Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

DISENTRI AMOEBA

Pembimbing:
dr. Nurifah, Sp. A

Disusun Oleh:
Maria Ivena Kristi
202006010103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RS BHAYANGKARA TK 1 PUSDOKKES POLRI
PERIODE 17 OKTOBER - 24 DESEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera bagi kita semua.


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan
judul “DISENTRI AMOEBA PADA ANAK” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


1. dr. Nurifah, Sp. A. selaku pembimbing laporan kasus yang telah membimbing dan
memberikan ilmu kepada penulis.
2. Tim perawat dan staff di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Bhayangkara Tk. 1 R.
Said Sukanto Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam kegiatan sehari-hari.
3. Teman-teman sejawat dan rekan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak yang telah
memberikan bantuan serta dukungan dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penulisan tulisan ini dapat
lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang
menempuh pendidikan profesi dokter.

Jakarta, November 2022

Maria Ivena Kristi


BAB I
LAPORAN

1.1 Ilustrasi Kasus


Pasien bernama An. AS, berusia 5 tahun 10 bulan 6 hari, berjenis kelamin perempuan
beralamat di Jl. Kerja Bakti 001/010, beragama Islam. Pasien masuk ke Rumah Sakit Polri pada
tanggal 24 Oktober 2022. Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien di
ruangan Anton 2 pada tanggal 26 Oktober 2022.
Seorang pasien anak perempuan dibawa ke IGD RS Polri oleh orangtuanya dengan
keluhan BAB cair 1 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB cair terjadi bersamaan dengan
demam (suhu 39.1oC). BAB cair dideskripsikan ibu pasien sebanyak 6x/hari, berwarna hijau
kehitaman, disertai lendir dan sedikit bercak darah. Keluhan demam dirasakan naik turun dan
pasien sudah diberikan parasetamol, demam kemudian turun tetapi beberapa saat kemudian
pasien demam lagi. Pasien juga mengeluhkan sakit perut pada perut sisi bawah tengah dan
kanan, batuk berdahak dan pilek sejak 1 hari SMRS. Keluhan nyeri perut dirasakan setiap pasien
buang air besar. Keluhan mual, muntah, penurunan nafsu makan, kejang, keluhan berkemih,
sesak napas disangkal oleh ibu pasien. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi permen hisap
yang dibeli di warung sebelum pasien sakit. Penurunan berat badan selama sakit, tidak disadari
oleh ibu pasien.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat penyakit asma dan
alergi terhadap makanan, minuman dan obat disangkal oleh pasien.
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien. Riwayat
penyakit dahulu pada ibu dan ayah disangkal oleh keluarga.
Pasien sudah diberikan obat penurun panas yang dibeli sendiri, namun tidak didapatkan
perbaikan keluhan yang berarti.
Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Selama kehamilan, ibu pasien rutin
melakukan pemeriksaan Ante Natal Care (ANC) dan tidak ditemukan adanya kelainan ataupun
penyakit selama kehamilan. Pasien dilahirkan cukup bulan (aterm) 38 minggu secara normal di
RS. Berat badan lahir 3000 gr, dan panjang badan lahir pasien adalah 48 cm.
Pasien mendapatkan ASI ekslusif sejak lahir hingga usia 6 bulan, setelah itu pasien lanjut
dengan ASI dan MPASI hingga usia 2 tahun.
Pasien sudah diberikan imunisasi dasar berupa BCG 1 kali, Polio 4 kali, Hepatitis B 5
kali, DPT 4 kali, HiB 4 kali, MR 1 kali dan MMR 1 kali. Tumbuh kembang pasien normal dan
setara dengan teman-teman seusianya.
Pemeriksaan fisik, dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2022. Pada status generalis,
keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis. Hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital menunjukkan hasil dalam batas normal, dengan rincian tekanan darah 90/60
mmHg, frekuensi nadi 110x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, suhu 36.7oC, dan saturasi
oksigen 99% on room air.
Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan menggunakan kurva CDC. Perhitungan
dilakukan berdasarkan usia, berat badan dan tinggi badan dan disesuaikan dengan kurva yang
tersedia. Pasien berusia 5 tahun 10 bulan 6 hari, memiliki berat badan 15 kg dan tinggi badan 113
cm. Dari kurva tersebut didapatkan hasil BB/U 75% (BB kurang), TB/U 100% (Baik) , BB/TB
75% (Gizi kurang).
Pemeriksaan generalis dilakukan dari kepala hingga ekstremitas dan pemeriksaan
neurologis. Pada regio cephal, didapatkan kepala normocephali, rambut tebal berwarna hitam,
tidak mudah lepas dan tidak terdapat deformitas. Pada pemeriksaan mata, konjungtiva tidak
anemis dan sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung
positif pada kedua mata. Pada pemeriksaan telinga, tidak terdapat sekret dan tidak terdapat
deformitas. Pada pemeriksaan hidung, terdapat sekret berwarna bening, konsistensi encer, tidak
terdapat deformitas maupun pernapasan cuping hidung. Mukosa mulut dan bibir tampak lembab
tanpa ada coated tongue, tidak terdapat sianosis. Faring tidak hiperemis, tonsil T1 pada kedua
sisi. Pada leher tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, trakea terletak di tengah. Pada
pemeriksaan toraks, didapatkan gerakan dinding dada simetris, tidak terdapat retraksi, vokal
fremitus simetris, sonor, vesikuler (+/+), tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing; Pada pemeriksaan
jantung, iktus kordis tidak terlihat dan tidak teraba, batas jantung dalam batas normal kesan tidak
terdapat kardiomegali, dan bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdapat murmur maupun gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, tampak datar simetris, tidak terdapat lesi, bising usus (+) 6x/menit,
timpani pada seluruh regio abdomen, palpasi teraba supel, nyeri tekan pada regio umbilikal dan
iliaka dekstra. Hepar dan lien tidak teraba. Tidak teraba adanya massa. Pada ekstremitas,
didapatkan akral hangat, capillary refill time (CRT) kurang dari 2 detik, tidak didapatkan sianosis
dan edema. Pada pemeriksaan kulit, turgor kulit baik. Pada pemeriksaan neurologis tidak ada
kaku kuduk dan refleks patologis. Tonus otot baik pada seluruh ekstremitas. Pemeriksaan nervus
kranialis kesan baik.
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2022 dengan hasil
Hemoglobin 12.4 g/dL, Hematokrit 36%, Eritrosit 5.63 juta/uL, Leukosit 16.480/uL, Trombosit
324.000/uL, Gula darah sewaktu (GDS) 95 mg/dL, Natrium 134 mmol/L, K 3.9 mmol/L, Cl 108
mmol/L, Antigen Rapid Test SARS COV-2 negatif. Pada tanggal 25 Oktober 2022 dilakukan
pemeriksaan feses lengkap dengan hasil, feses berwarna coklat, konsistensi cair, terdapat lendir
dan darah, leukosit 8-10/LPB, eritrosit penuh, Entamoeba histolytica (+).

1.2 Resume
Seorang pasien, anak perempuan berusia 5 tahun dibawa ke IGD RS Polri oleh
orangtuanya dengan keluhan BAB cair sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB cair
sebanyak 6x/hari, berwarna hijau kehitaman, disertai lendir dan sedikit bercak darah. BAB cair
terjadi bersamaan dengan demam (suhu 39.1oC), nyeri perut sejak 1 hari SMRS dirasakan saat
pasien buang air besar, batuk berdahak dan pilek. Demam turun sesaat setelah diberikan
paracetamol tetapi setelah itu naik kembali. Batuk berdahak, tidak sering disertai pilek. Pasien
belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran
kompos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal (tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi
nadi 110x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, suhu 36.7oC, dan saturasi oksigen 99% on
room air). Status gizi kurang. Pemeriksaan fisik THT, terdapat sekret pada hidung berwarna
bening, konsistensi encer. Pada pemeriksaan abdomen, terdapat nyeri tekan pada regio umbilikal
dan iliaka dekstra. Hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan hematologi didapatkan leukositosis
(16.480/uL). Pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremi (134 mmol/L). Pemeriksaan feses
lengkap didapatkan feses berwarna coklat, konsistensi cair, terdapat lendir dan darah, leukosit
8-10/LPB, eritrosit penuh, Entamoeba histolytica (+).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini
didiagnosis mengalami disentri amoeba. Tatalaksana yang diberikan dokter spesialis anak pada
pasien di ruangan berupa IVFD RL 500 cc 7 tpm, Ceftriaxone 1x750 mg IV, Ranitidine 2x15 mg
IV, Paracetamol 3x150 mg PO, Zinc 1x20 mg PO, Lacto B 1x1 sachet PO dengan obat pulang
Metronidazole 3x375 mg pulv, Lacto B 1x1 sachet PO, Zinc 1x20 mg PO.
Sedangkan rencana tatalaksana dari Co-Assistant yang diberikan IVFD RL 1200 cc 16
tpm, Ceftriaxone 1x750 mg IV, Ranitidine 2x15 mg IV, Paracetamol 3x150 mg PO, Zinc 1x20
mg PO, Lacto B 1x1 sachet PO dengan obat pulang: Metronidazole 3x210 mg pulv, Lacto B 1x1
sachet PO, Zinc 1x20 mg PO. Selain itu, keluarga diberikan edukasi mengenai kondisi penyakit
pasien, yaitu disentri amoeba, melakukan pemantauan suhu tubuh apabila demam dan
memberikan obat demam, memastikan asupan makanan dan minuman per oral selama pasien
masih BAB cair, memberikan antibiotik selama di rumah hingga habis, Lacto B dan zinc selama
10-14 hari.
Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitam adalah ad bonam, quo ad functionam ad
bonam, dan quo ad sanationam ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Disentri atau diare berdarah merupakan inflamasi pada usus (kolon) yang dapat
disebabkan oleh Shigella, Campylobacter, Salmonella, Schistosoma mansoni dan Entamoeba
histolytica. Shigella merupakan penyebab terbanyak disentri pada negara tropis, Disentri akibat
Salmonella banyak terjadi terutama pada negara berkembang dan pada beberapa kasus saat
terjadi kegagalan terapi antibiotik pada kasus suspek disentri akibat Shigella atau adanya feses
pada darah, kemungkinan besar infeksi disebabkan oleh protozoa yaitu Entamoeba histolytica.
Pada umumnya, pemeriksaan penunjang akan dilakukan untuk membedakan etiologi disentri.
Disentri yang disebabkan oleh amoeba disebut disentri amoeba atau amebiasis. Pada
umumnya, pasien dengan disentri amoeba tidak memiliki gejala, tetapi pada sebagian besar kecil
pasien akan terdapat gejala yang bervariasi dari ringan sampai berat. Pasien biasa mengeluhkan
feses yang cair dan berdarah. Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri abdomen, kram perut dan
demam. Pada kasus lanjut, E. histolytica dapat menginvasi hepar dan membentuk suatu abses,
menyebar ke organ tubuh lain seperti paru, otak, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.1,2

2.2. Epidemiologi
Insidensi disentri amoeba tertinggi terdapat di negara berkembang, dengan iklim tropis
dan subtropis. Hal ini berkaitan dengan tingkat higienitas dan sanitasi yang masih rendah pada
negara berkembang. Setiap tahunnya terdapat 50 juta kasus disentri amoeba dengan angka
kematian mencapai 100.000. Disentri amoeba merupakan penyebab kedua tersering kematian
akibat penyakit parasit, dengan angka kematian 40.000-100.000 orang per tahun secara global.
Wilayah endemik amebiasis, meliputi Amerika Tengah dan Selatan, Afrika dan Asia. Pada
negara endemik, biasanya infeksi bersifat asimtomatik.
Disentri amoeba dapat terjadi pada semua usia. Abses hepar akibat amebiasis 10x lebih
sering pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Amebiasis lebih sering terjadi pada laki-laki,
dengan predominan pada rentang usia 18-50 tahun, tetapi patofisiologi belum diketahui sampai
saat ini. Pasien dengan HIV homoseksual merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
amebiasis pada orang dewasa, sedangkan gizi buruk merupakan faktor risiko pada anak-anak.3,4
2.3. Etiopatogenesis dan Patofisiologi
Amebiasis disebabkan oleh protozoa, Entamoeba histolytica. Terdapat 2 spesies
Entamoeba lainnya yang dapat menyebabkan amebiasis, yaitu Entamoeba dispar dan E.
moshkovskii. E. histolytica merupakan penyebab tersering dan paling sering menimbulkan gejala
dibandingkan spesies lainnya. E. dispar bersifat non-patogen dan E. moshkovskii sangat jarang
teridentifikasi dan menyebabkan amebiasis namun patogenisitasnya masih belum jelas.
Transmisi dari amebiasis terjadi melalui rute fekal-oral sehingga dapat mengkontaminasi air
maupun makanan. Selain melalui makanan, hubungan seksual juga merupakan salah satu faktor
risiko transmisi amebiasis.

Gambar 2.1. Stadium Kista dan trofozoit Entamoeba Histolytica4

E. histolytica merupakan protozoa pembentuk pseudopodia, tidak memiliki flagel yang


dapat menyebabkan proteolisis, lisis jaringan dan menginduksi apoptosis sel. Setelah terjadi
ingesti dari E. histolytica, maka akan terjadi eksitasi pada ileum terminal atau kolon untuk
membentuk trofozoit yang sifatnya motil dan akan membentuk kolonisasi pada kolon. Trofozoit
akan menempel pada sel epitel kolon dengan bantuan galactose/N-acetylgalactosamine
(GAL/GalNAc)-specific lectin (protein).
Proses invasi ini akan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dan mengaktivasi
neutrofil dan makrofag yang akan melepaskan reactive oxygen species (ROS), reactive nitrogen
species (RNS), degranulasi dan pembentukan neutrophil extracellular traps (NET). Selain itu,
akan terjadi aktivasi sel dendritik yang akan menyebabkan aktivasi limfosit T dan B, berupa Th1
dan sel B yang akan memproduksi antibodi IgA yang sifatnya spesifik. Setelah itu, trofozoit akan
kembali membentuk kista dan diekskresikan melalui feses. Kista yang keluar melalui feses akan
melanjutkan siklus hidupnya di lingkungan yang terkontaminasi. Kista dapat bertahan hidup
beberapa hari sampai minggu karena dinding kista.5,6
Gambar 2.2. Patogenesis Amebiasis 4

2.5. Manifestasi Klinis


Amebiasis, pada sebagian besar kasus, bersifat asimtomatik dan hanya pada 10-20%
kasus akan bersifat simtomatik. Gejala yang sering timbul, meliputi feses yang cair, disertai
dengan nyeri abdomen, kram perut dan demam. Selain invasi lokal, Entamoeba histolytica dapat
masuk ke pembuluh darah, menyebar ke organ lainnya seperti hepar dan menyebabkan suatu
abses hepar. Abses hepar merupakan manifestasi klinis ekstraintestinal yang paling sering terjadi.
Saat E. histolytica mencapai hepar, maka protozoa ini dapat membentuk abses yang mengandung
debris, hepatosit yang mati, dan sel yang terlikuifaksi. Lesi ini dikelilingi oleh jaringan ikat, sel
inflamasi dan trofozoit.4
Abses hepar dapat timbul beberapa bulan hingga tahun setelah pasien terinfeksi, biasanya
terjadi pada imigran yang bepergian ke negara endemik, pada laki-laki usia 20-40 tahun. 80%
pasien akan mengalami gejala 2-4 minggu setelah paparan, meliputi demam, nyeri epigastrik dan
hipokondriak kanan yang sifatnya tumpul dan batuk. 10-35% pasien akan mengalami gejala
gastrointestinal, seperti nausea, muntah, kram perut, diare, konstipasi dan distensi abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, akan didapatkan hepatomegali. Pada pemeriksaan penunjang,
akan didapatkan leukositosis, peningkatan enzim hari, ALP dan pada CT-Scan akan ditemukan
massa yang sifatnya hipoekoik. Pemeriksaan analisis feses pada tahap ini bersifat tidak sensitif,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antigen (hemaglutinasi
indirek). Pada kasus abses hepar, dapat diberikan metronidazole, nitroimidazole dan tinidazole.
Selain abses hepar, dapat terjadi kolitis dengan gejala diare, muntah dan demam dan
gejala ini sifatnya non-spesifik. Pada infeksi akut, dapat ditemukan kolik abdomen, kembung,
tenesmus dan bising usus yang meningkat dan pada infeksi kronis dapat terjadi penurunan berat
badan. E. histolytica dapat menyebar ke jantung dan menyebabkan perikarditis, tetapi hal ini
sangat jarang terjadi. Perikarditis akibat amoeba memiliki angka mortalitas yang tinggi. Selain
itu, dapat juga menyebabkan peritonitis akibat adanya perforasi dari kolitis derajat berat atau
abses hepar yang ruptur ke rongga peritoneum.
Peradangan juga dapat terjadi pada kulit dan jaringan subkutan akibat adanya kontak
langsung dengan trofozoit dari E. histolytica. Pada kulit akan didapatkan edema, adanya indurasi
dengan batas yang ireguler, biasa ditemukan pada daerah perineum dan sekitar saluran fistula
usus ke kulit atau hepar ke kulit. E. histolytica juga dapat mencapai otak melalui sirkulasi darah
pleksus Batson, dimana sumber infeksi dapat berasal dari usus, hepar, maupun paru, dengan
tanda neurologis yang tidak spesifik.7-9

2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Anamnesis mulai dari keluhan utama, keluhan tambahan, onset gejala, riwayat konsumsi makan
ataupun bepergian ke negara yang endemik. Selain gejala utama amebiasis, perlu ditanyakan
mengenai gejala dehidrasi, penurunan berat badan dan gejala ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik
dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan kepala sampai anogenital, dimulai dari keadaan umum,
kesadaran dan tanda-tanda vital pasien, lalu pengukuran antropometri. Pada pemeriksaan kepala,
perlu dicari tanda anemia berupa konjungtiva anemis dan mata cekung, bibir, mukosa oral,
coated tongue untuk penanda dehidrasi dan penurunan nafsu makan.
Pada regio abdomen, pada umumnya dapat ditemukan nyeri tekan pada regio
hipokondrium kanan, epigastrium dan iliaka kanan, peningkatan bising usus dan defans muskular
(peritonitis). Pada pemeriksaan anogenital dapat ditemukan adanya ekskoriasi akibat peningkatan
frekuensi BAB. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan terutama jika terdapat gejala yang
mengarah pada amebiasis otak, seperti penurunan kesadaran dan nyeri kepala.
Pemeriksaan penunjang, berupa analisis mikroskopis feses, serologi, dan tes molekular.
Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan trofozoit atau kista pada feses. Idealnya, pemeriksaan
feses dilakukan 3-6 kali untuk menemukan trofozoit atau kista dan dilakukan dalam 1 jam sejak
feses diambil. Jika tidak langsung diperiksa, maka perlu disimpan dalam lemari es. Pengobatan
dengan antimikroba, antiprotozoa dapat mengaburkan gambaran trofozoit dan kista dalam feses.
Pemeriksaan antigen feses bersifat sensitif dan spesifik dengan EIA atau
immunochromatographic, tetapi pemeriksaan ini tidak dimiliki oleh semua fasilitas kesehatan.
Gold standard amebiasis merupakan pemeriksaan molekular feses (sangat sensitif). Pemeriksaan
serologi untuk mendeteksi antibodi, seringkali menimbulkan hasil positif palsu karena antibodi
akan menetap bertahun-tahun sehingga sulit dibedakan apakah ini merupakan infeksi aktif atau
pasien sudah sembuh dari infeksi sebelumnya. Pada kasus abses hepar, dapat dilakukan
pemeriksaan USG dimana akan tampak suatu rongga kistik. Dalam menegakkan diagnosis abses
hepar, perlu dilakukan aspirasi dari abses, dimana akan tampak cairan berwarna coklat
kemerahan, jaringan nekrotik, tidak berbau.7

2.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari disentri amoeba meliputi:7
a. Disentri basiler (shigellosis)
b. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
c. Acute appendicitis
d. Karsinoma rektal
e. Gastroenteritis akut

2.8. Tatalaksana
Pada kasus asimtomatik, dapat diberikan diloksanid furoat (furamid) 7-10 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis atau dapat diberikan iodokuinol (diiodohidroksi kuinin) 10 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis atau Paromisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis dan pengobatan
ini diberikan selama 7-10 hari. Pada infeksi ringan sampai sedang dapat diberikan metronidazol
(flagyl) 15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Efek samping pemberian
metronidazole meliputi ruam, ataksia atau parestesia (jarang terjadi).
Pada infeksi berat dapat diberikan metronidazol 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, dapat
diberikan peroral atau intravena selama 10 hari atau dapat diberikan dehidroemetin 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, diberikan secara intramuskular selama 5 hari dengan dosis
maksimal 90 mg/hari. Efek samping meliputi aritmia, nyeri dada dan selulitis.
Pengobatan abses hepar diberikan baik dengan atau tanpa aspirasi abses. Indikasi aspirasi
meliputi adanya gambaran rongga abses berdiameter >10 cm, perluasan abses yang
memungkinkan terjadinya ruptur atau adanya respon pengobatan yang buruk. Terapi profilaksis
tidak direkomendasikan untuk imigran yang bepergian ke negara endemis. Pencegahan dengan
melakukan higienitas dan menghindari lingkungan dengan sanitasi buruk penting dilakukan.7

2.9. Komplikasi3
- Toxic megacolon
- Fulminant Necrotizing Colitis
- Perforasi usus, striktur kolon, perdarahan saluran cerna, fistula rekto-vaginal,
ameboma, ruptur abses, infeksi bakteri sekunder, perikarditis/pleuritis amoeba,
amebiasis otak

2.10. Prognosis
Amebiasis tanpa komplikasi memiliki prognosis yang baik. Kematian akibat amebiasis
disebabkan oleh nekrosis dan perforasi usus. Selain itu, bila terdapat abses hepar, case fatality
rate meningkat sebesar 10-15% dan bila terjadi ruptur ke rongga pleura maka angka kematian
akan semakin meningkat menjadi 120% dan 96% pada kasus amebiasis otak.7
BAB III
ANALISA KASUS

Teori Kasus

Anamnesis Epidemiologi
-Insidensi disentri amoeba Pasien tinggal di Indonesia,
tertinggi terdapat di negara negara berkembang dengan
berkembang, dengan iklim iklim tropis
tropis dan subtropis. Wilayah
endemik salah satunya adalah
Asia.
-Disentri amoeba dapat Pasien perempuan berusia 5
terjadi pada semua usia. tahun

Faktor Risiko
-Gizi buruk merupakan faktor Berdasarkan berat badan dan
risiko pada anak-anak tinggi badan pasien sebelum
sakit, status gizi pasien adalah
gizi kurang

-Makanan dan minuman yang Pasien makan permen yang


terkontaminasi akibat kondisi dibeli diluar sebelum pasien
higiene buruk dan sanitasi mengeluhkan nyeri perut dan
lingkungan yang buruk demam

Manifestasi Klinis
-Diare (BAB cair disertai Pasien mengalami BAB cair
lendir dan darah: disentri) 6x, berwarna hijau
-Muntah dan demam kehitaman, disertai lendir dan
-Kolik abdomen (terutama sedikit bercak darah, demam
pada kuadran kanan bawah, (suhu tertinggi 39.1oC), nyeri
perut kembung, tenesmus dan perut sisi tengah dan kanan
bising usus meningkat) bawah

Pemeriksaan Fisik Tanda


-PF umum: keadaan umum, Keadaan umum pasien
kesadaran, tanda-tanda vital, tampak sakit sedang,
status generalis untuk kesadaran compos mentis,
mencari tanda dehidrasi atau tanda-tanda vital dalam batas
manifestasi amebiasis lainnya normal

-Antropometri BB pasien sebelum sakit: 15


Pasien dengan diare dengan kg
atau tanpa muntah BB pasien setelah sakit: 14 kg
berkepanjangan dapat Status gizi kurang (dengan
menyebabkan penurunan berat badan sebelum sakit),
berat badan, sehingga perlu penurunan berat badan
dilakukan perbandingan sebanyak 1 kg
antara berat badan sebelum
dan sesudah sakit

-Pemeriksaan fisik kepala Mata tidak terlihat cekung,


Pemeriksaan area mata dan mukosa oral lembab, bibir
mukosa oral untuk melihat lembab, konjungtiva tidak
tanda dehidrasi, konjungtiva anemis, coated tongue (-)
anemis sebagai tanda anemia,
coated tongue

-Pemeriksaan fisik abdomen Pemeriksaan abdomen


Nyeri tekan kuadran kanan didapatkan bising usus tidak
bawah, peningkatan bising meningkat, nyeri tekan regio
usus umbilikal dan iliaka dekstra

Pemeriksaan Penunjang -Pemeriksaan hematologi: Hematologi (24 Oktober


leukositosis ataupun masih 2022)
dalam batas normal -Hb 12.4 g/dL
-Ht 36%
-Eritrosit 5.63 juta/uL
-Leukosit 16.480/uL
-Trombosit 324.000/uL

-GDS 95 mg/dL

-Pemeriksaan elektrolit: dapat Pada pasien, didapatkan


ditemukan adanya hiponatremia ringan
ketidakseimbangan elektrolit (130-135)
akibat manifestasi klinis diare -Na 134 mmol/L
dan muntah -K 3.9 mmol/L
-Cl 108 mmol/L
-Pemeriksaan feses lengkap: Analisis Feses (25 Oktober
untuk menegakkan diagnosis 2022)
pasti, untuk amebiasis maka -Feses berwarna coklat,
akan ditemukan trofozoit atau konsistensi cair, terdapat
kista dalam feses lendir dan darah, leukosit
8-10/LPB, eritrosit penuh,
Entamoeba histolytica (+)

Tatalaksana Pemberian cairan yang Selama di rumah sakit, pasien


adekuat, terapi simtomatik, mendapatkan
monitor feses setidaknya 3 -IVFD RL 500 cc 7 tpm
kali -Ceftriaxone 1x750 mg IV
-Ranitidine 2x15 mg IV
-Paracetamol 3x150 mg PO
-Zinc 1x20 mg PO
-Lacto B 1x1 sachet PO

Infeksi ringan-sedang maka Pasien diberikan obat pulang


diberikan metronidazol 15 Metronidazole 3x210 mg
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis pulv, Lacto B 1x1 sachet PO,
selama 10 hari Zinc 1x20 mg PO

Non-farmakologis
-Edukasi keluarga pasien
mengenai kondisi penyakit
pasien, yaitu disentri amoeba.
Disentri amoeba merupakan
infeksi yang disebabkan oleh
patogen amoeba dengan
gejala klinis BAB cair disertai
dengan lendir dan darah,
menjelaskan juga mengenai
faktor risiko, prognosis dan
tatalaksana disentri amoeba.

-Edukasi keluarga pasien


untuk melakukan pemantauan
suhu tubuh apabila demam
dan memberikan obat demam.
-Edukasi keluarga pasien
untuk memastikan asupan
makanan dan minuman per
oral selama pasien masih
BAB cair.

-Edukasi keluarga pasien


untuk memberikan antibiotik
selama di rumah hingga
habis, Lacto B dan zinc
selama 10-14 hari.

Prognosis Amebiasis tanpa komplikasi Pada pasien tidak terjadi


akan memiliki prognosis yang komplikasi ekstraintestinal,
baik. Angka mortalitas hanya namun status gizi pasien
1% pada kasus amebiasis kurang
tanpa ada manifestasi
ekstraintestinal. Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: bonam
Quo ad sanationam: bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Khalili, M. Acute bacterial dysentery in children. Int J Infect. 2014.


2. Dejkam A, Nahavandi K. Dysentery in Children. Iranian Journal of Public Health. 2021.
3. Zulfiqar H, Matthew G, Horral S. Amebiasis. National Library of Medicine. 2022.
4. Amebiasis. Centers for Disease Control and Prevention. 2021.
5. Haque R, Mondal D, Duggal P, et. al. Entamoeba histolytica infection in children and
protection from subsequent amebiasis. American Society for Microbiology. 2006.
6. Dhawan V. Amebiasis. Medscape. 2022.
7. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S, Satari H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis 2nd
ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
8. Jackson J, Prakash V, Oliver T. Amebic Liver Abscess. National Library of Medicine.
2022.
9. Taherian M, Samankan S, Cagir B. Amebic Colitis. National Library of Medicine. 2022.

Anda mungkin juga menyukai