1. Perkembangan subjek hukum dalam lingkungan mencerminkan evolusi dalam cara hukum
memandang dan mengakui entitas-entitas yang memiliki hak dan kewajiban dalam konteks
lingkungan. Beberapa perkembangan signifikan yang telah terjadi adalah sebagai berikut:
- Pengakuan Hak Lingkungan:
Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan dalam pengakuan hak lingkungan. Beberapa
negara telah mengakui hak lingkungan sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk hidup,
berkembang, dan dipulihkan. Hal ini telah mengarah pada adanya perlindungan hukum yang
lebih kuat terhadap lingkungan dan ekosistem.
- Pengakuan Hak Hewan:
Terdapat juga perkembangan dalam pengakuan hak hewan dalam konteks hukum
lingkungan. Beberapa yurisdiksi telah mengakui hewan sebagai subjek hukum yang memiliki
hak untuk tidak menderita perlakuan kejam, hak hidup, dan hak-hak lainnya. Ini mencerminkan
pergeseran paradigma dalam pandangan hukum terhadap perlindungan hewan dan peran
mereka dalam ekosistem.
- Hak dan Kewajiban Korporasi:
Perkembangan lainnya adalah pengakuan hak dan kewajiban korporasi dalam konteks
lingkungan. Perusahaan dan korporasi sekarang dianggap sebagai subjek hukum yang memiliki
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mereka dapat dikenai kewajiban hukum untuk
melindungi lingkungan, mencegah pencemaran, dan bertanggung jawab atas dampak negatif
yang dihasilkan oleh kegiatan bisnis mereka.
- Perkembangan Hukum Internasional:
Di tingkat internasional, terjadi perkembangan dalam pengakuan subjek hukum lingkungan.
Misalnya, terdapat perjanjian internasional seperti Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati
yang mengakui pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat
terkait dengan lingkungan. Selain itu, lembaga dan pengadilan internasional juga berperan
dalam mengakui subjek hukum lingkungan dan memberikan keputusan-keputusan yang
berdampak pada perlindungan lingkungan.
Perkembangan-perkembangan ini mencerminkan perubahan dalam cara pandang hukum
terhadap lingkungan dan entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Hal ini menunjukkan adanya
kepedulian yang semakin besar terhadap perlindungan lingkungan dan perlunya tanggung
jawab hukum terhadap kerusakan lingkungan. Namun, penting untuk dicatat bahwa
perkembangan ini masih berlangsung dan dapat bervariasi antara yurisdiksi yang berbeda.
2.
A. Dengan berlakunya undang-undang pokok agraria nomor 5/1960 (UUPA) pada tanggal 24
September 1960 maka di dalam buku II KUHPerdata tidak ada lagi ketentuan yang mengatur
tentang benda tidak bergerak yang ada ialah ketentuan-ketentuan tentang benda bergerak.
Contohnya : UUPA, menyatakan mencabut buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang yang
mengenai bumi air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan
mengenai hipotek. Hipotek pun sudah tidak dinyatakan berlaku oleh undang-undang hak
tanggungan (UUHT) , undang-undang nomor 4 tahun 1996 pasal 29 sehingga hipotek yang ada
sekarang hanyalah, hipotek untuk kapal-kapal laut isi kotor 20 m3/lebih (pasal 314 kuh dagang
Jo pasal 60 undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran). Untuk pesawat terbang
dan helikopter (pasal 71).
B. Pengertian “benda” menurut KUHPerdata adalah benda berwujud seperti kendaraan bermotor,
tanah, dan lain-lain. Sedangkan benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, tidak diatur oleh
KUHPerdata, yang diatur oleh Undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Perlindungan
HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Di luar buku II (dalam buku III) KUHPerdata,
terdapat pengertian “zaak”, tidak dalam pengertian benda, tetapi dalam pengertian, perbuatan
hukum (pasal 1792 KUHPerdata), kepentingan (pasal 1354 KUHPerdata) dan kenyataan
hukum (pasal 1263 KUHPerdata).
Alasan :
1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPer) misalnya tanah dan segala
sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman
yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik,
demikian juga barang-barang tambang.
2. Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507
KUHPer) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan,
dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding
seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan
tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan
bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun
gedung tersebut, dan lain-lain.
1. Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat
dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509
KUHPer).
C. - Diatur dalam Buku II KUHPerdata, Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan 1160.
Pasal 1150 KUHPerdata merumuskan pengertian gadai adalah suatu hak yang diperoleh
kreditor atau suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh
kuasanya sebagai jaminan atas utangnya dan yang diberi memberi wewenang kepada kreditor
untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditor kreditor
lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu yang dikeluarkan setelah barang
itu digadaikan dan yang harus didahulukan. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa para pihak yang
terlibat dalam perjanjian gadai ada dua yaitu :
1. Pihak pemberi gadai (debitur)
2. Pihak penerima (pemegang) gadai (kreditor)
Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa atas persetujuan para pihak benda gadai yang
dipegang oleh pihak III (pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata). Jika barang gadai dipegang oleh
pihak III maka ia disebut : pihak III – pemegang gadai.
Ketentuan dari pasal 1150 dapat diketahui bahwa perjanjian gadai merupakan perjanjian
assesoir artinya merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok yaitu perjanjian
pinjam meminjam uang. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menjaga jangan sampai debitur
lalai membayar kembali uang pinjaman itu dan bunganya. Sedangkan objek gadai adalah
barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Objek gadai (benda
jaminan) seharusnya merupakan benda yang bisa dipindah tangankan, sebab eksekusi pada
hakekatnya merupakan pemindah tangan benda jaminan dari pemilik kepada pembeli.
Contoh Gadai Menurut Hukum : ketika seseorang mengambil pinjaman dari bank untuk
membeli mobil. Individu membeli kendaraan dan membayar penjual menggunakan dana dari
bank, akan tetapi mereka memberi bank gadai pada kendaraan tersebut. Jika individu tersebut
tidak membayar kembali pinjaman, bank berhak mengambil kendaraan, dan menjualnya untuk
membayar kembali pinjaman. Jika individu membayar kembali pinjaman secara penuh,
pemegang hak gadai (bank) kemudian melepaskan hak gadai tersebut, dan orang tersebut
memiliki kendaraan yang bebas dan bebas dari segala hak gadai.
- Menurut pasal 1152 ayat 2 KUHPerdata, perjanjian gadai tidak sah, jika benda gadai tetap
berada di bawah kekuasaan debitur. Artinya benda gadai harus di tangan si penerima gadai
(insbezitstelling) atau di tangan pihak III yang disetujui oleh kedua pihak. Jika benda gadai
keluar dari kekuasaan si penerima (pemegang) gadai, maka perjanjian gadai menjadi tidak sah
(hapus). Dalam praktik timbul jaminan baru yang dikenal dengan jaminan fidusia, benda
jaminan tetap dikuasai oleh pihak debitur.
Hukum adat juga mengenai perjanjian gadai, ciri-ciri gadai dalam hukum adat ialah:
1. Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa
2. Penerima gadai dapat mengulang gadaikan benda gadai (benda gadai ada di tangan
pemegang gadai)
3. Benda gadai tidak bisa secara otomatis menjadi milik pemegang gadai
4. Sama dengan gadai dalam KUHPerdata, apabila gadai tidak ditebus maka untuk dapat
memilikinya diperlukan suatu transaksi yang baru (Pasal 1154 KUHPerdata)
Contoh Gadai Menurut Adat : Contoh dalam kehidupan masyarakat kita adalah untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tetapi terkadang tidak mudah memenuhi kebutuhan
tersebut, sehingga untuk masyarakat yang tinggal di pedesaan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut maka dilakukan upaya dengan meminjam uang dengan menggadaikan tanah yang
dimiliki kepada orang lain sebagai kompensasi atas uang yang diterima. Pelaksanaan gadai
tanah tersebut biasanya dilakukan dengan mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat
atau mengikuti hukum adat yang berlaku. Di dalam hukum perdata kita mengenal hak
kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberi
jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu senantiasa tertuju terhadap
bendanya orang lain, mungkin terhadap benda bergerak maka hak kebendaan berupa Hak
Tanggungan, sedang jika benda jaminan itu tertuju pada benda bergerak maka hak kebendaan
tersebut berupa gadai.
D. Dalam kasus yang Anda sebutkan, berikut adalah urutan prioritas hak pelunasan hutang
kontraktor dan kreditur konkurennya:
Perlu dicatat bahwa proses pailit dan urutan prioritas hutang dapat berbeda di setiap yurisdiksi.
Informasi ini hanya merupakan gambaran umum dan dapat berbeda tergantung pada hukum yang
berlaku dalam kasus ini. Jika Anda terlibat dalam situasi hukum semacam ini, sangat disarankan
untuk berkonsultasi dengan ahli hukum yang berpengalaman untuk memperoleh nasihat yang
tepat.
3.
A.
- Buku III KUHP terbuka karena memuat perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari tindak
pidana. Ini berarti bahwa siapa pun yang secara aktif berpartisipasi dalam kejahatan orang lain
dapat dinyatakan bersalah. Buku III memberikan kerangka hukum yang komprehensif yang
mengatur berbagai jenis keterlibatan dalam kejahatan, seperti pemimpin, penasihat, penghasut,
dan aktor pendukung. Buku III memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menilai dan
menyesuaikan hukuman menurut tingkat keterlibatan seseorang dalam pelanggaran tersebut.
Contoh keterlibatan yang dibahas dalam Buku III adalah pemberontakan, penyuapan, dan
konspirasi. Misalnya, seseorang yang mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan
tindak pidana tertentu dapat dijerat dengan ketentuan Buku III.
- Buku II KUHP ditutup karena secara khusus mengatur kejahatan tertentu dan mengatur unsur-
unsur dan hukuman yang berlaku untuk setiap kejahatan. Buku II memuat daftar delik tertentu
dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dinyatakan bersalah. Oleh karena itu
Buku II KUHP dapat dianggap sebagai pasal hukum pidana yang lebih khusus dan terperinci.
Contoh kejahatan Buku II termasuk pencurian, pembunuhan, perampokan, dan pemerkosaan.
Buku II memuat pengertian dan unsur-unsur yang harus ada bagi seseorang untuk dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana.
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Mengenai perjanjian :
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
- Perjanjian, persetujuan, dan kontrak pada esensinya memiliki makna yang sama, yaitu peristiwa
hukum di mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, yang melahirkan adanya hubungan hukum. Dari perjanjian, persetujuan, dan kontrak
lahirlah sebuah perikatan.
Contoh :
Tuan tanah (pihak pertama) dan penyewa (pihak kedua) membuat perjanjian sewa yang mengatur
ketentuan penggunaan rumah. Penyewa setuju untuk membayar pemilik sejumlah uang sebagai
sewa bulanan. Perjanjian ini menimbulkan perjanjian sewa antara pihak pertama dan pihak kedua.
C. Wanprestasi adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda wanprestatie dengan arti tidak
dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Berdasarkan arti dalam KBBI,
wanprestasi adalah keadaan salah satu pihak (biasanya perjanjian) berprestasi buruk karena
kelalaian.
Dalam hukum, wanprestasi berarti kegagalan dalam memenuhi prestasi yang sudah ditetapkan.
Prestasi merupakan suatu hal yang dapat dituntut. Dalam sebuah perjanjian, umumnya ada satu
pihak yang menuntut prestasi kepada pihak lain.
Wanprestasi sebagaimana diterangkan Pasal 1238 KUH Perdata adalah kondisi di mana debitur
dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari
perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.
Bila melakukan wanprestasi, pihak yang lalai harus memberikan penggantian berupa biaya,
kerugian, dan bunga. Akibat atau sanksi wanprestasi ini dimuat dalam Pasal 1239 KUH Perdata
yang menerangkan bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu,
wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak
memenuhi kewajibannya.
Penggantian biaya merupakan ganti dari ongkos atau uang yang telah dikeluarkan oleh salah satu
pihak. Kemudian, yang dimaksud dengan penggantian rugi adalah penggantian akan kerugian yang
telah ditimbulkan dari kelalaian pihak wanprestasi. Selanjutnya, terkait bunga, J. Satrio dalam
Hukum Perikatan menerangkan bahwa bunga dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis.
- Bunga Moratoir, yakni bunga terutang karena debitur terlambat memenuhi kewajibannya.
- Bunga Konvensional, yakni bunga yang disepakati oleh para pihak.
- Bunga Kompensatoir, yakni semua bunga di luar bunga yang ada dalam perjanjian.
1. Persyaratan Material
Persyaratan material yang dimaksud terjadi dalam bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh
seseorang dengan yang diinginkan atau diketahui dan direalisasikan oleh mereka yang merugikan
pihak lain. Kedua, kelalaian sebagai suatu yang dilakukan oleh mereka yang harus mengetahui dan
dicurigai bahwa tindakan ataupun sikap yang dilakukannya bisa menyebabkan kerugian.
2. Persyaratan Formal
Persyaratan formal adalah suatu pernyataan ataupun panggilan pengadilan atas kelalaian ataupun
wanprestasi pada pihak debitur yang harus dinyatakan secara resmi terlebih dahulu dengan
memberikan peringatan pada debitur, bahwa pihak kreditur memerlukan pembayaran dalam jangka
waktu pendek atau segera.
Bentuk pengajuan tersebut harus berbentuk tertulis dari kreditur dan berbentuk akta, sehingga pihak
debitur harus melakukannya dan juga disertai dengan sanksi ataupun penalti.
Terkait somasi, ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata menerangkan bawa debitur dinyatakan lalai
dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan.
Gugatan Wanprestasi
Apabila setelah pemberian somasi pihak debitur tidak juga melakukan apa yang dituntut,
pihak kreditur dapat menuntut atau menggugat wanprestasi yang telag dilakukan.
Sebagaimana diterangkan dalam Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi?, ada tiga
kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan
akibat dari wanprestasi, yakni sebagai berikut.
Kreditur dan debitur sepakat untuk menyelesaikan persengketaan melalui wasit atau
arbitrator. Saat arbitrator memutuskan sengketa tersebut, baik kreditur dan debitur harus
tunduk pada putusan. Kendati putusan tersebut merugikan atau menguntungkan salah satu
pihak, keduanya wajib menaatinya.
Penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di pengadilan. Umumnya
langkah ini diambil saat masalah yang dipersengketakan cukup besar dan nilai ekonomisnya
tinggi atau di antara pihak kreditur dan debitur tidak ada penyelesaian sengketa meski cara
parate executie telah dilakukan.
D. Overmacht
Overmacht dalam arti luas berarti suatu keadaan di luar kekuasaan manusia yang
mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya. jadi
Overmacht ini tidak ada kesalahan dari pihak yang tidak memenuhi prestasinya, sehingga
menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat
dilaksanakan. Selain dalam KUH Perdata istilah Overmacht juga terdapat pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti yang disebutkan dalam pasal 48 dan 49
KUHP bahwa seorang tertuduh tidak boleh dihukum jika tindak pidana yang dilakukannya itu
dalam keadaan Overmacht.
Jadi dalam hukum pidana pun suatu perbuatan yang onrechtmatige (perbuatan
melawan hukum), tetapi perbuatan itu dilakukan di bawah tekanan atau pengaruh Overmacht
melepaskan si pelanggar dari tuntutan. Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam
keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat
dipersalahkan / di luar kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat
memenuhi kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena
keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan
demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki oleh
Kreditur dalam wanprestasi.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan: “Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus
dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal
tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena
suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu
pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Pasal 1245 KUH Perdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadianntak disengaja si berutang berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan memaksa adalah keadaan
dimana Debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak
terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk
membayar ganti rugi dan bunga.
3. Resiko tidak beralih kepada Debitur. Jadi, dengan adanya Overmacht tidak melenyapkan
adanya perikatan, hanya menghentikan berlakunya perikatan.
Hal ini penting bagi adanya Overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian
timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi
maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi.
Sedangkan pasal 1794 KUHPerdata Indonesia menyatakan bahwa zaakwaarnemer yang telah
menolong dalam keadaan darurat untuk mencegah kerusakan atau kehilangan suatu barang,
berhak untuk meminta penggantian biaya yang telah dikeluarkan. Artinya, jika
zaakwaarnemer telah menolong dalam keadaan darurat untuk mencegah kerusakan atau
kehilangan suatu barang, maka ia berhak meminta penggantian biaya yang telah dikeluarkan
dalam melakukan perbuatan tersebut.