DISENTRI AMOEBA
Pembimbing:
dr. Nurifah, Sp. A
Disusun Oleh:
Maria Ivena Kristi
202006010103
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penulisan tulisan ini dapat
lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang
menempuh pendidikan profesi dokter.
1.2 Resume
Seorang pasien, anak perempuan berusia 5 tahun dibawa ke IGD RS Polri oleh
orangtuanya dengan keluhan BAB cair sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB cair
sebanyak 6x/hari, berwarna hijau kehitaman, disertai lendir dan sedikit bercak darah. BAB cair
terjadi bersamaan dengan demam (suhu 39.1oC), nyeri perut sejak 1 hari SMRS dirasakan saat
pasien buang air besar, batuk berdahak dan pilek. Demam turun sesaat setelah diberikan
paracetamol tetapi setelah itu naik kembali. Batuk berdahak, tidak sering disertai pilek. Pasien
belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran
kompos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal (tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi
nadi 110x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, suhu 36.7oC, dan saturasi oksigen 99% on
room air). Status gizi kurang. Pemeriksaan fisik THT, terdapat sekret pada hidung berwarna
bening, konsistensi encer. Pada pemeriksaan abdomen, terdapat nyeri tekan pada regio umbilikal
dan iliaka dekstra. Hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan hematologi didapatkan leukositosis
(16.480/uL). Pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremi (134 mmol/L). Pemeriksaan feses
lengkap didapatkan feses berwarna coklat, konsistensi cair, terdapat lendir dan darah, leukosit
8-10/LPB, eritrosit penuh, Entamoeba histolytica (+).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini
didiagnosis mengalami disentri amoeba. Tatalaksana yang diberikan dokter spesialis anak pada
pasien di ruangan berupa IVFD RL 500 cc 7 tpm, Ceftriaxone 1x750 mg IV, Ranitidine 2x15 mg
IV, Paracetamol 3x150 mg PO, Zinc 1x20 mg PO, Lacto B 1x1 sachet PO dengan obat pulang
Metronidazole 3x375 mg pulv, Lacto B 1x1 sachet PO, Zinc 1x20 mg PO.
Sedangkan rencana tatalaksana dari Co-Assistant yang diberikan IVFD RL 1200 cc 16
tpm, Ceftriaxone 1x750 mg IV, Ranitidine 2x15 mg IV, Paracetamol 3x150 mg PO, Zinc 1x20
mg PO, Lacto B 1x1 sachet PO dengan obat pulang: Metronidazole 3x210 mg pulv, Lacto B 1x1
sachet PO, Zinc 1x20 mg PO. Selain itu, keluarga diberikan edukasi mengenai kondisi penyakit
pasien, yaitu disentri amoeba, melakukan pemantauan suhu tubuh apabila demam dan
memberikan obat demam, memastikan asupan makanan dan minuman per oral selama pasien
masih BAB cair, memberikan antibiotik selama di rumah hingga habis, Lacto B dan zinc selama
10-14 hari.
Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitam adalah ad bonam, quo ad functionam ad
bonam, dan quo ad sanationam ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Disentri atau diare berdarah merupakan inflamasi pada usus (kolon) yang dapat
disebabkan oleh Shigella, Campylobacter, Salmonella, Schistosoma mansoni dan Entamoeba
histolytica. Shigella merupakan penyebab terbanyak disentri pada negara tropis, Disentri akibat
Salmonella banyak terjadi terutama pada negara berkembang dan pada beberapa kasus saat
terjadi kegagalan terapi antibiotik pada kasus suspek disentri akibat Shigella atau adanya feses
pada darah, kemungkinan besar infeksi disebabkan oleh protozoa yaitu Entamoeba histolytica.
Pada umumnya, pemeriksaan penunjang akan dilakukan untuk membedakan etiologi disentri.
Disentri yang disebabkan oleh amoeba disebut disentri amoeba atau amebiasis. Pada
umumnya, pasien dengan disentri amoeba tidak memiliki gejala, tetapi pada sebagian besar kecil
pasien akan terdapat gejala yang bervariasi dari ringan sampai berat. Pasien biasa mengeluhkan
feses yang cair dan berdarah. Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri abdomen, kram perut dan
demam. Pada kasus lanjut, E. histolytica dapat menginvasi hepar dan membentuk suatu abses,
menyebar ke organ tubuh lain seperti paru, otak, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.1,2
2.2. Epidemiologi
Insidensi disentri amoeba tertinggi terdapat di negara berkembang, dengan iklim tropis
dan subtropis. Hal ini berkaitan dengan tingkat higienitas dan sanitasi yang masih rendah pada
negara berkembang. Setiap tahunnya terdapat 50 juta kasus disentri amoeba dengan angka
kematian mencapai 100.000. Disentri amoeba merupakan penyebab kedua tersering kematian
akibat penyakit parasit, dengan angka kematian 40.000-100.000 orang per tahun secara global.
Wilayah endemik amebiasis, meliputi Amerika Tengah dan Selatan, Afrika dan Asia. Pada
negara endemik, biasanya infeksi bersifat asimtomatik.
Disentri amoeba dapat terjadi pada semua usia. Abses hepar akibat amebiasis 10x lebih
sering pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Amebiasis lebih sering terjadi pada laki-laki,
dengan predominan pada rentang usia 18-50 tahun, tetapi patofisiologi belum diketahui sampai
saat ini. Pasien dengan HIV homoseksual merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
amebiasis pada orang dewasa, sedangkan gizi buruk merupakan faktor risiko pada anak-anak.3,4
2.3. Etiopatogenesis dan Patofisiologi
Amebiasis disebabkan oleh protozoa, Entamoeba histolytica. Terdapat 2 spesies
Entamoeba lainnya yang dapat menyebabkan amebiasis, yaitu Entamoeba dispar dan E.
moshkovskii. E. histolytica merupakan penyebab tersering dan paling sering menimbulkan gejala
dibandingkan spesies lainnya. E. dispar bersifat non-patogen dan E. moshkovskii sangat jarang
teridentifikasi dan menyebabkan amebiasis namun patogenisitasnya masih belum jelas.
Transmisi dari amebiasis terjadi melalui rute fekal-oral sehingga dapat mengkontaminasi air
maupun makanan. Selain melalui makanan, hubungan seksual juga merupakan salah satu faktor
risiko transmisi amebiasis.
2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Anamnesis mulai dari keluhan utama, keluhan tambahan, onset gejala, riwayat konsumsi makan
ataupun bepergian ke negara yang endemik. Selain gejala utama amebiasis, perlu ditanyakan
mengenai gejala dehidrasi, penurunan berat badan dan gejala ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik
dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan kepala sampai anogenital, dimulai dari keadaan umum,
kesadaran dan tanda-tanda vital pasien, lalu pengukuran antropometri. Pada pemeriksaan kepala,
perlu dicari tanda anemia berupa konjungtiva anemis dan mata cekung, bibir, mukosa oral,
coated tongue untuk penanda dehidrasi dan penurunan nafsu makan.
Pada regio abdomen, pada umumnya dapat ditemukan nyeri tekan pada regio
hipokondrium kanan, epigastrium dan iliaka kanan, peningkatan bising usus dan defans muskular
(peritonitis). Pada pemeriksaan anogenital dapat ditemukan adanya ekskoriasi akibat peningkatan
frekuensi BAB. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan terutama jika terdapat gejala yang
mengarah pada amebiasis otak, seperti penurunan kesadaran dan nyeri kepala.
Pemeriksaan penunjang, berupa analisis mikroskopis feses, serologi, dan tes molekular.
Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan trofozoit atau kista pada feses. Idealnya, pemeriksaan
feses dilakukan 3-6 kali untuk menemukan trofozoit atau kista dan dilakukan dalam 1 jam sejak
feses diambil. Jika tidak langsung diperiksa, maka perlu disimpan dalam lemari es. Pengobatan
dengan antimikroba, antiprotozoa dapat mengaburkan gambaran trofozoit dan kista dalam feses.
Pemeriksaan antigen feses bersifat sensitif dan spesifik dengan EIA atau
immunochromatographic, tetapi pemeriksaan ini tidak dimiliki oleh semua fasilitas kesehatan.
Gold standard amebiasis merupakan pemeriksaan molekular feses (sangat sensitif). Pemeriksaan
serologi untuk mendeteksi antibodi, seringkali menimbulkan hasil positif palsu karena antibodi
akan menetap bertahun-tahun sehingga sulit dibedakan apakah ini merupakan infeksi aktif atau
pasien sudah sembuh dari infeksi sebelumnya. Pada kasus abses hepar, dapat dilakukan
pemeriksaan USG dimana akan tampak suatu rongga kistik. Dalam menegakkan diagnosis abses
hepar, perlu dilakukan aspirasi dari abses, dimana akan tampak cairan berwarna coklat
kemerahan, jaringan nekrotik, tidak berbau.7
2.8. Tatalaksana
Pada kasus asimtomatik, dapat diberikan diloksanid furoat (furamid) 7-10 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis atau dapat diberikan iodokuinol (diiodohidroksi kuinin) 10 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis atau Paromisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis dan pengobatan
ini diberikan selama 7-10 hari. Pada infeksi ringan sampai sedang dapat diberikan metronidazol
(flagyl) 15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Efek samping pemberian
metronidazole meliputi ruam, ataksia atau parestesia (jarang terjadi).
Pada infeksi berat dapat diberikan metronidazol 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, dapat
diberikan peroral atau intravena selama 10 hari atau dapat diberikan dehidroemetin 0,5-1
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, diberikan secara intramuskular selama 5 hari dengan dosis
maksimal 90 mg/hari. Efek samping meliputi aritmia, nyeri dada dan selulitis.
Pengobatan abses hepar diberikan baik dengan atau tanpa aspirasi abses. Indikasi aspirasi
meliputi adanya gambaran rongga abses berdiameter >10 cm, perluasan abses yang
memungkinkan terjadinya ruptur atau adanya respon pengobatan yang buruk. Terapi profilaksis
tidak direkomendasikan untuk imigran yang bepergian ke negara endemis. Pencegahan dengan
melakukan higienitas dan menghindari lingkungan dengan sanitasi buruk penting dilakukan.7
2.9. Komplikasi3
- Toxic megacolon
- Fulminant Necrotizing Colitis
- Perforasi usus, striktur kolon, perdarahan saluran cerna, fistula rekto-vaginal,
ameboma, ruptur abses, infeksi bakteri sekunder, perikarditis/pleuritis amoeba,
amebiasis otak
2.10. Prognosis
Amebiasis tanpa komplikasi memiliki prognosis yang baik. Kematian akibat amebiasis
disebabkan oleh nekrosis dan perforasi usus. Selain itu, bila terdapat abses hepar, case fatality
rate meningkat sebesar 10-15% dan bila terjadi ruptur ke rongga pleura maka angka kematian
akan semakin meningkat menjadi 120% dan 96% pada kasus amebiasis otak.7
BAB III
ANALISA KASUS
Teori Kasus
Anamnesis Epidemiologi
-Insidensi disentri amoeba Pasien tinggal di Indonesia,
tertinggi terdapat di negara negara berkembang dengan
berkembang, dengan iklim iklim tropis
tropis dan subtropis. Wilayah
endemik salah satunya adalah
Asia.
-Disentri amoeba dapat Pasien perempuan berusia 5
terjadi pada semua usia. tahun
Faktor Risiko
-Gizi buruk merupakan faktor Berdasarkan berat badan dan
risiko pada anak-anak tinggi badan pasien sebelum
sakit, status gizi pasien adalah
gizi kurang
Manifestasi Klinis
-Diare (BAB cair disertai Pasien mengalami BAB cair
lendir dan darah: disentri) 6x, berwarna hijau
-Muntah dan demam kehitaman, disertai lendir dan
-Kolik abdomen (terutama sedikit bercak darah, demam
pada kuadran kanan bawah, (suhu tertinggi 39.1oC), nyeri
perut kembung, tenesmus dan perut sisi tengah dan kanan
bising usus meningkat) bawah
-GDS 95 mg/dL
Non-farmakologis
-Edukasi keluarga pasien
mengenai kondisi penyakit
pasien, yaitu disentri amoeba.
Disentri amoeba merupakan
infeksi yang disebabkan oleh
patogen amoeba dengan
gejala klinis BAB cair disertai
dengan lendir dan darah,
menjelaskan juga mengenai
faktor risiko, prognosis dan
tatalaksana disentri amoeba.