang tidak lebih dari 10 kPa. Untuk peraturan eropa yaitu EC (Euro Code) memiliki konsep
dasar yang berbeda dengan perturan di Benua Amerika, baik itu ASTM maupun CAN. Namun masing-
masing telah memiliki metode desain yang dapat digunakan.
Keterbatasan kemampuan firma kaca di Indonesia akan menjadi kendala dalam mendesain sebuah bangunan
yang menggunakan kaca laminasi sebagai struktur. Hal tersebut disebaban desain yang harus digunakan tidak
dapat melebihi kemampuan produksi dari Industri kaca di Indonesia. Maka dalam Indoensia harus menaikan
standar produksi firma atau melakukan penelitian individual tanpa mengacu pada standar negara lain.
Pengujian Material
Nilai stress dari hasil pengujian laboratorium dibandingkan dengan nilai stress hasil pengujian Pilkington,
permodelan, dan peraturan ASTM 1300-03. Nilai stress dari Pilkington memiliki nilai lebih besar 1.115 MPa.
Dibandingkan dengan hasil dari permodelan nilai stress dari pengujian memberikan persen error sebesar
0.35%. Seluruh nilai stress tersebut dibandingkan dengan peraturan ASTM 1300-03 dengan allowable stress
sebesar 16.6 MPa. Ini menunjukan bahwa nilai stress dari pengujian memiliki besar 2.4 x dari stress yang
diizinkan.
Uji sensitifitas dilakukan pada analisa displacement untuk mendapatkan variable acuan. Didapatkan bahwa
sensitiftas dari nilai poisson ratio memiliki pengaruh yang lebih besar dari modulus young. Maka analisa
difokuskan kepada nilai pisson ratio yang didapatkan dengan analisa pemodelan. Pemodelan dilakukan
dengan rentang nilai poisson ratio sebesar 0.18-0.25. Hasil analisa dari permodelan berupa data displacement
yang dibandingkan dengan data displacement rata-rata dari pengujain. Hasil perbandingan tiap-tiap nilai
poisson ratio disajikan dalam bentuk persen error yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Nilai poisson ratio terhadap persen error

Poisson ratio vs Error


2.00
1.80
Error (%)

1.60
1.40
1.20
0.18 0.19 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25 0.26
Poisson ratio

Dari Gambar 4 didapatkan bahwa nilai persen error terkecil terdapat pada nilai poisson ratio 0.23. dengan
nilai persen error sebesar 1.31%. Dari hasil analisa poisson ratio, maka didapatkan kaca hasil peroduksi firma
di Indonesia memiliki propertis yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data propertis float glass


Jenis Data Float
Density (g/cm3) 2.5
Modulus Elastisitas (Gpa) 70
Poisson ration 0.23
Expansion Coeff. 8.1e-6

Pengujian Material
Dari hasil pemodelan, dilakukan perbandingan dengan hasil pengujian penelitian Biolzi (2010)
menganai laminated glass. Perbandingan berupa grafik nilai hubungan load vs dispalcement dan strain yang
ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan hubungan load terhadap displacement dan strain

Dari kedua grafik diatas, didapatkan bahwa hasil dari displacement dari hasil permodelan dapat mendekati
dari hasil uji yang dilakukan oleh Biolzi (2010). Perbedaan dari kedua grafik tersebut adalah hasil pengujian
Biolzi (2010) memiliki garis displacement yang lebih landai dengan nilai displacement yang lebih besar
dibandingkan dengan hasil permodelan. Ketika beban mencapai 40kN, displacement yang terjadi pada
percobaan Biolzi (2010) mencapai 4.1 mm sedangkan pada permodelan MIDAS FEA, nilai displacement
sebesar 3.65 mm.
Untuk perbandingan nilai strain, didapatkan bahwa hasil dari permodelan memberikan nilai strain yang
mendekati hasil pengujian Biolzi (2010), namun sedikit lebih besar daripada hasil pengujian Biolzi (2010).
Dari permodelan didapatkan nilai strain maksimum mencapai 1.83e-03. Sedangkan dari hasil pengujian
didapatkan nilai strain sebesar 1.75e-03. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan
parameter, yakni perbedaan pada propertis material dan permodelan beban.
Dilakukan pemodelan balok laminasi berdasarkan variasi dimensi. Pada permodelan pertama dilakukan
perubahan tebal balok dengan tebal PVB sebesar 1.14 mm untuk satu lapisan. Permodelan yang kedua yakni,
dengan tebal yang sama dengan desain balok original/model 1 (12-6-12) dan dilakukan perubahan tinggi
balok Adapun rangkuman perubahan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data dimensi variasi model balok
Dimensi Balok/Model
1 2 3
Tebal kaca (mm) 12-6-12 15-10-15 12-6-12
Tebal PVB (mm) 0.67 1.14 0.67
Tinggi kaca (mm) 150 150 250

Dilakukan perbandingan hasil untuk masing-masing tipe model 1,2, dan 3 untuk nilai strain dan
displacement. Perbandingan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 6.
Gambar 6. Perbandingan hubungan load terhadap displacement dan strain
5. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
A. Pengaruh berbagai factor di Indonesia terhadap penerapan kaca sebagai struktur balok adalah:
Lingkungan
Suhu di Indonesia berkisar antara 22-31oc sehingga creep dapat memengaruhi desain dan strength factor yang
dgunakan < 1, bencana iklim di Indonesia (cyclone, thypone, hurricanes) memiliki intensitas lebih kecil
daripada daerah beriklim subtropics (kawasan samudra) sehingga meminimalkan pengaruh shock load.
Gempa di Indonesia memiliki intensitas dan skala yang beragam dari rendah hingga tinggi sehingga perlu
diperhatikan dalam lokasi pemangunan dan desain dari balok kaca laminasi.
Peraturan
Matrial kaca pada peraturan sni berada pada sub-industri. Sni di Indonesia belum mengatur menganai aplikasi
kaca pada bangunan yang bekerja sebagai struktur baik dalam segi kuat sifat material dan desain.
Firma
Firma di Indonesia belum siap dalam memproduksi kaca dengan kebutuhan atau desain yang dibutuhkan
dalam aplikasinya sebagai elemen struktur.
B. Propertis fisik material masing-masing jenis kaca adalah:
Peraturan
Berdasarkan astm 1300-03 diberikan allowable stress untuk annealed glass, heat-strengthned glass, dan
temepered glass masing-masing sebesar 19.3 Mpa, 38.6 Mpa, dan 77.2 Mpa. Oleh trav diberikan allowable
stress untuk annealed glass, heat-strengthned glass, dan temepered glass masing-masing sebesar 18 mpa,
22.5 mpa, dan 50 mpa. Berdasarkan pilkington diberikan allowable stress untuk annealed glass dan
temepered glass masing-masing sebesar 17.8 Mpa dan 59 Mpa
Pengujian
Berdasarkan hasil pengujian didapatkan stress maxiumum kaca jenis annealed glass clean cut edge, adalah
sebesar 40.253 Mpa dengan data propertis yang didapatkan berupa nilai poisson ratio sebesar 0.23.
C. Dalam permodelan yang perlu diperhatikan sifat brtille dari kaca dan rekatan dari adhesive PVB.
Material kaca harus didefiniskan dengan memasukan allowable stress pada crack desain. Sedangkan rekatan
dari PVB dapat menggunakan propertis normal striffness dan shear stiffness.
D. Balok kaca laminasi memiliki kemampuan pikul beban maksimum sebesar 50kN dengan beban
normal/rata-rata sebesar 40kN. Kemampuan pikul tersebut bergantung pada dimensi dan panjang balok.
E. Dari hasil permodelan didapatkan bahwa penambahan tinggi pada balok kaca laminasi menghasilan
displacement lebih kecil. Namun untuk hasil strain, penambahan tinggi atau lebar memberikan nilai strain
yang serupa. Berdasarkan nilai strain, maka dengan perubahan tebal dan tinggi dapat menaikan kemampuan
pikul balok kaca menjadi 60kN.
F. Faktor-faktor luar yang dapat memengaruhi kegagalan:
1. Kandungan NIS minimum sebesar 40µm hingga 60 µm dapat menyebabkan keretakan tiba-tiba pada
jenis tempered glass dan heat-stregthned glass. Keadaan ini disebut dengan unpure glass.
2. Local heating dapat menyebabkan tegangan tarik pada kaca dan menimbulkan keretakan. Penetuan
lokasi dan shading dari elemen sekitar struktur dapat menyebabkan local heating.
DAFTAR PUSTAKA
Allewaert, D., Belis, J., Vanderbroek, M., & Impe, R. V. (2011). Spontaneous failure of a passable laminated
glass floor element. Engineering Failure Analysis 18, 1889-1899.
Asik, M. Z., & Tezcan, S. (2006). Laminated glass beams; Strength factor and temperture effect. Computers
and Structures , 364-373
Benniso, n. S., qin, m., & davies, p. (2008, may ). High-performance laminated glass for structurally efficient
glazing in innovative light-weight structures and sustainable facades. P, pp. 1–12.
Campione, G., Colajanni, S., & Minafo, G. (2012). The Use of Steel Angles for The Connestion of
Lamninated Glass Experiment and Modelling. Construction and Building Material, 682-689.
CWCT. (2001, January 1). Center for Window and Clading Technology Glass and Glazing. Retrieved from
cwct.co.uk: www.cwct.co.uk/facets/pack08/text06.htm
Dahliwal, A., & Hay, J. N. (2002). The characterization of polyvinyl butyral by thermal analysis.
Thermochimica Acta 391, 245–255.
Edel, M. (1997). The effect of temperature on thebending of laminated glass unit. Texas: Departement of
Civil Engineering, Texas A&M University
Fu, L. (2010). Glass Beam Designs For Architects: Brief Introduction o The Most Critical Factor of Glass
Beam and Easy Computer Tool. Southern California: Faculty of The Usc School of Architecture
University of Southern California.
Luigi Biolzi, S. C. (2010). Progressive damage and fracture of laminated glass beams. Construction and
Building Materials , 24, 577–584. Retrieved from www.elsevier.com/locate/conbuildmat
Wurm, J. (2007). Glass Structures: Design and Construction of Self-Supporting Skins. German: Birkhauser
Verlag AG.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai