Anda di halaman 1dari 11

PIDATO KELEMBAGAAN KETUA

DALAM RANGKA DIES NATALIS KE-57


DENGAN TEMA
“BERDIRI, JATI DIRI, BERDIKARI”

Oleh :
Dr. Sutoro Eko Yunanto

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”


YOGYAKARTA

17 NOVEMBER 2022
“BERDIRI, JATI DIRI, BERDIKARI”
PIDATO KELEMBAGAAN KETUA
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
DALAM RANGKA DIES NATALIS KE-57

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Pagi,
Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,
Sugeng rahayu,

Yang terhormat Ketua Umum Yayasan Pengembangan Pendidikan “Tujuh Belas”


Yogyakarta beserta seluruh jajaran Pembina, Pengurus dan Pengawas;

Yang saya hormati Ketua Umum Keluarga Alumni Pembangunan Masyarakat Desa
beserta seluruh jajaran pengurus dan anggota;

Yang kinasih Wakil Ketua I, II dan III,

Yang saya hormati para Ketua Program Studi, Direktur Program Studi beserta Ibu
Bapak Sekretaris Program Studi;

Yang saya hormati Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
beserta Sekretaris dan Kepala Bidang;

Yang saya hormati seluruh Kepala Unit Kerja, beserta sekretaris, dan seluruh kepala
sub-bagian;

Ibu Bapak dosen, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang yang kinasih;

Para mahasiswa yang saya cintai dan banggakan;

Serta seluruh hadirin yang saya muliakan;


Ketua Panitia Dies Natalis ke-57, Dr. Irsasri, yang secara patriotik mengurus
Dies, bolak-balik mendesak dan meminta tema pidato kelembagaan kepada saya.
Akhirnya, di tanggal 8 November, saya berikan tema “Berdiri, Jati Diri, Berdikari”,
meskipun naskah pidato belum saya siapkan. Sontak, Wakil Ketua III, Ade Chandra
berseloroh, “Wah saya harus membaca puluhan buku untuk memahami tema dan
isi pidato”. Tema pidato “Berdiri, Jati Diri, Berdikari” tentu memiliki koherensi
dan konsistensi dengan tema pidato tahun lalu, “Ngelmu, Jeneng, Jenang”. Bahkan
apa yang saya sampaikan dalam setiap pidato, memiliki makna untuk meneguhkan
dimana dan bagaimana kita harus berdiri, untuk membentuk jati diri, dan
memperkokoh semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Saya akan mulai dengan cerita tentang dialog kecil tetapi penting dari dua
orang kawan: R dan Y.

R: “Toro itu suka menabrak aturan”.


Y: “Aturan apa yang ditabrak? Apakah APMD dirugikan?”

Jika mengikuti cara pandang Gregorius Sahdan, kawan R mengambil posisi


normatif, yang menggunakan norma aturan sebagai standar berpikir, bersikap, dan
bertindak, termasuk menilai seseorang. Pikiran kawan R selalu berisi “aturan,
aturan, aturan”, meskipun dia tidak bisa menunjukkan jenis aturan yang,
menurutnya, saya tabrak. Sikap serupa mewabah pada para petugas di ruang publik
yang menghamba pada “aturan, aturan, aturan”, atau punggawa yang memiliki
keimanan “kita bekerja atas dasar aturan”. Tanpa public values, mereka
menggunakan aturan untuk membatasi atau melarang pergerakan orang per orang
yang disebut publik. Sebaliknya kawan Y, jika dipandang dengan lensa Gregorius
Sahdan, mengambil posisi-sikap kritis, yang mempertanyakan makna di balik
ungkapan “aturan”.
Aturan memang melekat pada manusia, mengiringi peradaban manusia.
Menurut tradisi Hobbesian, tanpa aturan, akan terjadi homo homini lupus, alias
manusia memangsa manusia. Manusia beradab membentuk negara, sekaligus
menciptakan aturan, untuk menegakkan law and order, untuk mengakhiri hukum
rimba, yang menjamin dan melindungi hak setiap orang dan masyarakat.
Sebaliknya aturan yang begitu lebat dan ketat justru membalik arah dari law and
order menjadi order and law, untuk menciptakan disiplin, loyalitas, dan tertib, yang
dipastikan “membunuh” kreasi dan pencapaian manusia. Dalam literatur, kita
mengenal frasa rules without rights maupun ruling without serving, untuk menandai
begitu ganasnya aturan yang lebat dan ketat.
Para hadirin yang berbahagia,

Setiap subjek seperti warga, masyarakat, daerah, desa, maupun perguruan


tinggi, termasuk Sekolah Tinggi, menurut spirit republikenisme dalam Pancasila dan
UUD 1945, berkepentingan terhadap frasa “berdiri, jati diri, berdikari”. Berdiri
adalah perkara posisi, sikap, dan nada dasar Sekolah Tinggi dalam menghadapi
berbagai objek, seperti aturan, standar, pengetahuan, proyek, pasar, dinamika
masyarakat, dan lain-lain. Jati diri bukan sekadar identitas patriotik, melainkan
martabat intelektual yang dibentuk oleh posisi berdiri, dengan menghadirkan ilmu,
karya, kalimat-kalimat kunci bertenaga (njejak, nendang), branding, ikon, dan lain-
lain, yang mencerahkan dan membuat kita menjadi kuat. Paduan antara berdiri dan
jati diri membentuk berdikari, yakni berdiri di atas kaki sendiri. Dengan kalimat
lain, berdikari berarti berdiri tegak-lurus dengan jati diri, sekaligus berdiri
membentuk dan menghadirkan jati diri. Hari ini orang kerap menyebut
kemandirian identik dengan berdikari, namun kemandirian berbeda dengan
kesendirian yang mengisolasi diri melalui cara inward looking; berbeda pula dengan
kedirian yang egois. Kemandirian adalah soal keberanian (braveheart) dalam
berprakarsa, bersikap, berilmu, berkarya, berdialektika, yang berguna untuk
membentuk jati diri secara kokoh serta memajukan institusi.
Bentang sejarah panjang telah membentuk patriotisme, yakni menghadirkan
loyalitas dan kebanggaan para pihak kepada Sekolah Tinggi, meski tidak semua
orang bersikap loyal dan bangga pada Sekolah Tinggi, atau sekadar memiliki
loyalitas-kebanggaan semu. Apapun kondisinya, loyalitas-kebanggaan dari waktu
ke waktu telah mengejawantah dalam bentuk dedikasi parapihak yang merawat,
menjaga, melestarikan, dan mengembangkan Sekolah Tinggi. Waktu yang terus
bergerak, zaman yang terus berubah, tantangan yang kian menantang, patriotisme
Sekolah Tinggi harus selalu dirawat, disertai dengan suntikan intelektualisme
progresif yang memberi tenaga atas “berdiri, jati diri, berdikari” sehingga sanggup
memperkaya ilmu, memperkuat institusi, dan menambah kemakmuran. Dengan
“berdiri, jati diri, berdikari”, niscaya kita akan semakin “bermakna, berkelas,
bertambah” dari hari ke hari.
Dilandasi martabat intelektual, frasa “berdiri, jati diri, berdikari” adalah soal
pilihan dalam menghadapi segala hal. Ia akan selalu menantang dan ditantang
ketika berhadapan dengan banyak isu dan ranah. Setidaknya ada empat ranah yang
akan saya sampaikan sebagai penantang posisi “berdiri, jati diri, berdikari”, yakni:
aturan, ilmu pengetahuan, rencana strategis, serta pasar dan animo. Saya akan
sampaikan satu per satu.
Para hadirin,

Ranah pertama adalah aturan yang datang dari luar dan membentuk aturan
internal Sekolah Tinggi. “Yen kabeh diatur pusat, aku njuk kon ngapa (Kalau semua
diatur pusat, lalu saya dirusuh apa lagi”, demikian ungkap Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam sebuah kesempatan, yang menjadi salah satu ilham bagi
saya untuk menghadapi aturan. Saya sudah menyampaikan sedikit cuplikan tentang
aturan di awal naskah pidato ini. Secara kritis saya berpendapat bahwa segala
sesuatunya harus memerlukan aturan, tetapi aturan bukan segala-galanya. Aturan
yang benar tidak serta merta mendatangkan kebaikan. Aturan yang keliru dengan
cepat mendatangkan keburukan.
Dunia adalah dengan serba aturan. Di masa lalu aturan dilembagakan
dengan “negara petaruran”, termasuk untuk membentuk patriotisme. Sekarang
serba aturan hidup dalam “negara pengatur”. Jika aturan dalam negara peraturan
bekerja dengan perkantoran birokratik, maka aturan dalam negara pengatur
dilengkapi dengan standar, instrumen, data, aplikasi, digitalisasi, dan lain-lain,
sehingga jauh lebih lebat dan ketat. Dengan kalimat lain, aturan dalam negara
pengatur hari ini sudah tampil sebagai industri. Jika aturan dalam negara peraturan
bisa “diatur”, maka aturan beserta teman-temannya dalam negara pengatur harus
disikapi dengan kesibukan kerja luar bisa, melebihi panggilan mencari dan
menebarkan ilmu pengetahuan.
Aturan ibarat lampu lalu lintas. Kita harus patuh pada lampu merah, tetapi
kita tidak butuh lampu merah di setiap tempat, bahkan kita tidak boleh ragu
berjalan ketika bertemu lampu hijau, dan tidak boleh berdiskusi panjang tentang
lampu hijau karena dihantui oleh lampu merah. Kita harus patuh pada aturan
dalam negara pengatur yang bersifat protektif, atau melindungi mahasiswa sebagai
warga negara. Sebaliknya kita bisa melakukan negosiasi terhadap aturan yang
mengatur tentang tatakelola, yang kita sesuaikan denan konteks dan jati diri
institusi. Tetapi sikap terbaik adalah berdikari melampaui (beyond) aturan, yang
menempatkan aturan bukan sebagai berhala melainkan sebagai koridor atau loket,
sama seperti institusi pemegang kedaulatan rakyat, yang ketika membentuk
undang-undang, bukan dengan cara mencari dasar hukum melainkan cantolan
hukum. Kepentingan rakyat dan gagasan bermakna tetap yang utama, baru
mencarikan cantolan hukumnya. Di kampus, cara berpikir beyond, koridor, dan
loket, berarti kita berdiri dengan esensi dan berjalan dalam koridor, yang selalu
tegak lurus pada etika dan produktif dalam berkarya. Karena itu kita tidak perlu
sibuk membicarakan koridor dan loket, melainkan berkarya dan memasukkan
karya-karya kita ke dalam loket.
Secara internal, perubahan Statuta Sekolah Tinggi 2022 menjadi medan
pertaruhan antara semangat “berdiri, jati diri, berdikari” versus “kepatuhan pada
aturan”, menyusul permintaan otoritas dikti agar Statuta diubah sesuai format dan
template standar. Cara pandang normatif-formalis-pragmatis, yang dihantui frasa
“melanggar hukum”, memilih jalan patuh pada template dan deretan aturan.
Sebaliknya cara pandang kritis-esensialis-idealis memandang bahwa Statuta harus
mencerminkan posisi berdiri dan jati diri Sekolah Tinggi, untuk mengejar
kepentingan dan tujuan Sekolah Tinggi. Dengan sikap kedua ini, saya bertanya pada
sikap pertama: Apa yang terjadi jika sebagian besar rangkaian kalimat dalam Statuta
Sekolah Tinggi sama dengan Statuta Perguruan Tinggi lain karena mengikuti aturan
dan template tunggal-seragam? Jika kita mengikuti banyolan karya ilmiah, ketika
naskah Statuta diperiksa dengan aplikasi turnitin, maka plagiasi dan similiritas bisa
mencapai di atas 70 persen. Kita berarti menyontek alias copy paste, seperti kebiasaan
kantor-kantor negara melakukan copy paste ketika membuat peraturan. Inilah Statuta
formalin tanpa makna tetapi ia mengikat perilaku setiap orang.
Kita tidak lena terjebak pada cara pandang normatif-formalis-pragmatis,
tidak ingin membuahkan Statuta formalin tanpa makna. Pikiran dan cara pandang
kritis selalu hadir, menantang cara pandang normatif, yang meyakini bahwa Statuta
bukan sekadar aturan formal tetapi sebagai “jati diri” Sekolah Tinggi untuk
meneguhkan posisi berdiri secara berdikari. Statuta bukan instrumen untuk
melayani otoritas dikti, melainkan semangat-kekuatan untuk meneguhkan
keilmuan, kelembagaan, dan kemakmuran Sekolah Tinggi.
Statuta Sekolah Tinggi 2022 mengandung dimensi prosedural dan dimensi
esensial. Dimensi prosedural berbicara tentang norma, aturan, syarat, ketentuan,
prosedur, prinsip do and don’t, yang semua ini bisa disebut sebagai pembatasan legal
(legal constraining), atau semacam koridor sempit, yang memberi batas siapa yang
boleh masuk dan dilarang masuk. Dimensi esensial berbicara tentang etika, nilai,
sikap, dan tujuan organisasi, yang memberi energi bagi spirit “berdiri, jati diri,
berdiri”. Berpikir beyond berarti kita harus menghadirkan dan mempertajam dimensi
esensialis dalam Statuta. Kebanyakan orang berpikir Statuta dan aturan biasa
menekankan bicara dimensi prosedural, seraya mengabaikan dimensi esensial, yang
membuat kita terjebak dalam sangkar besi.
Statuta Sekolah Tinggi tentu mengandung norma prosedural, tetapi saya
tidak bicara di sini. Saya hendak menyampaikan dua dimensi esensial, yang saya
pandang penting, untuk meneguhkan “berdiri, jati diri, berdikari” Sekolah Tinggi.
Pertama, Statuta 2022 menegaskan komitmen etik Sekolah Tinggi mendidik dan
melayani mahasiswa untuk menuntut ilmu yang mengantarkan mereka untuk
menjadi manusia seutuhnya. Di hari-hari ke depan, kita harus berdialektika tentang
komitmen etik ini, agar ia tidak menjadi formalitas yang formalin, sekaligus
mentradisikannya ke dalam Tridharma, dan lebih khusus dalam medan proses
belajar-mengajar bersama mahasiswa.
Kedua, program studi lazim disebut sebagai kesatuan kegiatan, tetapi Statuta
Sekolah Tinggi menegaskan bahwa program studi adalah organisme penjaga ilmu.
Artinya, prodi tidak sekadar menjalankan dan memproduksi output kegiatan, tetapi
melakoni tradisi keilmuan, berdialektika secara kritis, memproduksi pengetahuan,
dan membentuk kecakapan yang bermanfaat bagi sivitas akademik, lulusan, dan
masyarakat luas. Prodi tidak cukup memberitakan kegiatan yang dijalankan, tetapi
penting untuk menghadirkan makna dan menendang gagasan (discourses) kepada
publik, sebagai salah satu cara social marketing kita kepada masyarakat luas.
Selama tiga tahun terakhir bisa dibilang sebagai babak remaking program
studi. Sosok prodi sudah terbentuk kembali setahun lalu, tetapi esensi di balik sosok
belum begitu njejak. Di tengah proses itu, ada gagasan desentralisasi akademik
kepada prodi, yakni memberi ruang dan pilihan pada prodik untuk memilih dan
mengembangkan minatnya. Perkaranya bukan pada desentralisasi akademik
melainkan pada posisi berdiri dan jati diri prodi. Pada dasarnya prodi bersifat
otonom dan merdeka. Tetapi kalau prodi hanya berposisi sebagai “kumpulan
kegiatan” maka mustahil untuk hadir secara otonom dan merdeka. Desentraliasi
akademik juga tidak bermakna, atau malah menjadi pembentuk pembiaran, ketika
prodi hanya hadir sebagai kumpulan kegiatan. Sebaliknya kalau prodi berdiri
sebagai “organisme penjaga ilmu” maka niscaya otonomi dan reputasi prodi akan
kuat dan bersinar. Untuk berdiri sebagai “organisme penjaga ilmu”, saya selalu
menegaskan tentang “nada dasar” dan “tujuan besar” yang dimiliki secara kolektif
oleh prodi dan Sekolah Tinggi. Semua harus tegak lurus pada nada dasar dan tujuan
besar, yang tengah itu ada “ruang lebar” yang bisa menjadi arena bebas bagi
permainan dan perjalanan prodi.

Para hadirin,

Ranah kedua adalah ilmu pengetahuan. Dalam sebuah kesempatan, Ketua


Umum Yayasan Pendidikan Tujuh Belas, berseloroh kepada saya: “Kita ketambahan
banyak doktor, tetapi kok ilmunya tidak njejak”. Saya langsung tertawa. Saya tidak
bermaksud menyalahkan para doktor, sebab untuk memperoleh gelar doktor pasti
ditempuh dengan lara lapa, tetapi saya mengajak para doktor untuk merenungkan
secara seksama warning yang disampaikan oleh Ketua Yayasan.
Soal doktor memang bisa dibahas secara berbuih-buih. Tetapi yang mau saya
katakan, para doktor bukan dibentuk melalui “laku ilmu” melainkan terkena
“jeratan akademik”. Secara makro-ideologis, jeratan akademik dibentuk oleh
pandemi neoliberalisme di muka bumi. Di zaman neoliberal hari ini, filosofi, ilmu
dan intelektualisme telah mengalami kesurutan, digantikan oleh akademik, alat,
teknokrat, dan konsultan. Ingat: pekerjaan konsultan adalah memberi tahu yang
sudah diketahui dan tidak penting unuk diketahui. Sebagai pendukung tengkulak
global, para teknokrat, konsultan, dan akademisi tidak tegak-lurus pada disiplin
ilmu pengetahuan yang digeluti, melainkan menjadi produsen sekaligus konsumen
atas “teori-teori resep” yang dimpor dari Barat. Tanpa epistemologi yang kuat,
tanpa dibangun melalui pembacaan realitas secara seksama dan memadai, teori
resep adalah seperangkat konsep dan model yang mereka yakini sebagai preskripsi
(solusi, obat) atas masalah manusia dari ujung Amerika Latin hingga pelosok negeri
Indonesia. Teori resep hadir sebagai label, mantra, dan merk dagang yang lahir dari
perut neoliberalisme, seperti pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan, good
governance, good university governance, smart village, digital government, bonus
demografi, SDGs Desa, digital village, desa ramah anak, government 4.0, society 5.0,
dan lain-lain.
Karena kemajuan peradaban manusia, seperti halnya revolusi negara-bangsa
modern dan revolusi industri, penggunaan teknologi termasuk teknologi digital hari
ini, adalah fenomena yang lumrah. Tetapi yang tidak lumrah adalah ketika
digitalisasi dikonsepkan, dibicarakan, dipamerkan, dirayakan, dipertunjukkan. Ada
banyak pihak bicara bahwa “menolak digitalisasi sama dengan menolak kemajuan”.
Rakyat jelita, yang kerap disebut urban middle class, pasti membutuhkan dan
mengejar kemajuan. Tetapi rakyat jelata di pelosok desa memerlukan kebaikan.
Kemajuan dan kebaikan kerap tidak bisa bertemu. Apa yang disebut dengan
digitalasi (termasuk digital society, digital government, digital village) itu bukan sebagai
fenomena lumrah, dan teknologi digital bukan sekadar perangkat yang membuat
hidup manusia lebih mudah, melainkan sebagai kekuasaan, atau saya sebut fisika
politik, yang mengatur, mengarahkan, membius orang banyak, termasuk para
akademisi.
Para teknokrat, konsultan, dan akademisi hari ini ramai-ramai merayakan
neoliberalisme, teori resep, dan digitalisasi itu, sembari membawa dan
menempelkanya ke “pohon” daerah, desa, dan masyarakat, melalui proyek
penelitian, pengabdian, dan pemberdayaan. Hari ini “desa digital” menjadi tema
berbuih dalam penelitian, pengabdian, dan pemberdayaan, di berbagai tempat.
Penggunaan teori resep, merk dagang dan label itu sebagai tema penelitian
memperlihatkan gelaja kemesorotan intelektualisme, digantikan oleh gejala apa
yang saya sebut “parasitisme”. “Pohon”, sebagai sebuah metafora subjek, tidak
tumbuh menjadi besar dan kuat, karena ditempeli berbagai macam parasit (benalu)
yang menggerogoti tubuhnya. Karena gejala parasitisme pula, berbagai disiplin ilmu
sosial, politik, dan humaniora kian mengalami krisis ilmu semesta amaliah.
Sekarang desa digital sebagai kekuasaan mewabah ke sebagian kecil desa di
Indonesia, tetapi perayaannya sampai ke ujung dunia. Ada seorang kepala desa
masih muda begitu bangga dan berbuih mempertunjukkan fitur-narasi desa digital
yang dia bangun selama satu setengah tahun, yang tampak serupa dengan
kebanggaan seorang pejabat eselon I memamerkan digitalisasi di kantornya. Tetapi
sang kepala desa milenial itu miskin narasi tentang pergulatannya dengan rakyat
dan hajat hidup orang banyak.

Para hadirin,
Ilmu adalah core bussiness Sekolah Tinggi. Kita tidak hanya memiliki ilmu
prodi (pembangunan masyarakat, pembangunan sosial, komunikasi, dan
pemerintahan), tetapi juga memiliki nama “desa”. Nama “desa” bukan sekadar
label, tetapi yang sejati, “desa” adalah “jati diri” yang membentuk posisi berdikari
kita. Melalui journey dan dielaktika yang panjang di banyak ruang, saya mengatakan
bahwa “desa” bukan sekadar objek kajian, atau lokasi penelitian-pengabdian, tetapi
hadir sebagai “ilmu desa”. Karena itu, Sekolah Tinggi memiliki dua ilmu, yakni
“ilmu prodi” dan “ilmu desa”. Orang lain menyebutnya sebagai cirikhas APMD,
atau saya sebut sebagai distinction yang membedakan secara khas dengan perguruan
tinggi lain. Baik Ketua Yayasan dan saya selalu mengajak sivitas akademik Sekolah
Tinggi untuk mempertemukan “ilmu prodi” dan “ilmu desa” secara dialektik,
seperti halnya satu dekade lalu kita memberi sumbangan terhadap UU Desa.
Tetapi “proses menjadi” untuk mempertemukan “ilmu prodi” dan “ilmu
desa” berjalan lambat dan ringkih. Kedua ilmu itu masih lemah, antara lain karena
gejala parasitisme, yakni bukan menghadirkan dielaktika, melainkan membawa atau
induction teori resep ke dalam tubuh desa. Desa hanya menjadi lokasi dan objek.
Sebagian besar civitas akademik Sekolah Tinggi telah mengenal desa sebagai nama
dan lokasi, tetapi ragu (minggrang-minggring) atau tidak tertarik menggeluti “ilmu
desa”, yang sebenarnya sama sebangun dengan “ilmu prodi” yang belum njejak.
Bukan hanya jati diri dan posisi berdiri dua ilmu, ruang kuliah adalah arena
belajar-mengajar sekaligus menjadi medan pertaruhan bagi spirit “berdiri, jatidiri,
berdikari” ilmu pengetahuan. Orang bilang bahwa kuliah adalah transfer
pengetahuan, yang berarti mahasiswa membentuk pengetahuan, antara lain tekun
dan mampu membuat kalimat teori karena teori adalah inti pengetahuan. Kita
memiliki semangat patriotik dalam bekerja mengajar mahasiswa, menyampaikan
materi kepada mahasiswa, yang berkelas dua strip di bawah transfer pengetahuan.
Dalam belajar mengajar, kita masih menggunakan pendekatan “mengisi gelas
kosong”, dengan menyampaikan materi itu, yang belum bergeser menuju
pembentukan “manusia pembelajar”. Mahasiswa datang ke ruang kelas masih
seperti gelas kosong agar diisi air oleh dosen, sementara masih banyak gelas yang
tertutup atau terbalik, sehingga tidak bisa diisi air. Akibatnya sebagian besar gelas
masih kosong, sebagian besar mahasiswa semester V belum bisa menghubungkan
dua konsep untuk dirangkai menjadi sebuah kalimat teori. Akibat berikutnya, ketika
melakukan penelitian, mahasiswa baru dapat menyajikan informasi, yang belum
sampai pada temuan, apalagi teori.

Para hadirin yang saya hormati,

Ranah ketiga adalah rencana strategis, yang mengandung visi, misi, strategi,
program, kegiatan, capaian, dan lain-lain. Secara genealogis rencana strategis berasal
dari masyarakat dan organisasi komando: fasis, sosialis, komunis. Tetapi ia juga
diadopsi oleh masyarakat pasar dan organisasi apapun. Bahkan, karena pengaruh
new public management (NPM), visi-misi dalam renstra merupakan sesuatu banget,
menjadi sangat istimewa. Penganut NPM berujar bahwa “organisasi yang
digerakkan oleh aturan akan berjalan seperti siput, dan akan melaju kencang jika
digerakkan oleh visi-misi”. Tetapi NPM kelewat percaya diri, atau mungkin lupa,
bahwa visi-misi harus dibungkus dengan aturan, yang membuatnya menjadi
untaian kalimat normatif-formalis. Karena itu dalam sebuah kesempatan, saya
berujar bahwa visi-misi normatif harus melewati uji penalaran dan pengalaman,
untuk menilai koherensi, konsistensi, dan relevansi. Intinya visi-misi harus
dilandaskan pada konsistensi antara teks, ucapan, dan pengalaman. Kalau orang
menghadirkan misi belajar tetapi miskin belajar, maka misi itu tidak bermakna.
Generasi baru telah menantang visi normatif NPM itu, sembari mengusung
spirit from vision to action. Visi penting tetapi aksi lebih penting. Memang ada petuah
lama “rencanakan apa yang akan Anda kerjakan, kerjakan apa yang Anda
rencanakan, dan laporkan apa yang Anda kerjakan”. Sangat baik. Tetapi
mengerjakan jauh lebih baik daripada merencanakan, meskipun tanpa rencana
sekalipun. Saya pernah memberi saran kepada seorang bupati beserta jajarannya,
untuk tidak sibuk membikin grand design (GD) pembangunan desa, melainkan
cukup mengubah cara kerja yang lebih nendang. GD, sebagai bentuk renstra, yang
canggih dan ilmiah itu, biasanya bersifat normatif, formalis, dan hanya berujung
laporan pertunjukan.
Meneladani Presiden Joko Widodo, yang hampir tidak pernah membuka
dokumen RPJMN, saya tidak begitu ambil pusing dengan renstra. Kami selama
empat tahun harus bekerja dengan Renstra Sekolah Tinggi 2017-2022, yang tidak
sesuai dengan masa bakti, momentum dan visi-misi yang kami siapkan. Sesekali
kami membuka renstra normatif untuk keperluan formal, selebihnya kita bekerja
dengan rencana tahunan (RKA) yang disusun bersama setiap tahun.
Kami telah mengambil keputusan memperpanjang renstra lama sampai 31
Desember 2022. Sesuai perintah Statuta, kami akan menyiapkan renstra baru, mulai
17 November hingga 31 Desember 2022. Renstra baru akan berlaku lima tahun,
mengikuti masa bakti kepemimpinan, mulai 1 Januari 2023 hingga 31 Desember
2027. Namun penting untuk dicatat bahwa renstra baru tidak boleh normatif-
formalis, atau malah mirip banget dengan renstra perguruan tinggi lain, sehingga
kalau diperiksa dengan turnitin akan jeblok. Kita butuh renstra bertenaga, yang
idealis dalam gagasan dan realis dalam tindakan, sehingga bisa meraih capaian dan
memperkuat posisi “berdiri, jati diri, berdikari”.
Para hadirin,

Ranah keempat adalah pasar dan animo. Sekolah Tinggi, sebagai institusi
setengah publik dan setengah privat, berkepentingan melakukan social marketing
untuk memenangkan pasar dan merebut animo. Kita hadir di pasar yang tetap dan
sama, tetapi dengan kehadiran penjual yang semakin banyak, dan daya beli pembeli
yang melemah di masa sulit. Pembeli di pasar, untuk tidak mengatakan pragmatis,
pasti sangat rasional, yakni membeli barang murah dan dekat, meski kurang
berkualitas, atau apa yang disebut dengan keunggulan komparatif (comparative
advantages), yakni beragam perguruan tinggi terdekat dengan kampung halaman.
Pembeli berselera tinggi yang data di Yogyakarta, tentu akan mencari perguruan
tinggi masyarakat (PTM) kelas atas, yang mempunyai predikat keunggulan
kompetitif (competitive advantages). Kita harus katakan bahwa Sekolah Tinggi bersifat
“tanggung”, yang kurang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif, melainkan mempunyai keunggulan khas (distinctive advantage) karena
ada desa sebagai jati diri. Kekhasan ini memperoleh captive market 200 orang
mahasiswa baru, selebihnya adalah bonus komparatif maupun prestasi kompetitif
dan prestasi promosi.
Sembari mempertahankan distingtif, kita tidak mungkin menurunkan kelas
menjadi kampus komparatif, tetapi kita harus berjuang untuk mewujudkan kampus
kompetitif. Pertama, program studi harus naik kelas agar menjadi selling points
(meminjam istilah Pak Har), untuk memenangkan pasar kompetitif. Kedua,
pendekatan input (promoting, marketing, lobbying) harus tetap gencar dilakukan,
ditambah dengan pendekatan output (reputasi ilmu, karya, mahasiswa, lulusan)
harus digas lebih kencang, tanpa melihat spion terlalu sering. Ketiga, pendalaman
pendekatan input di pasar kompetitif dan daya beli yang lemah, yakni
meningkatkan daya jelajah di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur. Saya sudah menekankan strategi ini sejak 2019, dengan membuahkan
kemenangan kecil, meski secara umum animo sedang menurun. Animo dari DIY
dan Jateng kian meningkat, yang tentu, memberi peluang baru kompetitif dan naik
kelas di hari-hari depan.
Para hadirin,

Ada teman ngrasani saya, yang disampaikan seorang teman lain, kepada saya.
“Toro itu terlalu idealis, selalu melawan pemerintah”. Rerasanan ini sebagian kecil
benar, tetapi sebagian besar keliru. Saya mengikuti strategi politik sebuah asosiasi
desa, yang tidak bakal demo ke istana, melainkan demo ke Lapangan Banteng, Pasar
Minggu, dan Kalibata. Sebagai pembelajar ilmu pemerintahan, saya tidak mungkin
ingkar pada pemerintah, sebaliknya saya berupaya mencerahkan dan memperkuat
pemerintah karena pemerintah adalah milik rakyat, dengan cara melawan teknokrat
yang menguasai kementerian, kebijakan, perencanaan, prioritas aturan, proyek,
uang, data, aplikasi, yang semua itu mengatur republik. Saya terus melawan
“prioritas sebagai hukum tertinggi” untuk dikembalikan ke pangkuan “kedaulatan
rakyat sebagai hukum tertinggi” sesuai mandat Pancasila dan UUD 1945. Di Jurnal
Governabilitas, saya pernah menulis artikel “Merebut Pemerintah untuk Kedaulatan
Rakyat” dari tangan teknokrat. Artinya saya tidak melawan pemerintah, tidak
menabrak aturan, melainkan melawan teknokrat yang membentuk negara pengatur
hari ini.
Teman lain juga ngrasani saya secara serupa meski berbeda. “Toro itu idealis,
muluk-muluk, ndakik-ndakik, ngayawara, tidak melihat realitas APMD”. Pendapat
teman ini benar tetapi buruk. Konservatisme-pragmatisme selalu begitu. Ia
membiarkan realitas. Ia membaca dan menjawab realitas dengan enteng, mudah,
dan apa adanya (taken for granted). Percayalah, konservatisme-pragmatisme hanya
akan merawat Sekolah Tinggi menjadi institusi yang ringkih, sulit mencapai cita
“APMD Jaya”. Saya selalu mengatakan bahwa Sekolah Tinggi harus dijawab dengan
berpikir idealis (apa yang baik dan benar) dan bertindak realis (apa yang mungkin
bisa dilakukan untuk mencapai kebaikan dan kebenaran). Orang tua juga selalu
berpesan kepada anaknya: “Nak kalau kamu pintar berilmu, maka kamu tidak akan
terlantar”. Demikian pula dengan pesan konstitusi: kecerdasan bangsa akan
membawa Indonesia berdaulat, adil, dan makmur. Dengan begitu, saya meyakini
idealisme (gagasan sebagai panglima) sebagai hidayah dan tenaga bagi perubahan
Sekolah Tinggi menuju “APMD Jaya”.
Demikian pidato yang saya sampaikan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Agung, Yang Maha Pemurah, melimpahkan ridho, hidayah, dan berkah kepada kita,
keluarga besar Sekolah Tinggi. Aamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,
Alhamdulillahi Rabbil Alamin
Syalom
Wassalamu' alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Timoho, 16 November 2022


Ketua

Sutoro Eko Yunanto

Anda mungkin juga menyukai